Segala puji hanya milik Allah, kita memuji, meminta pertolongan dan memohon pengampunan kepada-Nya, dan kita berlindung kepada Allah dari keburukan diri dan kejahatan amal perbuatan kita. Siapa yang diberi petunjuk -tidak akan ada yang akan menyesatkannya, dan siapa yang disesatkan olehNya- tidak akan ada pula yang dapat memberinya hidayah. Aku bersaksi tidak ada Dzat yang berhak diibadati kecuali Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- itu Rasulullah.
یاَ أیَھُّاَ الذَّیِنَ آمنَوُاْ اتقَّوُاْ اللھَّ حَقَّ تقُاَتھِِ ولَاَتمَوُتُنَّ إلِاَّ وأَنَتمُ مُّسلْمِوُنَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam."
یاَأیَھُّاَالناَّسُاتقَّوُاْربَكَّمُُالذَِّيخلَقَكَمُمِّننفَّْسٍواَحدِةٍَوَخلََقَمنِھْاَزوَْجھَاَوبََثَّمنِْھمُاَرِجاَلاًكثَیِرً ونَِساَءواَتقَّوُااْللھَّالذَِّيتَساَءلوُنَبھِِواَلأرَْحاَمإَِنَّاللھَّكاَنَعلَیَكْمُْرقَیِباً
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya, dan dari keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu."
یاَأیَھُّاَالذَّیِنَآمنَوُااتقَّوُااللھََّوقَوُلوُاقوَْلاًسدَیِداًیُصلِْحْلكَمُْأَعمْاَلكَمُْویَغَفْرِْلكَمُْذنُوُبكَمُْومََنیُِعْاللھََّ ورََسوُلھَُفقَدَْفاَزَفوَزْاًعَظیِماً
"Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan katakanlah perkataan yang benar, niscaya Allah akan memperbaiki amalan-amalanmu dan mengampuni dosa-dosamu. Dan barangsiapa mentaati Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya ia telah mendapat kemenangan yang besar."
Dalam banyak pertemuan dan silaturrahim dengan orang-orang baik, penulis sering dihadapkan dengan pertanyaan-pertanyaan seputar cara beragama yang benar, bagaimana agar bisa sampai kepada kebenaran yang hakiki sesuai dengan keinginan Allah dan RasulNya.Pertanyaan-pertanyaan yang baik sangat layak pula untuk orang-orang yang baik seperti mereka, sekalipun pertanyaan tersebut menjadi hal yang berat dijawab. Bukan karena apa-apa, akan tetapi hanya karena begitu tebalnya kabut kebatilan menghalangi cahaya kebenaran. Hanya karena langkanya kebenaran sehingga mendatangkan rasa ketidakpercayaan terhadapkebenaran tersebut dari hati-hati yang lemah... pada zaman ghurbah dan keterasingan... pada masa fitnah dan akhir zaman...
Buku di hadapan para pembaca sekarang ini adalah bahan yang sering penulis gunakan untuk menerangkan jalan kebenaran kepada orang-orang baik tersebut, menuntun mereka ke jalan Islam awal, lslamnya Rasulullah -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan para sahabat dan generasi terbaik. Mengingatkan mereka dari jalan-jalan syaithan yang menipu dan kelompok-kelompok yang melenceng dari ajaran kebenaran. Mengajak untuk mensyukuri nikmatNya ’Azza wa Jalla atas keterbangunan dari kelalaian dan kesadaran untuk kembali kepada agama yang hanif dengan tidak menyia-nyiakannya, yakni dengan cara tidak menelantarkan kesadaran tersebut di jalan kelengahan. Semoga penulis dan pembaca yang budiman beserta orang yang berhati hanif dianugerahkan jalan yang lurus oleh Allah, jalan istiqamah di atas agama yang dibawa oleh Rasulullah -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-. Dan penulis beri judul buku ini dengan, "Untukmu yang berjiwa hanif."
Penulis peruntukkan mereka yang mempunyai fitrah yang lurus dan hati yang hanif... Untuk mereka yang sedang dalam pencarian Islam yang hakiki... Untuk mereka yang haus ilmu al-Quran dan Sunnah... Untuk mereka yang sedang menempuh jalan yang ditempuh oleh Salman al-Farisi dan Waraqah bin Naufal... Untuk para pemuda yang hendak menggalah kejayaan dan mendulang masa keemasan...
Sungguh kebenaran itu begitu mahal, hidayah menuju Islam yang hakiki itu merupakan nikmat yang terbesar dalam kehidupan seorang anak manusia, karena ia adalah kebahagian abadi di dunia dan di akhirat. Orang-orang terdahulu telah mengorbankan semua yang ada pada diri mereka untuk meraihnya. Lihatlah Salman, telah meninggalkan kampung halaman, orang tua dan keluarganya, dijual di pasar perbudakan hanya karena untuk dapat menyusul kebenaran di negeri yang berbatu hitam (Yatsrib). Lihatlah suku Aus dan suku Khazraj, rela mengorbankan negeri, harta dan keluarga mereka untuk berbagi dua dengan orang-orang Mekkah dari kalangan Muhajirin. Jalan itu pula yang telah ditempuh oleh para nabi dan rasul, sehingga dipanggil nabi Nuh -‘Alaihissalam- dengan Nuh karena panjangnya tangis beliau, jalan yang dilemparkan Ibrahim -‘Alaihissalam- ke dalam api yang membara, jalan yang dipilih oleh Yahya –‘Alaihissalam sehingga beliau disembelih dan seterusnya.
Buku ini bukanlah bermaksud mengajarkan pembaca, karena ia hanya sebuah upaya yang tidak seberapa, berangkat dari rasa gembira dan haru terhadap mereka yang mempunyai fitrah yang hanif. Buku ini bukan pula diperuntukkan kepada para da'i atau penuntut ilmu, karena ia hanya disajikan apa adanya, masih banyak kekurangan dalam sisi penulisan sebagai karya ilmiah. Akan tetapi, satu harapan penulis semoga buku ini bermanfaat bagi setiap yang membacanya, dan semoga Allah meletakkan penulisan buku ini dalam lembaran kebaikan penulis jauh dari riya' dan sum'ah . Aamiin
Pekanbaru, Musim Haji Bersemi 1427 H
Armen Halim Naro
HAKIKAT KEHIDUPAN
Cerita Kehidupan
Ketika seseorang sudah mulai beranjak dewasa, ketika akalnya mulai sempurna, mulailah ia berpikir tentang hakikat kehidupan, yaitu kehidupan yang sedang ia jalani sebagaimana yang dijalani juga oleh yang lainnya. Bumi ini telah penuh sesak dengan manusia, semuanya silih berganti, ada yang datang dan ada yang pergi, ada yang lahir dan ada yang mati. Jika hari ini berkuasa seorang raja, besok akan berkuasa lagi raja lainnya. Sekiranya hari ini ada pengangkatan seorang menteri atau seorang jenderal, dahulunya kita juga mendengar bahwa di negeri anu telah diangkat pula seorang menteri atau panglima. Yang tetap itu hanya peran manusia dalam kehidupan ini, sedangkan yang silih berganti adalah para pelaku dan yang memeraninya.
Peran kehidupan itu ada yang baik dan ada yang buruk, hanya saja manusia disuruh untuk memilih peran baik bukan peran buruk!
تلِْكأَمُةٌَّقدَْخلََتْلھَاَماَكَسبََتْولَكَمُماَّكَسبَتْمُْولَاَتُسأْلَوُنَعمَاَّكاَنوُاْیعَمْلَوُنَ
"Itu adalah umat yang telah Ialu, baginya apa yang diusahakannya dan bagimu apa yang kamu usahakan, dan kamu tidak akan diminta pertanggungan jawab tentang apa yang telah mereka kerjakan". [QS: al-Baqarah: 141]
Pada masa Nabi Musa -‘Alaihissalam- orang-orang disibukkan dengan kekuasaan Fir'aun, bahan cerita orang terfokus pada kekayaan Qarun dan decak kagum orang hanya pada arsitektur bangunan yang dirancang oleh Haman. Akan tetapi, mana cerita kehidupan itu sekarang ini?! Semuanya sirna dan punah, yang kita temukan hanya cerita pada lembaran kitab-kitab suci. Dan apa yang tersisa dari sejarah kepongahan tersebut?! Yang tersisa hanya bekas-bekasnya saja.
Dari sepanjang perjalanan hidup manusia yang beragam ini, baik pada masa kekuasaan orang-orang yang shalih maupun dalam cengkraman orang-orang thalih, Allah tetap menjaga alam ini, memelihara bumi dan dunia sekitamya, dalam keseimbangan yang berkesinambungan, dalam keindahan yang menakjubkan dan ciptaan yang berjenis dan berpasang-pasangan. Adanya siang dan malam, laki-laki dan perempuan, langit dan bumi, semuanya itu pertanda adanya pencipta.
Salah seorang Badui jahiliah berkata, "Lautan yang berombak dan langit yang berbintang serta bumi yang berlembah, bukankah semua itu menunjukkan adanya Sang Pencipta ?!"
Begitu besar penciptaan langit dan bumi beserta isinya, memberi pengertian kepada kita bahwa Allah menciptakannya bukan sekedar bermain-main. Allah berfirman:
أفََحَسبِتْمُْأنَمَّاَخلَقَنْاَكمُْعبَثَاًوأَنَكَّمُْإلِیَنْاَلاَترُْجعَوُنَ
"Maka apakah kamu mengira, bahwa sesungguhnya Kami menciptakan kamu secara main-main (saja), dan bahwa kamu tidak akan dikembalikan kepada Kami?" [QS. al-Mu’minun: 115]
أیََحْسَبُالإْنِساَنُأَنیتُرَْكَسدًُى
"Apakah manusia mengira, bahwa ia akan dibiarkan begitu saja (tanpa pertanggung jawaban)?" [QS. al-Qiyamah: 36]
ومَاَھذَهِِالْحیَاَةاُلدنُّیْاَإلِاَّلھَوٌْولَعَِبٌوإَِنَّالداَّراَلآْخرِةََلھَِياَلْحیَوَاَنُلوَْكاَنوُایعَلْمَوُنَ
"Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenamya kehidupan, kalau mereka mengetahui". [QS. al-Ankabut: 64]
Sekiranya kehidupan yang penuh keseimbangan ini tidak diciptakan untuk bersenda gurau, lalu untuk apa Allah ciptakan?! Apa tugas manusia ? Apakah mereka hanya sekedar makan, minum, menikah dan memiliki keluarga dan mempererat suku saja ?! Atau ia hidup dalam tidak bertujuan sebagaimana ia mati tidak bertujuan ?! tanah terakhir yang diletakkan oleh orang pada kuburannya, itu pula akhir dari cerita kehidupannya ?! Bagaimana yang kaya dengan kezhalimannya, bagaimana yang berkuasa dengan kediktatorannya?! Apakah mereka dibiarkan begitu saja?! Bagaimana pula si miskin dengan kefakirannya atau rakyat jelata dengan penderitaan mereka?! Kapan mereka dapat kebahagiaan pula?! Bagaimana pula dengan para nabi dan rasul, para ulama dan ahli ibadah yang terusir dan belum memperoleh kebahagiaan?! Sekiranya dunia ini diciptakan dengan keadilan Sang Pencipta, tentu balasan baik atau buruk dengan keadilanNya juga?! Sekiranya dunia ini mampu Dia ciptakan dari asal yang tidak ada, berarti Dia pula mampu untuk membalas kebaikan dengan kebaikan dan keburukan dengan keburukan.
وإَِنكلٌُّلمَّاَّجمَیِعٌلدَّیَنْاَمُحْضرَوُنَوآَیةٌَلھَّمُُالأْرَْضُالمْیَتْةَُأَحیْیَنْاَھاَوأََخرَْجنْاَمنِھْاَحبَاًّفمَنِھُْأَكْلُوُنَ وَجعَلَنْاَفیِھاَجنَاَّتٍمِننَّخیِلٍوأََعنْاَبٍوفََجرَّنْاَفیِھاَمِنْالعْیُوُنِلیِأَكْلُوُامِنثمَرَهِِومَاَعمَلِتَھُْأیَدْیِھمِأفَلَاَ
یَشكْرُوُنَسبُْحاَنَالذَِّيخلََقَالأْزَوْاَجَكلُھَّاَممِاَّتنُبِتُالأْرَْضُومَِنْأنَفُسھِمِْومَمِاَّلاَیعَلْمَوُنَوآَیةٌَلَّھمُاللیَّلُْ
نَسلَْخُمنِھُْالنھَّاَرَفإَذِاَھمُمُّظلْمِوُنَواَلشمَّْسُتَجرِْيلمُِستْقَرٍَّلھَّاَذلَِكَتقَدْیِرُالعْزَیِزِالعْلَیِمِواَلقْمَرَقدَرَّنْاَهُ
منَاَزلَِحتََّىعاَدَكاَلعْرُْجُونِالقْدَیِمِلاَالشمَّْسُینَبغَِيلھَاَأَنتدُرِْكَالقْمَرََولَاَاللیَّْلُساَبِقُالنھَّاَرِوكَُلٌِّيفلََكٍ
یَسبَْحوُنَ
"Dan setiap mereka semuanya akan dikumpukan lagi kepada Kami. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah bumi yang mati. Kami hidupkan bumi itu dan Kami keluarkan dari padanya biji-bijian, maka daripadanya mereka makan. Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan kami pancarkan padanya beberapa mata air, Supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur? Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui. Dan suatu tanda (kekuasaan Allah yang besar) bagi mereka adalah malam; kami tanggalkan siang dari malam itu, maka dengan serta merta mereka berada dalam kegelapan. Dan matahari berjalan ditempat peredarannya. Demikianlah ketetapan yang Maha Perkasa lagi Maha Mengetahui. Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir) kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan dan malampun tidak dapat mendahului siang, dan masing-masing beredar pada garis edamya". [QS. Yasin:32-40]
Dan Allah berfirman:
وَضرََبَلنَاَمثََلاًونََسِيَخلَقْھَُقاَلَمَنْیُحیِْيالعِْظاَمَوَھِيَرمَیِمٌقلُْیُحیْیِھاَالذَِّيأنَشأَھَاَأوَلََّمرَةٍَّوھَوَُ
بكُِلِّخلَْقٍعلَیِمٌالذَِّيجعَلََلكَمُمِّنَالشَّجرَِالأَْخْضرَِناَراًفإَذِاَأنَتمُمنِّھُْتوُقدِوُنَأوَلَیَْسَالذَِّيخلََقَالسمّاَواَتِ
واَلأْرَْضَبقِاَدرٍِعلََىأَنْیَخلُْقَمثِلْھَمُبلََىوَھوُاَلْخلَاَّقُالعْلَیِمُ
“Dan ia membuat perumpamaan bagi Kami; dan dia lupa kepada kejadiannya; ia berkata: "Siapakah yang dapat menghidupkan tulang belulang, yang telah hancur luluh?" Katakanlah: "la akan dihidupkan oleh Tuhan yang menciptakannya kali yang pertama. dan Dia Maha mengetahui tentang segala makhluk. Yaitu Tuhan yang menjadikan untukmu api dari kayu yang hijau, maka tiba-tiba kamu nyalakan (api) dari kayu itu". Dan tidaklah Tuhan yang menciptakan langit dan bumi itu berkuasa menciptakan yang serupa dengan itu? benar, Dia berkuasa. dan Dialah Maha Pencipta lagi Maha Mengetahui". [QS. Yasin: 78-81]
Tujuan Hidup
Rasanya semua orang sepakat dengan tujuan hidup yaitu mencari dan menggapai kebahagiaan. Semua manusia ingin hidupnya bahagia, dan semua tahu bahwa untuk mencapai kebahagiaan itu perlu pengorbanan. Hanya saja, manusia banyak salah mencari jalan kebahagiaan, banyak yang memilih sebuah jalan hidup yang ia sangka di sana ada pantai kebahagiaan, padahal itu adalah jurang kebinasaan, itu hanya sebatas fatamorgana kebahagiaan, bukan kebahagiaan yang hakiki. Celakanya lagi, semakin dilalui jalan fatamorgana tersebut semakin jauh pula ia dari jalan kebahagiaan hakiki, kecuali ia surut kembali ke pangkal jalan.
Banyak orang menyangka kebahagiaan ada pada harta, karenanya ia berupaya mencari sumber-sumbernya dengan berletih dan berpeluh. Setelah ia peroleh harta tersebut, hatinya tetap gundah dan perasaan masih gelisah!! Ada saja yang membuat hati itu gelisah, kadang-kadang munculnya dari anak-anaknya, kadang-kadang dari istrinya atau tidak jarang juga datang dari usaha itu sendiri.
Banyak pula yang menyangka bahwa pangkat dan kekuasaan adalah kebahagiaan. Ketika dilihat mereka yang berkuasa dan bertahta, secara lahir mereka begitu tampak bahagia hidupnya! Pergi dijemput pulang diantar, ketika ia berkehendak tinggal memesan, perintahnya tidak ada yang menghalangi!! Akan tetapi setelah diselidiki lebih mendalam, kita masuk menembus dinding istananya, akan terdengar keluhkesahnya, dalam harta yang banyak itu terdapat jiwa yang rapuh.
Jadi apa kebahagiaan yang sebenarnya? Apa kebahagiaan sejati yang seharusnya dicari oleh manusia? Siapa yang sebenarnya orang yang berbahagia? Apa sarana untuk mencapainya? Manusia diciptakan oleh Allah , bukan mereka yang menciptakan diri mereka, tentu yang paling tahu tentang seluk-beluk manusia termasuk tentang sebab bahagia atau sebab sengsara adalah Dia subhanahu wa ta' ala bukan manusia. Sama halnya dengan sebuah produk, sekiranya hendak mengetahui hakikat produk tersebut tentu ditanyakan kepada pembuatnya, bukan kepada produk itu sendiri. Allah berfirman:
ألَاَیعَلْمَُمَنْخلََقَوھَوَُاللَّطیِفاُلْخبَیِرُ
"Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu lahirkan atau rahasiakan)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui". [QS. at-Mulk:14]
Ketika Al-Quran ditadabburi dan syariat Islam dikaji, maka kita dapat menyimpulkan bahwa kebahagiaan yang hakiki adalah dengan mengaplikasikan penghambaan diri kepada Allah ... Orang yang bahagia adalah orang yang telah berhasil menjadi hamba Allah ... Sarana kebahagiaan adalah semua sarana yang telah disediakan olehNya dalam meniti jalan penghambaan diri kepada Allah.
Karena penghambaan diri inilah sebab diciptakannya manusia dan jin.. karena ‘ubudiyah kepada Allah ditegakkannya langit dan dibentangkannya bumi... karena penghambaan inilah diturunkannya kitab dan diutusnya rasul... Allah berfirman:
ومَاَخلَقَْتاُلْجِنَّواَلإْنِسَإلِاَّلیِعَبْدُوُنِ
"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku". [QS.az-Zariat :56]
Orang yang berpaling dari penghambaan diri ini dialah orang yang sengsara, Allah berfirman:
ومََنْأَعرَْضَعَنذكِرِْيفإَِنَّلھَُمعَیِشةًَضنَكاًونََحْشرُهُُیوَمَْالقْیِاَمةَأَِعمَْى
"Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta". [QS. Thaha: 124]
لنِفَتْنِھَمُْفیِھِومََنیعُرِْضْعَنذكِرِْربَھِِّیَسلْكُھُْعذَاَباًصعَدَاً
"Untuk Kami beri cobaan kepada mereka dan barang-siapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang amat berat". [QS. al-Jin:17]
Allah telah menentukan taqdir semua makhluk dan tidak ada yang dapat merubah taqdir selainNya. Allah tentukan kebaikan dan keburukan, kebahagiaan dan kesengsaraan, kaya dan miskin, laki-laki dan perempuan. Manusia tidak bisa melawannya, sekiranya Allah telah menentukan kemiskinan pada seseorang, maka tidak ada yang mengkayakannya, ketika Allah telah menentukan kepadanya kesengsaraan, maka tidak ada satupun yang dapat membahagiakannya.
Kalaulah begitu, kemana manusia hendak lari?! Kemana manusia hendak berteduh dan bernaung dari taqdir yang ia tidak memiliki daya dan upaya untuk merubahnya kecuali atas izinNya?! Kemana manusia hendak bersandar dari sesuatu urusan yang tidak di tangannya?!
Manusia yang berakal tentu akan bernaung kepada Zat yang telah mentaqdirkan segala sesuatu, dalam naungan-Nya ia akan merasakan ketenangan, dalam menyandarkan diri kepadaNya akan ia peroleh kebahagiaan, dalam kepasrahan diri kepadaNya akan sirna segala kecemasan dan kesedihan. Bagaimana ia tidak bahagia, bukankah jejak-jejak kasih sayang Allah begitu tampak dalam taqdir kehidupannya?! Bagaimana ia tidak tenang, bukankah semua taqdir yang ia suka atau yang ia benci, merupakan sarana untuk menggapai ridho dan cintaNya?
Dari mana kesedihan masuk ke dalam dirinya atau rasa takut menyelimutinya, karena sebelumnya ia telah diajarkan tentang cara menghadapinya, bersabar ketika sengsara dan beryukur ketika bahagia, sehingga sengsaranya tidak membawa kepada keputusasaan dan senangnya tidak membawanya kepada kesombongan dan kecongkakan.
Syaikhul Islam Ibnu Taymiah mengungkapkan hakikat tersebut yang berlaku pada dirinya, beliau berkata:
"Apa yang dapat dilakukan oleh musuh-musuhku ?! Surga ada di dadaku, kemanapun dan dimanapun aku, ia tetap bersamaku!! Sekiranya mereka memenjarakanku, maka penjara bagiku adalah kholwat. Sekiranya mereka mengusirku, usiran itu bagiku menjadi tamasya. Sekiranya mereka membunuhku, terbunuhnya diriku adalah syahid di jalan Allah".
Bahkan Nabi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- sebagai manusia yang paling sempurna ubudiahnya kepada Allah, ketika Allah telah mentaqdirkan sesuatu yang berat dalam dakwah beliau, yaitu dua orang yang selama ini sebagai pembela dan penopang dakwah beliau, Khadijah -radhiyallohu ‘anha- istri beliau dan Abu Thalib paman beliau, telah meninggal dunia. Membuat kaum Quraisy meningkatkan permusuhan mereka kepada beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan memberi ultimatum untuk menghentikan dakwah beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-, bahkan telah berani pula mengusir beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dari Mekkah.
Berangkatlah beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- ke Thaif, berharap pembelaan dan bantuan. Kiranya bukan pembelaan yang beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dapat dan bukan bantuan yang beliau peroleh, tapi malah cacian dan cemoohan, bahkan usiran oleh anak-anak dan wanita-wanita di sana, sedangkan beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- seorang utusan Allah, Allah yang memiliki langit dan bumi. Mereka telah melukai, melempar beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dengan batu hingga luka kaki beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-, sebagaimana sebelumnya mereka telah melukai hati dan perasaannya. Belum sampai di situ malaikat gunung Akhsyabain meminta izin kepadanya untuk menimpakan gunung tersebut kepada mereka, sebagai tanda bahwa beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bukan sendirian.
Bertambah sedih beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam-, karena yang beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- inginkan bukanlah balas dendam atau kepuasan diri, yang beliau -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- inginkan hanya menampakkan bukti penghambaan diri kepadaNya, hal itu nampak betul dari do’a beliau panjatkan kepadaNya:
"Ya Allah , kepadaMulah daku keluhkan lemahnya kekuatanku, sedikitnya hilafku, hinanya diriku dimata manusia. Wahai Zat yang paling Pemurah ! Engkau-lah Rabb orang-orang yang lemah, dan Engkaulah Rabbku! Kepada siapa Engkau hendak titipkan diriku?! Apakah kepada orang yang jauh yang tidak peduli dengan diriku atau engkau hendak serahkan perkara diriku kepada musuh?! Meskipun begitu, selagi Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli!! Akan tetapi pengampunan-Mu lebih luas bagiku, aku berlindung dengan cahaya wajahMu -yang telah menerangi semua kegelapan, dengannya berjalan perkara dunia dan akhirat- dari turunnya murkaMu kepadaku atau jatuh kepadaku kebencianMu, hanya kepadaMu pengaduanku sampai Engkau ridho, dan tidak ada daya dan upaya kecuali denganMu ".
Al-Quran menyebutkan bahwa orang berbahagia adalah orang yang menjalankan perintah Allah, Allah berfirman:
قدَْأفَلَْحَالمُْؤمْنِوُنَالذَّیِنَھمُْفِيصلَاَتھِمِْخاَشعِوُنَواَلذَّیِنَھمُْعَنِاللغَّوِْمعُرِْضوُنَواَلذَّیِنَھمُْللِزكَّاَة
فاَعلِوُنَواَلذَّیِنَھمُْلفِرُوُجھِمِْحاَفِظوُنَإلِاَّعلََىأزَوْاَجھِمِْأوْماَملَكََتْأیَمْاَنھُمُْفإَنِھَّمُْغیَرُْملَوُمیِنَفََنِ
ابتْغََىورَاَءذلَِكَفأَوُلْئَِكَھمُُالعْاَدوُنَواَلذَّیِنَھمُْلأِمَاَناَتھِمِْوَعھَدِْھمِْراَعوُنَواَلذَّیِنَھمُْعلََىصلَوَاَتِمِْ
یُحاَفِظوُنَ
"Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sholatnya. Dan orang-orang yang menjauhkan dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna. Dan orang-orang yang menunaikan zakat. Dan orang-orang yang menjaga kernaluannya. Kecuali terhadap isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki; maka sesungguhnya mereka dalam hal ini tiada tercela. Barangsiapa mencari yang di balik itu, maka mereka itulah orang-orang yang melampaui Batas. Dan orang-orang yang mernelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan janjinya. Dan orang-orang yang memelihara sholatnya". [QS. al-Mukminun: 1 -9]
Dan Allah berfirman:
المذلَِكاَلكْتِاَبُلاَریَْبَفیِھِھدًُىللِّمْتُقَّیِنَالذَّیِنَیؤُمْنُِونَباِلغْیَْبِویَقُیِموُناَلصَّلاةَومَمِاَّرزَقَنْاَھمُْیُفقِوُنَ
والذَّیِنَیؤُمْنِوُنَبمِاَأنُزلَِإلِیَْكَومَاَأنُزلَِمِنقبَلِْكَوبَاِلآخرِةَِھمُْیوُقنِوُنَأوُلَْئِكَعلََىھدًُىمِّنربَّھِّمِْوَوُلَْئِكَ
ھمُُالمْفُلِْحُونَ
"Alif laam miim. Kitab (Al-Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertaqwa, (yaitu) mereka yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat, dan menafkahkan sebahagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka. Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka Itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Tuhan mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung". [QS. al-Baqarah: 1-5]
Sebaliknya Allah menyebutkan bahwa orang yang melanggar perintahNya atau merekalah orang yang merugi, Allah berfirman:
واَلذَّیِنَآمنَوُاباِلبْاَطلِِوكَفَرَوُاباِللھَِّأوُلْئَِكَھمُُالْخاَسرِوُنَ
"Dan orang-orang yang percaya kepada yang batil dan ingkar kepada Allah, mereka itulah orang-orang yang merugi". [QS. al-Ankabut: 52]
الذَّیِنَینَقُضوُنَعھَدَْاللھَِّمِنبعَدِْمیِثاَقھِِویَقَْطعَوُنَماَأمَرََاللھَُّبھِِأَنیوُصلََویَفُْسدِوُنَفِيالأرَْضِ
أوُلَئِكَھمُُالْخاَسرِوُنَ
"(yaitu) orang-orang yang melanggar perjanjian Allah sesudah perjanjian itu teguh, dan memutuskan apa yang diperintahkan Allah (kepada mereka) untuk menghubungkannya dan membuat kerusakan di muka bumi. Mereka itulah orang-orang yang rugi". [QS. al-Baqarah : 27]
Beban Amanah
Allah menciptakan manusia pada kehidupan dunia ini untuk sebuah tujuan yang sangat mulia. Dia tundukkan semua alam untuk mereka, darat dan lautan, bumi dan langit, gunung dan lembah, binatang dan tumbuhan. Itu semua agar manusia siap untuk menunaikan tujuan tersebut. Kiranya tujuan sangat besar, tugas sangat sukar dan amanah yang akan dipikul sangat berat. Pantas saja, sebelumnya tidak ada yang mau memikul amanah tersebut dari langit yang tinggi, gunung yang menjulang atau bumi yang terbentang, semuanya menyampaikan
keengganannya, kecuali hanya manusia, dan mereka itu bodoh dan zhalim. Allah menceritakan tentang perihal tersebut:
إنِاَّعرََضنْاَالأْمَاَنةََعلََىالسمَّاَواَتِواَلأْرَْضِواَلْجبِاَلِفأَبَیَْنَأَنیَحمْلِنْھَاَوأََشفْقَْنَمنِھْاَوَحمَلَھَاَالإنِساَنُ
إنِھَُّكاَنَظلَوُماًجھَوُلاً
"Sesungguhnya Kami telah sampaikan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianatinya, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya manusia itu amat zalim dan amat bodoh ". [QS. al-Ahzab: 72]
Apa gerangan amanah yang telah diikrarkan itu? Mengapa manusia disifati dengan bodoh dan zhalim? Amanah itu adalah Islam dan peraturanNya, amanah itu adalah janji kepatuhan kepada Allah.
Ibnu Katsir berkata: dalam merangkum perselesihan ulama dalam hal itu, "Semua pendapat (tentang makna amanah-pen) tidak menafikan yang lainnya, bahkan ia saling menguatkan dan semuanya mengacu kepada taklif (beban) dan patuh kepada perintah dan larangan dengan segala konsekuensinya, yaitu sekiranya ia tunaikan akan diberi pahala dan jika lalai ia dihukum. Lalu diterima oleh manusia dengan segala kelemahan, kebodohan dan kezhaliman kecuali yang diberi taufiq oleh Allah. Kepada-Nyalah minta tolong".[Tafsir Ibnu Katsir 6/489]
Muqatil bin Hayyan berkata : "Ketika Allah menciptakan makhluk, Dia kumpulkan antara manusia dan jin, langit, bumi dan gunung. Lalu Dia mulai dengan langit, ditawarkan kepadanya amanah yaitu ketaatan, Dia berkata, "Apakah kalian mau mengemban amanah, akan Kuberi kemuliaan, keutamaan dan surga ?" Langit berkata, "Wahai Rabb, kami tidak mampu memikul perkara ini, kami tidak memiliki kekuatan, akan tetapi kami patuh kepadaMu".
Lalu amanah tersebut ditawarkan kepada bumi, Dia berkata, "Apakah engkau akan mengemban amanah dan menerimanya dariKu, akan Aku anugerahkan keutamaan dan kemuliaan?" Bumi berkata, "Kami tidak kuat dan kami tidak mampu, wahai Rabb! Akan tetapi, kami selalu mendengar dan mematuhiMu, kami tidak akan berlaku maksiat pada semua perintahMu".
Lalu ditawarkan kepada Adam : lalu Dia berkata, "Apakah engkau slap mengemban amanah dan mau menjaga dengan sebenarnya?" Berkatalah Adam, "Apa ganjaranku di sisiMu?" Allah berkata, "Wahai Adam, sekiranya engkau berbuat baik, engkau patuh dan engkau jaga amanah itu, maka engkau akan memperoleh kemuliaan, keutamaan dan pahala yang baik di surga. Sebaliknya, sekiranya engkau berlaku maksiat dan tidak menjaganya dengan baik serta engkau berlaku buruk, maka Aku akan men yiksamu dan Aku masukkan ke dalam nerakaKu ". Lalu Adam berkata, "Aku telah terima", maka diembanlah amanat itu olehnya. Lalu Allah berfirman, “Aku telah embankan amanah itu kepadamu".[Tafsir ibnu katsir, 6/489-490]
Itulah perjanjian yang Allah ambil kepada manusia, tatkala mereka masih di dalam sulbi Adam, yaitu pengakuan hamba bahwa ia telah ber-ilahkan Allah Yang Esa dan tidak berbuat syirik. Allah berfiman:
وإَذِْأَخذََربَُّكَمِنبنَِيآدمََمِنظھُوُرھِمِْذرُیِّتَّھَمُْوأََشھْدََھمُْعلََىأنَفُسھِمِْألََسْتَبرِبَكِّمُْقاَلوُاْبلََىشھَدِْاَأَن
تقَوُلوُاْیوَمَْالقْیِاَمةَِإنِاَّكنُاَّعَنْھذَاَغاَفلِیِنَ
"Dan (ingatlah), ketika Rabbmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Rabbmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Rabb kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Rabb)". [QS. al A'raf: 172]
Ahsanu Amalan
Al-Quran menyebutkan bahwa penciptaan alam, hidup dan mati untuk menguji manusia mana yang lebih baik amalnya. Itulah yang disebut dengan "ahsanu `amala". Allah berfirman;
الذَِّيخلََقَالمْوَْتَواَلْحیَاَةَلیِبَلْوُكَمُْأیَكُّمُأَْحْسَنُعمََلاًوَھوُاَلعْزَیِزُالغْفَُورُ
"Yang menjadikan mati dan hidup, supaya dia menguji kamu, siapa di antara kamu yang lebih baik amalnya, dan Dia Maha Perkasa Iagi Maha Pengampun". [QS. al-Mulk: 2]
إنِاَّجعَلَنْاَماَعلََىالأْرَْضِزیِنةًَلھَّاَلنِبَلْوُھَمُْأیَھُّمُأَْحْسَنُعمََلاً
"Sesungguhnya Kami telah menjadikan apa yang di bumi sebagai perhiasan baginya, agar Kami menguji mereka siapakah di antara mereka yang terbaik perbuatannya". [QS.al-Kahfi: 7]
لیَِجزْیِھَمُُاللھَُّأَحْسَنَماَعمَلِوُاویَزَیِدھَمُمِّنفَضلْھِِواَللھَُّیرَزُْقُمَنیَشاَءُبغِیَرِْحِساَبٍ
"(Mereka mengerjakan yang demikian itu) supaya Allah memberikan balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka, dan Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendakiNya tanpa batas". [QS. an-Nur :38]
Fudhail bin ' Iyadh , berkata "Ahsanu amala, adalah amalan yang paling ikhlas dan yang paling benar".
Jadi, dari semua bentuk penghambaan diri yang paling sempurna adalah penghambaan diri yang berdasarkan ahsanu amala. Ia berdiri dengan 2 syarat, yaitu:
1. Hendaklah 'ubudiah kepada Allah disertakan keikhlasan kepadaNya.
2. Hendaklah 'ubudiah tersebut sesuai dengan syariat.
Sekiranya salah satu syarat ini tidak dipenuhi, maka penghambaan diri hanya akuan saja, ikhlas saja kepadaNya tanpa mengikuti syariat, ia tertolak. Sebagaimana sesuai saja tanpa ikhlas, ia juga tertolak. Jadi, ikhlas dan mengikuti syariat adalah dua sayap ibadah. Tidak akan bisa terbang seseorang dalam penghambaan dirinya kecuali dengan keduanya sekaligus.
Kesimpulan
Bahwa tujuan hidup adalah mencari kebahagiaan dan jalan kebahagiaan adalah dengan menghambakan diri kepada Allah. Penghambaan diri itulah tauhid dan Islam, itulah amanah yang harus dipikul oleh manusia dan itulah peanjian yang telah disepakati. Tauhid dan Islam tidak akan membuahkan amal shalih kecuali dengan ahsanu 'amala yaitu ikhlas dan mutaba'ah (sesuai dengan syariat).
GERBANG HIDAYAH
Fitrah Bekal Kebenaran
Fitrah adalah sesuatu yang dirakit oleh Allah pada diri manusia, dari sananya setiap jiwa diberi fitrah sebagai bekal baginya untuk mencari kebenaran. Karena Allah mengetahui bahwa manusia itu lemah pada semua ini, membutuhkan Khaliqnya, selalu bertopang kepadaNya dalam menjalani kehidupan ini.
- Fitrah itu adalah Islam yaitu rasa penyerahan diri kepada Dzat yang Maha Kuasa...
- Fitrah itu sebuah perasaan kerinduan terhadap kebenaran...
- Fitrah itu sebuah keinginan yang mendalam untuk menjalankan perintah Allah dan menjauhi laranganNya...
Semua perasaan tersebut sekiranya hendak dilupakan atau berusaha dijauhkan dari ingatan, tetap akan melahirkan kehampaan dan kesunyian, akan datang perasaan cemas dan was-was, seakan-akan ada sesuatu yang kurang dan terasa ada sesuatu yang hilang.
Seringkali orang yang seperti ini -setelah pergi semua orang, duduklah ia dalam kesendiriannya, merasakan apa yang kurang pada dirinya. Ia perhatikan sekeliling dirinya, rumah yang ia bangun telah tepat rasanya memilih arsitek yang ahli, hingga pada pilihan paduan warna rumahnya. Ia perhatikan kendaraannya, rasanya tiga mobil yang sekarang parkir di garasi rumahnya sudah cukup membuktikan bahwa ia tidak kurang dalam hal itu. Lalu ia perhatikan dirinya sendiri, ia lihat bajunya yang baru dipesan dari seorang perancang busana terkenal. Ia rasakan kesehatannya yang baru cek-up ke dokter pribadinya, semuanya sempurna dan semuanya tidak ada yang kurang.
Tapi, perasaan apa yang itu yang telah menyelinap dalam dirinya?! Selidik punya selidik, kiranya ada perasaan sunyi yang harus diriuhkan, ada perasaan hampa yang harus diisi, ada perasaan kosong yang harus diramaikan. Dalam agama perasaan itu yang disebut fitrah Allah yang telah diletakkan dalam kalbu manusia. Perasaan yang tidak bisa dibuang. Allah berfirman:
فِطرْةََاللھَِّالتَِّيفَطرََالناَّسَعلَیَھْاَلاَتبَدْیِلَلِخلَْقِاللھَِّذلَِكَالدیِّنُالقْیَمُِّ
"(Berpegang teguhlah dengan) fitrah Allah yang telah dirakit manusia dengannya, tidak ada perubahan pada penciptaan Allah. Itulah agama yang lurus ". [QS. ar-Rum:30]
Khatthabi berkata, "Setiap anak yang dilahirkan pada asal penciptaannya di atas fitrah, yaitu tabiat yang lurus dan perilaku yang selalu siap menerima kebenaran. Sekiranya dibiarkan begitu saja, niscaya fitrah itu akan tetap tumbuh. Karena kebenaran agama ini dibenarkan oleh akal, melencengnya banyak orang karena buruknya taqlid dan rusaknya lingkungan, sekiranya ia lepas dan selamat dari hal itu, niscaya ia tidak memiliki keyakinan melainkan keyakinan Islam--".[Baghawi, Ma’alimuttanzil, tahqiq; M. Abdullah An-Namir, Cet IV, 1417, Dar Thaybah, Riyadh]
Dalam hadits diriwayatkan:
عنأبيھریرةرضياللهعنھقال،قالرسولاللهصلىاللهعلھُوسلم :كلمولودیولدعلىالفطرة
فأبواهیھودانھأوینصرانھأویمجسانھكمثلالبھیمةتنتجالبھیمةھلترفیھاجدعاء
Dari Abu Hurairah berkata, "Telah bersabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, "Setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, maka kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, atau Nashrani atau Majusi, bagaikan binatang yang melahirkan binatang, apakah engkau temui yang cacat hidungnya (berbeda dengan induknya) ?" (HR. Bukhari dan Muslim)
Ibnu Hajar berkata, "Perkataan yang masyhur bahwa yang dimaksud dengan fitrah adalah Islam". [Fathul Bari, 3/248]
Ibnu Abdil Barr berkata "(Makna) itulah yang dikenal di kalangan salaf. Dan telah sepakat ulama tafsir bahwa yang dimaksud dengan fitrah Allah adalah Islam."
Fitrah ini yang dimaksud oleh Nabi sebagai keinginan untuk menganut ajaran yang hanif, lurus tidak ada penyelewengan, bersih dengan tauhid dan tidak kotori oleh debu syirik.
عنعیاضبنحمارالمجاشعيأنرسولاللهصلىاللهعلیھوسلمقالذاتیومفيخطبتھ :ألاإن
ربيأمرنيأنأعلمكمماجھلتممماعلمنيیوميھذاكلمالنحلتھعبداحلالوأنيخلقتعباديحنفاء
كلھموإنھمأتتھمالشیاطینفاجتالتھمعندینھم
Dari 'Iyadh bin Himar Al-Mujasyi'i bahwasanya Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berkhutbah suatu hari dan berkata, "Ketahuilah! Rabbku memerintahkanku hari ini untuk mengajarkan kepada kalian apa yang kalian tidak ketahui, (dan bahwasanya Dia berkata), "Setiap harta yang aku berikan kepada seorang hamba halal, dan Aku ciptakan semua hambaku dalam keadaan hanif, hanya syaiakan mendatangi mereka lalu merenggut mereka dari agama mereka". (HR. Muslim)
Dan hanif tersebut adalah ajaran semua Nabi dan rasul, ituiah ajaran hanifan musliman (lurus dan menyerahkan diri).
Allah berfirman;
ماَكاَنَإبِرْاَھیِمُیھَوُدیِاًّوَلاَنَصرْاَنیِاًّولَكَِنكاَنَحنَیِفاًمُّسلْمِاًومَاَكاَنَمِنَالمُْشرْكِیِنَ
"Ibrahim bukan seorang Yahudi dan bukan (pula) seorang Nasrani, akan tetapi dia adalah seorang yang lurus lagi berserah diri (kepada Allah) dan sekali-kali bukanlah dia termasuk golongan orang-orang musyrik". [QS.Ali Imran:67]
Allah berfirman;
ومََنْأَحْسَنُدیِناًممَِّّنأَْسلْمََوَجھْھَُللهوھَوَُمُحْسِنٌواتبَّعََملِةَّإَبِرْاَھیِمَحنَیِفاًواَتَّخذََاللھُّإبِرْاَھیِمَخلیِلاً
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah? Sedang diapun mengerjakan kebaikan dan mengikuti agama Ibrahim yang lurus? Dan Allah mengambil Ibrahim menjadi kesayanganNya ". [QS.an-Nisa: 125]
Fitrah inilah yang harus selalu disiram oleh hamba dengan ilmu dan selalu ia pupuk dengan hikmah, sampai ia memperoleh hasilnya, ia tuai hasil panennya dan memetik buahnya pada setiap masa. Jika tidak, maka fitrah tidak akan berguna, memperbaiki dinamo yang rusak dalam mesin atau umpama batang yang tumbuh dan tidak berbuah, atau seumpama tunggul besar yang tidak bermanfaat habis dimakan oleh masa.
Fitrah yang diberikan oleh Allah kepada seorang hamba bagaikan mata yang sehat. Akan tetapi, apa manfaat mata meskipun ia sehat, tetapi tidak ada cahaya yang menyertainya. Apa guna mata dalam kegelapan malam?! Maka cahaya yang diperlukan oleh fitrah itu dialah Islam yang diturunkan oleh Allah kepada Nabi Muhammad shallallahu'alaihi wa sallam. Fitrah yang belum disinari cahaya Al-Quran dan Sunnah, maka ia masih dalam kegelapan, ia masih belum bisa melihat, ia masih dalam lembah kebodohan. Itulah yang disebut oleh Allah dalam sebuah hadits:
"Wahai anak Adam, semua kalian sesat kecuali orang yang Kuberi hidayah, maka mintalah hidayah kepadaKu, niscaya Aku beri hidayah!". (HR.Bukhari dan Muslim)
Itulah yang dimaksud oleh Allah tentang perihal NabiNya;
ووََجدََكَضاَلاًّفھَدََى
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk". [QS. ad-Dhuha: 7]
Dalam hadits "setiap anak dilahirkan atas fitrah" , bahwa seseorang masih dalam kesesatan dan melenceng dari jalan kebenaran serta menjadi Yahudi atau Nashrani, sekalipun modal fitrah masih ia miliki. Hal ini menunjukkan bahwa fitrah saja belum cukup untuk meraih kebenaran. Maka, berhati-hatilah bagi orang yang hendak mencari kebenaran dengan menjadikan fitrahnya sebagai timbangan kebenaran. Mengambil suatu ajaran jika sesuai dengan hatinya dan meninggalkan sebuah pemahaman karena tidak sesuai dengan hatinya.
Ibnu Rajab berkata "Sesungguhnya Allah menciptakan anak Adam dan memfitrahkan mereka dalam menerima Islam, membuat mereka cenderung kepadanya dan memudahkan mereka untuk menerimanya dengan keinginan yang kuat. Akan tetapi, haruslah seorang hamba mempelajari Islam sambil berupaya merealisasikannya. Karena ia dalam kebodohan sebelum belajar dan tidak mengetahui apa-apa, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
واَللھُّأَخرَْجكَمُمِّنبُطوُنِأمُھَّاَتكِمُْلاَتعَلْمَوُنَشیَئْاً
"Dialah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, tidak mengetahui suatu apapun" [QS.an-Nahal:78]
Dan Allah berfirman kepada NabiNya:
ووََجدََكَضاَلاًّفھَدََى
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk". [QS. ad-Dhuha:7]
Maksudnya Dia dapatkan engkau tidak mengetahui kitab dan hikmah, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
وكَذَلَِكأََوْحیَنْاَإلِیَْكَروُحاًمِّنْأمَرْنِاَماَكنُتَتدَرِْيماَالكْتِاَبُولَاَالإْیِماَنُ
"Begitulah Kami wahyukan kepadamu ruh dari perkara Kami, sebelumnya engkau tidak mengetahui apa itu kitab dan juga tidak mengetahui iman". [QS.as-Syura:52].
Manusia hakikatnya difitrahkan untuk menerima kebenaran. Tatkala Allah memberi hidayah kepada seseorang, la mudahkan baginya seseorang yang mengajarkan kebenaran kepadanya. Berarti ia telah memperoleh hidayah perbuatan, sebelumnya ia telah memperoleh hidayah kekuatan. Jika Allah ingin menelantarkannya, maka Allah utus orang yang akan merubah fitrahnya".
[Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 25/11, tahqiq: Mahir Yasin Fahal]
Hidayah kekuatan itu adalah fitrah yang Allah letakkan dalam hatinya sebagai kekuatan mencari hidayah dan hidayah perbuatan adalah Islam itu sendiri. Jika ia pergunakan dengan baik hidayah kekuatan, maka Allah akan anugerahkan kepadanya hidayah kedua yaitu hidayah ke dalam Islam yang benar.
Bangun dari Kelalaian
اھدنَِاالصرِّاَطَالمُستقَیِمَ صرِاَطَالذَّیِنَأنَعمَتَعلَیَھمِْ ... begitulah seorang muslim meiafadzkan kalimat perkalimat dari dua ayat dalam surat al-Fatihah tersebut. Artinya, "Tunjukilah kami jalan yang lurus, jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat...", ia membacanya pada setiap rakaat dalam penghambaan dirinya kepada Allah. Begitu pentingnya hidayah itu sehingga ia harus memohon minimal tujuh belas kali dalam satu hari satu malam. Karena ia tahu bahwa ia sangat membutuhkan hidayah sejumlah napas yang keluar-masuk tubuhnya. Dan sebagaimana tubuhnya membutuhkan makanan dan minuman, hatinya juga membutuhkan hidayah sebagai makanan dan minumannya.
Hidayah adalah nikmat yang di anugerahkan Allah kepada seorang hamba dari bilangan nikmat yang ada. Hidayah adalah sentuhan lembut Ilahi untuk mengantarkannya kepada pantai kebahagiaan...
Ia merupakan rengkuhan Ilahi agar tidak terjatuh ke dalam jurang kesalahan dan kesengsaraan...
Ia merupakan pengalihan kemauan seorang hamba yang penuh nafsu dan hawa kepada kehendak Dzat Yang Maha Kuasa, lalu Dia tidak membiarkannya sendirian dalam mencari kebenaran, akan tetapi tangan-Nya yang menuntunnya dan mengambil ubun-ubunnya kepada arah yang la ridhai...
Orang yang baru timbul kesadarannya dalam menerima Islam, seperti orang yang terbangun dari tidur panjangnya atau seperti prang yang sadar dari mabuknya.
Ibnul Qayyim berkata: "Kesadaran merupakan kunci pertama kebaikan, sesungguhnya orang yang lalai dalam mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Rabbnya dan lupa dengan bekal hari kepulangannya, seperti orang yang tidur bahkan ia lebih parah. Orang yang berakal pasti mengerti janji dan ancaman Allah , paham balasan dalam melaksanakan perintah dan larangan, serta paham hukum dan kewajibannya. Akan tetapi hilangnya kesadaran dan adanya kelalaian - telah menghalangi seorang untuk memahami hakikat dan membuatnya lemah dalam mengejar ketertinggalan. Itulah kelalaian yang selama ini membuat ia belum sadarkan diri dalam pingsan yang berkepanjangan, condang dan empati dengan dorongan syahwat, hingga kecenderungannya menguat dan ia terbenam dalam lumpur syahwat. Iapun dikuasai oleh tradisi dan pengaruh orang-orang yang tidak punya pekerjaan, telah meniru orang-orang yang menyia-nyiakan waktu. Dalam ketidaksadarannya bersama orang-orang yang pingsan dan dalam mabuknya bersama orangorang yang mabuk. Ketika mata hatinya telah terbuka, dengan satu pekikan dari suara kebenaran, iapun sadar dan barulah terasa baginya seruan Allah. Jika demikian yang terjadi pada seorang hamba, maka hal itu pertanda baik...berarti jejak-jejak kasih sayang Allah sudah mulai tampak di halaman kalbunya, awan mahabbah dan kabut cinta Allah sedang datang berarak-arak menuju langit hatinya. Bersegeralah ia mengambil tempayan untuk menampung hujan hidayah, jangan biarkan ia berlalu dan meninggalkannya dalam kesendirian menyebabkan ia harus menunggu dan menunggu pada sebuah penantian yang tidak berkesudahan...
Lokomotif Hidayah
Banyak cara Allah agar membuat sprang hamba kembali kepada kebenaran, pulang ke kampung halaman setelah lama berpetualang melintasi lembah maksiat dan membelah padang pasir pengingkaran... sudah begitu jauh perjalanannya, kiranya fitrah juga yang dapat menjanjikan kebahagiaan yang hakiki bukan yang lainnya... kembali kepada Allah.
Ada seorang parewa -[Parewa adalah bahasa minang yaitu pemuda yang hidupnya bergeiimang dosa dan maksiat, akan tetapi masih memiliki iman dan rasa hormat kepada orang yang beragama]- yang telah banyak melakukan dosa, diantaranya dia telah banyak membunuh orang sampai jumlah 99 orang. Tiba-tiba rasa kerinduan kepada kebenaran menghentak-hentak ubunnya, ada sesuatu yang hilang dalam kehidupannya. Lalu pergilah ia bertanya kepada orang-orang tentang siapa orang yang bisa mencari jalan keluar bagi permasalahannya. Masyarakat menunjuk seorang ahli ibadah dan disarankan untuk bertanya kepadanya. Lalu ia bertanya perihal dosa yang ia lakukan, apakah masih terbuka baginya pintu taubat dan hidayah?, ahli ibadah itu menjawab, "Tidak". Mendengar jawaban itu, sang pemuda marah, maka ia lengkapkan menjadi seratus. Sekalipun dosa telah ia lakukan kembali, maksiat yang ia telah akui sebagai kesalahan sekarang terulang lagi, seperti luka lama yang telah tidak lagi bertaut. Meskipun demikian tidak membuatnya putus asa, lalu ia kembali mencari untuk kedua kalinya akan ahli ilmu yang benar-benar berilmu. Ditunjukkanlah kepadanya seorang yang berilmu. Ia berkata, "Tuan Guru, hamba telah membunuh 100 orang, yang terakhir bukan sembarangan orang, ahli ibadah yang di mata Allah ia jauh lebih mulia dari 99 orang yang telah hamba bunuh sebelumnya. Apakah pintu taubat itu masih terbuka bagiku?". la menjawab, "Siapa yang dapat menghalangi antaramu dengari taubat?". la angkat kepalanya seakan tidak percaya dari jawaban tersebut, berbinar wajahnya, menetes air matanya karena bahagia yang tidak tertanggungkan... lalu ia rangkul sang alim tersebut. Selesai sudah pengembaraannya...saatnya ia menghirup hari-hari bahagia, tidak akan ia ulang kembali tindakan-tindakan yang telah meletihkan dan menyengsarakannya. "Akan tetapi, berangkatlah engkau ke negeri yang jauh, tempat orang-orang yang shalih tinggal, jangan kembali lagi ke negerimu, karena negerimu, negeri yang tidak baik", lanjut sang Alim. Iapun berangkat, bersamaan dengan langkah kakinya meninggalkan kampung halamannya bersamaan itu pula ia telah berazam dalam lubuk hatinya untuk hijrah dari semua amal buruk menuju amal baik.[HR Bukhari 6/512, Muslim no. 2766 dari Sa’ad bin Malik bin Sinan]
Kebanyakan orang menemukan hidayah, tatkala hatinya sedang tunduk, remuk- redam dengan suatu musibah yang sedang menimpanya. Mematahkan semua kesombongannya, meluluh-lantakkan ketidakpeduliannya selama ini terhadap Allah dan syariatNya. Ketika ia sudah berada di atas jurang kehancuran, Allah tarik tangannya lalu ia tuntun dengan kelembutan dan kasih sayangNya, seharusnya kehidupannya sudah hancur berkeping-keping, jiwanya berantakan, akan tetapi ia kembali kepada jalan Allah.
Orang ini seperti seorang prajurit pembelot dan pengkhianat yang telah kalah berperang melawan atasannya. Lalu dengan pakaian yang sudah lusuh, wajah kotor dan berdebu, lukaluka memenuhi sekujur tubuhnya, ia kembali menyerah, mengangkat kain putih tanda kalah. Mudah-mudahan dengan menyerahkan diri secara suka-rela sang atasan akan melepaskan dan memaahkan kesalahannya. Kadangkala Allah timpakan kepadanya penyakit yang menyebabkan ia terbaring lemas, berbilang hari bahkan bulan ia di atas kasur putih setelah puluhan tahun ia melawan Allah dengan maksiat bermodalkan kesehatan yang ia sangka akan abadi untuk selamanya. Kadangkala Allah menundukkan kesombongan dengan mencabut kekayaan yang ia merasa memiliki selama ini, kesadaran muncul setelah api besar membakar istananya dan menghanguskan segala kekayaan yang ia peroleh dengan bercucur keringat, sebagaimana dulu ia cucurkan keringat, hari ini ia juga ia telah cucurkan air mata. Kadangkala Allah memaksanya untuk bersujud dan membaluri keningnya dengan tanah setelah ia kehilangan orang-orang yang ia cintai.
Sudahkah anda pernah mendengar cerita seorang suami pedagang bensin, ketika sedang menuangkan bensin ke dalam tangki motor salah seorang pembeli, tiba-tiba jatuh puntung rokok ke dalam bensin tersebut, lalu membakar dirinya dan rumah beserta orang-orang yang ada di dalamnya, dari anak dan istri yang sangat ia cintai.
Kadangkala Allah memberi hidayah kepada seseorang, setelah ia terjerat dalam sebuah kasus korupsi, setelah ia merasakan sempitnya penjara dan perihnya kehilangan jabatan, ia tinggalkan dunia dan ia kembali kepada Allah... Mereka-mereka itu adalah orang-orang beruntung, mereka menemukan jalan kembali, setelah diberi teguran oleh Dzat Maha Pencipta. Ada lagi satu golongan orang yang jauh lebih mulia dari orang-orang di atas dalam perolehan hidayah, yaitu orang yang dihentikan perjalanannya oleh kerinduan kepada kebenaran. Seperti perjalanan ikan salmon melintasi sungai, menyeberangi lautan dan mengarungi samudera, melintasi benua. Telah bermil-mil perjalanan ia tempuh, telah habis pula kebanyakan umurnya dalam perjalanan jauh itu. Ketika sudah tiba masanya, ada rasa kerinduan memanggilnya untuk pulang ke tempat asalnya, sekalipun banyak aral yang merintangi kepulangannya, sekalipun arus deras yang akan ia hadapi, ia tetap bersikukuh untuk pulang, kembali ke fitrah sebagaimana ia dilahirkan oleh ibunya.
Khalid bin Walid, seorang ksatria tanpa tanding, panglima yang tidak terkalahkan, hamba Allah yang tawadhu' (rendah hati), pemilik jiwa besar. Semuanya tentu tahu apa yang pernah ia lakukan terhadap kaum muslimin di perang Uhud, dengan ketajaman pandangannya ia dapat merubah kekalahan menjadi kemenangan untuk Quraisy, sebagai kemenangan pertama dan terakhir bagi mereka. Hampir pada semua tempat di mana ia berada, dia memasang permusuhan terhadap Islam dan kaum muslimin. Sampai akhimya, keinginan untuk pulang itu begitu kuat, beberapa hari sebelum penaklukan Mekkah ia mengajak kawan karibnya 'Amr bin Ash berangkat menuju Madinah untuk menyatakan keislamannya. Berangkatlah mereka dengan azam yang telah kuat di hati mereka, sebab mereka adalah para kesatria Quraisy. Setibanya di Madinah mereka utarakan keinginannya, ketika Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mengulurkan tangannya kepada Khalid, ia tarik kembali tangannya, lalu ia berucap, "Dengan syarat, wahai Nabi Allah! Agar Allah menghapuskan segala kesalahanku semasa Jahiliah". Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam tersenyum dan berkata, "Apakah engkau belum tahu, wahai Khalid?!, Sesungguhnya Islam menghapuskan semua kesalahan sebelumnya".
Adapun Ikrimah bin Abu Jahal - ia salah satu pemuda Quraisy yang paling keras perlawanan dan permusuhannya kepada Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, setelah Mekkah dikuasai oleh Rasulullah, ia mencoba lari dari kenyataan, ia seberangi lautan, ia lintasi padang pasir dalam kesendiriannya, ia coba tinggal di negeri orang, ia coba menahan dirinya dari keinginan pulang kepada kebenaran. Telah ia coba, tapi panggilan itu begitu kuat, keinsafan menghinggapi hari-harinya, maka ia coba untuk melangkahkan kaki pulang menyatakan kelemahan diri dan mengantarkan kepasrahan jiwa.
Disebutkan oleh lbnu Hajar , "Ketika Ikrimah dalam pelariannya, ia sedang di atas bahtera, tiba-tiba datang badai, lalu orang-orang yang berada dalam bahtera itu berteriak, "Ikhlaskan niat kalian kepada Allah, sesungguhnya Tuhan (berhala) kalian tidak mendatangkan manfaat sedikitpun". Sampai badai tersebut menjadi tenang, lalu ia berkata, "YaAllah, jika keikhlasan yang menyelamatkanku di lautan, tentu Dia juga yang akan menyelamatkanku di daratan. Demi Allah , aku berjanji, jika aku selamat dari kejadian ini, aku akan mendatangi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan aku letakkan tanganku di atas tangannya". [Al-Ishabah 4/538]
Ada suatu golongan dalam perolehan hidayah, mereka memperolehnya dengan proses pencarian yang cukup melelahkan, berpindah dari satu ajaran kepada ajaran lain, dari agama kepada agama lain, akhirnya dia memperoleh apa yang inginkan. Contoh yang tepat untuk golongan ini seperti Salman AI-Farisi danWaraqah bin Naufal. Yang lebih hebat lagi adalah golongan yang sudah dalam katagori mati, tidak ada harapan, tidak ada denyut kebenaran dalam hatinya, lalu rahmatAllah menda-huluinya, iapun memperoleh hidayah. Contoh dari golongan ini adalah Umar bin Khattab. Padanya diturunkan ayat dalam surat Al-An' am, Allah berfirman;
أوََمَنكاَنَمیَتْاًفأََحیْیَنْاَهُوَجعَلَنْاَلھَُنوُراًیمَْشِيبھِِفِيالناَّسِكمََنمثَّلَھُُفِيالظلُّمُاَتِلیَْسَبِخاَرِجٍمنِّھَْ
"Dan apakah orang yang sudah mati kemudian dia Kami hidupkan dan Kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya?". [QS.al-An'am:122]
Ini permisalan dari Allah terhadap seorang mukmin yang awal mula hatinya telah mati dalam kesesatan dan binasa dalam kebingungan, lalu Allah hidupkan dan segarkan kembali dengan iman dan Allah beri petunjuk untuk mengikuti rasulNya. Dia masukkan dirinya kepada agama penyerahan diri. Saat itu, ia telah mulai mengerti hal-hal yang bermanfaat dan jauh dari hal yang mudharat, berusaha untuk melepaskan diri dari kemurkaan, matanya mulai mengenal kebenaran yang sebelumnya ia buta, ia sudah mulai belajar yang sebelumnya ia tidak mengetahui, ia sudah mulai belajar untuk mengikuti, sampai ia memperoleh cahaya, dan dengan cahaya itu ia dapat menggunakannya untuk menerangi perjalanannya kepada Allah, di tengah kegelapan manusia. [Lihat Tafsir Ibn Katsir (2/231), dan Ighastul Lahfan, Ibnul Qayyim hal. 26]
Muara Kebenaran
Para ulama mengatakan bahwa semua aktivitas badan yang lahir, perbuatan baik atau buruk, amal shalih atau amal thalih dikuasai oleh satu komando, yaitu hati atau Qalbu. Ia bagaikan raja yang berkuasa mutlak terhadap bala tentaranya, semua tindakan harus di bawah perintah dan larangannya, ia pergunakan sekehendaknya dan ia suruh semaunya. Nabi shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, " Ketahuilah, bahwa dalam tubuh ada segumpal daging, jika ia baik, maka baik pula seluruh tubuh, jika ia rusak, maka rusak pula seluruh tubuh".[HR Bukhari (1/126) no. 52, Muslim (11/57) no. 1599 dari hadits Nu’man bin Basyir]
Hidupnya hati seseorang berarti pertanda ia telah memiliki modal untuk meraih segala kebaikan, sebagaimana mati dan gelapnya hati pertanda ia telah memiliki dasar semua keburukan.
Maka, hati yang bisa merengkuh hidayah Allah adalah hati yang terbuat dari dua unsur, pertama: hati itu masih dalam katagori hidup, dan kedua: Hati itu masih mempunyai cahaya, sekalipun redup. Dengan hidupnya hati berarti semua perangkatnya masih aktif, pendengaran dan penglihatan hati, malu dan jati dirinya, keberanian dan cintanya kepada kebaikan dan rasa bencinya kepada keburukan.
Bagai seorang montir yang sedang menyeleksi beberapa mesin rongsokan, ia hanya mengambil mesin yang dikira masih bisa aktif dan dapat dihidupkan kembali. Hati yang baik itu juga umpama magnit, semakin kuat kadar magnitnya maka akan semakin kuat pula hidayah melekat kepadanya. Berbeda dengan hati yang mati, sedikit demi sedikit ia telah meninggalkan unsur magnit, sebab maksiat yang sedang berproses pada hatinya telah merubah hati menjadi unsur lain yang tidak lagi dapat menarik hidayah, bahkan ia sama sekali tidak dapat mendeteksi dan mengenalinya. Hati inilah yang menjadi kebahagiaan atau kesengsaraannya di dunia, begitu juga hati yang membuat akhir kehidupan hamba di dunia ditutup dengan husnul khatimah atau su’ul khatimah.
Dari Abdullah bin Mas’ud , "Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam telah bersabda, "Dan demi Dzat yang tidak berhak diibadati selainNya, sesungguhnya seseorang beramal dengan amalan penduduk surga [dalam riwayat lain: yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antaranya dengan surga kecuali tinggal satu hasta, kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amalan penduduk neraka, menyebabkan ia masuk ke dalamnya. Dan seseorang beramal dengan amalan penduduk neraka [dalam riwayat lain: yang nampak oleh manusia], sampai tidak ada jarak antaranya dengan neraka kecuali tinggal satu hasta, kiranya kitab (taqdir) telah mendahuluinya, lalu ia beramal dengan amaian penduduk surga, hingga ia masuk ke dalamnya” [HR. Bukhari (6/303) no. 3208, 3332, 6594, Muslim no. 2643]
Ibnu Rajab berkata, "(Hadits ini) menunjukkan bahwa kadang kadang batin seseorang tidak sesuai dengan lahirnya. Su`ul khatimah terjadi disebabkan adanya dosa tersembunyi yang tidak terlihat oleh manusia, baik dari sisi amalan buruk maupun yang lainnya. Ketika kematian menjemputnya, sifat yang tersembunyi itulah yang membawanya kepada su’ul khatimah. Begitu juga seorang beramal dengan perbuatan penduduk neraka, pada akhir hidupnya sifat yang tersembunyi itu mengalahkan perbuatan buruk, yang menyebabkan ia memperoleh husnuI khatimah" [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, Ibnu Rajab (1/57)]
Ibnu Daqiq berkata, "Akan tetapi hal ini jarang terjadi. Sebaliknya yang sering terjadi perubahan manusia dari yang buruk kepada yang baik, hal itu merupakan bentuk kasih sayang Allah dan menunjukkan Iuas bahtera rahmatNya. Jarang ditemukan kasus perubahan manusia dari yang baik kepada yang buruk, segala puji untukNya atas itu semua”.[Syarh Arba’in Nawawiyah, Ibnu Daqiq Al ‘Id (1/31)]
Tunjukilah Aku Jalan yang Lurus!
Hajat seorang hamba kepada hidayah seperti hajat badan terhadap udara. Ketika hidayah jauh dari seorang hamba, berarti kebinasaan dan kesengsaraanlah yang akan segera menimpanya. Itulah do’a Nabi shallallahu'alaihi wa sallam yang beliau berlakukan pada diri beliau, "Janganlah Engkau serahkan jiwa ini meskipun hanya sekejap mata kepadaku".
Imam Ahmad berkata, "Kebutuhan seorang hamba kepada hidayah, melebihi kebutuhannya dari makan dan minum, kalau makan dan minum hanya dibutuhkan sekali atau dua kali saja, sedangkan hidayah dibutuhkan sejumlah nafas". [Miftah Darus Sa’adah 1/61]
Do’a hamba dalan sholatnya, " اھدنَِاالصرِّاَطاَلمُستقَیِمَ ", berilah kami hidayah! Jalan yang lurus, karena seorang hamba tidak bisa lepas dari hal ini. Berapa banyak perkara syariat yang ia tidak ketahui, sehingga ia memohon agarAllah memberikan hidayah-Nya agar ditunjuki yang haq..
Berapa kali pula ia mengetahui jalan hidayah, akan tetapi sebanyak itu pula ia tunaikan tidak dengan cara dan metode yang benar, sehingga ia memohon agar dituntun kepada hidayah taubat dan pengampunan dari segala kelalaian. Berapa banyak pula ia tidak mengetahui seluk-beluk hidayah, dalam segi ilmu dan pengamalan, sehingga ia membutuhkan anugerah Allah untuk ditunjuki maksud dan tujuannya..
Berapa kali ia telah melangkah di atas kebenaran, akan tetapi berapa banyak pula kebenaran yang belum ia tahu, makanya ia selalu memohon agar hidayah disempurnakan untuknya.. Berapa banyak pula ia mengetahui hidayah secara global dan sekarang ia membutuhkan syarah dan rinciannya.. . Berapa banyak seorang hamba telah mengetahui jalan kebenaran, tetapi ia membutuhkan detail perjalanannya menuju hidayah... Sekarang seorang hamba telah diberi petunjuk kepada jalan yang benar, dan sekarang ia membutuhkan petunjuk untuk berjalan di atas jalan kebenaran itu. Karena hidayah menuju sebuah jalan adalah satu permasalahan tersendiri sebagaimana hidayah dalam menjalani perjalanan itu permasalahan lain lagi.
Tahukah tuan, ketika seseorang menunjukkan jalan yang harus tuan lintasi, ketika tuan bertanya tentang jalan menuju sebuah kampung yang jauh di pelosok, tentu tuan tidak mencukupkan dengan pertanyaan tersebut. Akan tetapi tuan akan meminta petunjuk tentang perjalanan menuju perkampungan tersebut. Berkendaraan apa ? Apakah di tengah jalan ada tempat persinggahan? Manakah yang lebih baik, perjalanan pada malam hari atau pada siang hari ? Pantangan apa yang harus dijauhi? Bagaimana jalannya, apakah banyak ranjau atau berbatu? Mengetahui arah jalan itulah hidayah umum, sedangkan mengetahui perincian perjalanan menuju perkampungan tersebut adalah hidayah khusus. Berapa banyak pula seseorang telah diberi hidayah pada waktu yang lalu, sekarang ia juga membutuhkan hidayah untuk masa-masa yang akan datang, agar Allah selalu tetapkan dirinya di atas kebenaran, agar ia selalu istiqamah juga di atas yang haq.
Ibnu Rajab berkata: "Sesungguhnya hidayah itu terbagi dua; Hidayah umum yaitu hidayah Islam dan iman, hal itu telah diperoleh oleh seorang mukmin. (yang kedua) hidayah khusus yaitu hidayah tentang pemahamannya terhadap rincian bagian-bagian Islam, serta bantuan Allah dalam memahamkan kepadanya. Seorang mukmin sangat memerlukanya selalu, oleh karena itu Allah memerintahkan hambaNya untuk membaca " اھدنَِاالصرِّاَطَالمُستقَیِمَ " setiap raka’at dalam sholat. Nabi shallallahu'alaihi wa sallam selalu berucap dalam doa malamnya, "Berilah aku hidayah kebenaran pada setiap yang diperselisihkan, sesungguhnya Engkau member petunjuk jalan yang lurus kepada orang yang Engkau kehendaki.” Maka ketika searang bersin, ia dido’akan dengan ucapan, "Yarhamukallah (semoga Allah merahmatimu)", lulu ia membalasnya dengan ucapan, “Yahdikumullah (semoga Allah memberi petunjukmu), sebagaimana yang telah diterangkan oleh sunnah tentang hal itu". [Jami’ul ‘Ulum wal Hikam 1/157]
Jadilah Lentera!
Orang yang merasakan manisnya hidayah dan lezatnya iman dialah orang yang punya motivasi dalam hidup dan bertabiat tidak pernah puas pada sesuatu, ia tidak akan puas kalau dirinya saja yang merengkuh kenikmatan dan merasakan kebahagiaan. Perumpamaannya bagaikan lentera, yang memberi penerangan buat dirinya sebagaimana ia menerangi yang lainnya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أوََمَنكاَنَمیَتْاًفأََحیْیَنْاَهُوَجعَلَنْاَلھَُنوُراًیمَْشِيبھِِفِيالناَّسِكمََنمثَّلَھُُفِيالظلُّمُاَتِلیَْسَبِخاَرِجٍمنِّھَْ
"Dan apakah orang yang telah mati (hatinya) kemudian Kami hidupkan kembali dan Kami anugerahkan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah manusia, serupa dengan orang yang keadaannya dalam gelap gulita yang sekali-kali ia tidak dapat keluar darinya?” [QS.al-An'am:122]
Permisalannya sebagaimana yang disebutkan oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam seumpama danau luas yang menerima air, air disimpan dalam perutnya untuk minum manusia dan temak, ia juga memberi penghidupan untuk tanaman dan pepohonan sekitarnya.
Banyak kelompok pergerakan maupun jama’ah dakwah yang mengkarbit jama’ahnya untuk menjadi da’i, dalam hitungan waktu telah keluar da’i-da’i baru yang mayoritas kosong dari ilmu dan jauh dan hikmah. Mereka lebih dekat kepada kebodohan dari pada ilmu dan pengetahuan, seharusnya menjadi seorang jama’ah lebih layak dari pada menjadi seorang da’i. Akan tetapi karena jama’ah dan pergerakannya membutuhkan orang-orang yang menghidupkan pemahaman, maka dilakukan pengkarbitan tadi, maka apa yang ia rusakkan lebih banyak dari pada yang ia perbaiki.
Berbeda dengan salaf, memang jumlah da’inya tidak seberapa, kadang-kadang dalam satu kota hanya terdapat satu atau dua da’i, bahkan kadang-kadang beberapa wilayah dipegang oleh satu da’i. Akan tetapi, setiap individu yang telah merasakan ajaran kebenaran ini, kiranya telah menjadi mesin pencetak orang-orang yang semisalnya. Setiap minggu ada saja orang yang ia bawa untuk datang ke pengajian, atau minimal pengajian yang telah ia terima malam itu telah ia sampaikan pula kepada orang-orang di sekitarnya.
Adalah para sahabat dahulu, juga merupakan da’i-da’i yang disiapkan oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, seperti Muadz bin Jabal, Mush' ab bin Umair, Ali bin Abu Thalib, Abdullah bin Mas'ud , akan tetapi mereka bukanlah da’i karbitan. Jumlah da’i-da’i itu memang tidak banyak, hanya saja setiap individu sahabat adalah lentera dan secara tidak Iangsung telah menjadi da’i yang mengajak kepada kebenaran sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing. Mereka tidak tahan melihat saudaranya dalam kesesatan, sedangkan ia dalam kenikmatan iman.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Jubair bin Nufair, "Suatu ketika kami duduk bersama Miqdad bin Aswad , tiba-tiba seseorang lewat dan berkata, "Berbahagialah bagi kedua mata tersebut yang telah melihat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, betapa kami berangan-angan agar kami dapat melihat apa yang pemah engkau lihat, dan kami dapat menyaksikan apa yang telah engkau saksikan". Tiba-tiba Miqdad marah sehingga membuatku terkejut -karena tidak ada yang salah dari ucapannya-. Lalu ia memandang orang tersebut sambil berkata, "Apa yang membuat seseorang berangan-angan kepada sesuatu yang telah Allah ghaibkan darinya, sekiranya ia ikut menyaksikan tentu ia tidak tahu apa yang seharusnya ia perbuat. Demi Allah, telah banyak yang menyaksikan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam akan tetapi membuat mereka terjerumuskan dalam api neraka,karena mereka tidak memenuhi seruannya dan tidak membenarkannya. Atau selama ini kalian tidak bersyukur kepada Allah yang telah mengeluarkan kalian dari perut ibu kalian, tidak
mengenal kecuali Rabb kalian dan membenarkan semua yang dibawa oleh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, bala telah dijauhkan! Sungguh Nabi shallallahu'alaihi wa sallam diutus pada masa jahiliah masa genting, dalam pemahaman mereka tidak ada agama yang lebih baik dari pada penyembahan berhala Ialu beliau datang membawa Alfurqan (pembeda) antara yang hak dengan yang batil, memisahkan antara anak dengan ayahnya. Sampai seseorang tidak senang hatinya mendapati ayah atau anak atau saudaranya dalam kekafiran, sedangkan hatinya telah dibukakan untuk menerima iman, dan ia mengetahui sekali mereka yang ia cintai pasti akan masuk neraka". [Tafsir Ibnu Katsir 3/439 beliau berkata, “Sanadnya shahih dan tidak dikeluarkan oleh Bukhari dan Muslim"]
Begitulah gambaran kecintaan sahabat kepada keluarga dan kerabatnya dalam memberi hidayah, tidak tenang hati mereka kecuali dengan memberi hidayah kepada orang lain, merekalah lentera kebenaran yang sebenarnya!!
Tugas yang termulia bagi seorang muslim setelah ia memperoleh hidayah adalah mengajak orang lain kepadanya, karena dengan cara begitu hidayah akan kekal pada dirinya. Bukankah "AI jaza-u min jinsil ‘amal?!" Ganjaran sesuai dengan jenis usaha, kalau hari ini ia telah memberi hidayah kepada orang lain, maka Allah akan menganugerahkan kepadanya ganjaran yang serupa yaitu dengan memantapkan hatinya dalam hidayah, sebagaimana dalam doa Nabi shallallahu'alaiihi wa sallam, "Ya Allah, hiasilah kami dengan hiasan iman, jadikanlah kami pemberi petunjuk untuk manusia yang telah Engkau beri hidayah -[HR Ahmad dan Nasa'i]-, tidak sesat dan menyesatkan, berdamai dengan wali-waliMu, memasang permusuhan dengan musuh-musuhMu, mencintai orang yang mencintai atas nama cintaMu, dan memusuhi orang yang menyelisihiMu karena permusuhanatasMu".
Allah memuji hamba mukrnin yang memohon agar dijadikan pemimpin yang diberi hidayah, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
واَلذَّیِنَیقَوُلوُنَربَنَّاَھَبلْنَاَمِنْأزَوْاَجنِاَوذَرُیِّاَّتنِاَقرُةََّأَعیُْنٍواَجعْلَنْاَللِمْتُقَّیِنإَمِاَماً
Dan orang-orang yang berkata "Wahai Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami istri dan keturunan kami sebagai penyejuk hati kami dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa ". [QS.Al-Furqan: 74]
Ibnu Abbas berkata , "Meniru kami dan mengambil hidayah dari kami dalam hal kebaikan". [Tafsir Ibnu Katsir 3/439]
Hasan Bashri berkata, 'Tidak ada yang lebih menyejukkan hati seorang muslim, melihat anak atau cucunya atau sejawatnya berbuat ketaatan kepada Allah" [Idem]
Makhul berkata, "Jadikan kami sebagai imam dalam taqwa, (sehingga) orang-orang bertaqwa mengikut kepada kami".
Mujahid berkata "Jadikanlah kami makmum orang-orang yang bertaqwa, meneladani mereka".
Sebagian orang yang tidak mengerti pemahaman dan kedalaman ilmu salaf, merasa sulit memahami tafsiran ini. Mereka berkata, "Berdasarkan tafsiran ini, susunan ayat menjadi terbalik, sehingga bermakna, "Jadikanlah orang-orang yang bertaqwa pemimpin kami" , kita tentu berlindung dari menafsirkan ayat dalam susunan yang terbalik. Penafsiran Mujahid ini menunjukkan kesempurnaan ilmu beliau, karena tidak mungkin seseorang menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa, sampai ia mengikuti orangorang yang bertaqwa.
Maksudnya beliau ingin menegaskan bahwa kemuliaan ini mereka peroleh dengan mengikut ajaran salaf. Barangsiapa yang menjadikan Ahlussunnah sebagai panutannya, niscaya orang-orang semasanya dan setelahnya akan menjadikan dirinya sebagai panutan.
Dalam ayat ini ada sebuah rahasia, yaitu kenapa kata imam pada ayat tersebut dengan lafadz mufrad, tidak dengan lafadz jama', "waj'alna Iil muttaqiina imaman" - tidak "a-immatan". Sebagian mengatakan bahwa lafadz imam adalah dengan mufrad akan tetapi maksudnya jamak, sebagaimana yang dikatakan oleh Farra'.
Akan tetapi jawaban yang terbaik adalah sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim bahwa orang-orang yang bertaqwa adalah mereka yang selalu di jalan yang satu, ma'bud (Dzat yang diibadati) yang satu, pengikut kitab yang satu, nabi yang satu, hamba dari Rabb yang satu, agama mereka satu, seakan-akan mereka bagaikan imam yang satu, tidak seperti para imam yang lain- setiap mereka berselisih, maka berbeda pula ajaran, mazhab dan aqidah mereka. [Risalah Ibnul Qayyim, hal. 15] Wallahu a'lam.
MENUJU CARA BERAGAMA YANG BENAR
Setelah seseorang diantar ke gerbang hidayah, dituntun oleh Allah ke pintu Islam, berarti ia telah mendapatkan setengah kebahagiaan. Akan tetapi, apakah hanya sampai di sana riwayat kebahagiaannya?! Sampai disitukah pencariannya terhadap kebenaran?! Tentu tidak, seseorang yang menghendaki hidayah kedua dari Allah, hendaklah ia mengolah hidayah yang pertama. Hidayah Allah yang pertama adalah keinginan untuk mencari kebenaran, lalu hamba tersebut mengolahnya dengan ilmu dan iman serta usaha dan amal, maka akan menghasilkan hidayah kedua dari Allah yaitu taufiq Allah pada seorang hamba dalam kebenaran pada semua
tindakannya, itulah yang disebut oleh Allah dalam al-Quran:
واَلذَّیِنَجاَھدَوُافیِناَلنَھَدْیِنَھَّمُْسبُلُنَاَ
"Dan orang yang berjuang di jalan Kami, akan Kami berikan kepada mereka hidayah jalan-jalan Kami". [QS.al-Ankabut: 69]
Para ulama berkata, "Kami beri mereka taufiq untuk mendapatkan sasaran yang benar menuju jalan yang lurus, jalan itu yang mengantarkan mereka kepada ridho Allah”. [Tafsir Baghawi 404]
ویَزَیِدُاللھَُّالذَّیِنَاھتْدََواْھدًُى
"Dan Allah tambahkan orang yang diberi hidayah itu dengan hidayah". [QS. Maryam:76]
Penafsiran ayat ini ada 5 pendapat, yaitu :
1. Allah tambahkan dengan tauhid sebagai iman.
2. Allah tambahkan pemahaman dalam agama.
3. Allah tambahkan keimanan setiap kali turun wahyu.
4. Allah tambahkan iman dengan nasikh wal mansukh.
5. Allah tambahkan orang yang mendapatkan yang mansukh, petunjuk terhadap yang nasikh.
Zajjaj berkata, maknanya, "Sesungguhnya Allah menambah keyakinan mereka, sebagaimana orang kafir ditambahkan kesesatan bagi mereka". [Zadul Masir 4/289]
Orang yang memperoleh hidayah kedua merupakan orang pilihan Allah dan dialah wali Allah, sebagai tingkat keimanan muslim yang tertinggi. Buah dari kewalian tersebut adalah kecintaan dan pembelaan Allah terhadap hamba tersebut pada setiap kondisi dan keadaan. Tatkala itu seorang hamba akan merasakan bahagia, hidup selalu di bawah lindunganNya, tanpa rasa takut dan sedih. Maka apa yang perlu ia takutkan, jika Allah telah bersamanya?!
Allah Ta'ala berfirman;
أَلاإِنَّأوَلْیِاَءاللھِّلاَخوَْفٌعلَیَھْمِْوَلاَھمُْیَحزْنَوُنَالذَّیِنَآمنَوُاْوكَاَنوُاْیتَقَّوُنَ
"Ingatlah! Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati, (yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa". [QS.Yunus:62-63]
Dalam hadits qudsi disebutkan
عن أبي ھریرة – رضي الله عنھ – قال :قال رسول الله صلى الله علیھ وسلم - إن الله تعالى قال :من
عادي لي ولیا فقد آذنتھ بالحرب ، وما تقرب إلي عبدي بشيء أحب إلي مما افترضت علیھ ، و لا یزال
عبدي یتقرب إلي بالنوافل حتى أحبھ ، فإذا أحببتھ كنت سمعھ الذي سمع بھ و بصره الذي یبصر بھ ، و یده
التي یبطش بھا و رجلھ التي یمشي بھا و لئن سألني لأعطینھ ، و لئن استعاذني لأعیذنھ - رواه البخاري
Dan Abu Hurairah berkata, "Telah bersabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bahwa Allah subhanahu wa ta'ala berfirman, "Siapa yang memasang permusuhan dengan waliKu, berarti Aku telah manabuh genderang peperangan dengannya, dan tidak ada hal yang lebih Aku cintai terhadap hambaKu yang bertaqarrub kepadaKu dari hal-hal yang telah Aku wajibkan atasnya, dan jika seorang hamba selau bertaqarrub kepadaKu dengan hal-hal yang sunnah sampai Aku mencintainya. Ketika Aku telah mencintainya, Akulah pendengarannya yang dengan pendengaran tersebut ia mendengar, Akulah pandangannya yang dengan pandangan tersebut ia melihat, dan (Akulah) tangannya yang dengannya ia memukul, dan (Akulah) kakinya yang dengannya ia berjalan. Sekiranya ia meminta Aku pasti berikan, sekiranya ia meminta perlindungan, Aku pasti akan memberi perlindungan". [HR. Bukhari]
Untuk menggapai hidayah kedua seorang muslim harus memenuhi beberapa kriteria, diantaranya:
Berjiwa Hanif
Hanif secara bahasa ialah “condang kepadanya”, orang yang hanif yaitu orang yang condang kepada kebenaran, berkepribadian yang lurus dan istiqamah. Agama hanif yaitu agama yang jauh dari kesyirikan dan penyembahan berhala, dengan berkhitan dan melakukan manasik haji. [Qamus Muhith 2/370]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman;
ماَكاَنَإبِرْاَھیِمُیھَوُدیِاًّوَلاَنَصرْاَنیِاًّولَكَِنكاَنَحنَیِفاًمُّسلْمِاًومَاَكاَنَمِناَلمُْشرْكِیِنَ
"Tidaklah Ibrahim itu seorang Yahudi atau Nashrani, akan tetapi ia adalah orang yang hanif lagi muslim, dan dia bukan dari orang musyrik". [QS. Ali Imran:67]
Ibnu Katsir berkata : "Yaitu jauh dari syirik dan condong kepada iman". [Tafsir Ibnu Katsir 2/58]
Menurut anggapan Jahiliyah bahwa seorang disebut dengan hanif ketika ia melaksanakan ibadah haji atau berkhitan.
Imam Al-Thabari berkata : membantah anggapan tersebut, "Berkata Abu Ja’far (yaitu diri beliau), Hanif rnenurutku adalah istiqamah di atas ajaran Ibrahim dan mengikuti millahnya. Kalau sekiranya hanif itu hanya dengan haji saja, tentu orang jahiliah yang melaksanakan haji dari kaum musyrikin termasuk hanif. Allah nafikan pemahaman tersebut sebagai bentuk pengajaran hanif, dalam firmanNya, "Akan tetapi dia adalah hanif lagi muslim, dan dia tidaklah dari orang-orang musyrik" [QS. Ali Imran : 67]
Begitu juga dengan khitan, sekiranya ajaran hanif dengan khitan, tentu orang-orang Yahudi masuk dalam katagori hanif, sedangkan Allah telah mengeluarkan mereka darinya, dalam firmanNya, "Tidaklah Ibrahim itu orang Yahudi dan bukan pula Nashrani, akan tetapi sebagai seorang yang hanif lagi muslim"
Jadi yang benar, hanif bukanlah dengan khitan saja atau haji saja, akan tetapi apa yang telah kita terangkan tadi yaitu istiqamah di atas millah Ibrahim dan mengikuti serta menjadikannya sebagai acuan dan panutan. [Tafsir Ath Thabari 3/107-108]
Penulis berkata, "Perbedaan istilah antara yang dipahami masyarakat jahiliyah dengan pemahaman yang benar tentang hanif bagaikan memahami sesuatu secara lahiriah dan hakikat sebenarnya. Masyarakat hanya melihat yang lahir tanpa melihat hakikat pengajaran tersebut, sedangkan orang yang mukmin melihat sesuatu jauh lebih dalam lagi".
Orang jahiliah menganggap bahwa agama Ibrahim hanya sebatas manasik haji dan khitan, padahal Agama Ibrahim yang sebenarnya adalah agama yang hanif ia merupakan semua aturan Allah dari perkara tauhid dan iman, perintah dan larangan yang diturunkan kepada beliau. Begitu pula yang terjadi pada akhir zaman, ketika Islam telah kembali asing, sebagaimana asingnya agama hanif Ibrahim pada masa jahiliah. Mereka menyangka bahwa Islam hanya sholat, puasa dan haji saja. Dan ibadah itupun tidak lagi rnenurut ajaran yang benar. Sholat mereka telah punya cara tersendiri yang berbeda dengan sholatnya Rasul, haji mereka tidak lagi mengacu kepada manasik haji Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam.
Pada kesempatan lain, orang yang hendak kembali kepada kemurnian Islam hanya dipahami dengan jenggot, cadar dan pakaian di atas mata kaki. Tidak dipahami bahwa Islam yang sebenarnya adalah upaya untuk mengembalikan umat kepada ajaran yang bening dari pengajaran Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Dan Islam yang sebenarnya adalah istiqamah di atas sunnah Rasulullah sebagaimana para sahabat dan para tabi' in telah mempraktekkannya.
Contoh karakter ideal dari orang yarn berjiwa hanif pada masa jahiliyah adalah Zaid bin ‘Amr bin Naufal, dan berikut ini kita terangkan sedikit tentang Zaid bin 'Amr bin Naufal.
Beliau adalah Zaid bin ‘Amr bin Naufal bin Abdul ‘Uzza al-Qurasyi al-Adawi, masih punya hubungan kerabat dengan ayah Umar bin Khaththab yaitu sebagai keponakan dan saudara seibu, karena orang tua Zaid yaitu `Amr bin Naufal menikahi istri dari ayah Khaththab. Beliau telah lama meninggalkan ajaran Jahiliyah, ajaran yang mereka nisbatkan kepada agama Hanif Ibrahim. Beliau lebih suka mengasingkan diri dari masyarakatnya, karena cara berpikirnya berbeda dengan cara berpikir masyarakatnya. Cara beragama beliau bukanlah karena ikut-ikutan, tradisi atau turun-temurun, beliau melihat semua perkara dengan kejernihan pikiran dan kebeningan hati meskipun risalah kenabian tidak ada yang tersisa dipermukaan bumi. Perumpamaannya, seperti orang yang punya penglihatan tajam berjalan dikegelapan malam, tidak ada cahaya yang menerangi untuk membantu penglihatannya.[*]
[*] Itulah yang membedakan antara masa jahiliah zaman Nabi dengan masa sekarang, pada masa itu tidak ada yang dapat dijadikan petunjuk. Memang ada yang tersisa dan pengajaran Nabi Ibrahim, akan tetapi dalam bentuk yang telah diselewengkan. Sedangkan umat Islam pada akhir zaman, ajaran mereka terjaga dengan terjaganya al-Quran dan Sunnah. Islam terbukukan dalam sejarah para sahabat, tabi' in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Akan tetapi, pertanyaan yang sangat perlu dijawab, "Siapa yang mempunyai jiwa seperti jiwa Zaid bin' Amr bin Naufal?!" Langka!! Dan penulis berdo’a semoga diri ini dan diri yang sedang membaca tulisan ini, agar dijadikan orang yang berjiwa seperti Zaid bin Arnr bin Naufal. Amin
Diriwayatkan oleh Asma bin Abu bakar , "Aku melihat Zaid bin Amr bin Naufal menyandarkan punggungnya ke Ka'bah, dan beliau berkata, "Wahai sekalian Quraisy, demi Dzat yang jiwa Zaid di tanganNya, tak satupun dari kalian yang menganut agama Ibrahim selain diriku". Lalu beliau berkata, "Ya Allah, sekiranya aku mengetahui arah yang Engkau cintai, niscaya aku akan menghadapnya, akan tetapi aku tidak mengetahuinya", lalu ia sujud diatas kendaraannya".
Semoga Allah merahmatimu- wahai Zaid!! Sampai arah kiblatpun engkau tidak mengetahuinya, karena hal itu belum engkau dapatkan dari seorang Rasul!!! Sedangkan pada kami, ketika Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam meninggal, Islam dalam keadaan sempurna, malamnya bagaikan siang, bagaimana gerangan dengan siangnya?! Tidak seorangpun yang hendak mencari kebenaran Islam dengan jujur, niscaya ia akan menemukannya. Kitab dan Sunnah tetap terjaga sampai hari kiamat, orang yang melaksanakannya juga tetap ada sampai hari kiamat, permasalahannya ada pada kemauan. Zaid bin `Amr sering berucap di hadapan Ka'bah, "Allahku adalah Allah Ibrahim, dan agamaku adalah agama Ibrahim".
Ibnu Katsir, berkata "Tidak ada di kalangan Quraisy yang konsekuen dan lebih tegar dari Zaid bin Amr bin Naufal. Beliau meninggalkan ajaran berhala dan beliau tidak menganut ajaran agama Yahudi dan Nashrani ataupun agama yang lain, melainkan agama hanif yaitu pengajaran agama Ibrahim, dengan mentauhidkan Allah dan membuang yang lain, tidak mau makan sembelihan musyrik. Sampai beliau memperoleh intimidasi dari mereka akibat berbedanya beliau dengan mereka". [Sirah Nabawiyah Ibnu Katsir 1/155]
Orang Quraisy sangat membencinya, terutama dari kalangan kerabat dan sukunya, mereka mengusir Zaid dari Mekkah, membuat Zaid tidak bisa masuk Mekkah kecuali pada malam hari secara sembunyi. Hingga karena tidak tahan lagi menerima siksaan dari Quraisy dan beliau merasa bahwa Mekkah telah menjadi negeri yang sempit untuk dijadikan tempat beribadah, maka beliaupun berangkat ke Syam mencari ilmu agama Ibrahim. Beliau belajar kepada ahli kitab yang masih berpegang dengan ajaran yang lama. [Ibid]
Dari cerita singkat Zaid bin Amr bin Naufal, dapat kita pahami bahwa sifat seorang penganut ajaran yang hanif, diantaranya adalah :
1. Seorang yang berjiwa hanif bagaikan kaca, dengan kebeningannya ia dapat melihat kebenaran dari kebatilan, dan dengan ketebalannya hingga syubhat dan keraguan tidak dapat menembusnya. Dia bukan busa yang menyerap setiap sesuatu yang bersentuhan dengannya.
2. Seorang yang berjiwa hanif adalah orang yang bijaksana dan adil, dia meletakkan perkara sesuai dengan posisi dan porsinya, baik yang berkaitan dengan Allah atau yang berkaitan dengan dirinya maupun yang berhubungan dengan manusia.
3. Maka dirinya menolak praktek syirik dan penyembahan berhala, karena hal itu bukanlah perbuatan yang adil kepada Allah, iapun tidak minum khamar seperti yang lainnya, karena ia tidak mau menzhalimi dirinya. Sebagaimana ia tidak mau menguburkan anak karena hal itu merupakan perbuatan zhalim terhadap orang lain.
4. Seorang yang berjiwa hanif adalah orang yang memiliki fitrah yang bersih dan pemikiran yang baik, tidak dikotori oleh moderenisasi jahiliyah dan tidak tercemari oleh pemikiran yang menyimpang seperti dari ajaran filsafat dan ilmu kalam.
5. Seorang yang berjiwa hanif adalah orang yang selalu mencari kebenaran kepada sumbernya yang asli. Setelah ia memperolehnya, ia menyibukkan diri untuk mendalaminya, karena ia sumber yang tidak pernah habis, dan kemudian ia istiqamah di dalamnya. Sebagaimana seorang yang hendak mencari air yang bersih, ia mencari ke sumber mata air yang belum dicemari, di gunung atau di hutan belantara. Setelah ia menemukannya, ia menikmatinya dan mengambilnya sebagai perbekalan. Tidak seperti sebagian orang, setelah mereka menemukannya, ia mencoba mencari yang lain.
Berserah diri
Banyak kasus yang terjadi, ketika seseorang telah masuk ke dalam hidayah Islam merasa kebingungan, apa yang diperbuat setelah ia diantar ke pintu Islam? Bagaimana Cara menjalankan Islam dengan baik sehingga dapat meraih kebahagiaan di dunia dan akhirat? Hal ini, diperparah lagi dengan banyaknya kelompok-kelompok sempalan dalam Islam yang begitu semangat menjadikan mereka sebagai objek santapan, untuk menyelewengkan mereka darinjalan yang lurus.
Diantara yang menghalangi seseorang dari beragama yang benar adalah mendahulukan akal atas nash. Orang yang menjadikan akalnya sebagai standar agama, berarti ia telah mengikuti cara beragama iblis,
قاَلَأنَاَخیَرٌْمنِّھُْخلَقَتْنَِيمِنناَّرٍوَخلَقَتْھَُمِنطیِنٍ
"Dia berkata, "Aku lebih baik darinya, Engkau ciptakan diriku dari api, dan Engkau ciptakan dirinya dari tanah". [QS. Shad:76].
Iblis tidak tahu bahwa tanah lebih baik dari api dalam semua hal, diantaranya adalah api membakar sedangkan tanah membangun, sifat api panas sedangkan sifat tanah dingin. Semua ayat al-Quran yang menjelaskan kedudukan akal dan memuji pelakunya berkaitan dengan penambahan iman dan kebesaran ciptaan Allah, bukan digunakan untuk membantah atau menghadang perintah atau laranganNya.
Diantara yang menghalangi seseorang dari pengajaran agama yang benar adalah hawa nafsu. Ketika hawa telah menguasai diri seseorang, ia tidak akan peduli dengan aturan Allah. Berapa banyak ayat Allah ditolak atau sunnah Rasulullah disepelekan hanya karena hawa nafsu yang selalu dibela dan ditegakkan?! Bagaimana bisa beragama dengan baik, sekiranya benang yang basah itu masih ditegakkan, memusuhi dan mencari kawan di atasnya?!
Seseorang yang mendahulukan hawanya dan sudah terbiasa dengan riba, ketika ia mendengar ayat-ayat yang melarang riba, berkerut keningnya dan berat hatinya untuk menerima apa yang ia dengar tersebut, karena usaha yang selama ini ia tentram dengannya, sekarang disalahkan pula oleh orang bahkan diharamkan, tentu ia akan melakukan berbagai usaha untuk mencari dalil pembolehan, lalu mencari kawan maupun lawan kerenanya. Membela orang yang membolehkan riba dan memusuhi yang mengharamkannya, hanya sebab hawa nafsunya di sana. Orang yang seperti itu sulit untuk mendapatkan hidayah.
Contoh yang lainnya, sebagian orang yang sudah terbiasa dengan suatu bid' ah, ketika ia diingatkan, ia merasa gerah, karena pekerjaannya disalahkan. Anehnya, ia tidak belajar bagaimana kembali kepada al-Quran dan Hadits, tapi ia berusaha dengan cara apapun melegalkan bid' ah yang telah lama ia lakukan. Yang penting baginya perbuatan itu halal. Maka orang seperti ini juga sulit untuk mendapatkan hidayah.
Jika seseorang hendak mencari kebahagiaan dan jalan menujunya mudah, maka tentu pintu itu adalah pintu penyerahan diri kepada Allah. Penyerahan diri dalam perintah dan laranganNya, iman dan Islam kepadaNya, mengikuti kabar dan berita yang sampaikanNya. Itulah, cara beragama yang telah diajarkan oleh Rasulullah kepada para sahabatnya, dan para sahabat mengajarkannya kepada para tabi' in dan tabi'in mereka mengajarkannya kepada para ulama dan orang-orang shalih. Pengajaran secara turun-temurun dari generasi ke generasi. Pengajaran yang mendapatkan ridho Allah dan surga FirdausNya. Pengajaran yang menjadikan mereka menjadi umat yang terbaik. Pengajaran yang membuat mereka benar-benar dapat melaksanakan Islam dengan benar dan yakin! Pengajaran yang dapat membuat mereka bisa menguasai dua kerajaan besar dunia, Romawi dan Persia! Pengajaran yang menghasilkan riwayat-riwayat tentang mereka, kalaulah bukan karena kejujuran dan daya hapal yang kuat dari rawi, niscaya kita tidak percaya tentang cerita tersebut, tentu akan kita sangka cerita yang dibuat dalam khayal.
Dibawah ini kita jelaskan point-point penting yang terkait dengan penyerahan diri.
I. Arti, Pembagian dan Hakikatnya
Penyerahan diri dalam bahasa syariat adalah “Islam" , atau "taslim" atau "istislam ", yaitu tunduk, patuh dan menyerahkan diri kepada Allah, serta tidak ada perlawanan, penolakan dan keraguan dalam melaksanakan perintahNya. Penyerahan diri terbagi dua bagian, yaitu :
1. Penyerahan diri kepada hukum agama Allah dalam perintah dan larangan, halal dan haram. Disinilah inti pembahasan kita dalam rangka menuju Islam yang benar.
2. Penyerahan diri terhadap hukum Allah yang berlaku di dunia ini, dari qadar baik maupun qadar buruk.
Adapun bagian yang pertama merupakan sikap yang seharusnya diambil oleh seorang muslim. Allah bersumpah dengan diriNya yang Mulia, bahwa mereka belum sampai pada derajat iman yang hakiki sampai mereka melakukan penyerahan diri total kepada semua hukum Allah, sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فَلاَورَبَِّكَلاَیؤُمْنِوُنَحتََّىَیُحكَمِّوُكَفیِماَشَجرََبیَنْھَمُْثمَُّلاَیَجدِوُاْفِيأنَفُسِھمِْحرََجاًممِّاَّقَضیَْتَویَُسَمُِّواْ تَسلْیِماً
"Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim terhadap perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa dalam hati mereka suatu keberatan terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya". [QS.an-Nisa:65]
Ayat ini menerangkan tingkatan yang harus dilalui oleh seorang muslim, yaitu :
1. Menjadikan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam sebagai penentu dari semua urusan kehidupan mereka
2. Berlapang dada dari semua keputusan yang ditetapkan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam.
3. Menyerahkan diri mereka kepada keputusan tersebut, sekiranya tidak ada perlawanan atau kepentingan pribadi yang ditegakkan.
Hakikatnya adalah seorang berserah terhadap semua hukumNya yang telah dikabarkan dalam kitabNya atau yang disampaikan oleh RasulNya, tunduk dan patuh serta gembira hatinya dengan perintah itu, tidak menghadangnya dengan keinginan, hawa nafsu dan taqlid. Tidak ada keraguan yang menentang pengabaranNya dan tidak ada syahwat yang menentang perintahNya.
Bahkan ia menganggap bahwa semua hanya prasangka dan keraguan, sedangkan jatuh dari langit lebih ia sukai dari pada ia perturutkan perasaan itu. Umpama air yang segar turun dari langit jatuh ke hamparan hati yang kering kerontang, sehingga rnembuat hati tersebut menjadi segar, tenang dan bahagia. Sampai suatu saat, ia mencapai pada suatu tingkatan bahwa baginya semua yang dikhabarkan oleh Allah dan yang disampaikan oleh Rasulullah bagaikan melihat matahari di siang bolong, tidak akan meragukan dirinya sekalipun semua orang di Timur atau di Barat menyelisihi perintah tersebut. Seperti kepasrahan Abu Bakar. Sekalipun semua penduduk bumi mendustakan dan tidak percaya dengan pengkhabaran Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, tidak akan mengurangi keyakinannya sedikitpun terhadap sabda Nabi, sekalipun sebesar biji sawi!!
II. Penyerahan diri dalam al-Quran
Allah mengabarkan bahwa semua makhluknya tunduk patuh kepadaNya, secara sukarela maupun terpaksa, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
أفَغَیَرَْدیِناِللھِّیبَغْوُنَولَھَأَُسلْمََمَنفِيالسمَّاَواَتِواَلأرَْضِطوَْعاًوكَرَھْاًوإَلِیَھِْیرُْجعَوُنَ
"Maka apakah mereka mencari agama yang lain dari agama Allah, padahal hanya kepada-Nyalah menyerahkan diri segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan suka maupun terpaksa dan hanya kepada Allah-lah mereka dikembalikan". [QS. Ali Imran: 83]
ولَلِھِّیَسْجدُُمَنفِيالسمَّاَواَتِواَلأرَْضِطوَْعاًوكَرَھْاًوَظِلالُھمُباِلغْدُوُِّواَلآصاَلِ
"Hanya kepada Allah-lah sujud (patuh) segala apa yang di langit dan di bumi, baik dengan kemauan sendiri ataupun terpaksa (dan sujud pula) bayang-bayangnya di waktu pagi dan petang hari". [QS. ar-Ra'ad:15]
Allah Ta'ala mengabarkan bahwa cara beragama yang baik adalah dengan berserah diri:
ومََنْأَحْسَنُدیِناًممَِّّنأَْسلْمََوَجھْھَُللهوھَوَُمُحْسِنٌواتبَّعََملِةَّإَبِرْاَھیِمَحنَیِفاً
"Dan siapakah yang lebih baik agamanya dari pada orang yang ikhlas menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang diapun mengerjakan kebaikan, dan ia mengikuti agama Ibrahim yang lurus?".[QS.an-Nisa:125]
Orang yang berserah diri berarti ia telah mendapat petunjuk:
وأَنَاَّمنِاَّالمُْسلْمُِونَومَنِاَّالقْاَسِطُونَفمََنْأَسلْمََفأَوُلْئَِكَتَحرَوَّاْرَشدَاً
"Dan sesungguhnya di antara kami ada orang-orang yang ta’at dan ada (pula) orang-orang yang menyimpang dari kebenaran. Barangsiapa yang ta’at, maka mereka itu benar-benar telah memilih jalan yang lurus". [QS.al-Jin:14]
Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
فإَنْحآَجوُّكَفقَلُْأَسلْمَْتُوَجْھِيَللِھِّومََنِاتبَّعََنِوقَلُللِّذَّیِنَأوُتْوُاْالكْتِاَبَواَلأمُیِّیِّنَأأََسلْمَتْمُْفإَنْأَسلْمَُواْ فقَدَِاھتْدَوَاْوإَِّنتوَلَوَّاْْفإَنِمَّاَعلَیَْكَالبَْلاَغُواَللھُّبَصیِرٌباِلعْبِاَدِ
"Kemudian jika mereka mendebatkamu (tentang kebenaran Islam), maka katakanlah: "Aku menyerahkan diriku kepada Allah dan (demikian pula) orang-orang yang mengikutiku". Dan katakanlah kepada orang-orang yang telah diberi Al-Kitab dan kepada orang-orang yang ummi "Apakah kamu (mau) masuk Islam?" Jika mereka masuk Islam, sesungguhnya mereka telah mendapat petunjuk, dan jika mereka berpaling, maka kewajiban kamu hanyalah menyampaikan (ayata-yat Allah), dan Allah Maha Melihat akan hamba-hambaNya". [QS. Ali Imran:20]
Orang yang menyerah berarti ia telah berpegang dengan ‘urwah wutsqa (tonggak yang kokoh):
ومََنیُسلْمِْوَجھْھَُإلَِىاللھَِّوَھوَُمُحْسِنٌفقَدَِاستْمَْسَكَباِلعْرُوْةَاِلوْثُقَْى
"Dan barangsiapa yang menyerahkan dirinya kepada Allah, sedang dia orang yang berbuat kebaikan, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang kokoh". [QS.Luqman: 22]
Allah perintahkan NabiNya Ibrahim untuk berpasrah diri:
إذِْقاَلَلھَُربَھُُّأَسلْمِْقاَلَأَسلْمَْتُلرَِبِّالعْاَلمَیِنَ
"Ketika Rabbnya berfirman kepadanya: "Tunduk patuhlah!", Ibrahim menjawab: "Aku tunduk patuh kepada Rabb semesta alam". [QS. al-Baqarah: 131]
Dan Allah Ta'ala perintahkan semua kaum muslimin untuk berpasrah diri:
فإَلِھَكُمُْإلِھٌَواَحدٌِفلَھَُأَسلْمِوُاوبََشرِّاِلمُْخبْتِیِنَ
"Maka Tuhanmu ialah Tuhan Yang Maha Esa. Karena itu berserah dirilah kamu kepada-Nya, dan berilah khabar gembira kepada orang-orang yang tunduk patuh (kepada Allah)". [QS.al-Hajj: 34]
وأَنَیِبوُاإلَِىربَكِّمُْوأََسلْمِوُالھَُمِنقبَلْأَِنیأَتْیِكَمُاُلعْذَاَبُثمَُّلاَتنُصرَوُنَ
"Dan kembalilah kamu kepada Rabbmu, dan berserah dirilah kepada-Nya sebelum datang azab kepadamu, kemudian kamu tidak dapat ditolong (lagi) ". [QS. az-Zumar:54]
Dan dia merupakan pengajaran semua para Nabi dan rasul, dengarlah Ibrahim mewasiatkan kepada anak keturunannya:
ووََصَّىبھِاَإبِرْاَھیِمُبنَیِھِویَعَقْوُبُیاَبنَِيَّإِنَّاللھَّاصْطفََىلكَمُُالدیِّنَفَلاَتمَوُتُنَّإَلاَّوأَنَتمُمُّسلْمِوُنَ
"Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): " Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam". [QS. al-Baqarah:132]
Ini Nabi Nuh diperintahkan oleh Allah untuk berserah diri;
وأَمُرِْتُأَنْأكَوُنَمِنَالمُْسلْمِیِنَ
"Dan aku disuruh supaya aku termasuk golongan orang-orang yang berserah diri (kepadaNya)". [QS.Yunus:72]
Ini Nabi Yusuf berdo’a dan permohonan Ibrahim dan Isma'il:
توَفَنَِّيمُسلْمِاًوأَلَْحقِنِْيباِلصاَّلِحیِنَ
"Wafatkanlah aku dalam keadaan Islam dan gabungkanlah aku dengan orang-orang yang saleh".[QS.Yusuf:10l]
ربَنَّاَواَجعْلَنْاَمُسلْمِیَْنلَِكَومَِنذرُیِّتَّنِاَأمُةًَّمُّسلْمِةًَلَّكَوأَرَنِاَمنَاَسكِنَاَوتَُبْعلَیَنْاَإنَِّكأَنَتَالوَّاَّبُالرَّحیِمُ
"Ya Rabb kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau, dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau, dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah taubat kami, sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang". [QS. al-Baqarah:128].
III. Hari Abu Jandal
Para sahabat telah memberikan contoh yang luar biasa dalam penyerahan diri terhadap hukum dan pengabaran syariat, dan ini yang seharusnya dijadikan teladan bagi orang-orang setelahnya. Bagaimana tidak?! Sedangkan guru mereka adalah Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, imam dalam penyerahan diri kepada Allah. Di bawah ini, penulis sampaikan kejadian Perjanjian Hudaibiah yang menggambarkan betapa besar penyerahan diri mereka kepada syariat ini. Ketika itu bulan Zulqa'dah, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam telah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk bersiap-siap berangkat menuju Mekkah, kampung halaman sudah lama mereka tinggalkan semenjak mereka diusir oleh kaum mereka sendiri. Dalam diri setiap orang dari mereka memendam kerinduan yang sangat mendalam dengan Ka' bah dan sumur zam-zamnya, Shofa dan Marwanya.
Begitulah, mereka berangkat dengan niat umrah, tidak ada sedikitpun terlintas dalam pemikiran mereka dalam keberangkatan tersebut untuk berperang, oleh karenanya mereka hanya membawa sebilah pedang yang terselip di pinggang. Jumlah mereka lebih kurang 1.500 orang. Setelah lama berjalan, ditempuh berminggu-minggu, sampailah mereka di perbatasan Mekkah, mereka mendirikan kemah di Hudaibiyah. Lalu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mengutus Utsman bin Affan untuk menemui pemuka Quraisy. Selang beberapa hari, tersiar berita bahwa Utsman dibunuh. Lalu Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam mengajak seluruh yang ikut untuk berbaiat demi membela darah Utsman, dikenallah baiat tersebut dengan baiat Ridhwan.
Kemudian terjadilah dialog antara Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam dengan Quraisy, semula tidak menemukan titik kesepakatan, sampai akhirnya datang 'Amr bin Suhail. Dalam perjanjian dengan Suhail, kaum muslimin merasa dirugikan. Diantara point perjanjian tersebut ialah (1) bahwa mereka tidak bisa umrah untuk tahun ini - tetapi diperbolehkan tahun depan, (2) siapa yang datang dari Mekkah ke Madinah harus
dikembalikan (3) dan yang datang dari Madinah ke Mekkah tidak dikembalikan.
Sebelum perjanjian ditanda tangani, tiba-tiba muncul Abu Jandal bin Suhail bin ‘Amr anak Suhail sendiri sambil berteriak minta pertolongan kepada kaum muslimin agar ia diselamatkan dari penyiksaan kaum kafir Quraisy, tetapi ayahnya Suhail tidak mau, ia memaksa bahwa anaknya itu masuk dalam perjanjian. Dalam keadaan seperti itu, badan belum mendapatkan istirahat yang cukup dari kepenatan berjalan jauh, kerinduan yang sudah memuncak terhadap kampung halaman yang hanya berjarak beberapa meter saja, ditambah lagi dengan perjanjian yang menyesakkan dada. Belum sempat mereka menyusaikan diri mereka dengan keadaan yang sulit tersebut, tiba-tiba Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memerintahkan mereka untuk mencukur rambut dan menyembelih hadyu (hewan kurban).
Ibnul Qayyim berkata: "Ketika Perjanjian Hudaibiah telah ditanda tangani, Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam bersabda, "Bangkitlah kalian, berkurbanlah dan botakkan rambut kalian!", maka tidak ada satu orang sahabatpun yang bangkit sampai beliau ulangi perintah itu sampai tiga kali. Lalu beliau masuk ke kemah Ummu Salamah, dan beliau ceritakan yang terjadi. Ummu Salamah berkata, "Wahai Rasulullah, apakah engkau ingin melakukannya? Keluarlah dan jangan berbicara dengan siapapun, engkau panggil tukang cukurmu untuk mencukurmu". Lalu beliau keluar dan diam, memanggil tukang cukurnya dan membotak rambut beliau. Ketika mereka melihat beliau melakukan hal itu, mulailah mereka bangkit dan menyembelih sembelihan mereka, dan sesama mereka sating mencukur rambut kawannya, sampai nyaris mereka saling melukai karena marah."
Setelah kejadian ini, semua para sahabat mengakui kekeliruan mereka, ini Umar salah satu sahabat yang tidak puas dengan perjanjian yang dibuat oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, pada malam itu beliau beristighfar, sampai karena kesalahan itu beliau banyak berinfak dan bersedekah dan memerdekakan budak. Sahal bin Hunaif berkata : kepada para tabi `in, Setelah mendapatkan pengajaran dari kejadian tersebut; "Wahai sekalian manusia, celalah akal (pendapat) kalian, sungguh aku melihat diriku pada hari Abu Jandal (yaitu Hudaibiah), sekiranya aku mampu (boleh) menolak perintah Rasuiullah, niscaya aku tolak". [HR.Bukhari]
Memiliki Motivasi
Seseorang yang memperoleh hidayah mempunyai kemauan yang kuat dan motivasi yang tinggi, karena yang dicarinya adalah surga yang luasnya seluas langit dan bumi. Jika orang yang mencari dunia memerlukan semangat dan motivasi, tentu yang mencari akhirat lebih lagi. Perjalanan menuju surga bagaikan perjalanan orang yang menempuh padang pasir, jalannya tidak berujung, perkampungan entah dimana, perbekalan tinggal sedikit. Sekiranya orang yang menempuhnya berjalan lamban dan keinginannya lemah, pengetahuan tentang arah dan jalan rendah dan penghalang perjalanan banyak dan berat, maka disanalah bencana dan kebinasaan, kecuali orang yang dirahmati oleh Allah dan tanganNya membawanya ke kampung keselamatan.
Ibnul Qayyim berkata : "Lemahnya motivasi dan kemauan disebabkan lemahnya hati. Hati yang baik adalah hati yang berkemauan tinggi, memiliki motivasi dan kecintaan yang kuat. Karena kemauan dan kecintaan berbanding lurus dengan hal yang dicintai dan bergantung dengan hati yang kosong dari penyakit yang menghalanginya dari kemauan. Sebaliknya, lemahnya kemauan dan rendahnya motivasi disebabkan karena kurangnya rasa atau adanya penyakit yang melemahkan penghidupan hati. Lemahnya keinginan tanda lemahnya hati, sebagaimana tingginya kemauan dan kuatnya motivasi pertanda hati tersebut sempuma dan membuat kehidupan lebih baik dan lebih bahagia. Sesungguhnya hidup bahagia hanya diperoleh dengan kemauan yang kuat, cinta yang tulus dan motivasi yang tinggi. Sejauh mana kemauan, sejauh itu kebahagiaan dalam hidup. Dan kehidupan yang paling sengsara adalah orang yang berkemauan rendah dan orang yang memiliki cinta dan keinginan yang hina, kehidupan binatang melata lebih baik dari kehidupannya".
Sebagaimana yang dikatakan oleh penyair :
Siangmu -wahai yang tertipu- hanya sia-sia dan kelalaian
Malammu dipenuhi dengan tidur dan suara dengkuran
Bersusah hanya mendatangkan penyesalan Hidup di dunia seperti binatang piaraan
Bahagia dengan fana dan suka dengan khayalan
Tertipu dengan kenikmatan bak mimpi di atas dipan
[Tahzib Madarijus Salikin 2/945]
Dalam berkemauan seseorang harus memiliki 2 kekuatan;
1. Kekuatan ilmu
2. Kekuatan amal
Ibnul Qayyim berkata : "Kesempurnaan manusia terdiri dari dua pokok landasan, yaitu mengetahui kebenaran dari kebatilan (yaitu kekuatan ilmu-pen) dan mengutamakan kebenaran dari yang batil (kekuatan amal). Kedudukan manusia di sisi Allah baik di dunia maupun di akhirat sesuai kedudukan mereka dalam dua landasan ini. Allah memuji para nabi dan Rasul karena mereka memiliki dua landasan ini".
Dalam hal ini manusia terbagi kepada 4 golongan, yaitu .
1. Golongan pertama, yang telah kita sebutkan dan mereka adalah semulia-mulia golongan di sisi makhluk, sebagaimana mereka adalah yang termulia di sisi Allah .
2. Golongan kedua, kebalikan dari golongan tersebut, orang yang tidak punya ketajaman dalam agama dan tidak pula mempunyai kekuatan dalam melaksanakan kebenaran. Mereka ini mayoritas manusia, memandang mereka akan menyakitkan mata, membuat demam badan dan menyakitkan hati. Bilangan mereka membuat sempit negeri dan membikin mahal harga serta persahabatan dengan mereka hanya mendatangkan kerugian dan kebinasaan.
3. Golongan ketiga, mereka yang mempunyai ketajaman dalam kebenaran dan pengetahuan, akan tetapi ia lemah dan tidak mempunyai kekuatan dalam melaksanakan kebenaran dan mengajak orang kepadanya. Inilah keadaan mukmin yang lemah, sedangkan mukmin yang kuat di sisi Allah lebih baik dari mukmin yang lemah.
4. Golongan keempat, mereka yang mempunyai kekuatan dan kemauan serta motivasi, akan tetapi lemah dalam pengetahuan agama, tidak dapat membedakan antara wali Allah dengan wali Syaitan. Seringkali salah menilai, ia menyangka bahwa setiap yang hitam adalah kurma dan setiap yang kuning mengkilap itu emas dan setiap obat yang berkhasiat itu racun.
Untuk memperoleh predikat imamah (kepemimpinan) dalam agama tidak ada yang pantas kecuali golongan yang pertama, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman,
وَجعَلَنْاَمنِھْمُْأئَمِةًَّیھَدْوُنَبأِمَرْنِاَلمَاَّصبَرَوُاوكَاَنوُابآِیاَتنِاَیوُقنِوُنَ
"Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami". [QS. As-Sajadah:24]
Allah Ta'ala mengabarkan bahwa dengan sabar dan keyakinan terhadap ayat-ayat Allah , baru akan diperoleh kepimimpinan dalam agama, mereka itulah yang dikecualikan oleh Allah dalam katagori orang-orang yang merugi. [Ad-Da’ wad Dawa’ hal. 82]
Contoh yang terbaik dalam kemauan yang keras dalam mencari kebenaran adalah Salman Al-farisi, meninggalkan kekayaan dan kebesaran orang tuanya di Persia, dan berpindah dari negeri ke negeri dan dari guru ke guru lain, hingga akhirnya terjual menjadi budak di pasar Madinah. Setelah perjalanan yang sangat panjang tersebut baru bertemu dan beriman dengan Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, lalu akhirnya kembali lagi ke Persia menjadi gubernur di sana.
Sabar dan Yakin
Sekiranya akal dapat diumpamakan dengan sebuah benteng yang kokoh, maka yang perlu diwaspadai adalah serangan syahwat dan syubhat yang tidak saja dapat menguasai benteng tersebut akan tetapi juga dapat menghancurkannya. Maka, palu godam sebagai mesin penghancurnya adalah akal dan hawa nafsu. Yang pertama sumber fitnah adalah syubhat, akibatnya semua berita Allah akan ditolaknya, dan yang kedua sumber fitnah itu adalah syahwat, akibatnya semua perintah Allah akan ditolaknya. Penangkal syahwat dengan sabar dan penangkal syubhat dengan yakin. Ketika terjadi pertautan antara sabar dan yakin, lahirlah kepemimpinan dalam agama. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وَجعَلَنْاَمنِھْمُْأئَمِةًَّیھَدْوُنَبأِمَرْنِاَلمَاَّصبَرَوُاوكَاَنُوابآِیاَتنِاَیوُقنِوُنَ
"Dan Kami jadikan dari kalangan mereka itu pemimpin-pemimpin dengan perintah Kami karena mereka bersabar, dan mereka telah sangat yakin dengan ayat-ayat Kami ". [QS. As-Sajadah: 24]
Sabar dan yakin sebagai syarat kebahagiaan hamba di dunia dan akhirat, ketika dua hal itu telah diperoleh hamba, berarti ia telah menjadi insan kamil. Demi memperoleh kedudukan tersebut berlombalah orang-orang yang shalih, berpacu-pacu para ulama, mereka singsingkan lengan... mereka kencangkan ikat pinggang... mereka jauhkan kasur istirahat.
Ditanyakan kepada sebagian salaf, "sampai kapan tuan berletih seperti ini?" Mereka menjawab, "Istirahatnya yang kami cari".
Syaikhul Islam lbnu Taymiah berkata: "Dengan sabar dan yakin, akan diperoleh kepemimpinan dalam diri".
Allah Ta'ala sebutkan orang-orang sebelum kita tergelincir ke jurang kemurkaan disebabkan syubhat dan syahwat. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
كاَلذَّیِنَمِنقبَلْكِمُْكاَنوُاْأَشدََّمنِكمُْقوُةًَّوأَكَثْرََأمَْواَلاًوأَوَلْادَاًفاَستْمَتْعَُواْبِخَلاقھِمِْفاَستْمَتْعَتُْبِخَلاقَكِمُْكمَاَ استْمَتْعََالذَّیِنَمِنقبَلْكِمُْبِخَلاقَھِمِْوَخُضتْمُْكاَلذَِّيخاَضوُاْ
"(Keadaan kalian, wahai orang-orang musyrik dan munafq) seperti orang-orang sebelum kalian, mereka lebih kuat dari kalian dan lebih banyak harta dan anak-anak. Maka, mereka telah menikmati bagian mereka dan kalian telah menikmati bagian kalian pula sebagaimana orang-orang sebelummu menikmati bagiannya dan kalian telah ikut pula berbicara sebagaimana mereka berbicara". [QS.at-Taubah: 69]
Yang mereka nikmati adalah kehidupan syahwat, memperturutkan keinginan hawa nafsu dan melanggar perintah, sedangkan yang mereka bicarakan adalah hal-hal syubhat seputar agama mereka, mereka lumuri mulut mereka dengan hal-hal yang memburukkan agama. Begitulah hari-hari mereka, badan dibinasakan dalam mengikuti hawa nafsu, sedangkan pikiran dibinasakan dengan pemahaman yang salah melenceng dari ajaran kebenaran. Makanya, Allah sifati semua manusia dalam keadaan merugi, Allah bersumpah dengan masa yang setiap hari dilalui dan dilewati oleh manusia, berpagi dan bersore... melintasi siang dan melewati pagi, bahwa mereka semua merugi kecuali orang yang punya dua penangkal tadi yaitu yakin dan sabar. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
واَلعَْصرِْإِنَّالإْنِساَنَلفَِيخُسرٍْإلِاَّالذَّیِنَآمنَوُاوَعمَلُِواالصاَّلِحاَتِوتَوَاَصوَاْباِلْحَقِّوتَوَاَصوَاْباِلصبَّرْ
"Demi rnasa, sesungguhnya manusia dalam keadaan merugi, kecuali orang-orang yang beriman dan beramal shaleh, dan sating menasehatilah kalian atas kebenaran dan menasehatilah atas kesabaran". [QS. Al Ashr:1-3]
Allah bersumpah dengan masa yang ia adalah masa untuk berbuat laba atau berbuat rugi, bahwa semuanya dalam merugi, kecuali orang yang telah menyempurnakan kekuatan ilmiahnya dengan iman kepada Allah dan melengkapi kekuatan amaliah dengan amal shalih dan ketaatan. Dua pokok itu sebagai landasan kesempurnaan seseorang, sedangkan limpahan kesempurnaannya adalah wasiat dan nasehat dengan keduanya dan agar selalu menggunakan senjata kesabaran dalam rangka menegakkannya.
Oleh karenanya Imam Syafi`i berkata: "Sekiranya manusia memikirkan ayat ini, tentu akan mencukupkan mereka". [Ighatsatul lahfan 1/25]
Akan tetapi, tidak akan mungkin bagi seorang hamba bersabar, sekiranya ia tidak memiliki sesuatu yang membuatnya tenang dan menjadikannya bahagia, kalaulah bukan datang dari sebuah keyakinan, karena yakin itu sebagai makanan ruh dan jiwanya. Allah mensifati para nabiNya dengan dua sifat tersebut dalam firmanNya:
واَذكْرُْعبِاَدنَاَإبرْاَھیِمَوإَِسْحاَقَویَعَقْوُبأَُولِْيالأْیَدِْيواَلأْبَْصاَرِ
"Hamba-hamba Kami Ibrahim, Ishaq dan Ya'qub, yang memiliki kekuatan dan pandangan". [QS.Shad:45]
الأْیَدِْي "AlAidi" yaitu kekuatan dan kemauan dalam Dzat Allah ,sedangkan الأْبَْصاَرِ "al Abshar" yaitu ilmu tentang perintah dan larangan Allah, ungkapan salaf dalam dua kata ini berkisar seputar itu.
lbnu Abbas berkata : " أوُلِْيالأْیَدِْي yaitu punya kekuatan dan ibadah, dan الأْبَْصاَرِ yaitu pemahaman tentang agama".
Al-Kalbi berkata : "punya kekuatan dalam ibadah dan punya kedalaman ilmu dalamnya".
Mujahid berkata : "Punya kekuatan dalam melakukan ketaatan, dan punya pandangan tajam".
Said bin Jubair berkata : "Kekuatan dalam beramal dan merniliki pandangan tajam tentang keadaan beragama mereka" [Lihat Tafsir Thabari 10/591]
Allah juga memuji para sahabat Musa yang mempunyai dua sifat tersebut, sebagaimana firman Allah dalam QS. As-Sajadah:24. Sebagaimana kita ketahui, bahwa para sahabat Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam lebih berhak dan lebih pantas dengan sifat ini dari pada para sahabat Musa, karena keyakinan mereka lebih sempuma dari pada keyakinan para sahabat Musa, dan kesabaran mereka lebih kuat dari pada kesabaran para sahabat Musa. Sesuai dengan persaksian Allah Ta'ala kepada mereka, dan persaksian Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bahwa mereka sebaik-baik generasi, bahwa mereka adalah orang-orang pilihan Allah. [Lihat I’lamul Muwaqqi’in 4/135]
Dari apa materi sabar dan yakin terbuat? Apa hakikat dan keutamaannya? Bagaimana cara syariat merajut benangnya? Seberapa dalam pengaruhnya pada penghidupan orang-orang shalih? Di bawah ini kita bentang pembahasannya dan kita rentangkan akar masalahnya.
I. Sabar
Seringkali kesadaran timbul pada seseorang, sebagai pertanda hidayah akan tiba menghampirinya. ltulah yang disebut dengan panggilan batin, kesadaran fitrah, karena penciptaaan manusia itu sendiri dari dua alam yang berlawanan, alam ruh dan alam tanah, ia saling menarik, saling menekan. Ketika posisi sifat tanah melemah dan menyerah, terasa alam ruh akan menguasai dirinya, dengan itu timbullah kesadaran. Kadang-kadang kesadaran itu timbul setelah seharian badannya mengejar dunia, sekarang badannya ia hempaskan ke kasur, pikirannya ia biarkan lepas terbang, seperti jauh di alam lain. Disanalah baru terpikir akan kehidupan yang berbeda dari kehidupan dunia ini, setelah penat memuaskan kebutuhan tubuhnya, mau kemana dirinya akan dibawa?
Terpikir pula kezhaliman dan kejahatan yang telah dilakukannya, kapan ia akan mendapatkan hukumannya? Atau kebaikan yang pernah ia lakukan, kapan akan ia peroleh sanjungannya? Rasanya dunia terlampau hina untuk menentukan dan menetapkan kebahagiaan dan kesengsaraan bagi seseorang!! Karena ia melihat sendiri berapa banyak orang yang buruk 'bahagia' dan berapa banyak orang yang baik 'sengsara'?! Dari sebanyak itu ia berpikir, akhirnya dia akan tersungkur juga ke dalam lembah fitrah yang sangat dalam. Itulah awal dari pertanda hidayah telah mulai menampakkan jemari nya, menggapai dinding kalbu meminta diangkat ke langit.
Orang yang telah ditentukan baginya kesesatan, sering mencampakkan hidayah itu jauh-jauh atau tidak mempedulikannya dengan mencoba lari dari kenyataan dengan minuman keras, berzina atau menghabiskan masa dengan teman dunianya. Yang jelas, ia akan lakukan apapun demi hilangnya kesadaran itu. Tapi bagi orang yang telah ditarik ubun-ubunnya oleh Dzat Yang Maha Kuasa, ia akan sentuh hidayah tersebut, ia akan sapa dan bertanya tentang keinginannya. Akan tetapi, sangat disayangkan! Banyak pula orang yang tidak bisa mengolah perubahan dirinya menjadi sebenar-benar hidayah. Sudah beberapa kali muncul kesadaran itu, akan tetapi sebanyak itu pula ia tidak berhasil mempertahankannya, ia seakan-akan begitu lemah untuk mempertahankan dan memeliharanya.
Seorang ikhwan berkata kepadaku, "Taubat ini sudah untuk kedua kalinya, tadz!", yang berarti setelah taubatnya yang pertama dia kembali ke alam jahiliahnya, dia kembali memperturutkan hawa nafsunya. Apa sebabnya? Apa jawabanya dari semua permasalahan di atas? Maka aku katakan, "Sebabnya adalah kurang sabar dan kurang yakin". Dan itu pula solusinya, harus sabar dan yakin sekaligus. Di bawah ini kita akan menjelaskan permasalahan sabar, semoga Allah memberi kesabaran kepada kita semua Allah menyebutkan lafadz sabar dalam al-Quran lebih dari 9 tempat, dan Imam Ibnul Qayyim menyebutkan 16 ragam pembahasan yang disebutkan Allah dalam Al-Quran [Madarijus Salikin 2/153-154], yaitu :
Perintah Allah untuk bersabar, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
یاَأیَھُّاَالذَّیِنَآمنَوُاْاستْعَیِنوُاْباِلصبَّرِْواَلصَّلاةَِ
"Hai orang-orang beriman, minta bantulah dengan sabar dan sholat" [QS. Al-Baqarah: 153]
واَستْعَیِنوُاْباِلصبَّرِْواَلصَّلاةَِ
"Minta bantulah dengan sabar dan sholat". [QS, AI-Baqarah:45]
یاَأیَھُّاَالذَّیِنَآمنَوُاْاصبْرِوُاْوَصاَبرِوُاْ
"Hai orang-orang beriman, bersabarlah dan tegalah dalam kesabaran.,,"[QS. Ali Imran: 200]
واَصبْرِْومَاَصبَرُْكإَِلاَّباِللھِّ
"Bersabarlah, tidaklah sabarmu itu melainkan hanya dengan Allah". [QS. An-Nahal: 127]
1. Allah melarang hambaNya dari sifat tidak bersabar, sebagaimana firman Allah:
فاَصبْرِْكمَاَصبَرََأوُلْوُاالعْزَمِْمِنَالرُّسلُِولَاَتَستْعَْجلِلھَّمُْ
"Bersabarlah sebagaimana para rasul Ulul ‘azmi, dan janganlah tergesa-gesa" [QS. Al-Ahqaf: 35]
فَلاَتوُلَوُّھمُُالأدَبْاَرَ
"Dan janganlah kalian lari dari peperangan" [QS. Al-Anfal: I5]. Karena lari dari peperangan, berarti meninggalkan sabar dan ketegaran.
ولَاَتبُْطلِوُاأَعمْاَلكَمُْ
"Janganlah kalian mernbatalkan amal perbuatan kalian" [QS.Muhammad:33], dengan membatalkannya, berarti tidak sabar meninggalkannya.
وَلاَتھَنُِواوَلاَتَحزْنَوُا
"Janganlah kalian merasa lemah dan bersedih" [QS.Ali Imran:139], penyakit wahan akibat tidak punya kesabaran.
2. Allah memuji orang yang menghiasi dirinya dengan kesabaran, sebagaimana dalam firman Allah 'Azza wa Jalla:
الصاَّبِریِنَواَلصاَّدقِیِنَ
"orang-orang yang sabar dan orang-orang yang jujur..." [QS. Ali Imran: l7]
واَلصاَّبرِیِنَفِيالبْأَْساَءوالضرَّاَّءوَحیِناَلبْأَْسأِوُلَئِكَالذَّیِنَصدَقَوُاوأَوُلَئِكَھمُُالمْتُقَّوُنَ
"...dan orang-orang yang bersabar di masa sempit dan lapang, dan ketika terjadi peperangan, mereka itulah orang-orang yang jujur dan mereka itulah orang-orang yang bertaqwa". [QS. AI Baqarah: 177]
3. Lekatnya tali kasih Allah kepada mereka yang bersabar, sebagaimana firman Allah Ta'ala:
واَللھُّ یُحِبُّ الصاَّبرِیِنَ
"Dan Allah mencintai orang-orang yang bersabar". [QS. Ali Imran: 146]
4. Pantasnya mereka memperoleh keistimewaan yaitu kebersamaan dengan Allah yang berarti pemeliharaan dan pembelaan Allah kepadanya, bukan hanya kebersamaan dalam arti umum tetapi kebersamaan dalam hal ilmu dan perhatianNya, sebagaimana dalam firmanNya.
واَصبْرُِواْ إِنَّ اللھَّ معََ الصاَّبرِیِنَ
"Dan bersabarlah kalian, sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar" .[QS. Al Anfal: 46]
5. Bahwa dengan sabar berarti ia telah mengambil tindakan yang paling tepat, sebagaimana finnan Allah Subhanahu wa Ta'ala:
ولَئَِن صبَرَتْمُْ لھَُوَ خیَرٌْ للِّصاَّبرِینَ
"Sekiranya kalian bersabar, niscaya sebuah sikap yang baik bagi orang-orang yang bersabar". [QS.An Nahl:126]
وأََن تَصبْرُِواْ خیَرٌْ لكَّمُْ
"Jikalau kalian sabar, hal itu lebih baik bagi kalian". [QS. An-Nisa: 25]
6. Allah memberi ganjaran lebih baik dari amalan yang mereka kerjakan, sebagaimana Allah Ta'ala berfirman:
ولَنََجزْیَِنَّ الذَّیِنَ صبَرَوُاْ أَجرْھَمُ بأَِحْسَنِ ماَ كاَنوُاْیعَمْلَوُنَ
"Niscaya Kami akan memberi ganjaran terhadap orang-orang yang bersabar lebih baik dari apa yang telah mereka lakukan". [QS. An-Nahl: 96]
7. Allah memberi ganjaran tanpa batas bagi yang bersabar, sebagaimana dalam firman Allah:
إنِمَّاَ یوُفََّى الصاَّبرُِونَ أَجرْھَمُ بغِیَرِْ حِساَبٍ
"Sesungguhnya Kami akan penuhi ganjaran tanpa batas kepada orang-orang yang bersabar". [QS.Az Zumar:10]
8. Allah selalu memberikan berita gembira bagi pelaku kesabaran.
ولَنَبَلْوُنَكَّمُْ بِشَيءٍْ مِّنَ الْخوَفْ واَلْجوُعِ ونَقَْصٍ مِّنَالأمَوَاَلِ واَلأنفُسِ واَلثمَّرَاَتِ وبََشرِِّ الصاَّبرِیِنَ
"Dan Kami akan menguji kalian dengan sedikit rasa takut, lapar dan kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan, dan berbahagialah orang-orang yang sabar". [QS. Al-Baqarah: 155]
9. Jaminan kemenangan dan pertolongan bagi orang yang bersabar, sebagaimana dalam firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:
بلََى إِن تَصبْرُِواْ وتَتَقَُّواْ ویَأَتْوُكمُ مِّن فوَرْھِمِْ ھَذاَیمُدْدِكْمُْ ربَكُّمُ بِخمَْسةَِ آلافٍ مِّنَ المَْلآئكِةَِ مُسوَمِّیِنَ
"Benar (telah cukup), jika kalian bersabar dan bertaqwa dan mereka menyerang kalian dengan seketika itu juga, niscaya AIlah menolong kalian dengan lima ribu malaikat yang memakai tanda". [QS.Ali Imran: 125]
Dan sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam, "Ketahuilah, bahwa kemenangan diraih bersama kesabaran" [HR. Ahmad dan Baihaqi]
10. Allah memberitahukan bahwa orang yang bersabar, merekalah orang yang punya kemauan keras, sebagaimana dalam firmanNya:
ولَمََن صبَرََ وَغفَرََ إِنَّ ذلَِكَ لمَِنْ عزَمِْ الأْمُوُرِ
"Akan tetapi orang yang bersabar dan memaafkan, sungguh hal itu merupakan perkara yang besar".[QS.As-Syura: 43]
11. Allah memberitakan bahwa semua amal shalih dan semua ganjaran tidak akan dapat diperoleh kecuali orang yang sabar, sebagaimana firman Allah:
ویَلْكَمُْ ثوَاَبُ اللھَِّ خیَرٌْ لمَِّنْ آمَنَ وَعمَلَِ صاَلِحاً ولَاَیلُقَاَّھاَ إلِاَّ الصاَّبرِوُنَ
"Celaka kalian, ganjaran dari Allah lebih baik bagi yang beriman dan beramal shalih, dan hal itu tidak akan diperoleh kecuali oleh orang-orang yang sabar". [QS. Al Qashash: 80]
ومَاَ یلُقَاَّھاَ إلِاَّ الذَّیِنَ صبَرَوُا ومَاَ یلُقَاَّھاَ إلِاَّ ذوُ حَظٍّعَظیِمٍ
"Sifat-sifat yang baik itu tidak diberikan kecuali kepada orang-orang yang sabar, dan tidak dianugrahkan kecuali kepada orang yang memperoleh keberuntungan besar". [QS. Fushshilat: 35]
12. Allah menyatakan bahwa orang yang bersabarlah yang mengambil manfaat dengan ayat-ayat atau menjadikan pelajaran, sebagaimana Allah Ta'ala firmankan kepada Musa:
ولَقَدَْ أرَْسلَنْاَ موُسَى بآِیاَتنِاَ أَنْ أَخرِْجْ قوَمَْكَ مِنَ الظلُّمُاَتِإلَِى النوُّرِ وذَكَرِّھْمُْ بأِیَاَّمِ اللھِّ إِنَّ فِي ذلَِكَ لآیاَتٍ لكِّلُِّصبَاَّرٍ شكَوُرٍ
" Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya): "Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah ". Sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi setiap orang penyabar dan banyak bersyukur." [QS.Ibrahim: 5]
13. Allah Subhanahu wa ta'ala berfirman tentang penduduk Saba’:
فَجعَلَنْاَھمُْ أَحاَدیِثَ ومَزَقَّنْاَھمُْ كلَُّ ممُزََّقٍ إِنَّ فِي ذلَِكلَآَیاَتٍ لكِّلُِّ صبَاَّرٍ شكَوُرٍ
"...maka Kami jadikan mereka sebagai cerita mulut dan Kami cabik-cabik mereka dengan sebenarnya, sesungguhnya hal itu sebagai tanda-tanda kekuasaan Allah bagi orang yang benar-benar bersabar dan bersyukur". [QS. Saba': 19]
ومَِنْآیاَتھِِالْجوَاَرِفِيالبَْحرِْكاَلأَْعلْاَمِإِنیَشأَْیُسكِْناِلریِّحَفیََظلْلَْنَروَاَكدَِعلََىظھَرْهِِإِنَّفِيذلَِكَلآَیَتٍ لكِّلُِّصبَاَّرٍشكَوُرٍ
" Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah kapal-kapal di tengah (yang berlayar) di laut seperti gunung-gunung. Jika Dia menghendaki, Dia akan menenangkan angin, maka jadilah kapal-kapal itu terhenti di permukaan laut. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaannya) bagi setiap orang yang banyak bersabar dan banyak bersyukur ".[QS. As- Syura: 32-33]
14. Allah memberitakan bahwa kesuksesan dalam meraih yang diangankan dan bahtera penyelamat dari yang dibenci serta masuk surga hanya bisa diperoleh dengan kesabaran, sebagaimana yang difirmankan oleh Allah:
واَلمَلائَكِةَُیدَْخلُوُنَعلَیَھْمِمِّنكلُِّباَبٍسَلامٌَعلَیَكْمُبمِاَصبَرَتْمُْفنَعِمَْعقُبَْىالداَّرِ
"Dan para malaikat masuk ke mereka pada setiap penjuru pintu. (Mereka berkata); "Salam sejahtera bagi kalian, dari semua kesabaran kalian", dan (surga itu) alangkah sebaik-baiknya tempat tinggal". [QS.Ar-Ra’ad :23-24]
15. Pelaku sabar menjadi pewaris tunggal kepemimpinan, sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam: "Dengan sabar dan yakin akan diperoleh kepemimpinan dan agama", lalu beliau membaca firman Allah As-Sajadah: 24.
16. Eratnya hubungan dengan pondasi Islam dan Iman, sebagaimana Allah mempertalikannya dengan yakin dan iman, atau taqwa dan tawakkal, dan mempertemukan dengan syukur, amal shalih dan rahmat. Oleh karena itu, sabar menempati posisi kepala pada tubuh, dan tidak ada iman bagi yang tidak bersabar.
Umar bin Khattab berkata, "Senikmat-nikmat hidup, kami temukan pada kesabaran", dan Nabi shallallahu' alaihi wa sallam telah mengabarkan bahwa kesabaran adalah cahaya, dan beliau bersabda, "Barang siapa menyabar-nyabarkan dirinya, maka Allah akan memberinya kesabaran". [HR Bukhari dan Muslim]
Dalam hadits, "Sungguh aneh perkara seorang mukmin, semua perkaranya baik, dan hal demikian tidak dimiliki kecuali bagi seorang mukmin. Sekiranya ditimpakan kepadanya kelapangan ia bersyukur, dan itulah yang terbaik baginya, dan sekiranya ditimpakan kepadanya kesusahan ia bersabar, dan itulah yang terbaik baginya". [HR. Muslim]
Beliau shallallahu' alaihi wa sallam berkata kepada wanita yang berkulit hitam yang sering menderita kesurupan, ketika ia meminta beliau mendoakannya. Beliau shallallahu' alaihi wa sallam bersabda, "Kalau engkau mau, maka bersabarlah dan bagimu surga, dan kalau engkau mau aku berdoa untukmu agar engkau disembuhkan", lalu wanita itu berkata, "(Kalau aku kesurupan), pakaianku sering terbuka, doakanlah agar jangan lagi terbuka", lalu beliau mendoakannya. [HR. Muftafaqun alaihi]
Dan beliau perintahkan orang-orang Anshar untuk bersabar ketika mereka menemukan kebakhilan setelahnya, hingga bertemu dengannya nanti di telaga. Beliau shallallahu' alaihi wa sallam perintahkan juga agar bersabar ketika bertemu musuh, dan juga beliau perintahkan juga untuk bersabar ketika terjadi musibah, dan beliau pula yang mengabarkan:
إنِمَّاَالصبَّرُْعنِدَْالصدَّمْةَِالأْوُلَى
"Sesungguhnya kesabaran itu, hanya pada pukulan pertama". [HR. Muttafaqun 'alaih]
Beliau juga yang mengabarkan bahwa kesabaran semuanya baik, beliau shallallahu' alaihi wa sallam bersabda:
وماأعطىاللهأحدامنعطاءأوسعمنالصبر
"Tidaklah seseorang diberi pemberian yang lebih baik dan lebih bagus dari sabar". [HR. Ahmad dan Abu Daud]
Sabar dalam bahasa adalah menahan dan memenjarakan, sedangkan dalam istilah adalah menahan diri dari gundah dan rasa tidak terima, menjaga lidah dari keluhan dan menjaga badan dari hal-hal yang tidak layak. Orang yang baru mengenal hidayah tidak boleh lepas dari kesabaran, karena ia baru berkenalan dengan aturan dan amalan yang selama ini belum terbiasa. Hari-hari yang dilaluinya merupakan hari baru dalam hidayah yang sebelumnya ia sudah terbiasa dengan maksiat dan pembangkangan, maka ia harus menahan dirinya. Ia harus bersabar agar istiqamah di jalan kebenaran, untuk menjalani kehidupan hidayahnya. Ia harus bersabar dalam 2 kondisi, yaitu :
1. Kondisi pertama : Sabar dalam 'afiat
Ketika Allah menganugerahkan semua maksud dan keinginan manusia dari nikmat kesehatan, harta, kedudukan dan banyaknya kerabat serta pengikut, maka ketika itu pula keberadaan sabar sangat diperlukan, sehingga ia bisa menjaga hak Allah dalam harta dan kesehatan badannya. Bersabar dalam harta yaitu ia dapat bersyukur dengan menunaikan kewajiban harta yaitu berzakat atau bersedekah, dan bersabar dengan kesehatan jasmani dengan menuntunnya untuk beribadat kepada Allah. Selama ia tidak bisa dikekang dengan
kesabaran, tentu akan membawanya kepada sikap sombong dan melampaui batas.
Sehingga banyak ulama mengatakan, "Banyak orang yang sanggup bersabar dalam musibah, tetapi shiddiqlah (orang yang sudah mencapai pada tingkat kejujuran) yang sanggup bersabar dalam kesehatan".
Berkata Abdurrahman bin ‘Auf , "Ketika kami dicoba dengan kesusahan, kami bisa bersabar, lalu kami dicoba dengan kelapangan, kamipun tidak dapat bersabar"
Allah Subhanahu wa Ta'ala menyebutkan bahwa anak dan istri merupakan fitnah
واَعلْمَوُاْ أنَمَّاَ أمَوْاَلكُمُْ وأَوَْلادَكُمُْ فتِنْةٌَ وأََنَّ اللھَّعنِدهَُ أَجرٌْ عَظیِمٌ
"Dan ketahuilah, bahwa hartamu dan anak-anakmu itu hanyalah sebagai cobaan dan sesungguhnya di sisi Allah-lah pahala yang besar". [QS. Al Anfal: 28].
2. Keadaan yang kedua : Sabar dari hawa nafsu
Seorang yang hendak istiqamah, hendaklah ia bersabar dalam hal-hal yang disukai oleh hawa nafsu, karena biasanya, hawa nafsu selalu condang kepada keburukan dan maksiat, dan ia terbagi 3 maram, yaitu:
a) Sabar dalam melakukan ketaatan, karena pada dasarnya manusia tidak hendak melakukan peribadatan, dia mau bebas dengan hawa nafsunya. Kadang-kadang ibadah menjadi berat karena malas, seperti dalam menegakkan sholat atau karena bakhil diri seperti dalam menunaikan zakat, atau karena keduanya seperti dalam menunaikan haji. Dalam melakukan ibadah seseorang harus selalu menggunakan senjata kesabaran, dengan bersabar dalam tiga kondisi:
- Sabar sebelum melakukan ibadah dengan meluruskan niat dan ikhlas hanya semata karena Allah dan membersihkan diri dari riya'.
- Sabar dalam melakukan ibadah dengan selalu ingat kepadaNya selama beribadah dan tidak bermalas-malasan dalam mengerjakan sunnah-sunnah ibadah dan adabnya, sehingga ia harus tidak futur.
- Sabar setelah beribadah dengan menahan diri berbuat riya', yaitu tidak menyebut-nyebut ibadah tersebut.
b) Sabar dari perbuatan maksiat, yaitu menahan diri dari larangan Allah. Alangkah seorang hamba sangat membutuhkannya.
c) Sabar dalam mengajak orang untuk melakukan ketaatan dan menjauhi maksiat. Ketika seseorang telah bersabar dalam melakukan ibadah dan meninggalkan larangan, ia dituntut untuk mengajak manusia kepadanya. Dalam berdakwah tentu ia temukan kendala dan tantangan, pada saat itulah ia memerlukan kesabaran
II. Yakin
Kedudukan yakin dengan iman seperti kedudukan ruh dengan jasad, dengan yakin pula kedudukan orang-orang shalih berbeda-beda dalam derajat dan tingkatan. Allah Subhanahu wa Ta'ala mengkhususkan hanya orang yang yakin saja, yang dapat memanfaatkan ayat-ayat dan dalil. Allah Ta'ala berfirman, dan Dia adalah Zat Yang Maha Jujur:
وفَِي أنَفُسكِمُْ أفَلَاَ تبُْصرُِونَ
"Dan (juga) pada dirimu sendiri, maka apakah kamu tidak memperhatikan?" [QS. Az-Zariat: 21]
Allah mengkhususkan pemilik yakin dengan petunjuk dan kebahagiaan dari seluruh alam, Allah berfirman:
والذَّیِنَیؤُمْنِوُنَبمِاَأنُزلَِإلِیَْكَومَاَأنُزلَِمِنقبَلِْكَوبَاِلآخرِةَِھمُْیوُقنِوُنَأُولَْئِكَعلََىھدًُىمِّنربَّھِّمِْ وأَوُلَْئِكَھمُُالمْفُلِْحوُنَ
"Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur'an) yang telah diturunkan kepadarnu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat. Mereka itulah yang tetap mendapat petunjuk dari Rabb mereka, dan merekalah orang-orang yang beruntung". [QS. Al-Baqarah: 4-5].
Lalu Dia mengkabarkan bahwa penyebab penduduk neraka masuk neraka, karena mereka bukanlah orang yang yakin, Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
وإَذِاَ قیِلَ إِنَّ وَعدَْ اللھَِّ حَقٌّ واَلساَّعةَُ لاَ ریَْبَ فیِھاَ قلُتْمُماَّ ندَرِْي ماَ الساَّعةَُ إِن نَّظُنُّ إلِاَّ ظنَاًّ ومَاَ نَحْنُ بمُِستْیَقْنِیِنَ
"Dan apabila dikatakan (kepadamu): "Sesungguhnya janji Allah itu adalah benar dan hari berbangkit itu tidak ada keraguan padanya", niscaya kamu menjawab: "Kami tidak tahu apakah hari kiamat itu, kami sekali-kali tidak lain hanyalah menduga-duga saja dan kami sekali-kali tidak meyakini{nya)" [QS.Al-Jatsiah: 32]
Maka, yakin adalah ruh perbuatan hati sebagaimana hati adalah ruh dari perbuatan badan, dialah hakikat shiddiqah (kejujuran/ketulusan) dan ia adalah poros semua perkara. Ketika yakin masuk ke lubuk hati, ia akan dipenuhi oleh cahaya dan penerangan, akan sima semua keraguan, kebimbangan dan kebencian serta sedih dan duka cita. Dan semuanya akan berganti dengan kecintaan, takut, ridho, syukur, tawakkal dan kepasrahan kepada Allah Ta'ala, dia adalah pokok dari semua derajat dan kedudukan.
Yakin dalam bahasa adalah `hilangnya keraguan', dan para ulama berselisih tentang defenisi yakin, sebagiannya berkata, "yakin adalah mukasyafah (terbukanya tabir) yaitu penampakan sesuatu pada hati seperti nampaknya sesuatu oleh mata ketika memandang".
Seorang muslim dituntut untuk yakin tentang semua yang dikabarkan oleh Allah dari semua perintah dan laranganNya. Yakin yang lahir dari ilmu dan pemahaman yang benar tentang agama, inilah yang mengantarkan seorang muslim untuk tetap istiqamah di atas agama Allah, sekalipun semua penduduk bumi menyelisihinya. Perumpamaan yang tepat dalam hat ini adalah yakinnya Abu Bakar terhadap semua yang dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sehingga beliau diberi gelar dengan "Shiddiq".
MENUJU MADZHAB SALAF
Nabi Muhammad -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah seorang rasul yang menjadi pengemban amanah yang terberat, sehingga Allah menganugerahkan para sahabat yang siap membela dakwah dan risalahnya. Demi terlaksana risalah ini dengan baik, maka Allah telah mempersiapkan segala sesuatunya, demi terciptanya "khaira ummah" umat yang terbaik. Nabi yang Allah pilih adalah manusia yang berhati terbaik dari semua hati yang ada pada manusia, dan para sahabat dari Muhajirin dan Anshar sebagai kaum yang terbaik dari seluruh kaum dan puak yang ada pada semua masa dan tempat. Lalu Dia letakkan mereka yang terbaik itu di sebuah tempat yang tersuci, jazirah Arab sebuah lembah tandus tapi penuh berkah di sisi rumahNya yang agung yaitu Ka' bah.
Dari Abdullah bin Mas'ud berkata, "Sesungguhnya Allah melihat hati semua makhluk, maka Dia dapatkan sebaik-baik hati manusia adalah hati Muhammad, lalu Dia ambil sebagai peruntukan diriNya dan sebagai pengemban risalahNya. Kemudian Dia melihat kepada semua hati manusia setelah hati Muhammad, ia temukan hati para sahabatnya sebaik-baik hati, lalu Dia jadikan mereka sebagai pembela NabiNya dan berperang membela agamaNya... " [Musnad Thayalisi (hal. 33 no. 246), Musnad Ahmad (1/379) dan dihasankan oleh Al Albani di Silsilah Dha’ifah no. 532]
Nabi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- diutus setelah berselang lama absennya para rasul, antara beliau dengan nabi sebelumnya hanya nabi Ibrahim, pada masa manusia dalam buta dikegelapan jahiliah, tidak mengenal lagi ajaran yang benar, kecuali ritual ibadah yang telah menjadi tradisi dan adat-istiadat yang telah diselewengkan dari jalan kebenaran.
Semenjak itu, ketika matahari kebenaran telah terbit di ufuk kegelapan, hilanglah kegelapan dan sirnalah jahiliah. Tatkala bala tentara Allah datang, maka bersurutlah kerumunan pengikut kebatilan, nyatalah bagi manusia kebenaran sebagai kebenaran dan kebatilan sebagai kebatilan. Kiranya, apa yang mereka lakukan selama ini tidak lain hanyalah kesesatan dan maksiat kepada Allah sehingga mereka dapat hidup dengan bahagia di bawah lindungan agama yang hanif dengan penuh nikmat kesucian akidah, keindahan syariat dan kebahagiaan beribadah. Jauh dari was-was syirik, kotoran bid'ah, khurafat dan takhayyul.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pemah mengingatkan kebahagiaan ini kepada para pembelanya yaitu Anshar, orang-orang yang terpilih menjadi sandaran dan penopang dakwah beliau, ketika mereka tidak puas dengan pembagian ghanimah Hunain yang dibagikan Nabi hanya kepada pemuka Quraisy, mereka tidak mendapat sedikitpun.
Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam berkata, "Wahai sekalian Anshar, desas-desus apa yang telah sampai kepadaku?! Dan ketidakpuasan apa yang kalian rasakan pada diri kalian?! Bukankah aku temukan kalian dalam keadaan sesat lalu Allah memberi kalian hidayah melaluiku! (Bukankah aku temukan kalian dalam keadaan) melarat, lalu Dia kayakan kalian lantaranku!! 'Bukankah aku temukan kalian dalam keadaan) saling bermusuhan, lalu Allah menyatukan hati kalian?!, kenapa kalian tidak menjawabnya, wahai sekalian Anshar?". Mereka berkata, "Dengan apa dapat kami jawab, wahai Paduka! Padahal semua keutamaan dan hutang budi hanya kepada Allah dan rasulNya!...” [Bukhari 8/37,42 dan Muslim (1061)]
Begitulah, belum lagi Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dipanggil oleh Allah kecuali Dia telah menyempurnakan agamaNya. Beberapa bulan sebelum beliau meninggal, tepatnya pada haji wada’, Allah Subhanahu wa Ta'ala menurunkan ayatnya yang terakhir:
الیْوَمَْ أكَمْلَْتُ لكَمُْ دیِنكَمُْ وأَتَمْمَْتُ علَیَكْمُْ نعِمْتَِيورََضیِتُ لكَمُُ الإِسْلامََ دیِناً
"Pada hari ini Aku telah sempurnakan agamamu dan Aku sempurnakan nikmatKu kepada kalian, dan Aku telah ridho Islam sebagai agama kalian". [QS. AI-Maidah: 3]
Berkata Abdullah bin ‘Abbas dalam menafsirkan ayat ini, "Allah mengabarkan NabiNya shallallahu 'alaihi wa sallam serta kaum mukminin, bahwa Dia telah menyempurnakan bagi mereka keimanan, sehingga tidak perlu bagi mereka mencari penambahan lagi, Allah telah menyempurnakan lslam sehingga tidak perlu lagi pengurangan, Dia telah ridho yang tidak akan murka dengan iman tersebut" [Tafsir Ibnu Katsir 2/12]
Hal ini diperkuat pula persaksian NabiNya shallallahu 'alaihi wa sallam, dari riwayat Abu Darda' dari Nabi bersabda, "...dan demi Allah, aku tinggalkan kalian di atas jalan yang terang, malamnya bagaikan siang" [Sunan Ibnu Majah no. 5 dan dihasankan oleh Al Albani di Shahih Ibnu Majah 1/6].
Dalam hadits Irbadh bin Sariah ,"… tidak mungkin seseorang menyeleweng setelahku nanti, kecuali yang mau binasa (sendiri)." [Musnad Ahmad 4/126, Sunan Ibnu Majah 1/16 dan hadits dishohihkan oleh Al Albani melalui semua jalannya di “Zhilalil Jannah Takhrij Kitabus Sunnah” hal. 26]
Abu Darda' berkata : "Telah benar Rasulullah sungguh ia telah meninggalkan kami seperti jalan yang terang, malam dan siangnya sama" [Musnad Ibnu Majah 1/6 setelah menukilkan hadits di atas.]
Dalam praktek dan pengamalan Islam, maka semua sahabat mendapatkan pengajaran yang sempurna sesuai dengan yang diinginkan Allah 'Azza wa Jalla. Dalam koridor ittiba' dan iqtida' (menurut dan memanut syariat) yang tidak pernah dikenal oleh sejarah, dan juga pakar sejarah tidak pernah melihat orang-orang yang mengelilingi panutannya dalam hal ittiba' sebagaimana para sahabat mengikuti Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Akidah, ibadah, akhlak, muamalah dan semua kehidupan mereka adalah praktek nyata dari Kitab dan Sunnah. Dengan pemahaman yang mendalam dan analisa yang tajam, tanpa berlebih-lebihan dan memaksa-maksakan. [Silakan Lihat “Al-Fikrus Shufi” 1/25]
Karena pada dasarnya Islam itu sendiri adalah agama yang sesuai dengan fitrah, bukan agama pengalaman atau ilmu coba-coba! Agama yang mudah, bukan agama filsafat yang selalu menyulitkan dan menimbulkan masalah! Agama untuk yang mau berkarya dan berbuat, bukan agama orang-orang yang patah semangat dan padam motivasi. Dengan kesederhanaan tersebut, mereka membawa aqidah yang bersih dari segala debu syirik kepada peradaban Islam, mereka penuhi dunia dengan keindahan Islam, dan mereka merdekakan manusia dari jajahan animisme dan penyembahan berhala, dan mereka tanggalkan belenggu-belenggu penghambaan kepada manusia dan menukarnya dengan peribadatan kepada Allah Dzat Yang Maha Kuasa.
Begitulah keadaan berlangsung, hidup di alam luas ittiba' semasa hidup Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dan dua masa pemerintahan Khulafaurrasyidin Abu Bakar dan Umar. Tidak membiarkan “akal syaithan” merusak dengan semaunya, atau perasaan dan kalbu iblis mempermainkan agama hanif ini, atau ‘pengalaman spiritual Fir’aun' memburaikan tatanan hukum syariat. Begitu pula yang berlaku pada masa pemerintahan Utsman bin Affan, tidak ada bid'ah yang berani mendongakkan kepalanya, kecuali diakhir masa pemerintahannya, tatkala bala tentara iblis tidak kuat lagi menghadapi bala tentara Islam dengan perang secara frontal. Dengan bertujuan merusak Islam dari dalam, sebagai bentuk perlawanan orang-orang pengecut dan berjiwa lemah, masuklah ke dalam Islam orang-orang yang kalah tersebut. Bersamaan dengan itu panaklukan kota dan negeri-negeri membuat orang berbondong-bondong masuk Islam tanpa pemahaman yang benar dan pengetahuan yang memadai tentang Islam. Begitulah hukum yang berlaku pada setiap zaman, jika berkumpul orang-orang yang berniat buruk dengan gerombolan kebodohan, maka yang akan terjadi adalah kerusakan.
Hal itulah yang terjadi pada masa akhir pemerintahan Ustman, dengan datangnya gerombolan dungu dan sampah manusia yang dipimpin oleh seorang Yahudi licik Abdullah bin Saba' ke kota Madinah, setelah ia berletih dan berpeluh selama puluhan tahun pindah dari negeri ke negeri untuk mengumpulkan orang-orang tersebut. Hingga terbunuhlah sang khalifah - menantu Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Itulah awal kelemahan dan percikan api perpecahan umat. Pada masa Ali bin Abu Thalib, permasalahan terbunuhnya Utsman semakin memperburuk keadaan, dengan munculnya dua kelompok yang saling berlawanan pemahaman. Khawarij yang mengkafirkan Ali dan sebagian para sahabat, dan Rafidhah yang mandakwakan kenabian bahkan ketuhanan Ali, lalu beruntutlah firqah-firqah setelah itu. Pada masa tabi' in yaitu pada masa akhir masa khilafah Bani Umayyah, muncullah bid'ah Jahmiah dan Musyabbihah, dan kelompok di atas menjadi pokok-pokok firqah yang datang setelahnya. [Silakan lihat tentang awal perkembangan firqoh-firqoh dalam Islam; Minhajussunnah 6/230-232, SiyarA’lamin Nubala’ 11/236]
Islam = Salaf = Ahlussunnah
Ketika Islam yang murni - Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- telah tercampuri dengan pemahaman dan pemikiran lain, dan masuk ke dalam Islam yang bukan berasal darinya, hingga muncullah kelompok-kelompok yang telah melenceng dari jalan kebenaran, dan seluruhnya mendakwakan mereka sebagai penganut Islam, maka para pengikut sejati Islam merasa berkewajiban memperkenalkan diri dengan nama yang membedakan mereka dengan firqah-firqah yang lainnya. Muncullah nama-nama lain yang disyariatkan untuk pemanggilan orang-orang yang memeluk agama Islam sebenarnya, yaitu Ahlussunnah wal Jamaah, Salaf, Firqah Najiah, Thaifah Manshurah.
Semua penamaan di atas mengarah kepada satu makna dan pemahaman yaitu Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- dan yang dipraktekkan oleh para sahabat. Penamaan tersebut bukanlah nama-nama yang dibuat oleh para ulama tanpa ada dalil syar' i, sebaliknya nama tersebut sebagian diambil dari sabda Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan sebagian lagi diperoleh sebagai bukti mereka telah mempraktekkan Islam dengan cara yang benar.
Penamaan seperti Firqah Najiah atau Thaifah Manshurah dua nama yang diberi oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam kepada pengikut beliau yang menegakkan Islam sebagaimana yang dibawa oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam.
Berbeda dengan penamaan firqah-firqah yang lain, mereka menamakan kelompoknya dengan menisbatkan kepada pendirinya, seperti; Jahmiah - nisbat kepada pendirinya Jaham bin Shafwan, Kullabiah - nisbat kepada Abdullah bin Kullab, Karramiah - nisbat kepada Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bin Karram, dan Asy' ariah - nisbat kepada Abut Hasan Al-Asy' ari. Atau mereka mengambil nama firqahnya dari asal kata perbuatan bid'ah mereka, seperti; Rafidhah karena mereka menolak Zaid bin Ni atau mereka menolak kepimpinan Abu Bakar dan Umar, Nawashib karena mereka memancang permusuhan kepada Ahlul Bait, Qadariah karena mereka berbicara tentang qadar, dan Murji'ah karena mereka mengakhirkan amal dari iman. Atau gelar yang diberikan kepada mereka karena melencengnya mereka dari pengajaran kaum muslimin, seperti; Khawarij karena keluarnya mereka kepada Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib, dan Mu'tazilah karena pemimpin mereka (Washil bin Atha`) mengasingkan diri dari majlis Hasan Bashri dan begitu seterusnya. Jadi, manakah firqah-firqah di atas yang penamaan sesuai dengan nash dan syariat? Satu firqah menamakan kelompoknya berdasarkan hawa nafsu dan akal pemikiran. Dan firqah yang satu lagi menggunakan nama yang diberikan oleh syariat, sebagai bentuk penghargaan bagi siapa saja yang bergabung dengannya.
Syaikh Bakar Abu Zaid -hafizhahullah- menyimpulkan bahwa, penamaan yang mulia menyelisihi semua nama dan gelar kelompok manapun dari beberapa segi, yaitu :
1). Penamaan itu tidak pernah tanggal satu detikpun dari kaum muslimin semenjak dibentuk pada masa kenabian, ia mencakup seluruh kaum muslimin yang benar-benar di atas manhaj generasi pertama Islam, dan orang-orang yang mengikuti mereka dan menyadap ilmu dan cara memahaminya dan mengikuti cara berdakwahnya.
2). la mencakup semua makna Islam (yaitu Kitab dan Sunnah), dia tidak hanya khusus pada sebuah metode yang menyelisihi Kitab dan Sunnah baik dalam penambahan maupun dalam pengurangan.
3). Penamaan tersebut diantaranya sah dari sunnah yang shahih, dan diantaranya hanya dimunculkan ketika hendak menghadang metode Ahlul ahwa dan firqah-firqah yang sesat, untuk membantah bid' ah mereka dan membedakan diri dengan mereka.
4). Sesungguhnya buhul wala' dan barn' -loyalitas-, membenci dan mencinta bagi mereka hanya terhadap Islam, tidak dengan yang lainnya, tidak dengan nama tertentu atau tata cara tertentu, akan tetapi hanya dengan Kitab dan Sunnah saja.
5). Nama-nama di atas tidak akan menjadikan mereka ta'ashsub kepada seseorang kecuali hanya kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
6). Penamaan itu tidak mengantarkan mereka kepada perbuatan bid' ah atau maksiat, dan tidak membuat mereka fanatik kepada seseorang atau golongan tertentu.
[Silakan lihat, Hukmul Intima’ Hal 31-37]
Dan kekhususan di atas tidaklah dimiliki oleh kelompok manapun, dapat kita lihat bagaimana seseorang jika telah masuk ke dalam salah satu kelompok, maka ia akan menutup matanya dari semua atau sebagian penyelewengan kelompok tersebut yang telah nyata penyelisihannya terhadap Kitab dan Sunnah dan ia rela membela hidup atau mati di atasnya.
Maka, kita akan temui seorang yang masuk ke jamaah Hizbut Tahrir, misalnya! Sekalipun telah nyata baginya bahwa hadits ahad itu sah digunakan dalam beraqidah baik secara akal maupun nash, tetapi mereka tetap membela ajaran HT-nya bahwa hadits ahad tidak bisa dijadikan hujjah dalam aqidah. Kita temukan juga seseorang yang telah menyatakan dirinya Ikhwan Muslimin, sekalipun telah nyata baginya bahwa metode semua Nabi dan Rasul serta seluruh para sahabat adalah memulai dakwah dengan tauhid, akan tetapi mereka tetap bersikukuh dengan menutup mata dan telinga mereka bahwa dakwah harus dengan kekuasaan.
Kenapa bisa tejadi hal demikian? Kenapa harus berloyal di atas kebatilan? Saya kira jawabannya adalah itulah dampak hizbiah (fanatik kelompok), akibat kebanyakan kaum muslimin bergolongan-golongan, setiap kelompok bangga dengan kelompoknya. Jadi, hizbiahlah yang menyebabkan perpecahan umat ini, golongan-golongan itu yang merongrong persatuan Islam!! Dialah akar tunggang perpecahan umat, panghalang kaum muslimin untuk berpegang teguh dengan Kitab dan Sunnah Nabi mereka!!
Oleh karena itu, Salaf mencela seseorang yang menceburkan diri ke dalam sebuah kelompok dengan berhidup-mati di atasnya, kecuali terhadap Islam itu sendiri atau nama yang semakna dengannya.
Imam Malik berkata, "Ahlussunnah tidak memiliki gelar yang dikenal, mereka tidak bergelar Jahmiah, atau Qadariah atau Rafldhah".
Dui Abdullah bin Abbas berkata, "Barang siapa yang mengakui satu nama dari nama-nama yang Baru tersebut, berarti ia telah mananggalkan baju Islam ".
Berkata Malik bin Mighwal , "Jika seseorang mengambil nama selain dari Islam dan Sunnah, maka kelompokkan ia kepada agama yang engkau sukai" .
[Lihat Mauqif Ahlissunnah 1/39-40]
Jadi, seorang yang telah berikrar mengikuti ajaran Islam yang murni bersumberkan ajaran asli yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, maka ia tidak diperkenankan mencari Cara dan metode selain Islam itu sendiri, dan juga ia tidak diperkenankan menisbatkan diri kepada selain dan Islam atau yang semakna dengannya. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ومََن یبَتَْغِ غیَرَْ الإِسْلامَِ دیِناً فلََن یقُبْلََ منِھُْ وھَوَُ فِيالآخرِةَِ مِنَ الْخاَسرِیِنَ
"Barang siapa yang mencari selain dari Islam sebagaimana din (aturan dan hukum), Allah tidak akan menerima darinya". [QS. Ali Imran: 85]
Selanjuthya kita bahas tentang penamaan yang ada anjurannya dalam Islam, yaitu Ahlussunnah wal jama'ah dan salaf.
a. Ahlussunnah Wal Jama'ah
Arti Ahlussunnah wal jamaah dalam bahasa kita adalah penganut/pemilik Sunnah dan orang yang mengikuti jamaah. Sunnah yang dimaksudkan adalah jalan dan gaya hidup yang dilakoni oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berarti ia adalah Islam yang sebenarnya yang diturunkan oleh Allah melalui Jibril. Dan jamaah yang dimaksud adalah jamaah yang mengikuti kebenaran dari para sahabat rasul yang mulia dari orang-orang Muhajirin dan Anshar.
Berkata Imam Al-Barbahari "Ketahuilah, sesungguhnya Islam adalah Sunnah dan Sunnah adalah Islam, tidak akan berdiri salah satunya kecuali dengan saudaranya, dan dari sunnah berpegang teguh dengan jamaah (yaitu para sahabat). Barang siapa yang benci jamaah dan meninggalkannya berarti ia telah menanggalkan Islam dari pundaknya, dan berarti ia telah sesat dan menyesatkan. " [Syarhussunnah Hal 21]
Dari Anas bin Malik berkata, "Telah bersabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, "Sesungguhnya umatku akan berpecah belah menjadi 72 golongan, semuanya di neraka kecuali satu golangan yaitu jamaah." [Ibnu Majah 2/1322 No. 3993, Ibnu Abi ‘Ashim di Sunnah 32/64 dan hadits dishahihkan oleh Al-Albani di Zhilalul Jannah Hal. 33]
Dari pengenaian singkat terhadap makna Ahlussunah, setiap orang yang mengikuti Islam yang benar berarti ia adalah Ahlussunnah. Dan sebaliknya, mencamplok nama Ahlussunnah dan menempelkannya kepada kelompok metode dan pengajaran menyelisihi Sunnah serta keluar dari jamaah, maka hal ini adalah tindakan yang tidak benar dan perlu diwaspadai. Seperti pernyataan banyak orang bahwa Asy`ariah atau Maturidiah sebagai Ahlussunnah wal jamaah, padahal tidaklah sah secara tekstual dan kontekstualnya kalau mereka disebut Ahlussunnah karena dari pengajaran dan pemahaman mereka yang bertentangan dengan Sunnah dan jamaah sahabat.
b. Salaf
Penamaan salaf atau orang menisbatkannya dikenal dengan salafi yaitu orang yang mengikuti Salafusshalih. Dan Salafasshalih adalah orang yang telah terdahulu dari zaman yang telah disucikan oleh wahyu kenabian dari kalangan para sahabat dan tabi' in dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik. Berarti penamaan Salaf dan Ahlussunnah adalah nama lain dari Islam itu sendiri, tidak lain dan tidak bukan!! Sebuah penamaan yang dibutuhkan oleh seorang muslim sebagai bukti ia telah siap masuk ke dalam gerbong pembaharuan Islam, telah siap merubah dirinya kepada ajaran yang bersumberkan mata air yang murni dari Islam.
Sebagai muslim yang sebenarnya, tentu akan berbeda dalam cara beragama dengan orang-orang sekitarnya, perbedaan itu dikarenakan pengambilan Islam yang ia ambil berbeda dengan Islam yang mereka ambil. Ia mengambil Islamnya dari mata air kedua wahyu, sedangkan mereka mengambil Islam mereka dari tradisi dan adat istiadat atau sampah akal dan karat perasaan, berkarat karena telah lama terendam dalam lingkungan yang tidak baik dan bertumpuknya dosa dan maksiat.
Berarti ia butuh pembedaan diri, bahwa Islamnya berbeda dengan para pendakwa Islam... Berarti ia tidak mau disamakan... Bagaimana ia disamakan, sedangkan Allah telah membedakan dan telah mengangkatnya... Ia berhak untuk mengatakan dirinya Ahlussunnah atau dirinya salaf di tengah masyarakat Islam yang telah melenceng, sebagaimana dahulunya para panutannya juga mencabik dada dan berani menyatakan diri mereka Islam di tengah para pengikut ajaran hanif Ibrahim yang telah diselewengkan.
Ini dalam segi penamaan, akan tetapi dalam segi praktek dan realitanya maka selagi seorang muslim itu telah punya upaya menerapkan Islam yang dibawa oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam pada dirinya, keluarga dan masyarakatnya, telah berusaha untuk tunduk dan patuh di bawah perintah telunjuk syariat, tanpa ada perlawanan dan pembangkangan berarti ia telah salaf. Jika ia telah kembali membuka dan mentelaah Al-Quran dan Sunnah Nabi, juga telah membuka sejarah indah para sahabat, dan berusaha mempraktekkan kehidupan mereka kedalam kehidupannya berarti ia juga pengikut Ahlussunnah dan berarti juga ia telah mengikuti gerbong kafilah umat yang terbaik. Baginya kabar gembira sebagaimana bagi orang-orang pendahulunya dari kalangan sahabat dan tabi' in.
Karena ia telah bergabung dengan Thaifah manshurah (kelompok yang dimenangkan)... karena ia telah diterima sebagai Firqah Najiah (kelompok yang selamat) ...karena ia telah mendapat penghargaan alghuraba[*] (orang-orang asing), Thuba-lah dia, berbahagialah dirinya.. .
[*]Diambil dari sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairoh; Dari Abu Hurairoh berkata, ‘Telah bersabda Rasululloh –shallallohu ‘alaihi wa sallam-, “Islam datang dalam keadaan asing, dan akan kembali asing, maka Thuba-lah bagi orang-orang asing”. [HR. Muslim 2/152 No. 232-(145)]
Keistimewaan Salaf
Penyindirian salaf dalam keistimewaan dan keutamaan merupakan bukti dan jaminan penjagaan Allah terhadap ajaran Islam itu sendiri, ia berbeda dengan sisa kelompok-kelompok sempalan Islam yang lainnya. la satu di tengah 72 kelompok, dan ia masuk surga ketika yang lainnya di neraka, sebagaimana yang telahndikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam.
Keistimewaan sekatigus menjadi karakter manhaj salaf, diantaranya; keotentikan sumber pengambilan dan dasar hukum, sesuai dengan fitrah, jelas dan gamblang, tidak saling kontradiksi dan jauh dari kerancuan, utuh dan kokoh sepanjang zaman dan pada semua kondisi, sebagai pemersatu dari perpecahan, buhul dan keberserakan, mata rantai yang tidak terputus dari generasi ke generasi dan yang lainnya.
Kita ambil satu atau dua keistimewaan tersebut, dan kita coba menguraikan benang-benangnya dan merentangkan di atas tikar kenyataan, semoga berkehendak pula bagi yang membaca memesannya atau mungkin benminat pula untuk ikut serta dalam menegakkannya, tentu baginya kebahagiaan dan surga.
a. Silsilah dan asal-usul salaf yang sampai kepada Rasulullah
Seperti orang yang hendak mengetahui muara sungai, tentu ia akan ikuti dari anak sungai awal dimana ia berada, lalu mengikutinya ke atas dan sampailah ia ke muara sungai itu. Jika sungai itu bening, bening pula air muaranya, sebaliknya jika sungai itu keruh berarti bisa saja keruh itu berasal dari muaranya. Tentunya bagi orang mau yang meneliti sebuah pemahaman atau sebuah ajaran, seharusnya begitu juga ia berbuat, ia selidiki, ia teliti lalu barulah terungkap baginya permasalahan.
Semua yang pernah terjun dalam dunia firqah-firqah, tentu ia tahu bahwa setiap ajaran mempunyai wal-usul. Luar biasanya, ajaran salaf satu-satunya ajaran yang asal-usulnya bertemu dengan lslamnya Rasuiullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Berbeda dengan lainnya, silsilah dan ranji mereka melenceng sehingga bertemu di pengajaran agama lain atau pemahaman yang jauh dari Islam.
Itu yang dimaksud dalam sabda beliau yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Masud. Suatu kali Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam membuat sebuah garis, lalu beliau bersabda, "Ini adalah jalan Allah", lalu ia mebuat garis-garis di sebelah kanannya dan sebelah kirinya dan bersabda, "Dan ini jalan jalan yang berpencar-pencar, setiap jalannya ada syaitan yang menyerunya, lalu beliau bersabda, "Inilah jalanKu yang lurus maka ikutilah, dan janganlah ikuti jalan jalan yang banyak, niscaya kalian akan bercerai dari jalanNya". [HR.Ahmad]
Sebutlah ajaran tasawuf misalnya, maka setelah diselami hakikat dan tujuannya, cara ritual dan pengajarannya, kiranya tasawuf bermuara kepada pengajaran semua agama. Dia adalah hasil perkawinan silang dari semua ajaran, sehingga lahirlah tasawwuf.[**] Begitu jug ajaran danpemahaman filsafat dari orang-orang yang menamakan dirinya filosof Islam, seperti Ibnu Sina, Farabi, Ibnu Rusyd. Setelah diselami hakikat dakwah mereka, maka kita dapatkan bahwa ranji dan silsilah ajarannya berujung kepada pengajaran Aristoteles, Plato dan sebagainya dari filosof Yunani.
[**]Hakikat ini diungkapkan oleh seorang pakar firaq Dr. Ihsan Ilah Zhahir –rahimahullah- dalam kitabnya “At- Tasawwuf Al-Mansya’ Wal Mashadir”, silakan lihat 49-79.
Silsilah salaf
Fase pertama : Masa KeNabian
Masa keNabian adalah mas ketika Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam masih hidup, dan beliau sebagai sumber syariat yang diturunkan oleh Allah melalui Jibril. Beliau mengajarkan dan mentarbiah para sahabat diatas Islam yang jernih tersebut, dan berakhir dengan wafat beliau pada tahun 12 H.
Fase kedua : Masa Para Sahabat
Mereka adalah seluruh para sahabat nabi yang telah melihat beliau dan beriman dengan beliau dan meninggal dalam Islam. Yang terdepan dari mereka adalah Khulafaurrasyidin, para sahabat yang ikut perang Badar, para sahabat yang ikut baiat Ridhwan dan para sahabat yang ikut Fathu Makkah
Fase ketiga : Masa Tabi' in
Mereka adalah para tabi' in, seperti Urwah bin Zubair, Rabi' bin Khustaim, Atha' bin Abi Rabah, Uwais al-Qarni, Said bin Musayyab, Ubaidillah bin Abdullah bin Utbah bin Mas' ud, Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bin Hanafiah, Hasan Basri, Ikrimah Mauta Ibnu Abbas, Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bin Sirin, Omar bin Abdul Aziz, Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bin Syihab Az-Zuhri . Mereka adalah orang yang mengambil agama dan menyauk ilmu dan para sahabat Nabi, dan pemuka face ini adalah: Atha' bin Rabbah, Said bin Musayyab, Hasan Al-Basri.
Fase keempat : Tabi' Tabi' in
Mereka antara lain adalah Malik bin Anas, Al-Auza' i, Sufyan As Tsauri, Sufyan bin 'Uyainah, Laits bin Sa'ad rahimahumullah.
Fase kelima
LaIu dari kalangan Tabi' Tabi' Tabi' in, seperti; Abdullah bin Mubarak, Waki' bin Jarrah, As-Syafi'i, Abdurrahman bin Mahdi dan Yahya Al-Qathakan.
Fase keenam
Lalu murid-murid mereka, seperti Bukhari, Muslim, Abu Hatim Ar-Razi, Abu Zur'ah Ar-Rani, At Tirmizi, Abu Daud dan Nasa' i rahimahumullah.
Fase ketujuh
Kemudian alim ulama yang mengikuti jejak mereka setiap generasi, seperti; Ibnu Jarir At-Thabari, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Qutabah Ad-Dainuri, Khathib Al-Baghdadi, Ibun Abdil Barr, Ibnus Sholah, Syaikhul Islam Ibnu Taymiah, Ai-Minni, Az-Zahabi, Ibnul Qayyim, Ibnu Muflih, Ibnu Rajab, Ibnu Katsir dan Ibnu Abdil Hadi, .;
Fase kedelapan
Pembaharuan yang dilakukan setelahnya seperti, Ibnu Hajar, Syaukani Shiddiq Hasan Khan, As-Shan'ani.
Fase kesembilan
Pembaharuan yang dilakukan oleh Syaikhul Islam Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bin Abdul Wahab dan murid-muridnya, sampai pada mass kita sekarang ini, seperti Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- bin Shalih Al-Utsaimin, Syaikh Al-Albani.
b. Sesuai dengan fitrah dan akal yang sehat
Fitrah yang lurus dan akal yang sehat adalah anugerah Allah, sebagaimana al-Quran dan Sunnah yang tidak lain dia adalah keislamannya Rasulullah dan parasahabatnya adalah rahmat Allah juga. Mika halnya demikian, berarti tidak akan terjadi pertentangan dan perbedaan, ia bagaikan dua cahaya yang bertemu pada satu titik yang mengantarkan seseorang kepada jalan shiratul mustagim. Allah Subhanahu wa Ta'ala berfirman:
ولَوَْ كاَنَ مِنْ عنِدِ غیَرِْ اللھِّ لوََجدَوُاْ فیِھِ اختِْلافَاً كثَیِراً
"Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak didalamnya". (QS. An-Nisa: 82]
Para ulama berkata, "Akal yang sehat tidak akan bertentangan selamanya dengan nash yang shahih".
Pertentangan yang terjadi, tidak lain hanya disebabkan dua hal, kalau tidak akalnya yang tidak lurus dan sehat atau nashnya yang tidak shahih. Akan tetapi katau cara berpikirnya benar dan nashnya shahih, maka tidak akan ada pertentangan selamanya.
Syaikhul Islam bekata : "Ketahuilah, tidak ada akal sehat maupun naql (teks) shahih yang mengantarkan kepada penyelisihan metode salaf ". [Majmu’ Fatawa 5/28]
Beliau jugs berkata, "Sesungguhnya akal sehat tidak akan bertentangan dengan naql shahih, sebagaimana apa yang diambil dari pengajaran para nabi tidak bertentengan satu sama lain. Hanya banyak orang yang menyangka bahwa hal itu saling bertentangan dari kalangan orang-orang yang berselisih dalam kitab, dan orang-orang yang berselisih dalam kitab dalam perpecahan yang dalam. Semoga Allah memberikan kepada kita jalan yang lurus, jalan orang-orang yang diberi nikmat dari kalangan para nabi, para shiddiq, syahid dan orang-orang yang shalih dan mereka sebaik-baik persahabatan" [Majmu’ Fatawa 7/665]
Penulis berkata, "Amin! Ya Allah perkenankanlah dan mustajabkan, susulkan kami dengan mereka tersebut, tetapkan kami di jalan mereka di saat banyaknya kaki-kaki tergelincir". Begitulah, bahwa pamahan salaf adalah pemahaman fitrah dan ajaran semua rasul!!
"Orang yang menyelami pengajaran salaf secara jujur dan metihat salaf dari dalam secara objektif, maka ia akan dapatkan keteduhan, kedamaian dan ketenangan, seperti teduhnya sebuah danau tatkala pagi menyapa atau ia bagaikan mata air yang bening di tengah hutan yang hening. Percayalah!! Sebagaimana yang disebutkan oleh hikmah Arab, "Penunjuk jalan tidak akan membohongi pejalannya".
c. Seimbang dan ideal
Pengajaran salaf adalah pengajaran yang ideal pada semua pembahasan dan permasalahannya, tidak ghuluw (ekstrim) dan tidak pula tafrith (melalaikan), tidak keras dan tidak lembek. Allah Azza wa Jalla berfirman:
وكَذَلَِكَ جعَلَنْاَكمُْ أمُةًَّ وَسَطاً
"Begitulah Kami jadikan kamu sebagai umat yang tengah" [QS. al Baqarah:143]
Salaf menggabungkan antara ilmu dan amal, ia jadikan ilmu sebagai landasan amal. Hal ini tidak akan kita dapatkan dalam kelompok Islam manapun, kadang-kadang kita temukan satu kelompok yang rajin ibadah akan tetapi mereka tenggelam di lumpur bid'ah dan khurafat. Dan sebaliknya, kita dapatkan satu kelompok berilmu dan bertitel cendikiawan akan tetapi tidak kita temui ia melakukan sholat berjamaah, apalagi ibadah lainnya.
Salaf menggabungkan antara ibadah dan dakwah, sebagaimana ia belajar dan beribadah, ia tidak melupakan dakwah dengan menegakkan amar ma'ruf dan nahi munkar. Salaf adalah pertengahan dalam semua pembahasan ilmiah. Dalam fiqih ia tidak jumud dan fanatik, bersamaan dengan itu ia tidak melepaskan dirinya dari para ulama dan fuqaha’, ia mempelajari madzhab sebagai sarana bukan sebagai tujuan, yang akan menuntun mereka kepada sumber yang asli yaitu Al-Quran dan Sunnah.
Dalam aqidah ia pertangahan dari semua kelompok yang menisbatkan diri kepada Islam, dalam shifat ia tengah antara Jahmiah [1] dan Musyabbihah [2]. Dalam taqdir ia pertengahan antara Qadariah [3] dan Jabariah [4], dalam janji Allah ia pertengahan antara Murji’ah dan Wa'idiyah, dalam penamaan iman salaf antara Haruriah [5] dan Muktazilah [6], dan dalam pandangan terhadap sahabat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam ia pertengahan antara Rafidhah [7] dan Khawarij [8].
[1] Nisbat kepada Jahm bin Shofwan yang mencopot semua sifat Alloh dari diriNya
[2] Kelompok yang menyatakan bahwa sifat Alloh sama dengan sifat makhluk
[3] Kelompok yang menyatakan bahwa manusia yang membuat takdirnya, bukan Alloh
[4] Kelompok yang menyatakan bahwa manusia tidak berbuat apa-apa, semua baik dan buruk Dia yang berbuat tanpa ada hubungannya dengan perbuatan manusia. Manusia bagaikan daun yang ditiup angina atau seperti mayit dihadapan orang yang memandikannya
[5] Pecahan dari khawarij yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar di dunia kafir dan di akhirat masuk neraka kekal selamanya
[6] Yang menyatakan bahwa pelaku dosa besar di dunia tidak kafir dan beriman dan di akhirat kafir, yang terkenal pemahaman mereka tersebut dengan istilah ‘manzilah bainal manzilatain’ (Satu tempat diantara dua tempat)
[7] Yang menyatakan bahwa Ali bin Abi Thalib adalah tuhan atau maksum
[8] Yang mengkafirkan Ali bin Abi Thalib dan semua shahabat
d. Salaf adalah sebagi perekat perpecahan
Salaf satu-satunya kelompok yang dapat mempersatukan umat masa depan, sebagaimana ia satu-satunya kelompok yang telah berhasil menyatukan umat pada masa lalu. Jadi ia perekat persatuan pada masa dahulu, sekarang dan masa depan sampai hari kiamat. Dan kita telah menyaksikan bagaimana gagalnya kelompok-kelompok lain dalam mempersatukan umat, semakin mereka bekerja dan berbuat semakin panjang sobekan, semakin dalam jurangperpecahan dan semakin hebat cengkaraman pertikaian di kalangan kaum muslimin.
Oleh karena setiap kelompok mengajak kepada benderanya dan tuan gurunya, tidak mengajak kepada Al-Quran dan Hadits dan tidak mengajak kepada kehidupan para sahabat. Sudah kita upayakan persatuan dalam perbedaan kepentingan dan pemahaman, kita surukkan jauh-jauh aqidah kita masing-masing ke tempat yang sangat terpencil dalam lubuk yang sangat jauh. Mulailah duduk di sebelah kiri dan kanan kita orang shufi atau rafidhi, kita paksakan untuk tersenyum kepada saudara kita tersebut sambil menelan ludah kepedihan. Tapi selama apapun kesabaran kita dan pura-pura mereka, ia hanya menunggu waktu!! Karena ketika mereka telah punya kesempatan, mereka menikam kita. Tidak ada lagi persaudaraan yang didakwakan, tidak ada lagi basa-basi yang dipaksa, semuanya terkuak, tutup muka telah dibuka. Kiranya kawan lama telah menjadi lawan, sahabat karib telah menjadi musuh. Itulah yang terjadi di Afghanistan, itu pula yang terjadi Mesir dan di seluruh negeri kaum muslimin.
Metode Ishlah menurut Salaf
Dakwah salaf adalah dakwah pembaharuan, memperbaharui kembali ajaran yang telah dikotori oleh pengajaran syirik, bid'ah dan khurafat. Kata pepatah Minang, "membangkit batang terendam", batang yang selama ini telah tumbang dimakan oleh kumbang zaman dan telah lapuk ditelan usia, sekarang diangkat kembali, diperbagus kembali. Bukan yang dimaksud dengan pembaharuan seperti orang yang memakai pakaian, ketika telah terasa sempit pakian tersebut, ia buang lalu ia ganti dengan pakaian lain. Tidak begitu, kalau ada pakaian yang tidak pernah usang dimakan zaman dan sesuai dengan semua orang maka ia adalah pakaian Islam. Dia hanya membutuhkan orang-orang yang membersihkan dan mencucinya dari kotoran dan daki yang melekat.
Bagaimana salaf memulai ishlahnya? Dengan apa mereka mempersenjatakan diri? Sarana apa yang mereka pergunakan? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, salaf mempunyai 2 metode, yakni metode yang telah dipraktekkan oleh pendahulu mereka dan telah dilalui oleh semua para nabi dan rasul, yaitu:
Metode At Tashfiah
At Tashfiah dari kata `shaffa' secara bahasa bermakna menyaring dan memurnikan, seperti orang yang hendak menyaring minyak dari sisa ampasnya. Dan secara istilah yaitu menyaring kembali Islam dari berbagai pemikiran dan ajaran, dan yang bukan berasal darinya. Jarak masa antara zaman kita dengan zaman kenabian lebih 14 abad dan jarak antara negeri kita dengan negeri kenabian sangat jauh dipisahakan oleh samudera dan ribuan mil perjalanan. Dapat kita bayangkan bahwa keadaan masyarakat sudah begitu jahiliah padahal hanya dipisahkan dengan 7 abad dari pengajaran Isa, sedangkan antara negerinya dengan negeri Arab masih berdekatan. Berarti penyelewengan pada masa sekarang ini sungguh dahsyat, wajah kebenaran sulit dikenali dengan banyaknya wajah-wajah kebatilan, sehingga keindahannya tertutupi oleh rupa-rupa buruk kebatilan.
Diantara aspek-aspek pemurnian yang dilakukan oleh salaf adalah :
a. Aqidah Islam, yaitu dengan membersihkan aqidah Islam dad pemahaman dan pemikiran dari kelompok yang sesat, seperti kelopok Mu’tazilah, Khawarij, Jahmiah dan yang lainnya. Memurnikan Islam dari pengajaran yang datang dari luar Islam, seperti filsafat, adat dan kebudayaan umat lain. Seperti pernyataan Allah ada dimana-mana dalam permasalahan shifat, atau mengkafirkan pelaku dosa besar dan sebagainya.
b. As-Sunnah, yaitu membersihkan hadits Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam dari hadits-hadits palsu, dha'if dan munkar. Seperti perkataan, "Tuntutlah ilmu itu sampai ke negeri Cina" atau "Perbedaan pendapat itu rahmat" dan yang lainnya.
c. Tafsir, yaitu membersihkan semua penafsiran terhadap Al-Quran yang tidak berdasarkan tafsir yang benar atau takwil yang salah dan juga membersihkan tafsir dan riwayat yang tidak shahih. Seperti kisah Tsa`labah bin Hatib radhiallahu 'anhu yang kufur nikmat, atau cerita khurafat tentang jenis kayu tongkat Musa 'alaihissalam atau warna anjing Ashabul Kahfi dan sebagainya.
d. Fiqih, yaitu membersihkan semua pelajaran fiqih dari pengambilan dalil yang tidak shahih atau kekeliruan dalam berijtihad dan menjauhkan umat dari fanatik mazhab.
e. Bahasa Arab, yaitu membersihkan berbagai istilah yang tidak ada asalnya dalam bahasa Arab yang telah disisipkan oleh pelaku kesesatan.
f. Sirah Nabawiah dan sejarah Islam, yaitu membersihkan keindahan sejarah Islam dari tangan-tangan kebencian dan kedengkian. Seperti pertikaian para sahabat pada perang Jamal dan Shiffin.
Metode Tarbiah (Pembinaan)
Setelah Islam itu sendiri telah jelas bagi kita, telah nampak yang haq dan yang batil, maka kita mulailah melakukan pembinaan di atas Islam yang telah bersih tadi. Seperti orang hendak mendirikan bangunan, setelah tampak baginya tempat tegaknya, telah nyata keras tanahnya, maka di atas itulah dibangun pondasi, sehingga ia kokoh tidak goyah, ia kuat tidak mudah runtuh.
Secara bahasa tarbiah diambil dari kata Rabba bermakna membentuk sesuatu secara bertahap sampai pada tingkat kesempurnaan. Dan secara istilah adalah upaya yang dilakukan dengan berbagai cara dan metode yang tidak bertentangan dengan syariat dan membentuk manusia serta memeliharanya, sehingga ia menjadi tuan di permukaan bumi ini sebagai tuan yang terikat dengan penghambaan diri yang sempurna kepada Allah.
Syaikh Ali Hasan berkata : "Ini semua nyata bagi kita akan hakikat tarbiah dan pengaruhnya, dan ia berpijak kepada 3 landasan", yaitu :
1. Pembinaan harus difokuskan dalam membangkitkan aqidah tauhid dan membersihkan kehidupan umat dari bidah dan penyelewengan sebagai mukaddimah untuk mempersiapkan dalam mengemban Islam untuk kedua kalinya.
2. Standar pembinaan yang benar adalah berdirinya tarbiah berdasarkan Kitab dan Sunnah dengan menyelaraskan penerapan salaf, dan mengembalikan penyampaian ilmu Al-Quran dan Sunnah secara langsung, dengan mengacu kepada pemahaman salafus shalih dengan bantuan para ulama rabbani yang telah kenyang dengan Al-Quran dan Sunnah.
3. Pembinaan tidak akan mungkin dipisahkan dengan masyarakat, ia mempunyai kaitan erat dengan kehidupan keseharian dan ia dapat beradaptasi dari penganih pemahaman, akhlaq, adat, kebudayaan, sosial dan politik.
Siapa yang mengerti tentang landasan ini, berarti ia telah mengerti dengan sebenarnya tentang hakikat tarbiah, dan ia yakin bahwa yang dimaksud tarbiyah adalah pembinaan generasi muda diatas Islam yang telah dibersihkan dari semua yang telah kita sebutkan, dengan pembinaan yang benar semenjak ia kecil tanpa dipengaruhi oleh pendidikan Barat yang rusak."
[At-Tashfiyah wat Tarbiyah Hal. 100-101]
Perkataan Para Ulama tentang Mazhab Salaf
Ubai bin Ka' ab berkata : "Hendaklah kamu berpegang dengan jalan (yang lurus) dan Sunnah, dan mencukupkan diri di atas jalan dan Sunnah lebih baik dari ijtihad yang menyelisihi jalan dan Sunnah".
Abul 'Aliah berkata : "Hendaklah engkau berpegang teguh dengan agama yang pertama (yaitu salaf) sebelum manusia berpecah".
Dari Ayyub As-Sukhtiani ; "Aku dikabarkan dengan meninggalnya seorang Ahlussunah, seakan-akan copot salah satu anggota tubuhku, Dan beliau berkata, "Suatu kebahagiaan bagi anak muda dan orang ajam ketika ia diberi taufiq oleh Allah mendapatkan seorang alim dari Ahlussunnah".
Ibnu Syauzab berkata : "Diantara nikmat Allah atas seorang pemuda jika ia telah taat lalu bertemu dengan pengikut Sunnah yang membawanya kepada Sunnah".
Sufyan Ats Tsauri berkata : "Aku wasiatkan agar berbuat baik kepada Ahlussunnah, sesungguhnya mereka dalam keadaan asing".
Abu Bakar bin 'Ayyash berkata : "Sunnah dalam Islam lebih baik dari Islam dalam seluruh agama"
Imam Syafi'i berkata : "Ketika aku bertemu dengan seorang ahli hadits (yaitu Ahlussunnah), seakan-akan aku melihat salah seorang sahabat Rasulullah."
Junaid berkata : "Semua jalan tertutup kecuali bagi orang-orang yang mengikuti jejak Rasulullah." [Al-Amru bil Ittiba’ wan Nahyu ‘anil Ibtida’, As Suyuthi]
Al-Imam al-Auza'i berkata : "Teguhlah diatas Sunnah! Berhentilah di tempat mereka berhenti! Ucapkanlah seperti apa yang telah mereka ucapkan! Tinggalkanlah apa yang mereka tinggalkan dan tempuhlah jalan salaf shalih-mu! Sesungguhnya sudah cukup untukmu apa yang telah cukup bagi mereka. " [Dikeluarkan oleh Al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah Hal. 58]
Ya Allah, Zat yang membolak-balikkan hati, tetapkan hati kami di atas agamaMu. Wahai Zat yang memalingkan hati, palingkan hati kami dalam ketaatan-Mu. Ya Allah! lstiqamahkan diri kami dalam Sunnah nabi-Mu, dan wafatkan kami dalam Islam dan Iman.
Sholawat serta salam kepada Nabi Muhammad -Shallallohu ‘alaihi wa sallam- keluarga beserta seluruh shahabatnya, Amin Yaa Rabbal ‘Alamin.
PENUTUP
Manusia diberikan hidup di dunia ini untuk berbahagia, Allah masukkan Adam ke surga untuk merasakannya sejenak, sebelum diturunkan beliau dan keturunannya untuk berjuang di bumi, bukan untuk pergi darinya (surga) selama-lamanya tetapi untuk selalu merindukannya, seperti rindunya burung untuk pulang ke sangkarnya. Bahagia mendapatkan surga sebagai balasan di akhirat, sama dengan bahagia mendapatkan hidayah sebagai anugerah di dunia, ia sejalan sealur, tidak dapat dipisahkan.
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taymiah "Seseorang tidak akan masuk surga akhirat sebelum ia merasakan surga dunia".
Setelah seseorang bahagia dengan hidayah, berarti ia telah berada di pintu Islam. Apa yang harus ia tunggu?! Masuklah ke dalamnya! Nikmati hidangan dan pelayanannya! Kalau begitu, hendaklah ia segera masuk bergabung dengan Nabi dan para sahabatnya, beragama dengan agama mereka, jauh dari fanatik golongan atau ta'asshub partai, lari dari virus bid'ah dan khurafat.
Jadikan terus motto dalam ibadah, "Apakah itu pernah dilakukan oleh Rasulullah atau para sahabatnya?" Jika pernah, maka lakukan! Jika tidak, maka tinggalkan! ! Karena amal ibadah yang dijamin masuk surga adalah amal ibadah yang telah mereka lakukan, bukan amalan yang diada-adakan oleh orang-orang setelah mereka. Jangan berputus asa, karena selambat apapun anda berjalan menuju surga -selagi di jalan mereka, maka suatu hari engkau akan sampai jua di surga. Dan jangan tergesa-gesa atau berjalan tanpa peta, karena secepat apapun engkau berjalan tetapi bukan pada jalan mereka, maka lambat laun akan bertemu jalan neraka. Karena jalan ke surga hanya satu, sisanya adalah jalan ke neraka!!
Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam suatu hari ditanya, "Seseorang mencintai suatu kaum, tapi tidak sanggup menyusul mereka?!" beliau menjawab, "Seseorang dikumpulkan dengan orang yang ia cintai".
Semoga Allah mengumpulkan kita bersama mereka dan mengistiqamahkan kita dalam Islamnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Amin.
Untukmu Yang Berjiwa Hanif
Oleh: Ustadz Armen Halim Naro rahimahullah
E-Book oleh: http://abangdani.wordpress.com