Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Tafsir. Tampilkan semua postingan

Bulan Terbelah Dua, (QS. Al Qamar: 1)

Label: , , ,

image

Kita tak dapat melihat laut terbelah, kita tak dapat lihat mukjizat nabi terdahulu, tapi kita masih dapat melihat Mukjizat Qur'an Sepanjang masa melalui BULAN TERBELAH. Banyak orang ingkar menyebar berita bahwa berita NASA menemukan bulan memang terbelah dua ialah bohong.

Terlepas dari orang kafir yang ingkar pada pengakuan NASA, Masihkah kita beriman pada Kitab Allah & Para Nabi. Dalam Qur'an jelas tertulis jika "BULAN TELAH TERBELAH", bukan "Akan Terbelah", tapi sekali lagi tertulis "BULAN TELAH TERBELAH". Hadits Shohih Muslim, Bukhari, Ahmad, Tirmidzi dan lainnya pun membenarkan Mukjizat Qur'an yang masih dapat dilihat ini.

السلام عليكم . بِسْــــــــــــــــــمِ ﷲِالرَّحْمَنِ الرَّحِيم
الحمد لله رب العا لمين. الصلاة و السلام على رسو ل الله.اما بعد

Diterjemahkan oleh: Abu Muhammad ibn Shadiq
(Sabtu, 22 Sya'ban1424H/18-10-2003M)

Bukankah Dalam Qur'an tertulis:
...Dan telah TERBELAH BULAN. (Qs. 54 Qamar:1)

Apakah betul apa yg difirmankan ALLAH dalam Qur'an jika bulan SAAT ini memang terbelah?

Perhatikan, mukjizat ini bukan hanya sekedar cerita yang cuma dapat didengar saja, tapi mukjizat Qur'an ini masih dapat dilihat dengan JELAS SEKALI.

Terlampir adalah foto bulan dari koleksi NASA. Semoga hal itu akan semakin menyempurnakan keyakinan kita terhadap kekuasan ALLAH dan kerasulan Nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam.

Dalam Bukhari dan Muslim, juga dalam kitab2 hadits yang terkenal lainnya, diriwayatkan bahwa sebelum Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam hijrah, berkumpullah tokoh2 kafir Quraiy, seperti Abu Jahal, Walid bin Mughirah dan Al 'Ash bin Qail.

Mereka meminta kepada nabi Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam untuk membelah bulan. Kata mereka, "Seandainya kamu benar2 seorang nabi, maka belahlah bulan menjadi dua."

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepada mereka, "Apakah kalian akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?" Mereka menjawab, "Ya." Lalu Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam berdoa kepada ALLAH agar bulan terbelah menjadi dua. Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam memberi isyarat dengan jarinya, maka bulanpun terbelah menjadi dua. Selanjutnya sambil menyebut nama setiap orang kafir yang hadir, Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam berkata, "Hai Fulan, bersaksilah kamu. Hai Fulan, bersaksilah kamu."

Demikian jauh jarak belahan bulan itu sehingga gunung Hira nampak berada diantara keduanya. Akan tetapi orang2 kafir yang hadir berkata, "Ini sihir!" padahal semua orang yang hadir menyaksikan pembelahan bulan tersebut dengan seksama.

Atas peristiwa ini ALLAH menurunkan ayat Al Qur'an: " Telah dekat saat itu dan bulan telah terbelah. Dan jika orang2 (kafir) menyaksikan suatu tanda (mukjizat), mereka mengingkarinya dan mengatakan bahwa itu adalah sihir." (QS Al Qomar 54:1-2)

Apakah kalian akan membenarkan ayat Al-Qur'an ini yang menyebabkan masuk Islamnya pimpinan Hizb Islami Inggris? Di bawah ini adalah kisahnya. Dalam temu wicara di televisi bersama pakar Geologi Muslim, Prof.Dr.Zaghlul Al-Najar, salah seorang warga Inggris mengajukan pertanyaan kepadanya, apakah ayat dari surat Al-Qamar di atas memiliki kandungan mukjizat secara ilmiah? 

Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawabnya sebagai berikut:

Tentang ayat ini, saya akan menceritakan sebuah kisah. Beberapa waktu lalu, saya mempresentasikan hal itu di University Cardif, Inggris bagian Barat. Para peserta yang hadir ber-macam2, ada yang muslim dan ada juga yang bukan muslim. Salah satu tema diskusi waktu itu adalah seputar mukjizat ilmiah dari Al-Qur'an.

Salah seorang pemuda yang beragama muslim pun berdiri dan bertanya, " Wahai Tuan, apakah menurut anda ayat yang berbunyi "Telah dekat hari qiamat dan bulan pun telah terbelah" mengandung mukjizat secara ilmiah?

Maka saya menjawabnya: Tidak, sebab kehebatan ilmiah diterangkan oleh ilmu pengetahuan, sedangkan mukjizat tidak bisa diterangkan ilmu pengetahuan, sebab ia tidak bisa menjangkaunya. Dan tentang terbelahnya bulan, maka hal itu adalah mukjizat yang terjadi pada masa Rasul terakhir Muhammad shallallahu 'alaihi wassalam, sebagai pembenaran atas kenabian dan kerasulannya, sebagaimana nabi2 sebelumnya.

Dan mukjizat yang kelihatan, maka itu disaksikan dan dibenarkan oleh setiap orang yang melihatnya. Andai hal itu tidak termaktub di dalam kitab Allah dan hadits2 Rasulullah, maka tentulah kami para muslimin di zaman ini tidak akan mengimani hal itu. Akan tetapi hal itu memang benar termaktub di dalam Al-Qur'an dan hadits2 Rasulullah shallallahu alaihi wassalam.

Dan memang Allah ta'alaa benar2 maha berkuasa atas segala sesuatu.

Maka Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar pun mengutip sebuah kisah Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam membelah bulan. Kisah itu adalah sebelum hijrah dari Mekah Mukarramah ke Madinah Munawarah.

Orang2 musyrik berkata, "Wahai Muhammad, kalau engkau benar Nabi dan Rasul, coba tunjukkan kepada kami satu kehebatan yang bisa membuktikan kenabian dan kerasulanmu (dengan nada mengejek dan meng-olok2)?"

Rasulullah Shallallahu'alaihi wa sallam bertanya, "Apa yang kalian inginkan?" Mereka menjawab, "Coba belah bulan..." Rasulullah pun berdiri dan terdiam, berdoa kepada Allah agar menolongnya. Lalu Allah memberitahu Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam agar mengarahkan telunjuknya ke bulan.

Rasulullah pun mengarahkan telunjuknya ke bulan dan terbelahlah bulan itu dengan se-benar2-nya. Serta-merta orang2 musyrik pun berujar, "Muhammad, engkau benar2 telah menyihir kami!"

Akan tetapi para ahli mengatakan bahwa sihir, memang benar bisa saja "menyihir" orang yang ada disampingnya akan tetapi tidak bisa menyihir orang yang tidak ada di tempat itu. Lalu mereka pun menunggu orang2 yang akan pulang dari perjalanan.

Orang2 Quraisy pun bergegas menuju keluar batas kota Mekkah menanti orang yang baru pulang dari perjalanan. Dan ketika datang rombongan yang pertama kali dari perjalanan menuju Mekkah, orang2 musyrik pun bertanya, "Apakah kalian melihat sesuatu yang aneh dengan bulan?" Mereka menjawab, "Ya, benar. Pada suatu malam yang lalu kami melihat bulan terbelah menjadi dua dan saling menjauh masing2-nya kemudian bersatu kembali..."

Maka sebagian mereka pun beriman, dan sebagian lainnya lagi tetap kafir ingkar). Oleh karena itu, Allah menurunkan ayat-Nya: "Sungguh, telah dekat hari qiamat, dan telah terbelah bulan, dan ketika melihat tanda2 kebesaran Kami, merekapun ingkar lagi berpaling seraya berkata,

"Ini adalah sihir yang terus-menerus", dan mereka mendustakannya, bahkan mengikuti hawa nafsu mereka. Dan setiap urusan benar-benar telah tetap... (sampai akhir surat Al-Qamar).

Ini adalah kisah nyata, demikian kata Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar. Dan setelah selesainya Prof. Dr. Zaghlul menyampaikan hadits Nabi tersebut, berdiri seorang muslim warga Inggris dan memperkenalkan diri seraya berkata, "Aku Daud Musa Pitkhok, ketua Al-Hizb Al-Islamy
Inggris. Wahai Tuan, bolehkah aku menambahkan?" Prof. Dr. Zaghlul Al-Najar menjawab: "Dipersilahkan dengan senang hati."

Daud Musa Pitkhok berkata, "Aku pernah meneliti agama2 (sebelum menjadi muslim), maka salah seorang mahasiswa muslim menunjukiku sebuah terjemah makna2 Al-Qur'an yang mulia. Maka, aku pun berterima kasih kepadanya dan aku membawa terjemah itu pulang ke rumah.

Dan ketika aku mem-buka2 terjemahan Al-Qur'an itu di rumah, maka surat yang pertama aku buka ternyata Al-Qamar. Dan aku pun membacanya: "Telah dekat hari qiamat dan bulan pun telah terbelah..."

Aku bergumam: Apakah kalimat ini masuk akal? Apakah mungkin bulan bisa terbelah kemudian bersatu kembali? Andai benar, kekuatan macam apa yang bisa melakukan hal itu? Maka, aku pun berhenti membaca ayat2 selanjutnya dan aku menyibukkan diri dengan urusan kehidupan se-hari2. Akan tetapi Allah maha tahu tentang tingkat keikhlasan hamba-Nya dalam pencarian kebenaran.

Suatu hari aku duduk di depan televisi Inggris. Saat itu ada sebuah diskusi antara seorang presenter Inggris dan 3 orang pakar ruang angkasa AS. Ketiga pakar antariksa tersebut bercerita tentang dana yang begitu besar dalam rangka melakukan perjalanan ke antariksa, padahal saat yang sama dunia sedang mengalami masalah kelaparan, kemiskinan, sakit dan perselisihan.

Presenter berkata, "Andaikan dana itu digunakan untuk memakmurkan bumi, tentulah lebih banyak gunanya." Ketiga pakar itu pun membela diri dengan proyek antariksanya dan berkata, "Proyek antariksa ini akan membawa dampak yang sangat positif pada banyak segmen kehidupan manusia, baik pada segi kedokteran, industri ataupun pertanian. Jadi pendanaan tersebut bukanlah hal yang sia2, akan tetapi hal itu dalam rangka pengembangan kehidupan manusia."

Dalam diskusi tersebut dibahas tentang turunnya astronot hingga menjejakkan kakinya di bulan, dimana perjalanan antariksa ke bulan tersebut telah menghabiskan dana tidak kurang dari 100 juta dollar. Mendengar hal itu, presenter terperangah kaget dan berkata, "Kebodohan macam apalagi ini, dana yang begitu besar dibuang oleh AS hanya untuk bisa mendarat di bulan?

"Mereka pun menjawab, "Tidak! Tujuannya tidak semata menancapkan ilmu pengetahuan AS di bulan, akan tetapi kami mempelajari kandungan yang ada di dalam bulan itu sendiri, maka kami pun telah mendapat hakikat tentang bulan itu, yang jika kita berikan dana lebih dari 100 juta dollar untuk kesenangan manusia, maka kami tidak akan memberikan dana itu kepada siapapun."

Mendengar hal itu, presenter itu pun bertanya, "Hakikat apa yang kalian telah capai hingga demikian mahal taruhannya?" Mereka menjawab, "Ternyata bulan pernah mengalami pembelahan di suatu hari dahulu kala, kemudian menyatu kembali!

Presenter pun bertanya, "Bagaimana kalian bisa yakin akan hal itu?" Mereka menjawab, "Kami mendapati secara pasti dari batu2-an yang terpisah (karena) terpotong di permukaan bulan sampai di dalam (perut) bulan. Kami meminta para pakar geologi untuk menelitinya, dan mereka mengatakan, "Hal ini tidak mungkin terjadi kecuali jika memang bulan pernah terbelah lalu bersatu kembali!"

Mendengar paparan itu, ketua Al-Hizb Al-Islamy Inggris mengatakan, Maka aku pun turun dari kursi dan berkata, 'Mukjizat (kehebatan) benar2 telah terjadi pada diri Muhammad shallallahu alaihi wassallam 1400-an tahun yang lalu.

Allah benar2 telah meng-olok2 AS untuk mengeluarkan dana yang begitu besar, hingga 100 juta dollar, hanya untuk menetapkan akan kebenaran muslimin! Agama Islam ini tidak mungkin salah... Lalu aku pun kembali membuka Mushhaf Al-Qur'an dan aku baca surat Al-Qamar.... Dan saat itu adalah awal aku menerima dan masuk Islam."

Penemuan ini baru didapatkan setelah adanya tekhnologi yang mutakhir di abad 20 . Inilah salah satu bukti bahwa Qur'an ialah mukjizat terbesar & SEPANJANG MASA, karena ayat-ayatnya baru dapat dibuktikan oleh ilmu & tekhnologi terakhir. Bahkan masih banyak lagi ayat-ayat yang belum dapat dibuktikan oleh ilmu & tekhnologi. Bukti kuat bahwa Qur'an bukan buatan Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam tapi berasal dari ALLAH, Tuhan Langit & Bumi yang Maha Mengetahui ciptaan-NYA.

Jika Al-Qur'anul Kariim bukan berasal dari Allah, tentu ayat ini kemungkinan besar berbeda bunyinya & salah besar, tapi Alhamdulillah... Qur'an TERBUKTI BENAR.

Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran? Kalau kiranya Al-Quran itu bukan dari sisi Allah, tentulah mereka mendapat pertentangan yang banyak di dalamnya. Qs.4 Nisaa':82

Mukjizat Qur'an mencakup dari yang sangat sederhana, sampai yang penuh dengan kerumitan dari segala bidang matematika, astronomi, biologi, geografi, sastra, oceanografi dan segalanya. Karena Qur'an diturunkan kepada semua manusia sepanjang zaman. Bahasanya mencakup dari yang sangat sederhana, sampai pada tingkat tertinggi dari ilmu bahasa & kesusasteraan yang baik.

Dengan demikian pesan yang dibawa bisa dicapai oleh setiap orang tanpa melihat tingkat pendidikannya . Sama halnya dengan mukjizat Qur'an, fenonema yang sungguh teramat sangat luar biasa ini dapat dibagi menjadi 2, yaitu: BUKTI SEDERHANA dan BUKTI RUMIT

Bagi orang awam saja, keindahan bahasa & hikmah serta nasihat jiwa didalamnya sudah mampu membuktikan kemuliaan Qur'an bagi orang yang mau jujur menggunakan hati kecilnya . Diceritakan dalam sebuah kisah jika Abu Jahal pun menangis mendengar Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam membaca Qur'an, namun sayang, Abu Jahal tidak mau mengakui Mukjizat Qur'an yang diturunkan pada Rasulullah Muhammad Shallallahu'alaihi wa sallam.

Semoga ini menjadi renungan bagi semua terutama bagi mereka yang murtad hanya karena dunia.
___________
Sumber: http://islamterbuktibenar.net/?pg=articles&article=11894


Terbelahnya Bulan di Masa Nabi

Sebagian orang mungkin belum mengetahui hal ini yaitu bulan pernah terbelah di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian ini telah diceritakan dalam Al Qur’an dan dalam berbagai hadits. Kejadian ini pula adalah di antara tanda datangnya kiamat. Marilah kita lihat pembahasan selanjutnya.  

Allah Ta’ala berfirman,
اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ
Telah dekat (datangnya) kiamat dan telah terbelah bulan.” (QS. Al Qamar: 1)

Terdapat hadits yang juga menyebutkan hal ini, sebagaimana yang disebutkan dalam shohih Bukhari.
Dari Ibnu Mas’ud, beliau berkata,

انْشَقَّ الْقَمَرُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فِرْقَتَيْنِ ، فِرْقَةً فَوْقَ الْجَبَلِ وَفِرْقَةً دُونَهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - « اشْهَدُوا »

“Bulan terbelah menjadi dua bagian pada zaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Satu belahan terdapat di atas gunung dan belahan lainnya berada di bawah gunung. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ’Saksikanlah’.” (HR. Bukhari no. 4864)

Berita ini juga dikeluarkan oleh At Tirmidzi dari sahabat Anas, beliau berkata,

سَأَلَ أَهْلُ مَكَّةَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- آيَةً فَانْشَقَّ الْقَمَرُ بِمَكَّةَ مَرَّتَيْنِ فَنَزَلَتِ (اقْتَرَبَتِ السَّاعَةُ وَانْشَقَّ الْقَمَرُ) إِلَى قَوْلِهِ (سِحْرٌ مُسْتَمِرٌّ)

“Penduduk Makkah meminta kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam suatu bukti. Akhirnya bulan terbelah di Makkah menjadi dua bagian, lalu turunlah ayat : ‘Telah dekat datangnya hari kiamat dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang musyrikin) melihat suatu tanda (mu'jizat), mereka berpaling dan berkata: "(Ini adalah) sihir yang terus menerus".(QS. Al Qamar: 1-2)” (HR. Tirmidzi no. 3286. Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan shohih. Syaikh Al Albani dalam Shohih wa Dho’if Sunan At Tirmidzi mengomentari bahwa hadits ini shohih. Riwayat ini juga dibawakan oleh Jalaluddin As Suyuthi dalam Asbabun Nuzul, hal. 184, Darul Ibnu Haitsam.)

Hadits terbelahnya bulan telah diriwayatkan oleh sekelompok sahabat di antaranya: Abdullah bin ‘Umar, Hudzaifah, Jubair bin Muth’im, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, dan juga diriwayatkan oleh seluruh ahli tafsir. Namun, sebagian orang merasa ragu tentang hal ini dan menyatakan bahwa terbelahnya bulan itu terjadi pada hari kiamat nanti sebagaimana hal ini diriwayatkan oleh ‘Utsman bin ‘Atho’ dari ayahnya, dll. Namun, perkataan semacam ini adalah perkataan yang syadz (yang menyelisihi pendapat yang lebih kuat) dan pendapat ini tidak bisa menggantikan kesepakatan yang telah ada. Alasannya adalah kata ‘terbelah’ (pada ayat di atas) adalah kata kerja bentuk lampau (dan berarti sudah terjadi). Sedangkan menyatakan bahwa kata kerja lampau ini berarti akan datang membutuhkan dalil, namun hal ini tidak diperoleh. –Inilah perkataan Ibnul Jauzi dalam Zaadul Masiir-. (Lihat tafsir surat Al Qomar ayat 1 di Zaadul Masiir, 5/449, Asy Syamilah)

Intinya, kita haruslah meyakini kejadian di atas dengan penuh keyakinan karena ini adalah kabar yang disampaikan Allah dan Rasul-Nya.

Semoga Allah memberi taufik dan hidayah kepada mereka ke jalan yang lurus.

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala wa alihi wa shohbihi wa sallam.
****
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

Bisa Jadi Kamu Membenci Sesuatu namun Itu Baik Buatmu

Label: ,

Oleh: Ibnu Qayyim Al Jauziah 
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.(Al-Baqarah: 216) 

Dalam ayat ini ada beberapa hikmah dan rahasia serta maslahat untuk seorang hamba. Karena sesungguhnya jika seorang hamba tahu bahwa sesuatu yang dibenci itu terkadang membawa sesuatu yang disukai, sebagaimana yang disukai terkadang membawa sesuatu yang dibenci, iapun tidak akan merasa aman untuk tertimpa sesuatu yang mencelakakan menyertai sesuatu yang menyenangkan. Dan iapun tidak akan putus asa untuk mendapatkan sesuatu yang menyenangkan menyertai sesuatu yang mencelakakan. Ia tidak tahu akibat suatu perkara, karena sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala mengetahui sesuatu yang tidak diketahui oleh hamba. Dan ini menumbuhkan pada diri hamba beberapa hal:

1. Bahwa tidak ada yang lebih bermanfaat bagi hamba daripada melakukan perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala, walaupun di awalnya terasa berat. Karena seluruh akibatnya adalah kebaikan dan menyenangkan, serta kenikmatan-kenikmatan dan kebahagiaan. Walaupun jiwanya benci, akan tetapi hal itu akan lebih baik dan bermanfaat. Demikian pula, tidak ada yang lebih mencelakakan dia daripada melakukan larangan, walaupun jiwanya cenderung dan condong kepadanya. Karena semua akibatnya adalah penderitaan, kesedihan, kejelekan, dan berbagai musibah.

Ciri khas orang yang berakal sehat, ia akan bersabar dengan penderitaan sesaat, yang akan berbuah kenikmatan yang besar dan kebaikan yang banyak. Dan ia akan menahan diri dari kenikmatan sesaat yang mengakibatkan kepedihan yang besar dan penderitaan yang berlarut-larut.

Adapun pandangan orang yang bodoh itu (dangkal), sehingga ia tidak akan melampaui permukaan dan tidak akan sampai kepada ujung akibatnya. Sementara orang yang berakal lagi cerdas akan senantiasa melihat kepada puncak akibat sesuatu yang berada di balik tirai permukaannya. Iapun akan melihat apa yang di balik tirai tersebut berupa akibat-akibat yang baik ataupun yang jelek. Sehingga ia memandang suatu larangan itu bagai makanan lezat yang telah tercampur dengan racun yang mematikan. Setiap kali kelezatannya menggodanya untuk memakannya, maka racunnya menghalanginya (untuk memakannya). Ia juga memandang perintah-perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala bagai obat yang pahit rasanya, namun mengantarkan kepada kesembuhan dan kesehatan. Maka, setiap kali kebenciannya terhadap rasa (pahit)nya menghalanginya untuk mengonsumsinya, manfaatnyapun akan memerintahkannya untuk mengonsumsinya.

Akan tetapi, itu semua memerlukan ilmu yang lebih, yang dengannya ia akan mengetahui akibat dari sesuatu. Juga memerlukan kesabaran yang kuat, yang mengokohkan dirinya untuk memikul beban perjalanannya, demi mendapatkan apa yang dia harapkan di pengujung jalan. Kalau ia kehilangan ilmu yang yakin dan kesabaran maka ia akan terhambat dari memperolehnya. Tetapi bila ilmu yakinnya dan kesabarannya kuat, maka ringan baginya segala beban yang ia pikul dalam rangka memperoleh kebaikan yang langgeng dan kenikmatan yang abadi.

2. Di antara rahasia ayat ini bahwa ayat ini menghendaki seorang hamba untuk menyerahkan urusan kepada Dzat yang mengetahui akibat segala perkara serta ridha dengan apa yang Ia pilihkan dan takdirkan untuknya, karena dia mengharapkan dari-Nya akibat-akibat yang baik.

3. Bahwa seorang hamba tidak boleh memiliki suatu pandangan yang mendahului keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala, atau memilih sesuatu yang tidak Allah Subhanahu wa Ta’ala pilih serta memohon-Nya sesuatu yang ia tidak mengetahuinya. Karena barangkali di situlah kecelakaan dan kebinasaannya, sementara ia tidak mengetahuinya. Sehingga janganlah ia memilih sesuatu mendahului pilihan-Nya. Bahkan semestinya ia memohon kepada-Nya pilihan-Nya yang baik untuk dirinya serta memohon-Nya agar menjadikan dirinya ridha dengan pilihan-Nya. Karena tidak ada yang lebih bermanfaat untuknya daripada hal ini.

4. Bahwa bila seorang hamba menyerahkan urusan kepada Rabbnya serta ridha dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan untuk dirinya, Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan mengirimkan bantuan-Nya kepadanya untuk melakukan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala pilihkan, berupa kekuatan dan tekad serta kesabaran. Juga, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan palingkan darinya segala yang memalingkannya darinya, di mana hal itu menjadi penghalang pilihan hamba tersebut untuk dirinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala pun akan memperlihatkan kepadanya akibat-akibat baik pilihan-Nya untuk dirinya, yang ia tidak akan mampu mencapainya walaupun sebagian dari apa yang dia lihat pada pilihannya untuk dirinya.

5. Di antara hikmah ayat ini, bahwa ayat ini membuat lega hamba dari berbagai pikiran yang meletihkan pada berbagai macam pilihan. Juga melegakan kalbunya dari perhitungan-perhitungan dan rencana-rencananya, yang ia terus-menerus naik turun pada tebing-tebingnya. Namun demikian, iapun tidak mampu keluar atau lepas dari apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala telah taqdirkan. Seandainya ia ridha dengan pilihan Allah Subhanahu wa Ta’ala maka takdir akan menghampirinya dalam keadaan ia terpuji dan tersyukuri serta terkasihi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bila tidak, maka taqdir tetap akan berjalan padanya dalam keadaan ia tercela dan tidak mendapatkan kasih sayang-Nya karena ia bersama pilihannya sendiri. Dan ketika seorang hamba tepat dalam menyerahkan urusan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan ridhanya kepada-Nya, ia akan diapit oleh kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya dalam menjalani taqdir ini. Sehingga ia berada di antara kelembutan-Nya dan kasih sayang-Nya. Kasih sayang-Nya melindunginya dari apa yang ia khawatirkan, dan kelembutan-Nya membuatnya merasa ringan dalam menjalani taqdir-Nya.

Bila taqdir itu terlaksana pada seorang hamba, maka di antara sebab kuatnya tekanan taqdir itu pada dirinya adalah usahanya untuk menolaknya. Sehingga bila demikian, tiada yang lebih bermanfaat baginya daripada berserah diri dan melemparkan dirinya di hadapan taqdir dalam keadaan terkapar, seolah sebuah mayat. Dan sesungguhnya binatang buas itu tidak akan rela memakan mayat.

(Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Qomar Sua’idi ZA, Lc dari buku Al-Fawa`id hal. 153-155)

Jihad Yang Paling Diwajibkan

Label:

Jihad Yang Paling Diwajibkan

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَالَّذِينَ جَاهَدُوا فِينَا لَنَهْدِيَنَّهُمْ سُبُلَنَا

“Dan orang-orang yang berjihad untuk (mencari keridhaan) Kami, benar- benar akan Kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.” [Al-Ankabut:29]

Ibnu Qayyim rahimahullah mengatakan:
“Allah Subhanahu wa ta’ala mengkaitkan antara hidayah dengan jihad, orang yang paling sempurna hidayahnya adalah yang paling besar jihadnya. Jihad yang paling diwajibkan adalah: jihad hawa nafsu, jihad syetan dan jihad dunia. Barang siapa memerangi empat musuh itu karena Allah, maka Allah akan menunjukkan kepadanya jalan yang di ridhai-Nya, yang akan menghantarkannya kepada surga. Barang siapa yang meninggalkan jihad itu, maka ia akan ditelan hawa nafsunya, sejauh ia tidak memeranginya.”

Al-Junaid (wafat 297 H / 910 M) menafsirkan:
“Barang siapa memerangi hawa nafsunya karena Kami (Allah) dengan cara bertaubat, maka Kami benar-benar akan menunjukkan jalan keikhlasan. Orang yang memerangi musuhnya secara dzahir tidak akan menang kecuali jika ia juga memerangi musuh itu secara batin. Barangsiapa menang dalam memerangi hawa nafsunya berarti ia menang memerangi musuhnya, dan barang siapa kalah dalam memerangi hawa nafsunya berarti ia kalah dalam memerangi musuhnya.”

[Disalin dari Al-Fawa’id hal 84. Oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah. penerbit Pustaka Al-kautsar].
______________________________________________________________________________

Jihad dan Kesabaran

‘Umar radhiyallahu ‘anhu bertanya kepada para syaikh dari kalangan bani ‘Abbas: “Dengan apa kalian memerangi manusia?” Mereka menjawab: “Dengan kesabaran. Tidaklah kami menjumpai suatu kaum (musuh, pen.) melainkan kami bersabar menghadapi mereka sebagaimana mereka bersabar menghadapi kami.”..

Sebagian salaf berkata: “Masing-masing dari kami tidaklah menyukai kematian dan sakitnya luka-luka, akan tetapi kami diberi kelebihan dengan kesabaran.”

Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu menerangkan: “Ini dalam jihad memerangi musuh yang dhahir (lahir) yakni jihad melawan orang-orang kafir. Seperti itu pula dalam jihad memerangi musuh yang batin yakni jihad melawan (kejahatan) jiwa dan hawa nafsu. Maka sungguh berjihad pada keduanya (dhahir dan batin) merupakan seagung-agungnya jihad. Sebagaimana sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

الْـمُـجَاهِدُ مَنْ جَاهَدَ نَفْسَهُ فِي اللهِ

“Seorang mujahid adalah orang yang memerangi jiwanya karena Allah.” (Jami’ul ‘Ulum wal Hikam, hal. 516)

Al-Imam Al-Mubarakfuri rahimahullahu mengatakan (Tuhfatul Ahwadzi hal. 206) : “Yakni memaksa jiwanya yang suka memerintahkan kepada kejelekan untuk tunduk kepada apa yang mengandung keridhaan Allah Subhanahu wa Ta’ala, dalam bentuk melaksanakan amalan ketaatan dan menjauhi kemaksiatan-kemaksiatan. Jihad terhadap jiwa tersebut juga merupakan fondasi dari segala macam jihad. Karena sesungguhnya selama seseorang belum berjihad untuk menundukkan jiwanya sendiri, tidaklah mungkin baginya untuk dapat berjihad memerangi musuh yang di luar jiwanya (musuh yang dhahir).”

Sumber: http://qurandansunnah.wordpress.com/2010/04/19/jihad-dan-kesabaran-permata-salaf/

Membebaskan Diri Dari Kerugian (Tafsir Surat Al ‘Ashr)

Label: ,

Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman,

وَالْعَصْرِ (1) إِنَّ الْإِنْسَانَ لَفِي خُسْرٍ (2) إِلَّا الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ (3)

”Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian. Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal sholih dan saling menasihati supaya menaati kebenaran dan saling menasihati supaya menetapi kesabaran” (QS. Al ‘Ashr).

Surat Al ‘Ashr merupakan sebuah surat dalam Al Qur’an yang banyak dihafal oleh kaum muslimin karena pendek dan mudah dihafal. Namun sayangnya, sangat sedikit di antara kaum muslimin yang dapat memahaminya. Padahal, meskipun surat ini pendek, akan tetapi memiliki kandungan makna yang sangat dalam. Sampai-sampai Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata,

لَوْ تَدَبَّرَ النَّاسُ هَذِهِ السُّوْرَةَ لَوَسَعَتْهُمْ

”Seandainya setiap manusia merenungkan surat ini, niscaya hal itu akan mencukupi untuk mereka.” [Tafsir Ibnu Katsir 8/499].

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, 
”Maksud perkataan Imam Syafi’i adalah surat ini telah cukup bagi manusia untuk mendorong mereka agar memegang teguh agama Allah dengan beriman, beramal sholih, berdakwah kepada Allah, dan bersabar atas semua itu. Beliau tidak bermaksud bahwa manusia cukup merenungkan surat ini tanpa mengamalkan seluruh syari’at. Karena seorang yang berakal apabila mendengar atau membaca surat ini, maka ia pasti akan berusaha untuk membebaskan dirinya dari kerugian dengan cara menghiasi diri dengan empat kriteria yang tersebut dalam surat ini, yaitu beriman, beramal shalih, saling menasehati agar menegakkan kebenaran (berdakwah) dan saling menasehati agar bersabar” [Syarh Tsalatsatul Ushul].

Iman yang Dilandasi dengan Ilmu
Dalam surat ini Allah ta’ala  menjelaskan bahwa seluruh manusia benar-benar berada dalam kerugian. Kerugian yang dimaksud dalam ayat ini bisa bersifat mutlak, artinya seorang merugi di dunia dan di akhirat, tidak mendapatkan kenikmatan dan berhak untuk dimasukkan ke dalam neraka. Bisa jadi ia hanya mengalami kerugian dari satu sisi saja. Oleh karena itu, dalam surat ini Allah mengeneralisir bahwa kerugian pasti akan dialami oleh manusia kecuali mereka yang memiliki empat kriteria dalam surat tersebut [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Kriteria pertama, yaitu beriman kepada Allah. Dan keimanan ini tidak akan terwujud tanpa ilmu, karena keimanan merupakan cabang dari ilmu dan keimanan tersebut tidak akan sempurna jika tanpa ilmu.  Ilmu yang dimaksud adalah ilmu syar’i (ilmu agama). Seorang muslim wajib (fardhu ‘ain) untuk mempelajari setiap ilmu yang dibutuhkan oleh seorang mukallaf dalam berbagai permasalahan agamanya, seperti prinsip keimanan dan syari’at-syari’at Islam, ilmu tentang hal-hal yang wajib dia jauhi berupa hal-hal yang diharamkan, apa yang dia butuhkan dalam mu’amalah, dan lain sebagainya. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,

طَلَبُ الْعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلىَ كُلِّ مَسْلَمٍ

”Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim.” (HR. Ibnu Majah nomor 224 dengan sanad shahih).

Imam Ahmad rahimahullah berkata,

يَجِبُ أَنْ يَطْلَبَ مِنَ الْعِلْمِ مَا يَقُوْمُ بِهِ دِيْنَهُ

”Seorang wajib menuntut ilmu yang bisa  membuat dirinya mampu menegakkan agama.”  [Al Furu’ 1/525].

Maka merupakan sebuah kewajiban bagi setiap muslim untuk mempelajari berbagai hal keagamaan yang wajib dia lakukan, misalnya yang berkaitan dengan akidah, ibadah, dan muamalah. Semua itu tidak lain dikarenakan seorang pada dasarnya tidak mengetahui hakikat keimanan sehingga ia perlu meniti tangga ilmu untuk mengetahuinya. Allah ta’ala  berfirman,

مَا كُنْتَ تَدْرِي مَا الْكِتَابُ وَلا الإيمَانُ وَلَكِنْ جَعَلْنَاهُ نُورًا نَهْدِي بِهِ مَنْ  نَشَاءُ مِنْ عِبَادِنَا

”Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui apakah Al Quran itu dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al Quran itu cahaya, yang Kami tunjuki dengannya siapa yang Kami kehendaki di antara hamba-hamba Kami.” (Asy Syuura: 52).

Mengamalkan Ilmu
Seorang tidaklah dikatakan menuntut ilmu kecuali jika dia berniat bersungguh-sungguh untuk mengamalkan ilmu tersebut. Maksudnya,  seseorang dapat mengubah ilmu yang telah dipelajarinya tersebut menjadi suatu perilaku yang nyata dan tercermin dalam pemikiran dan amalnya.

Oleh karena itu, betapa indahnya perkataan Fudhail bin ‘Iyadh rahimahullah

لاَ يَزَالُ الْعَالِمُ جَاهِلاً حَتىَّ يَعْمَلَ بِعِلْمِهِ فَإِذَا عَمِلَ بِهِ صَارَ عَالِمًا

”Seorang yang berilmu akan tetap menjadi orang bodoh sampai dia dapat mengamalkan ilmunya. Apabila dia mengamalkannya, barulah dia menjadi seorang alim” (Dikutip dari Hushul al-Ma’mul).

Perkataan ini mengandung makna yang dalam, karena apabila seorang memiliki ilmu akan tetapi tidak mau mengamalkannya, maka (pada hakikatnya) dia adalah orang yang bodoh, karena tidak ada perbedaan antara dia dan orang yang bodoh, sebab ia tidak mengamalkan ilmunya.

Oleh karena itu, seorang yang berilmu tapi tidak beramal tergolong dalam kategori yang berada dalam kerugian, karena bisa jadi ilmu itu malah akan berbalik menggugatnya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتىَّ يَسْأَلَ عَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ
 
”Seorang hamba tidak akan beranjak dari tempatnya pada hari kiamat nanti hingga dia ditanya tentang ilmunya, apa saja yang telah ia amalkan dari ilmu tersebut.” (HR. Ad Darimi nomor 537 dengan sanad shahih).

Berdakwah kepada Allah
Berdakwah, mengajak manusia kepada Allah ta’ala, adalah tugas para Rasul dan merupakan jalan orang- orang yang mengikuti jejak mereka dengan baik. Allah ta’ala berfirman,

قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي وَسُبْحَانَ اللَّهِ وَمَا أَنَا مِنَ الْمُشْرِكِينَ (١٠٨)

“Katakanlah, “inilah jalan (agama)ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik.” (Yusuf: 108).

Jangan anda tanya mengenai keutamaan berdakwah ke jalan Allah. Simak firman Allah ta’ala berikut,

وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ

“Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?” (QS. Fushshilat : 33).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

فَوَاللَّهِ لَأَنْ يُهْدَى بِكَ رَجُلٌ وَاحِدٌ خَيْرٌ لَكَ مِنْ حُمْرِ النَّعَمِ

Demi Allah, sungguh jika Allah memberikan petunjuk kepada seseorang dengan perantara dirimu, itu lebih baik bagimu daripada unta merah” (HR. Bukhari nomor 2783).

Oleh karena itu, dengan merenungi firman Allah dan sabda nabi di atas, seyogyanya seorang ketika telah mengetahui kebenaran, hendaklah dia berusaha menyelamatkan para saudaranya dengan mengajak mereka untuk memahami dan melaksanakan agama Allah dengan benar.

Sangat aneh, jika disana terdapat sekelompok orang yang telah mengetahui Islam yang benar, namun mereka hanya sibuk dengan urusan pribadi masing-masing dan “duduk manis” tanpa sedikit pun memikirkan kewajiban dakwah yang besar ini.

Pada hakekatnya orang yang lalai akan kewajiban berdakwah masih berada dalam kerugian meskipun ia termasuk orang yang berilmu dan mengamalkannya. Ia masih berada dalam kerugian dikarenakan ia hanya mementingkan kebaikan diri sendiri (egois) dan tidak mau memikirkan bagaimana cara untuk mengentaskan umat dari jurang kebodohan terhadap agamanya. Ia tidak mau memikirkan bagaimana cara agar orang lain bisa memahami dan melaksanakan ajaran Islam yang benar seperti dirinya. Sehingga orang yang tidak peduli akan dakwah adalah orang yang tidak mampu mengambil pelajaran dari sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,

لَا يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِأَخِيهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ

”Tidak sempurna keimanan salah seorang diantara kalian, hingga ia senang apabila saudaranya memperoleh sesuatu yang juga ia senangi.” (HR. Bukhari nomor 13).

Jika anda merasa senang dengan hidayah yang Allah berikan berupa kenikmatan mengenal Islam yang benar, maka salah satu ciri kesempurnaan Islam yang anda miliki adalah anda berpartisipasi aktif dalam kegiatan dakwah seberapapun kecilnya sumbangsih yang anda berikan.

Bersabar dalam Dakwah
Kriteria keempat adalah bersabar atas gangguan yang dihadapi ketika menyeru ke jalan Allah ta’ala. Seorang da’i (penyeru) ke jalan Allah mesti menemui rintangan dalam perjalanan dakwah yang ia lakoni. Hal ini dikarenakan para dai menyeru manusia untuk mengekang diri dari hawa nafsu (syahwat), kesenangan dan adat istiadat masyarakat yang menyelisihi syari’at [Hushulul ma’mul hal. 20].

Hendaklah seorang da’i mengingat firman Allah ta’ala berikut sebagai pelipur lara ketika berjumpa dengan rintangan. Allah ta’ala berfirman,

وَلَقَدْ كُذِّبَتْ رُسُلٌ مِنْ قَبْلِكَ فَصَبَرُوا عَلَى مَا كُذِّبُوا وَأُوذُوا حَتَّى أَتَاهُمْ نَصْرُنَا وَلا مُبَدِّلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ وَلَقَدْ جَاءَكَ مِنْ نَبَإِ الْمُرْسَلِينَ (٣٤)

”Dan sesungguhnya telah didustakan (pula) para rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang pertolongan Kami terhadap mereka” (QS. Al-An’am : 34).

Seorang da’i wajib bersabar dalam berdakwah dan tidak menghentikan dakwahnya. Dia harus bersabar atas segala penghalang dakwahnya dan bersabar terhadap gangguan yang ia temui. Allah ta’ala menyebutkan wasiat Luqman Al-Hakim kepada anaknya (yang artinya),

”Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang munkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpamu. Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh Allah)” (QS. Luqman :17).

Pada akhir tafsir surat Al ‘Ashr ini, Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata,

فَبِالِأَمْرَيْنِ اْلأَوَّلِيْنَ، يُكَمِّلُ اْلإِنْسَانُ نَفْسَهُ، وَبِالْأَمْرَيْنِ اْلأَخِيْرِيْنَ يُكَمِّلُ غَيْرَهُ، وَبِتَكْمِيْلِ اْلأُمُوْرِ اْلأَرْبَعَةِ، يَكُوْنُ اْلإِنْسَانُ قَدْ سَلِمَ تعل مِنَ الْخُسَارِ، وَفَازَ بِالْرِبْحِ [الْعَظِيْمِ]

”Maka dengan dua hal yang pertama (ilmu dan amal), manusia dapat menyempurnakan dirinya sendiri. Sedangkan dengan dua hal yang terakhir (berdakwah dan bersabar), manusia dapat menyempurnakan orang lain. Dan dengan menyempurnakan keempat kriteria tersebut, manusia dapat selamat dari kerugian dan mendapatkan keuntungan yang besar” [Taisiir Karimir Rohmaan hal. 934].

Semoga Allah memberikan taufik kepada kita untuk menyempurnakan keempat hal ini, sehingga kita dapat memperoleh keuntungan yang besar di dunia ini, dan lebih-lebih di akhirat kelak. Amiin.

Allah Begitu Dekat Pada Orang yang Berdo'a

Label: ,

Sudah begitu lama, ingin agar harapan segera terwujud. Beberapa waktu terus menanti dan menanti, namun tak juga impian itu datang. Kadang jadi putus asa karena sudah seringkali memohon pada Allah. Sikap seorang muslim adalah tetap terus berdo’a karena Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a. Boleh jadi terkabulnya do’a tersebut tertunda. Boleh jadi pula Allah mengganti permintaan tadi dengan yang lainnya dan pasti pilihan Allah adalah yang terbaik.

Ayat yang patut direnungkan adalah firman Allah Ta’ala,
وَإِذَا سَأَلَكَ عِبَادِي عَنِّي فَإِنِّي قَرِيبٌ أُجِيبُ دَعْوَةَ الدَّاعِ إِذَا دَعَانِ فَلْيَسْتَجِيبُوا لِي وَلْيُؤْمِنُوا بِي لَعَلَّهُمْ يَرْشُدُونَ
Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku. Maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran.” (QS. Al Baqarah: 186)

Sebagian sahabat radhiyallahu ‘anhum berkata,
يَا رَسُولَ اللَّهِ رَبُّنَا قَرِيبٌ فَنُنَاجِيهِ ؟ أَوْ بَعِيدٌ فَنُنَادِيهِ ؟ فَأَنْزَلَ اللَّهُ هَذِهِ الْآيَةَ
“Wahai Rasulullah, apakah Rabb kami itu dekat sehingga kami cukup bersuara lirih ketika berdo’a ataukah Rabb kami itu jauh sehingga kami menyerunya dengan suara keras?” Lantas Allah Ta’ala menurunkan ayat di atas. (Majmu’ Al Fatawa, 35/370)

Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Kedekatan yang dimaksud dalam ayat ini adalah kedekatan Allah pada orang yang berdo’a (kedekatan yang sifatnya khusus).” (Majmu’ Al Fatawa, 5/247)
Perlu diketahui bahwa kedekatan Allah itu ada dua macam:
  1. Kedekatan Allah yang umum dengan ilmu-Nya, ini berlaku pada setiap makhluk.
  2. Kedekatan Allah yang khusus pada hamba-Nya dan seorang muslim yang berdo’a pada-Nya, yaitu Allah akan mengijabahi (mengabulkan) do’anya, menolongnya dan memberi taufik padanya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)
Kedekatan Allah pada orang yang berdo’a adalah kedekatan yang khusus –pada macam yang kedua- (bukan kedekatan yang sifatnya umum pada setiap orang). Allah begitu dekat pada orang yang berdo’a dan yang beribadah pada-Nya. Sebagaimana disebutkan dalam hadits pula bahwa tempat yang paling dekat antara seorang hamba dengan Allah adalah ketika ia sujud. (Majmu’ Al Fatawa, 15/17)

Siapa saja yang berdo’a pada Allah dengan menghadirkan hati ketika berdo’a, menggunakan do’a yang ma’tsur (dituntunkan), menjauhi hal-hal yang dapat menghalangi terkabulnya do’a (seperti memakan makanan yang haram), maka niscaya Allah akan mengijabahi do’anya. Terkhusus lagi jika ia melakukan sebab-sebab terkabulnya do’a dengan tunduk pada perintah dan larangan Allah dengan perkataan dan perbuatan, juga disertai dengan mengimaninya. (Taisir Al Karimir Rahman, hal. 87)

Dengan mengetahui hal ini seharusnya seseorang tidak meninggalkan berdo’a pada Rabbnya yang tidak mungkin menyia-nyiakan do’a hamba-Nya. Pahamilah bahwa Allah benar-benar begitu dekat dengan orang yang berdo’a, artinya akan mudah mengabulkan do’a setiap hamba. Sehingga tidak pantas seorang hamba putus asa dari janji Allah yang Maha Mengabulkan setiap do’a.

Ingatlah pula bahwa do’a adalah sebab utama agar seseorang bisa meraih impian dan harapannya. Sehingga janganlah merasa putus asa dalam berdo’a. Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata, “Do’a adalah sebab terkuat bagi seseorang agar bisa selamat dari hal yang tidak ia sukai dan sebab utama meraih hal yang diinginkan. Akan tetapi pengaruh do’a pada setiap orang berbeda-beda. Ada yang do’anya berpengaruh begitu lemah karena sebab dirinya sendiri. Boleh jadi do’a itu adalah do’a yang tidak Allah sukai karena melampaui batas. Boleh jadi do’a tersebut berpengaruh lemah karena hati hamba tersebut yang lemah dan tidak menghadirkan hatinya kala berdo’a. ... Boleh jadi pula karena adanya penghalang terkabulnya do’a dalam dirinya seperti makan makanan haram, noda dosa dalam hatinya, hati yang selalu lalai, nafsu syahwat yang menggejolak dan hati yang penuh kesia-siaan.” (Al Jawaabul Kaafi, hal. 21).

Ingatlah hadits dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لَيْسَ شَيْءٌ أَكْرَمَ عَلَى اللَّهِ تَعَالَى مِنَ الدُّعَاءِ
Tidak ada sesuatu yang lebih besar pengaruhnya di sisi Allah Ta’ala selain do’a.” (HR. Tirmidzi no. 3370, Ibnu Majah no. 3829, Ahmad 2/362. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan).
Jika memahami hal ini, maka gunakanlah do’a pada Allah sebagai senjata untuk meraih harapan.

Penuh yakinlah bahwa Allah akan kabulkan setiap do’a. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ادْعُوا اللَّهَ وَأَنْتُمْ مُوقِنُونَ بِالإِجَابَةِ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ لاَ يَسْتَجِيبُ دُعَاءً مِنْ قَلْبٍ غَافِلٍ لاَهٍ
Berdoalah kepada Allah dalam keadaan yakin akan dikabulkan, dan ketahuilah bahwa Allah tidak mengabulkan doa dari hati yang lalai.” (HR. Tirmidzi no. 3479. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan)

Lalu pahamilah bahwa ada beberapa jalan Allah kabulkan do’a. Dari Abu Sa’id, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« ما مِنْ مُسْلِمٍ يَدْعُو بِدَعْوَةٍ لَيْسَ فِيهَا إِثْمٌ وَلاَ قَطِيعَةُ رَحِمٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ اللَّهُ بِهَا إِحْدَى ثَلاَثٍ إِمَّا أَنْ تُعَجَّلَ لَهُ دَعْوَتُهُ وَإِمَّا أَنْ يَدَّخِرَهَا لَهُ فِى الآخِرَةِ وَإِمَّا أَنُْ يَصْرِفَ عَنْهُ مِنَ السُّوءِ مِثْلَهَا ». قَالُوا إِذاً نُكْثِرُ. قَالَ « اللَّهُ أَكْثَرُ »
Tidaklah seorang muslim memanjatkan do’a pada Allah selama tidak mengandung dosa dan memutuskan silaturahmi (antar kerabat, pen) melainkan Allah akan beri padanya tiga hal: 
[1] Allah akan segera mengabulkan do’anya, 
[2] Allah akan menyimpannya baginya di akhirat kelak, dan 
[3] Allah akan menghindarkan darinya kejelekan yang semisal.” 
Para sahabat lantas mengatakan, “Kalau begitu kami akan memperbanyak berdo’a.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas berkata, “Allah nanti yang memperbanyak mengabulkan do'a-do'a kalian.” (HR. Ahmad 3/18. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanadnya jayyid).

Boleh jadi Allah menunda mengabulkan do’a. Boleh jadi pula Allah mengganti keinginan kita dalam do’a dengan sesuatu yang Allah anggap lebih baik. Atau boleh jadi pula Allah akan mengganti dengan pahala di akhirat. Jadi do’a tidaklah sia-sia.

Ingatlah wejangan yang amat menyejukkan hati dari cucu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Al Hasan bin 'Ali radhiyallahu ‘anhuma berkata,
من اتكل على حسن اختيار الله له، لم يتمن شيئا. وهذا حد الوقوف على الرضى بما تصرف به القضاء
"Barangsiapa yang bersandar kepada baiknya pilihan Allah untuknya maka dia tidak akan mengangan-angankan sesuatu (selain keadaan yang Allah pilihkan untuknya). Inilah batasan (sikap) selalu ridha (menerima) semua ketentuan takdir dalam semua keadaan (yang Allah) berlakukan (bagi hamba-Nya)" (Lihat Siyaru A’laamin Nubalaa’ 3/262 dan Al Bidaayah wan Nihaayah 8/39). Pilihan Allah itulah yang terbaik.

Wallahu waliyyut taufiq.

Panggang-Gunung Kidul, 7 Jumadats Tsaniyah 1432 H (10/05/2011)

Surat al-Fatihah

Label:

Oleh: Syaikh Abdul Muhsin al-’Abbad

Surat Al Fatihah merupakan sebuah surat paling agung di dalam al-Qur’an. Hal itu berdasarkan hadits Abu Sa’id bin Al Mu’alla yang dikeluarkan oleh Al Bukhari (hadits nomor 4474). Surat ini telah mencakup ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.

Tauhid rububiyah adalah mengesakan Allah ta’ala dalam perbuatan-perbuatan-Nya, seperti: menciptakan, memberikan rezeki, menghidupkan, mematikan, dan perbuatan-perbuatan Allah ta’ala yang lainnya. Maknanya Allah itu esa dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hal mencipta, menghidupkan dan mematikan makhluk.

Sedangkan tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah subhanahu wa ta’ala dengan perbuatan-perbuatan hamba seperti: dalam hal berdoa, merasa takut, berharap, bertawakal, meminta pertolongan (isti’anah), memohon keselamatan dari cekaman bahaya (istighatsah), menyembelih binatang, dan perbuatan-perbuatan hamba yang lainnya. Maka sudah menjadi kewajiban bagi setiap mereka untuk menjadikan segala ibadah itu ikhlas semata-mata tertuju kepada Allah ‘azza wa jalla sehingga mereka tidak mempersekutukan sesuatupun bersama-Nya dalam hal ibadah. Sebagaimana tiada pencipta kecuali Allah, tiada yang menghidupkan kecuali Allah, tiada yang mematikan kecuali Allah, maka tiada yang berhak disembah kecuali Allah.

Tauhid asma’ wa shifat adalah menetapkan nama dan sifat yang telah ditetapkan sendiri oleh Allah bagi diri-Nya atau ditetapkan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam bagi diri-Nya tanpa disertai dengan tahrif (penyelewengan makna), ta’wil (penafsiran yang menyimpang), ta’thil (menolak makna atau teksnya), takyif (menegaskan bentuk tertentu dari sifat Allah), tasybih (menyerupakan secara parsial) ataupun tamtsil (menyerupakan secara total). Hal ini sebagaimana ditegaskan di dalam firman Allah ta’ala yang artinya, “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (QS. Asy Syura: 11).
Sesungguhnya ayat yang mulia ini merupakan dalil yang sangat jelas tentang kebenaran madzhab Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam mengimani sifat-sifat Allah ‘azza wa jalla yaitu dengan menetapkan sifat serta menyucikan-Nya.

Di dalam firman-Nya ‘azza wa jalla, “Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” terdapat penetapan dua buah nama Allah yaitu As Sami’ (Maha Mendengar) dan Al Bashir (Maha Melihat). Kedua nama ini menunjukkan keberadaan dua sifat Allah yaitu As Sam’u (mendengar) dan Al Bashar (melihat).
Sedangkan di dalam firman-Nya ta’ala, “Tiada sesuatupun yang serupa dengan-Nya.” terdapat penyucian Allah ta’ala dari keserupaan diri-Nya dengan makhluk dalam sifat-sifat mereka. Allah subhanahu wa ta’ala mendengar tetapi tidak sebagaimana pendengaran makhluk. Dia juga melihat namun tidak sama seperti penglihatan mereka. Bahkan ayat pertama yang terdapat dalam surat yang agung ini sudah mencakup ketiga macam tauhid tersebut.

Tauhid uluhiyah sudah ditunjukkan keberadaannya dengan firman-Nya, “Alhamdulillah” (Segala puji bagi Allah). Hal itu dikarenakan penyandaran pujian oleh para hamba terhadap Rabb mereka merupakan sebuah bentuk ibadah dan sanjungan kepada-Nya, dan itu merupakan bagian dari perbuatan mereka.

Adapun tauhid rububiyah, ia juga sudah terkandung di dalam firman-Nya ta’ala, “Rabbil ‘alamin.” (Rabb seru sekalian alam). Hal itu disebabkan Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb bagi segala sesuatu, pencipta sekaligus penguasanya. Hal itu sebagaimana difirmankan oleh Allah ‘azza wa jalla, “Hai umat manusia, sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian serta orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa. Dia lah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagi kalian dan langit menjadi atap, dan Dia lah yang menurunkan air hujan dari langit kemudian berkat air itu Allah menumbuhkan berbagai buah-buahan sebagai rezeki untuk kalian, maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (QS. Al Baqarah: 21-22)

Sedangkan tauhid asma’ wa shifat, maka sesungguhnya ayat pertama itu pun telah menyebutkan dua buah nama Allah. Kedua nama itu adalah lafzhul jalalah ‘Allah’ dan Rabb sebagaimana di dalam firman-Nya “Rabbil ‘alamin”. Pada ayat ini kata ‘rabb’ disebutkan dalam bentuk mudhaf (dipadukan dengan kata lain, pen). Sedangkan pada ayat lainnya yang tercantum dalam surat Yasin ia disebutkan secara bersendirian tanpa perpaduan, yaitu dalam firman-Nya, “Salamun qaulan min rabbir rahim” (Semoga keselamatan tercurah dari rabb yang maha penyayang) (QS. Yasin: 58)

Adapun ‘alamin’ adalah segala makhluk selain Allah. Allah subhanahu wa ta’ala dengan dzat-Nya, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, maka Dia lah Sang Pencipta. Sedangkan semua selain diri-Nya adalah makhluk. Allah ‘azza wa jalla bercerita tentang kisah Musa dan Fir’aun, “Fir’aun mengatakan, ‘Apa itu rabbul ‘alamin?’ Maka Musa menjawab, ‘Dia adalah rabb penguasa langit, bumi, dan segala sesuatu yang berada di antara keduanya, jika kamu mau jujur meyakininya.’.” (QS. Asy Syu’ara’: 23-24)

‘Ar Rahman Ar Rahim’ (Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang) merupakan dua buah nama Allah yang menunjukkan salah satu sifat Allah yaitu rahmah (kasih sayang). Ar Rahman termasuk kategori nama Allah yang hanya boleh dipakai untuk menyebut Allah. Sedangkan nama Ar Rahim telah disebutkan di dalam al-Qur’an pemakaiannya untuk menyebut selain-Nya. Allah ‘azza wa jalla berfirman tentang sifat Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sungguh telah datang kepada kalian seorang rasul dari kalangan kalian, terasa berat olehnya apa yang menyulitkan kalian, dan dia sangat bersemangat untuk memberikan kebaikan bagi kalian, dan dia sangat lembut dan menyayangi orang-orang yang beriman.” (QS. At Taubah: 128)

Ibnu Katsir mengungkapkan tatkala menjelaskan tafsir basmalah di awal surat Al Fatihah, “Kesimpulan yang dapat dipetik adalah sebagian nama Allah ta’ala ada yang bisa dipakai untuk menamai selain-Nya, dan ada yang hanya boleh dipakai untuk menamai diri-Nya -seperti nama Allah, Ar Rahman, Al Khaliq, Ar Raziq dan sebagainya- .”

‘Maliki yaumid din’ menunjukkan kepada tauhid rububiyah. Allah subhanahu wa ta’ala adalah rabb segala sesuatu dan penguasanya. Seluruh kerajaan langit dan bumi serta apa pun yang berada di antara keduanya adalah milik-Nya. Dia lah Raja yang menguasai dunia dan akhirat.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Milik Allah kerajaan langit dan bumi serta segala sesuatu yang ada di dalamnya, dan Dia Maha menguasai segala sesuatu.” (QS. Al Ma’idah: 120).
Allah juga berfirman, “Maha Suci Allah yang di tangan-Nya kerajaan dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (QS. Al Mulk: 1).
Allah berfirman, “Katakanlah; Siapakah yang di tangan-Nya berada kekuasaan atas segala sesuatu, Dia yang melindungi dan tiada yang dapat terlindungi dari siksa-Nya, jika kalian benar-benar mengetahui? Maka mereka akan menjawab, ‘Allah’. Katakanlah; Lantas dari sisi manakah kalian tertipu.” (QS. Al Mu’minun: 88-89)

Yaumid din adalah hari terjadinya pembalasan dan penghitungan amal. Di dalam ayat ini ditegaskan bahwa Allah adalah penguasa pada hari pembalasan -padahal Dia adalah penguasa dunia dan akhirat- dikarenakan pada hari itu semua orang pasti akan tunduk kepada Rabbul ‘alamin. Berbeda dengan situasi yang terjadi di dunia, ketika di dunia masih ada orang yang bisa melampaui batas dan menyombongkan dirinya, bahkan ada pula yang berani mengatakan, “Aku adalah rabb kalian yang paling tinggi.” Dan dia pun lancang mengatakan, “Wahai rakyatku semua, tidaklah aku mengetahui adanya sesembahan bagi kalian selain diri-Ku.”

‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ (Hanya kepada-Mu kami beribadah dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan). Ini menunjukkan tauhid uluhiyah. Penyebutan objek yang didahulukan sebelum dua buah kata kerja tersebut menunjukkan pembatasan. Ia menunjukkan bahwa ibadah tidak boleh dipersembahkan kecuali kepada Allah. Demikian pula meminta pertolongan dalam urusan yang hanya dikuasai oleh Allah juga harus diminta hanya kepada Allah.
 Kalimat yang pertama menunjukkan bahwasanya seorang muslim harus melaksanakan ibadahnya dengan ikhlas untuk mengharap wajah Allah yang disertai kesesuaian amal dengan sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sedangkan kalimat yang kedua menunjukkan bahwa hendaknya seorang muslim tidak meminta pertolongan dalam mengatasi segala urusan agama dan dunianya kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla.

‘Ihdinash shirathal mustaqim’ (Tunjukilah kami jalan yang lurus). Ini menunjukkan tauhid uluhiyah, sebab ia merupakan doa. Dan doa termasuk jenis ibadah. Hal ini sebagaimana difirmankan Allah ‘azza wa jalla, “Sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah, maka janganlah kalian menyeru bersama Allah siapapun.” (QS. Al Jin: 18). Doa ini mengandung seagung-agung tuntutan seorang hamba yaitu mendapatkan petunjuk menuju jalan yang lurus. Dengan meniti jalan itulah seseorang akan keluar dari berbagai kegelapan menuju cahaya serta akan menuai keberhasilan dunia dan akhirat. Kebutuhan hamba terhadap petunjuk ini jauh lebih besar daripada kebutuhan dirinya terhadap makanan dan minuman. Karena makanan dan minuman hanyalah bekal untuk menjalani kehidupannya yang fana. Sedangkan petunjuk menuju jalan yang lurus merupakan bekal kehidupannya yang kekal dan abadi. Doa ini juga mengandung permintaan untuk diberikan keteguhan di atas petunjuk yang telah diraih dan juga mengandung permintaan untuk mendapatkan tambahan petunjuk.

Allah ‘azza wa jalla berfirman, “Dan orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk, maka Allah pun akan menambahkan kepada mereka petunjuk dan Allah akan memberikan ketakwaan kepada mereka.” (QS. Muhammad: 17).
Allah juga berfirman tentang Ashabul Kahfi, “Sesungguhnya mereka adalah para pemuda yang beriman kepada Rabb mereka, dan Kami pun menambahkan petunjuk kepada mereka.” (QS. Al Kahfi: 13).
Allah juga berfirman, “Dan Allah akan menambahkan petunjuk kepada orang-orang yang tetap berjalan di atas petunjuk.” (QS. Maryam: 76)

Petunjuk menuju jalan yang lurus itu akan menuntun kepada jalan orang-orang yang diberikan kenikmatan yaitu para nabi, orang-orang shiddiq, para syuhada’, dan orang-orang salih. Mereka itu adalah orang-orang yang memadukan ilmu dengan amal. Maka seorang hamba memohon kepada Rabbnya untuk melimpahkan hidayah menuju jalan lurus ini yang merupakan sebuah pemuliaan dari Allah kepada para rasul-Nya dan wali-wali-Nya. Dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan musuh-musuh-Nya yaitu orang-orang yang memiliki ilmu akan tetapi tidak mengamalkannya. Mereka itulah golongan Yahudi yang dimurkai.

Demikian juga dia memohon agar Allah menjauhkan dirinya dari jalan orang-orang yang beribadah kepada Allah di atas kebodohan dan kesesatan. Mereka itulah golongan Nasrani yang sesat. Hadits yang menerangkan bahwa orang-orang yang dimurkai itu adalah Yahudi dan orang-orang sesat itu adalah Nasrani dikeluarkan oleh At Tirmidzi (hadits nomor 2954) dan ahli hadits lainnya, silakan lihat takhrij hadits ini di buku Silsilah Ash Shahihah karya Al Albani (hadits nomor 3263), di dalam buku itu disebutkan nama-nama para ulama yang menyatakan keabsahan hadits tersebut.

Ibnu Katsir di dalam kitab tafsirnya ketika membahas firman Allah ta’ala, “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya kebanyakan pendeta dan rahib-rahib benar-benar memakan harta manusia dengan cara yang batil dan memalingkan manusia dari jalan Allah.” (QS. At Taubah: 34)
menukilkan ucapan Sufyan bin Uyainah yang mengatakan, “Orang-orang yang rusak di antara orang berilmu di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Yahudi. Dan orang-orang yang rusak di antara para ahli ibadah di kalangan kita, padanya terdapat keserupaan dengan Nasrani.”

Guru kamu Syaikh Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/53), “Orang-orang Yahudi dan Nasrani -meskipun sebenarnya mereka sama-sama sesat dan sama-sama dimurkai- hanya saja kemurkaan itu lebih dikhususkan kepada Yahudi -meskipun orang Nasrani juga termasuk di dalamnya- dikarenakan mereka telah mengenal kebenaran namun justru mengingkarinya, dan secara sengaja melakukan kebatilan. Karena itulah kemurkaan lebih condong dilekatkan kepada mereka.

Adapun orang-orang Nasrani adalah orang yang bodoh dan tidak mengetahui kebenaran, sehingga kesesatan merupakan ciri mereka yang lebih menonjol. Meskipun begitu Allah menyatakan bahwa ‘al magdhubi ‘alaihim’ adalah kaum Yahudi melalui firman-Nya ta’ala tentang mereka, “Maka mereka pun kembali dengan menuai kemurkaan di atas kemurkaan.” (QS. Al Baqarah: 90).
Demikian pula Allah berfirman mengenai mereka, “Katakanlah; maukah aku kabarkan kepada kalian tentang golongan orang yang balasannya lebih jelek di sisi Allah, yaitu orang-orang yang dilaknati Allah dan dimurkai oleh-Nya.” (QS. Al Ma’idah: 60).
Begitu pula firman-Nya, “Sesungguhnya orang-orang yang menjadikan patung sapi itu sebagai sesembahan niscaya akan mendapatkan kemurkaan.” (QS. Al A’raaf : 152).

Sedangkan golongan ‘adh dhaalliin’ telah Allah jelaskan bahwa mereka itu adalah kaum Nasrani melalui firman-Nya ta’ala, “Dan janganlah kalian mengikuti hawa nafsu suatu kaum yang telah tersesat, dan mereka pun menyesatkan banyak orang, sungguh mereka telah tersesat dari jalan yang lurus.” (QS. Al Ma’idah: 77)”
Dari penjelasan terdahulu maka jelaslah bahwa surat Al Fatihah mengandung lebih daripada sekedar pembahasan ketiga macam tauhid: tauhid rububiyah, tauhid uluhiyah, dan tauhid asma’ wa shifat.

Sebagian ulama ada juga yang membagi tauhid menjadi dua macam: tauhid fil ma’rifah wal itsbat -ia sudah mencakup tauhid rububiyah dan asma’ wa shifat- dan tauhid fi thalab wal qashd yang tidak lain adalah tauhid uluhiyah. Maka tidak ada pertentangan antara pembagian tauhid menjadi dua ataupun tiga.

Ibnu Abil ‘Izz Al Hanafi mengatakan di dalam Syarh ‘Aqidah Thahawiyah (hal. 42-43), “Kemudian, tauhid yang diserukan oleh para utusan Allah dan menjadi muatan kitab-kitab suci yang diturunkan-Nya ada dua macam: tauhid dalam hal penetapan dan pengenalan (itsbat wal ma’rifah), dan tauhid dalam hal tuntutan dan keinginan (fi thalab wal qashd).

Adapun tauhid yang pertama adalah penetapan hakikat Rabb ta’ala, sifat-sifat-Nya, dan nama-nama-Nya. Tiada sesuatu pun yang serupa dengan-Nya dalam perkara-perkara itu semua. Hal itu sebagaimana yang diberitakan oleh Allah mengenai dirinya sendiri, dan juga sebagaimana yang diberitakan oleh Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. al-Qur’an telah menjelaskan dengan gamblang mengenai jenis tauhid ini, sebagaimana tercantum di dalam bagian awal surat Al Hadid, Thaha, bagian akhir surat Al Hasyr, bagian awal surat ‘Alif lam mim tanzil’ (As Sajdah), awal surat Ali ‘Imran, seluruh ayat dalam surat Al Ikhlas, dan lain sebagainya.

Yang kedua: Tauhid thalab wal qashd, seperti yang terkandung dalam surat Qul ya ayyuhal kafirun, Qul Ya ahlal kitabi ta’aalau ila kalimatin sawaa’in bainana wa bainakum, awal surat Tanzilul Kitab dan bagian akhirnya, awal surat Yunus, pertengahan, dan bagian akhirnya, awal surat Al A’raaf dan bagian akhirnya, dan surat Al An’aam secara keseluruhan. Mayoritas surat-surat al-Qur’an mengandung dua macam tauhid tersebut, bahkan setiap surat dalam al-Qur’an demikian halnya; sebab al-Qur’an itu meliputi pemberitaan tentang Allah, nama-nama-Nya, sifat-sifat-Nya, dan perbuatan-perbuatan-Nya, inilah yang disebut dengan tauhid ilmi khabari. Ia juga berisi tentang dakwah yang mengajak untuk beribadah kepada Allah semata dan tiada sekutu bagi-Nya serta menanggalkan segala bentuk sesembahan selain-Nya, inilah yang disebut tauhid iradi thalabi.

Ia juga berisi tentang perintah dan larangan serta kewajiban untuk menaati-Nya, ini merupakan hak-hak tauhid dan penyempurna baginya. Ia juga mengandung berita mengenai pemuliaan yang diberikan bagi orang-orang yang bertauhid, kebaikan yang Allah limpahkan kepada mereka di dunia dan kemuliaan yang akan mereka terima di akhirat, maka itu semua merupakan balasan bagi ketauhidannya.

Ia juga berisi berita mengenai para pelaku kesyirikan, siksa yang Allah timpakan kepada mereka sewaktu di dunia dan azab yang harus mereka rasakan di akhirat, maka itu merupakan balasan bagi orang-orang yang meninggalkan tauhid. Dengan demikian seluruh bagian dari al-Qur’an berisi tentang tauhid, hak-haknya, dan balasannya, serta menjelaskan tentang syirik, pelakunya, dan balasan (hukuman) yang diberikan kepada mereka.

Maka alhamdulillahi Rabbil ‘alamin adalah tauhid. Ar rahmanir rahim adalah tauhid. Maliki yaumid Din adalah tauhid. Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in adalah tauhid. Ihdinash shirathal mustaqim adalah tauhid yang mengandung permohonan petunjuk untuk bisa meniti jalan ahli tauhid yang telah mendapatkan anugerah kenikmatan dari Allah, bukan jalan orang-orang yang dimurkai dan juga bukan jalan orang-orang yang sesat; yaitu orang-orang yang memisahkan diri dari tauhid.”

Dikarenakan keagungan kedudukan surat Al Fatihah ini dan ketercakupannya terhadap tauhidullah dalam hal rububiyah-Nya, uluhiyah-Nya, dan asma’ wa shifat-Nya, kandungan permohonan petunjuk meniti jalan yang lurus, dan dikarenakan kebutuhan setiap muslim terhadap petunjuk itu jauh berada di atas kebutuhannya terhadap apapun dan lebih mendesak, maka surat ini pun disyari’atkan untuk dibaca di setiap raka’at shalat.

Di dalam Sahih Bukhari (756) dan Muslim (393) dari Ubadah bin Shamit radhiyallahu’anhu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tidak sah shalat bagi orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab.”

Di dalam Sahih Muslim (878) dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda, “Barangsiapa mengerjakan shalat yang tidak membaca Ummul Qur’an di dalamnya maka shalatnya pincang -tiga kali- yaitu tidak sempurna.” Maka ditanyakan kepada Abu Hurairah, “Kalau kami sedang berada di belakang imam, bagaimana?” Beliau menjawab, “Bacalah untuk diri kalian sendiri, karena sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ta’ala berfirman : ‘Aku membagi shalat (Al Fatihah) antara Aku dengan hamba-Ku menjadi dua bagian. Dan hamba-Ku akan mendapatkan apa yang dia minta.’ Kalau hamba itu membaca, ‘Alhamdulillahi Rabbil ‘alamin’, maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku telah memuji-Ku’. Kalau dia membaca, ‘Ar Rahmanirrahim’ maka Allah ta’ala menjawab, ‘Hamba-Ku menyanjung-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Maliki yaumid din’ maka Allah berfirman, ‘Hamba-Ku mengagungkan Aku’. Kemudian Allah mengatakan, ‘Hamba-Ku telah pasrah kepada-Ku’. Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.’. dan kalau dia membaca, ‘Ihdinash shirathal mustaqim, shirathalladziina an’amta ‘alaihim ghairil maghdhubi ‘alaihim wa ladh dhaalliin” maka Allah berfirman, ‘Inilah hak hamba-Ku dan dia akan mendapatkan apa yang dimintanya.’.”

Makna dari firman Allah di dalam hadits qudsi ini, “Kalau ia membaca, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’ maka Allah menjawab, ‘Inilah bagian untuk-Ku dan bagian untuk hamba-Ku. Dan hamba-Ku pasti akan mendapatkan permintaannya.” ialah: kalimat yang pertama yaitu ‘Iyyaka na’budu’ mencakup ibadah, dan itu merupakan hak Allah. sedangkan kalimat yang kedua (yaitu wa iyyaka nasta’in, pen) mengandung permintaan hamba untuk memperoleh pertolongan dari Allah dan menunjukkan bahwa Allah berkenan memberikan kemuliaan baginya dengan mengabulkan permintaannya.

Guru kami Muhammad Al Amin Asy Syinqithi mengambil kesimpulan hukum dari surat Al Fatihah ini untuk menetapkan keabsahan kekhilafahan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Beliau mengatakan di dalam kitabnya Adhwa’ul Bayan (1/51), “Dari ayat yang mulia ini diambil kesimpulan mengenai keabsahan kepemimpinan Abu Bakar Ash Shiddiq radhiyallahu ‘anhu. Hal itu dikarenakan beliau termasuk golongan orang yang disebut di dalam As Sab’ul Matsani dan Al-Qur’an Al ‘Azhim -yaitu dalam surat Al Fatihah- yang Allah perintahkan kita untuk meminta petunjuk kepada-Nya agar bisa meniti jalan mereka. Maka hal itu menunjukkan bahwa jalan mereka adalah jalan yang lurus. Hal itu sebagaimana disinggung dalam ayat-Nya, “Ihdinash shirathal mustaqim. Shirathalladzina an’amta ‘alaihim.” Allah telah menerangkan siapa saja golongan orang yang diberikan kenikmatan itu, dan di antara mereka adalah orang-orang shiddiq. Sementara beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah menjelaskan bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu termasuk kategori orang-orang shiddiq. Dengan demikian jelaslah bahwa beliau pun termasuk dalam golongan orang-orang yang diberi kenikmatan oleh Allah itu, itulah isi perintah Allah kepada kita yaitu memohon petunjuk agar bisa berjalan di atas jalan mereka, sehingga tidak lagi tersisa sedikit pun kesamaran bahwa Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu benar-benar berada di atas jalan yang lurus, dan hal itu juga menunjukkan bahwa kepemimpinan beliau adalah sah.”

***
Penulis: Syaikh Abdul Mushin Al ‘Abbad dari kitab ‘Min Kunuz al-Qur’an’ hal. 1-6
Penerjemah: Abu Mushlih Ari Wahyudi
Muraja’ah Terjemahan: Ustadz Aris Munandar

Al-Qur'an Obat Segala Penyakit

Label: ,

Oleh : Ust. Abu Karimah Askari bin Jamal Al-Bugisi

Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat- ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ مَا هُوَ شِفَاءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَلاَ يَزِيْدُ الظَّالِمِيْنَ إِلاَّ خَسَارًا
“Dan Kami turunkan dari Al-Qur`an suatu yang menjadi penyembuh dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al-Qur`an itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang dzalim selain kerugian.” (QS. Al-Isra`: 82)

Penjelasan Beberapa Mufradat Ayat

نُنَزِّلُ
“Kami turunkan.” Jumhur ahli qiraah membacanya dengan diawali nun dan bertasydid. Adapun Abu ‘Amr membacanya dengan tanpa tasydid (نُنْزِلُ). Sedangkan Mujahid membacanya dengan diawali huruf ya` dan tanpa tasydid (يُنْزِلُ). Al-Marwazi juga meriwayatkan demikian dari Hafs. (Tafsir Al-Qurthubi, 10/315 dan Fathul Qadir, Asy-Syaukani, 3/253)

مِنَ الْقُرْآنِ
“dari Al-Qur`an.” Kata min (مِنْ) dalam ayat ini, menurut pendapat yang rajih (kuat), menjelaskan jenis dan spesifikasi yang dimiliki Al-Qur`an. Kata min di sini tidak bermakna “sebagian”, yang mengesankan bahwa di antara ayat-ayat Al-Qur`an ada yang tidak termasuk syifa` (penawar), sebagaimana yang dirajihkan oleh Ibnul Qayyim rahimahullahu. Kata min pada ayat ini seperti halnya yang terdapat dalam firman-Nya:

وَعَدَ اللهُ الَّذِيْنَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي اْلأَرْضِ
“Dan Allah telah berjanji kepada orang-orang yang beriman di antara kamu dan mengerjakan amal-amal yang shalih bahwa Dia sungguh-sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi...” 
(QS. An-Nur: 55)

Kata min dalam lafadz مِنْكُمْ tidaklah bermakna sebagian, sebab mereka seluruhnya adalah orang-orang yang beriman dan beramal shalih. (Lihat Tafsir Al-Qurthubi, 10/316, Fathul Qadir, 3/253, dan At-Thibb An-Nabawi, Ibnul Qayyim, hal. 138)

شِفَاءٌ
“Penyembuh.” Penyembuh yang dimaksud di sini meliputi penyembuh atas segala penyakit, baik rohani maupun jasmani, sebagaimana yang akan dijelaskan dalam tafsirnya.

Penjelasan Tafsir Ayat
Ibnu Katsir rahimahullahu berkata: “Allah Subhanahu wa Ta'ala mengabarkan tentang kitab-Nya yang diturunkan kepada Rasul-Nya Shallallahu 'alaihi wa sallam, yaitu Al-Qur`an, yang tidak terdapat kebatilan di dalamnya baik dari sisi depan maupun belakang, yang diturunkan dari Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji, bahwa sesungguhnya Al-Qur`an itu merupakan penyembuh dan rahmat bagi kaum mukminin. Yaitu menghilangkan segala hal berupa keraguan, kemunafikan, kesyirikan, penyimpangan, dan penyelisihan yang terdapat dalam hati. Al-Qur`an-lah yang menyembuhkan itu semua. Di samping itu, ia merupakan rahmat yang dengannya membuahkan keimanan, hikmah, mencari kebaikan dan mendorong untuk melakukannya. Hal ini tidaklah didapatkan kecuali oleh orang yang mengimani, membenarkan, serta mengikutinya. Bagi orang yang seperti ini, Al-Qur`an akan menjadi penyembuh dan rahmat.

Adapun orang kafir yang mendzalimi dirinya sendiri, maka tatkala mendengarkan Al-Qur`an tidaklah bertambah baginya melainkan semakin jauh dan semakin kufur. Dan sebab ini ada pada orang kafir itu, bukan pada Al-Qur`annya. Seperti firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

قُلْ هُوَ لِلَّذِيْنَ آمَنُوا هُدًى وَشِفَاءٌ وَالَّذِيْنَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ فِي آذَانِهِمْ وَقْرٌ وَهُوَ عَلَيْهِمْ عَمًى أُولَئِكَ يُنَادَوْنَ مِنْ مَكَانٍ بَعِيْدٍ
“Katakanlah: ‘Al-Qur`an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman. Dan orang-orang yang tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al-Qur`an itu suatu kegelapan bagi mereka. Mereka itu adalah (seperti) orang-orang yang dipanggil dari tempat yang jauh’.”  (QS. Fushshilat: 44)

Dan Allah Subhanahu wa Ta'ala juga berfirman:

وَإِذَا مَا أُنْزِلَتْ سُوْرَةٌ فَمِنْهُمْ مَنْ يَقُوْلُ أَيُّكُمْ زَادَتْهُ هَذِهِ إِيْمَانًا فَأَمَّا الَّذِيْنَ آمَنُوا فَزَادَتْهُمْ إِيْمَانًا وَهُمْ يَسْتَبْشِرُوْنَ. وَأَمَّا الَّذِيْنَ فِيْ قُلُوْبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ كَافِرُوْنَ
“Dan apabila diturunkan suatu surat, maka di antara mereka (orang-orang munafik) ada yang berkata: ‘Siapakah di antara kamu yang bertambah imannya dengan (turunnya) surat ini?’ Adapun orang-orang yang beriman, maka surat ini menambah imannya, sedang mereka merasa gembira. Adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, di samping kekafirannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir.” (At-Taubah: 124-125)

Dan masih banyak ayat-ayat yang menjelaskan tentang hal ini.” (Tafsir Ibnu Katsir, 3/60)

Al-’Allamah Abdurrahman As-Sa’di rahimahullahu berkata pula dalam menjelaskan ayat ini:
“Al-Qur`an mengandung penyembuh dan rahmat. Dan ini tidak berlaku untuk semua orang, namun hanya bagi kaum mukminin yang membenarkan ayat-ayat-Nya dan berilmu dengannya. Adapun orang-orang dzalim yang tidak membenarkan dan tidak mengamalkannya, maka ayat- ayat tersebut tidaklah menambah baginya kecuali kerugian. Karena, hujjah telah ditegakkan kepadanya dengan ayat-ayat itu.

Penyembuhan yang terkandung dalam Al-Qur`an bersifat umum meliputi penyembuhan hati dari berbagai syubhat, kejahilan, berbagai pemikiran yang merusak, penyimpangan yang jahat, dan berbagai tendensi yang batil. Sebab ia (Al-Qur`an) mengandung ilmu yakin, yang dengannya akan musnah setiap syubhat dan kejahilan. Ia merupakan pemberi nasehat serta peringatan, yang dengannya akan musnah setiap syahwat yang menyelisihi perintah Allah Subhanahu wa Ta'ala. Di samping itu, Al-Qur`an juga menyembuhkan jasmani dari berbagai penyakit.

Adapun rahmat, maka sesungguhnya di dalamnya terkandung sebab-sebab dan sarana untuk meraihnya. Kapan saja seseorang melakukan sebab-sebab itu, maka dia akan menang dengan meraih rahmat dan kebahagiaan yang abadi, serta ganjaran kebaikan, cepat ataupun lambat.” (Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hal. 465)

Al-Qur`an Menyembuhkan Penyakit Jasmani
Suatu hal yang menjadi keyakinan setiap muslim bahwa Al-Qur`anul Karim diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala untuk memberi petunjuk kepada setiap manusia, menyembuhkan berbagai penyakit hati yang menjangkiti manusia, bagi mereka yang diberi hidayah oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala dan dirahmati-Nya. Namun apakah Al-Qur`an dapat menyembuhkan penyakit jasmani?
Dalam hal ini, para ulama menukilkan dua pendapat: Ada yang mengkhususkan penyakit hati; Ada pula yang menyebutkan penyakit jasmani dengan cara meruqyah, ber-ta’awudz, dan semisalnya. Ikhtilaf ini disebutkan Al-Qurthubi dalam Tafsir-nya. Demikian pula disebutkan Asy-Syaukani dalam Fathul Qadir, lalu beliau berkata: “Dan tidak ada penghalang untuk membawa ayat ini kepada dua makna tersebut.” (Fathul Qadir, 3/253)

Pendapat ini semakin ditegaskan Syaikhul Islam Ibnul Qayyim rahimahullahu dalam kitabnya Zadul Ma’ad:
“Al-Qur`an adalah penyembuh yang sempurna dari seluruh penyakit hati dan jasmani, demikian pula penyakit dunia dan akhirat. Dan tidaklah setiap orang diberi keahlian dan taufiq untuk menjadikannya sebagai obat. Jika seorang yang sakit konsisten berobat dengannya dan meletakkan pada sakitnya dengan penuh kejujuran dan keimanan, penerimaan yang sempurna, keyakinan yang kokoh, dan menyempurnakan syaratnya, niscaya penyakit apapun tidak akan mampu menghadapinya selama-lamanya. Bagaimana mungkin penyakit tersebut mampu menghadapi firman Dzat yang memiliki langit dan bumi. Jika diturunkan kepada gunung, maka ia akan menghancurkannya. Atau diturunkan kepada bumi, maka ia akan membelahnya. Maka tidak satu pun jenis penyakit, baik penyakit hati maupun jasmani, melainkan dalam Al-Qur`an ada cara yang membimbing kepada obat dan sebab (kesembuhan) nya.” (Zadul Ma’ad, 4/287)

Berikut ini kami sebutkan beberapa riwayat berkenaan tentang pengobatan dengan Al-Qur`an.
Di antaranya adalah apa yang diriwayatkan Al-Bukhari, Muslim, dan lainnya dari hadits ‘Aisyah radhiallahu 'anha.Beliau radhiallahu 'anha berkata: “Adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam terkena sihir[1], sehingga beliau menyangka bahwa beliau mendatangi istrinya padahal tidak mendatanginya.

Lalu beliau berkata: ‘Wahai ‘Aisyah, tahukah kamu bahwa Allah Subhanahu wa Ta'ala telah mengabulkan permohonanku? Dua lelaki telah datang kepadaku. Kemudian salah satunya duduk di sebelah kepalaku dan yang lain di sebelah kakiku. Yang di sisi kepalaku berkata kepada yang satunya: ‘Kenapa beliau?’
Dijawab: ‘Terkena sihir.’
Yang satu bertanya: ‘Siapa yang menyihirnya?’
Dijawab: ‘Labid bin Al-A’sham, lelaki dari Banu Zuraiq sekutu Yahudi, ia seorang munafiq.’
(Yang satu) bertanya: ‘Dengan apa?’
Dijawab: ‘Dengan sisir, rontokan rambut.’
(Yang satu) bertanya: ‘Di mana?’
Dijawab: ‘Pada mayang korma jantan di bawah batu yang ada di bawah sumur Dzarwan’.”
'Aisyah radhiallahu 'anha lalu berkata: “Nabi lalu mendatangi sumur tersebut hingga beliau mengeluarkannya. Beliau lalu berkata: ‘Inilah sumur yang aku diperlihatkan seakan-akan airnya adalah air daun pacar dan pohon kormanya seperti kepala-kepala setan’. Lalu dikeluarkan. Aku bertanya: ‘Mengapa engkau tidak mengeluarkannya (dari mayang korma jantan tersebut, pen.)?’ Beliau menjawab: ‘Demi Allah, sungguh Allah telah menyembuhkanku dan aku membenci tersebarnya kejahatan di kalangan manusia’.”

Hadits ini diriwayatkan Al-Bukhari dalam Shahih-nya (kitab At-Thib, bab Hal Yustakhrajus Sihr? jilid 10, no. 5765, bersama Al-Fath). Juga dalam Shahih-nya (kitab Al-Adab, bab Innallaha Ya`muru Bil ‘Adl, jilid 10, no. 6063). Juga diriwayatkan oleh Al-Imam Asy-Syafi’i sebagaimana yang terdapat dalam Musnad Asy-Syafi’i (2/289, dari Syifa`ul ‘Iy), Al-Asfahani dalam Dala`ilun Nubuwwah (170/210), dan Al-Lalaka`i dalam Syarah Ushul I’tiqad Ahlis Sunnah (2/2272). Namun ada tambahan bahwa ‘Aisyah berkata: “Dan turunlah (firman Allah Subhanahu wa Ta'ala):

قُلْ أَعُوْذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ. مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Hingga selesai bacaan surah tersebut.”

Demikian pula yang diriwayatkan Al-Imam Bukhari rahimahullahu dalam Shahih-nya, dari hadits Abu Sa’id Al-Khudri radhiallahu 'anhu, beliau berkata:
“Sekelompok[2] shahabat Nabi berangkat dalam suatu perjalanan yang mereka tempuh. Singgahlah mereka di sebuah kampung Arab. Mereka pun meminta agar dijamu sebagai tamu, namun penduduk kampung tersebut enggan menjamu mereka.

Selang beberapa waktu kemudian, pemimpin kampung tersebut terkena sengatan (kalajengking). Penduduk kampung tersebut pun berusaha mencari segala upaya penyembuhan, namun sedikitpun tak membuahkan hasil. Sebagian mereka ada yang berkata: ‘Kalau sekiranya kalian mendatangi sekelompok orang itu (yaitu para shahabat), mungkin sebagian mereka ada yang memiliki sesuatu.’
Mereka pun mendatanginya, lalu berkata: “Wahai rombongan, sesungguhnya pemimpin kami tersengat (kalajengking). Kami telah mengupayakan segala hal, namun tidak membuahkan hasil. Apakah salah seorang di antara kalian memiliki sesuatu? Sebagian shahabat menjawab: ‘Iya. Demi Allah, aku bisa meruqyah. Namun demi Allah, kami telah meminta jamuan kepada kalian namun kalian tidak menjamu kami. Maka aku tidak akan meruqyah untuk kalian hingga kalian memberikan upah kepada kami.’

Mereka pun setuju untuk memberi upah beberapa ekor kambing[3]. Maka dia (salah seorang shahabat) pun meludahinya dan membacakan atas pemimpin kaum itu Alhamdulillahi rabbil ‘alamin (Al-Fatihah). Pemimpin kampung tersebut pun merasa terlepas dari ikatan, lalu dia berjalan tanpa ada gangguan lagi.

Mereka lalu memberikan upah sebagaimana telah disepakati. Sebagian shahabat berkata: ‘Bagilah.’ Sedangkan yang meruqyah berkata: ‘Jangan kalian lakukan, hingga kita menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam lalu kita menceritakan kepadanya apa yang telah terjadi. Kemudian menunggu apa yang beliau perintahkan kepada kita.’

Merekapun menghadap Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam kemudian melaporkan hal tersebut. Maka beliau bersabda: ‘Tahu dari mana kalian bahwa itu (Al-Fatihah, pen.) memang ruqyah?’ Lalu beliau berkata: ‘Kalian telah benar. Bagilah (upahnya) dan berilah untukku bagian bersama kalian’, sambil beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam tertawa.

Adapun hadits yang diriwayatkan bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ الدَّوَاءِ الْقُرْآنُ
“Sebaik-baik obat adalah Al-Qur`an.”

Dan hadits:
الْقُرْآنُ هُوَ الدَّوَاءُ
“Al-Qur`an adalah obat.”
Keduanya adalah hadits yang dha’if, telah dilemahkan oleh Al-Allamah Al-Albani rahimahullahu dalam Dha’if Al-Jami’ Ash-Shagir, no. 2885 dan 4135.

Membuka Klinik Ruqyah
Di antara penyimpangan terkait dengan ruqyah adalah menjadikannya sebagai profesi, seperti halnya dokter atau bidan yang membuka praktek khusus. Ini merupakan amalan yang menyelisihi metode ruqyah di zaman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam. Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh berkata ketika menyebutkan beberapa penyimpangan dalam meruqyah:

“Pertama, dan yang paling besar (kesalahannya), adalah menjadikan bacaan (untuk penyembuhan) atau ruqyah sebagai sarana untuk mencari nafkah, di mana dia memfokuskan diri secara penuh untuk itu. Memang telah dimaklumi bahwa manusia membutuhkan ruqyah. Namun memfokuskan diri untuk itu, bukanlah bagian dari petunjuk para shahabat di masanya. Padahal di antara mereka ada yang sering meruqyah. Namun bukan demikian petunjuk para shahabat dan tabi’in.

(Menjadikan meruqyah sebagai profesi) baru muncul di masa-masa belakangan. Petunjuk Salaf dan bimbingan As-Sunnah dalam meruqyah adalah seseorang memberikan manfaat kepada saudara-saudaranya, baik dengan upah ataupun tidak. Namun janganlah dia memfokuskan diri dan menjadikannya sebagai profesi seperti halnya dokter yang mengkhususkan dirinya (pada perkara ini). Ini baru dari sudut pandang bahwa hal tersebut tidak terdapat (contohnya) pada zaman generasi pertama.

Demikian pula dari sisi lainnya. Apa yang kami saksikan pada orang-orang yang mengkhususkan diri (dalam meruqyah) telah menimbulkan banyak hal terlarang. Siapa yang mengkhususkan dirinya untuk meruqyah, niscaya engkau mendapatinya memiliki sekian penyimpangan. Sebab dia butuh prasyarat-prasyarat tertentu yang harus dia tunaikan dan yang harus dia tinggalkan. Serta ‘menjual’ tanpa petunjuk. Barangsiapa meruqyah melalui kaset-kaset, suara-suara, di mana dia membaca di sebuah kamar, sementara speaker berada di kamar yang lain, dan yang semisalnya, merupakan hal yang menyelisihi nash. Ini sepantasnya dicegah untuk menutup pintu (penyimpangan). Sebab sangat mungkin akan menjurus kepada hal-hal tercela dari para peruqyah yang mempopulerkan perkara-perkara yang terlarang atau yang tidak diperkenankan syariat. (Ar-Ruqa Wa Ahkamuha, Asy-Syaikh Shalih Alus Syaikh, hal. 20-21)
_________
FooteNote
[1]. Sebagian para pengekor hawa nafsu dari kalangan orientalis dan ahli bid’ah mengingkari hadits yang menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah terkena sihir, dan berusaha menolaknya dengan berbagai alasan batil. Dan telah kami bantah –walhamdulillah- para penolak hadits ini dalam sebuah kitab yang berjudul Membedah Kebohongan Ali Umar Al-Habsyi Ar- Rafidhi, Bantahan ilmiah terhadap kitab: Benarkah Nabi Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah tersihir? Dan kami membahas secara rinci menurut ilmu riwayat maupun dirayah hadits. Silahkan merujuk kepada kitab tersebut.
[2]. Dalam riwayat lain mereka berjumlah 30 orang.
[3]. Dalam riwayat lain: 30 ekor kambing, sesuai jumlah mereka.


Al-Qur'an Sebagai Obat Hati
quran_obat_hatiSatu pelajaran berharga, kembali dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Saat ini beliau memberikan faedah tentang Al Qur’an. 

Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
Al Qur’an adalah obat mujarab untuk hati. Al Qur’an menjadi obat bagi hati yang terkena syubhat (racun pemikiran) dan syahwat (nafsu jelek untuk maksiat). Dalam Al Qur’an terdapat penjelas, di mana kebatilan dienyahkan oleh kebenaran. Penyakit syubhat yang merusak bisa enyah (pergi) karena adanya ilmu dan keinginan (yang baik), di mana hakikat sesuatu begitu jelas karenanya. Dalam Al Qur’an terdapat berbagai hikmah yang bisa dipetik, terdapat berbagai nasehat yang baik untuk memotivasi dalam beramal dan menakut-nakuti dari berbuat kejelekan. Dalam Al Qur’an juga terdapat kisah-kisah yang bisa diambil ‘ibroh (pelajaran) sehingga hati pun menjadi baik. Al Qur’an begitu memberi semangat hati pada hal-hal yang bermanfaat dan memperingatkan pula dari hal-hal yang membahayakan. Akhirnya, hati semakin cinta pada kebenaran dan benci pada kebatilan. Padahal sebelumnya bisa jadi hati sangat ingin berbuat kebatilan dan benci pada kebenaran.

Al Qur’an sungguh bisa menghilangkan penyakit yang dapat mengantarkan pada keinginan-keinginan jelek (rusak) hingga baiklah hati. Keinginannya menjadi baik dan ia pun kembali pada fithrahnya yang telah ditabiatkan untuknya sebagaimana badan kembali pada tabi’atnya.

Hati akan semakin hidup dengan adanya iman dan Al Qur’an. Sebagaimana badan semakin hidup dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan dan menguatkannya. Suburnya hati itulah semisal dengan tumbuhnya badan.

Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, 10/95-96.

Hati bukanlah subur dan hidup dengan nyanyian, namun dengan Kalamullah. Dan kata Ibnul Qayyim bahwa nyanyian (musik) dan Al Qur’an sangat mustahil untuk bersatu. Inilah cara menyuburkan dan menenangkan hati, yaitu dengan mendengar, membaca, menghafalkan dan mentadabburi (merenungkan) Al Qur’an. Silakan baca tentang Hukum Nyanyian/ Musik di sini.

Worth note this night, 22nd Dzulqo’dah 1431 H (coincide with 30/10/2010), in KSU, Riyadh, KSA

Muhammad Abduh Tuasikal
www.rumaysho.com


Artikel terkait: 

 
Test © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone