Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Keluarga. Tampilkan semua postingan

WANDU (Wanita Durhaka)

Label: ,

Tak ada gading yang tak retak. Mungkin pribahasa ini sudah sering terlintas di telinga kita. Kandungan pribahasa ini sering kita jumpai dalam kehidupan kita. Apalagi dalam kehidupan berumah tangga yang penuh dengan problema. Awalnya, semua terasa indah. Namun ketika badai menghadang, petir-petir kemarahan menyambar, awan pekat menyelimuti, tangis pilu mengiris hati; membuat semuanya berubah. Semuanya harus diterima sebagai sunnatullah. Kadang kita menangis, dan terkadang kita tertawa. Semua itu berada di bawah kehendak Allah -Subhanahu wa Ta’la- 
.
Kehidupan berumah tangga akan indah, jika masing-masing anggotanya mendapat ketentraman. Sedang ketentraman akan terwujud jika sesama anggota keluarga saling menghargai, dan memahami tugas masing-masing. Namun, tatkala hal tersebut tidak ada, maka alamat kehancuran ada di depan mata. Diantara penyebab hancurnya keharmonisan itu adalah durhakanya seorang istri kepada suaminya. Maka, pada edisi kali ini kita akan membahas bahaya istri yang durhaka.

Pembaca yang budiman, sesungguhnya Allah -Subhanahu wa Ta’la- menciptakan istri bagi kita, agar kita merasa tentram dan tenang kepadanya. Sebagaimana firman Allah -Subhanahu wa Ta’la-
“Dan diantara tanda-tanda kekuasan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ar-Ruum :21)

Al-Hafizh Ibnu Katsir Ad-Dimasyqiy-rahimahullah- berkata menafsirkan ayat ini, “Kemudian diantara kesempurnaan rahmat-Nya kepada anak cucu Adam, Allah menciptakan pasangan mereka dari jenis mereka, dan Allah ciptakan diantara mereka mawaddah (yakni, cinta), dan rahmat (yakni, kasih sayang). Sebab seorang suami akan mempertahankan istrinya karena cinta kepadanya atau sayang kepadanya dengan jalan wanita mendapatkan anak dari suami, atau ia butuh kepada suaminya dalam hal nafkah, atau karena kerukunan antara keduanya, dan sebagainya”. [Lihat Tafsir Al-Qur'an Al-Azhim (3/568)]

Jadi, maksud adanya pernikahan adalah untuk menciptakan kecenderungan (ketenangan), kasih sayang, dan cinta. Sebab seorang istri akan menjadi penyejuk mata, dan penenang di kala timbul problema. Namun, jika istri itu durhaka lagi membangkang kepada suaminya, maka alamat kehancuran ada didepan mata. Dia tidak lagi menjadi penyejuk hati, tapi menjadi musibah dan neraka bagi suaminya.

Kedurhakaan seorang istri kepada suaminya amat banyak ragam dan bentuknya, seperti mencaci-maki suami, mengangkat suara depan suami, membuat suami jengkel, berwajah cemberut depan suami, menolak ajakan suami untuk jimak, membenci keluarga suami, tidak mensyukuri (mengingkari) kebaikan, dan pemberian suami, tidak mau mengurusi rumah tangga suami, selingkuh, berpacaran di belakang suami, keluar rumah tanpa izin suami, dan sebagainya.

Allah -Subhanahu wa Ta’la- telah mengancam istri yang durhaka kepada suaminya melalui lisan Rasul-Nya ketika Beliau -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda,

لاَ يَنْظُرُ اللهُ إِلَى امْرَأَةٍ لاَ تَشْكُرُ لِزَوْجِهَا وَهِيَ لاَ تَسْتَغْنِيْ عَنْهُ

“Allah tidak akan melihat seorang istri yang tidak mau berterima kasih atas kebaikan suaminya padahal ia selalu butuh kepada suaminya” .[HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (9135 & 9136), Al-Bazzar dalam Al-Musnad (2349), Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (2771), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (289)]

Tipe wanita seperti ini banyak disekitar kita. Suami yang capek banting tulang setiap hari untuk menghidupi anak-anaknya, dan memenuhi kebutuhannya, namun masih saja tetap berkeluh kesah dan tidak puas dengan penghasilan suaminya. Ia selalu membanding-bandingkan suaminya dengan orang lain, sehingga hal itu menjadi beban yang berat bagi suaminya. Maka tidak heran jika neraka dipenuhi dengan wanita-wanita seperti ini, sebagaimana sabda Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-,

أُرِيْتُ النَّارَ فَإِذَا أَكْثَرُ أَهْلِهَا النِّسَاءُ يَكْفُرْنَ . قِيْلَ: أَيَكْفُرْنَ بِاللهِ ؟ , قال: يَكْفُرْنَ الْعَشِيْرَ وَيَكْفُرْنَ اْلإِحْسَانَ , لَوْ أَحْسَنْتَ إَلَى إِحْدَاهُنَّ الدَّهْرَ , ثُمَّ رَأَتْ مِنْكَ شَيْئًا, قَالَتْ: مَا رَأَيْتُ مِنْكَ خَيْراً قَطُّ

“Telah diperlihatkan neraka kepadaku, kulihat mayoritas penghuninya adalah wanita, mereka telah kufur (ingkar)!” Ada yang bertanya, “apakah mereka kufur (ingkar) kepada Allah?” Rasullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menjawab, “Tidak, mereka mengingkari (kebaikan) suami. Sekiranya kalian senantiasa berbuat baik kepada salah seorang dari mereka sepanjang hidupnya, lalu ia melihat sesuatu yang tidak berkenan, ia (istri durhaka itu) pasti berkata, “Saya sama sekali tidak pernah melihat kebaikan pada dirimu”. [HR. Bukhariy dalam Shohih-nya (29), dan Muslim dalam Shohih-nya (907)]

Pembaca yang budiman, jika para wandu mengetahui betapa besar kedudukan seorang suami di sisinya, maka mereka tidak akan berani durhaka dan membangkang kepada suaminya. Cobalah tengok hadits Hushain bin Mihshon ketika ia berkata, “Bibiku telah menceritakan kepadaku seraya berkata,

أَتَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِيْ بَعْضِ الْحَاجَةِ, قَالَ: (أَيْ هَذِهِ أَذَاتُ بَعْلٍ أَنْتِ), قُلْتُ : (نَعَمْ), قَالَ: (فَكَيْفَ أَنْتِ لَهُ), قَالَتْ: (مَا آلُوْهُ إِلاَّ مَا عَجَزْتُ عَنْهُ), قال: (فَأَيْنَ أَنْتِ مِنْهُ, فَإِنَّمَا هُوَ جَنَّتُكِ وَنَارُكِ)

“Saya mendatangi Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- untuk suatu keperluan. Beliau bertanya:”siapakah ini? Apakah sudah bersuami?.”sudah!”, jawabku. “Bagaimana hubungan engkau dengannya?”, tanya Rasulullah. “Saya selalu mentaatinya sebatas kemampuanku”. Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- bersabda, “Perhatikanlah selalu bagaimana hubunganmu denganya, sebab suamimu adalah surgamu, dan nerakamu”. [HR. An-Nasa'iy dalam Al-Kubro (8963), Ahmad dalam Al-Musnad (4/341/no. 19025), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Ash-Shohihah (2612), dan Adab Az-Zifaf (hal. 213)]

Dari hadits ini, kita telah mengetahui betapa besar dan agungnya hak-hak suami yang wajib dipenuhi seorang istri sampai Rasulullah -Shollallahu ‘alaihi wasallam- pernah bersabda,

لَوْ كُنْتُ آمُرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لأَحَدٍ لأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا

“Sekiranya aku memerintahkan seseorang untuk sujud kepada lainnya, niscaya akan kuperintahkan seorang istri sujud kepada suaminya” . [HR. At-Tirmidziy dalam As-Sunan (1159), dan lainnya. Hadits ini di-shohih-kan oleh Syaikh Al-Albaniy dalam Al-Irwa' (1998)]

Jika seorang istri tidak memenuhi hak-hak tersebut atau durhaka kepada suami, maka ia mendapatkan ancaman dari Allah -Ta’ala- lewat lisan Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam-,

اِثْنَانِ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمَا رُؤُوْسَهُمَا : عَبْدٌ أَبَقَ مِنْ مَوَالِيْهِ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ عَصَتْ زَوْجَهَا حَتَّى تَرْجِعَ

“Ada dua orang yang sholatnya tidak melampaui kepalanya: budak yang lari dari majikannya sampai ia kembali, dan wanita yang durhaka kepada suaminya sampai ia mau rujuk (taubat)”. [HR. Ath-Thobroniy dalam Ash-Shoghir (478), dan Al-Hakim dalam Al-Mustadrok (7330)]

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

ثَلاَثَةٌ لاَ تُجَاوِزُ صَلاَتُهُمْ آذَانَهُمْ : الْعَبْدُ اْلآبِقُ حَتَّى يَرْجِعَ , وَامْرَأَةٌ بَاتَتْ وَزَوْجُهَا عَلَيْهَا سَاخِطٌ , وَإِمَامُ قَوْمٍ وَهُمْ لَهُ كَارِهُوْنَ

“Ada tiga orang yang sholatnya tidak melampaui telinganya: Hamba yang lari sampai ia mau kembali, wanita yang bermalam, sedang suaminya marah kepadanya, dan seorang pemimpin kaum, sedang mereka benci kepadanya”. [HR. At-Tirmidziy (360). Hadits ini di-hasan-kan oleh Al-Albaniy dalam Takhrij Al-Misykah (1122)]

Ini merupakan ancaman yang amat keras bagi para wandu (wanita durhaka), karena kedurhakaannya menjadi sebab tertolaknya amal sholatnya di sisi Allah. Dia sholat hanya sekedar melaksanakan kewajiban di hadapan Allah. Adapun pahalanya, maka ia tak akan mendapatkannya, selain lelah dan capek saja. Wal’iyadzu billahmin dzalik.

Al-Imam As-Suyuthiy-rahimahullah- berkata dalam Quuth Al-Mughtadziy saat menjelaskan kandungan dua hadits di atas, “Maksudnya, sholatnya tak terangkat ke langit sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ibnu Majah, “Sholat mereka tak akan terangkat sejengkal di atas kepala mereka”. Ini merupakan perumpamaan tentang tidak diterimanya amal sholatnya sebagaimana dalam hadits Ibnu Abbas di sisi Ath-Thobroniy, “Allah tak akan menerima sholat mereka” sampai ia rujuk (kembali)…” [Lihat Tuhfah Al-Ahwadziy (2/291)]

Diantara bentuk kedurhakaan seorang istri kepada suaminya, enggannya seorang istri untuk memenuhi hajat biologis suaminya. Keengganan seorang istri dalam melayani suaminya, lalu suami murka dan jengkel merupakan sebab para malaikat melaknat istri yang durhaka seperti ini. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

إِذَا دَعَا الَّرُجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَأَبَتْ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلاَئِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ

“Jika seorang suami mengajak istrinya (berjimak) ke tempat tidur, lalu sang istri enggan, dan suami bermalam dalam keadaan marah kepadanya, maka para malaikat akan melaknat sang istri sampai pagi”. [HR. Al-Bukhoriy Kitab Bad'il Kholq (3237), dan Muslim dalam Kitab An-Nikah (1436)]

Seorang suami saat ia butuh pelayanan biologis (jimak) dari istrinya, maka seorang istri tak boleh menolak hajat suaminya, bahkan ia harus berusaha sebisa mungkin memenuhi hajatnya, walaupun ia capek atau sibuk dengan suatu urusan. Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا, وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ

“Demi (Allah) Yang jiwa Muhammad ada di Tangan-Nya, seorang istri tak akan memenuhi hak Robb-nya sampai ia mau memenuhi hak suaminya. Walaupun suaminya meminta dirinya (untuk berjimak), sedang ia berada dalam sekedup, maka ia (istri) tak boleh menghalanginya”. [HR. Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (1853). Hadits ini dikuatkan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 211)]

Perhatikan hadits ini, Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- memberikan bimbingan kepada para wanita yang bersuami agar memperhatikan suaminya saat-saat ia dibutuhkan oleh suaminya. Sebab kebanyakan problema rumah tangga timbul dan berawal dari masalah kurangnya perhatian istri atau suami kepada kebutuhan biologis pasangannya, sehingga “solusinya” (baca: akibatnya) munculllah kemarahan, dan ketidakharmonisan rumah tangga.

Syaikh Al-Albaniy-rahimahullah- berkata dalam Adab Az-Zifaf (hal. 210), “Jika wajib bagi seorang istri untuk mentaati suaminya dalam hal pemenuhan biologis (jimak), maka tentunya lebih wajib lagi baginya untuk mentaati suami dalam perkara yang lebih penting dari itu, seperti mendidik anak, memperbaiki (mengurusi) rumah tangga, dan sejenisnya diantara hak dan kewajibannya”.

Seorang wanita yang durhaka kepada suaminya, akan selalu dibenci oleh suaminya, bahkan ia akan dibenci oleh istri suaminya dari kalangan bidadari di surga. Istri bidadari ini akan marah. Saking marahnya, ia mendoakan kejelekan bagi wanita yang durhaka kepada suaminya..

Nabi -Shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,

لاَ تُؤْذِي امْرَأَةٌ زَوْجَهَا فِي الدُّنْيَا إِلاَّ قَالَتْ زَوْجَتُهُ مِنَ الْحُوْرِ الْعِيْنِ : لاَ تُؤْذِيْهِ , قَاتَلَكِ اللهُ , فَإِنَّمَا هُوَ عِنْدَكَ دَخِيْلٌ يُوْشِكُ أَنْ يُفَارِقَكِ إِلَيْنَا

“Tidaklah seorang istri menyakiti suaminya di dunia, melainkan istrinya dari kalangan bidadari akan berkata, “Janganlah engkau menyakitinya. Semoga Allah memusuhimu. Dia (sang suami) hanyalah tamu di sisimu; hampir saja ia akan meninggalkanmu menuju kepada kami”. [HR. At-Tirmidziy Kitab Ar-Rodho' (1174), dan Ibnu Majah dalam Kitab An-Nikah (2014). Hadits ini di-shohih-kan oleh Al-Albaniy dalam Adab Az-Zifaf (hal. 212)]

Cukuplah beberapa hadits yang kami bacakan dan nukilkan kepada Anda tentang bahayanya seorang wanita melakukan kedurhakaan kepada suaminya, yakni tak mau taat kepada suami dalam perkara-perkara yang ma’ruf (boleh) menurut syari’at. Semoga wanita-wanita yang durhaka kepada suaminya mau kembali berbakti, dan bertaubat sebelum ajal menjemput. Pada hari itulah penyesalan tak lagi bermanfaat baginya.

Sumber : Buletin Jum’at Al-Atsariyyah edisi 84 Tahun II. Penerbit : Pustaka Ibnu Abbas. Alamat : Pesantren Tanwirus Sunnah, Jl. Bonto Te’ne No. 58, Kel. Borong Loe, Kec. Bonto Marannu, Gowa-Sulsel.

32 Cara Berbakti Pada Orang Tua

Label:

Oleh Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu

1. Berbicaralah kamu kepada kedua orang tuamu dengan adab dan janganlah mengucapkan “Ah” kepada mereka, jangan hardik mereka, berucaplah kepada mereka dengan ucapan yang mulia.

2. Selalu taati mereka berdua di dalam perkara selain maksiat, dan tidak ada ketaatan kepada makhluk di dalam bermaksiat kepada sang Khalik. 

3. Lemah lembutlah kepada kedua orangtuamu, janganlah bermuka masam serta memandang mereka dengan pandangan yang sinis.

4. Jagalah nama baik, kemuliaan, serta harta mereka. Janganlah engkau mengambil sesuatu tanpa seizin mereka.

5. Kerjakanlah perkara-perkara yang dapat meringankan beban mereka meskipun tanpa diperintah. Seperti melayani mereka, belanja ke warung, dan pekerjaan rumah lainnya, serta bersungguh-sungguhlah dalam menuntut ilmu.

6. Bermusyawarahlah dengan mereka berdua dalam seluruh kegiatanmu. Dan berikanlah alasan jika engkau terpaksa menyelisihi pendapat mereka.

7. Penuhi panggilan mereka dengan segera dan disertai wajah yang berseri dan menjawab, “Ya ibu, ya ayah”. Janganlah memanggil dengan, “Ya papa, ya mama”, karena itu panggilan orang asing (orang-orang barat maksudnya –pent.).

8. Muliakan teman serta kerabat mereka ketika kedua orang tuamu masih hidup, begitu pula setelah mereka telah wafat.

9. Janganlah engkau bantah dan engkau salahkan mereka berdua. Santun dan beradablah ketika menjelaskan yang benar kepada mereka.

10. Janganlah berbuat kasar kepada mereka berdua, jangan pula engkau angkat suaramu kepada mereka. Diamlah ketika mereka sedang berbicara, beradablah ketika bersama mereka. Janganlah engkau berteriak kepada salah seorang saudaramu sebagai bentuk penghormatan kepada mereka berdua.

11. Bersegeralah menemui keduanya jika mereka mengunjungimu, dan ciumlah kepala mereka.

12. Bantulah ibumu di rumah. Dan jangan pula engkau menunda membantu pekerjaan ibumu.

13. Janganlah engkau pergi jika mereka berdua tidak mengizinkan meskipun itu untuk perkara yang penting. Apabila kondisinya darurat maka berikanlah alasan ini kepada mereka dan janganlah putus komunikasi dengan mereka.

14. Janganlah masuk menemui mereka tanpa izin terlebih dahulu, apalagi di waktu tidur dan istirahat mereka.

15. Jika engkau kecanduan merokok, maka janganlah merokok di hadapan mereka.

16. Jangan makan dulu sebelum mereka makan, muliakanlah mereka dalam (menyajikan) makanan dan minuman.

17. Janganlah engkau berdusta kepada mereka dan jangan mencela mereka jika mereka mengerjakan perbuatan yang tidak engkau sukai.

18. Jangan engkau utamakan istri dan anakmu di atas mereka. Mintalah keridhaan mereka berdua sebelum melakukan sesuatu karena ridha Allah tergantung ridha orang tua. Begitu juga kemurkaan Allah tergantung kemurkaan mereka berdua.

19. Jangan engkau duduk di tempat yang lebih tinggi dari mereka. Jangan engkau julurkan kakimu di hadapan mereka karena sombong.

20. Jangan engkau menyombongkan kedudukanmu di hadapan bapakmu meskipun engkau seorang pejabat besar. Hati-hati, jangan sampai engkau mengingkari kebaikan-kebaikan mereka berdua atau menyakiti mereka walaupun dengan hanya satu kalimat.

21. Jangan pelit dalam memberikan nafkah kepada kedua orang tua sampai mereka mengeluh. Ini merupakan aib bagimu. Engkau juga akan melihat ini terjadi pada anakmu. Sebagaimana engkau memperlakukan orang tuamu, begitu pula engkau akan diperlakukan sebagai orang tua.

22. Banyaklah berkunjung kepada kedua orang tua, dan persembahkan hadiah bagi mereka. Berterimakasihlah atas perawatan mereka serta atas kesulitan yang mereka hadapi. Hendaknya engkau mengambil pelajaran dari kesulitanmu serta deritamu ketika mendidik anak-anakmu.

23. Orang yang paling berhak untuk dimuliakan adalah ibumu, kemudian bapakmu. Dan ketahuilah bahwa surga itu di telapak kaki ibu-ibu kalian.

24. Berhati-hati dari durhaka kepada kedua orang tua serta dari kemurkaan mereka. Engkau akan celaka dunia akhirat. Anak-anakmu nanti akan memperlakukanmu sama seperti engkau memperlakukan kedua orangtuamu.

25. Jika engkau meminta sesuatu kepada kedua orang tuamu, mintalah dengan lembut dan berterima kasihlah jika mereka memberikannya. Dan maafkanlah mereka jika mereka tidak memberimu. Janganlah banyak meminta kepada mereka karena hal itu akan memberatkan mereka berdua.

26. Jika engkau mampu mencukupi rezeki mereka maka cukupilah, dan bahagiakanlah kedua orangtuamu. 

27. Sesungguhnya orang tuamu punya hak atas dirimu. Begitu pula pasanganmu (suami/istri) memiliki hak atas dirimu. Maka penuhilah haknya masing-masing. Berusahalah untuk menyatukan hak tersebut apabila saling berbenturan. Berikanlah hadiah bagi tiap-tiap pihak secara diam-diam.

28. Jika kedua orang tuamu bermusuhan dengan istrimu maka jadilah engkau sebagai penengah. Dan pahamkan kepada istrimu bahwa engkau berada di pihaknya jika dia benar, namun engkau terpaksa melakukannya karena menginginkan ridha kedua orang tuamu.

29. Jika engkau berselisih dengan kedua orang tuamu di dalam masalah pernikahan atau perceraian, maka hendaknya kalian berhukum kepada syari’at karena syari’atlah sebaik-baiknya pertolongan bagi kalian.

30. Doa kedua orang itu mustajab baik dalam kebaikan maupun doa kejelekan. Maka berhati-hatilah dari doa kejelekan mereka atas dirimu.

31. Beradablah yang baik kepada orang-orang. Siapa yang mencela orang lain maka orang tersebut akan kembali mencelanya. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Termasuk dosa besar adalah seseorang mencela kedua orang tuanya dengan cara dia mencela bapaknya orang lain, maka orang tersebut balas mencela bapaknya. Dia mencela ibu seseorang, maka orang tersebut balas mencela ibunya.” (Muttafaqun ‘alaihi).

32. Kunjungilah mereka disaat mereka hidup dan ziarahilah ketika mereka telah wafat. Bershadaqahlah atas nama mereka dan banyaklah berdoa bagi mereka berdua dengan mengucapkan, “Wahai Rabb-ku ampunilah aku dan kedua orang tuaku. Waha Rabb-ku, rahmatilah mereka berdua sebagaimana mereka telah merawatku ketika kecil”. (*)
____________
Sumber: http://ghuroba.blogsome.com/2008/01/04/32-cara-berbakti-pada-orang-tua/

Hak Suami Dari Istrinya

Label: ,

Allah Ta’ala berfirman:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُواْ رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُم مِّن نَّفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا
“Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari satu jiwa, lalu Dia ciptakan darinya pasangannya.” (QS. An-Nisa`: 1)

Allah Ta’ala berfirman:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi kaum lelaki mempunyai kedudukan yang tinggi di atas mereka (kaum wanita).” (QS. Al-Baqarah: 228)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Pernah ditanyakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, “Siapakah wanita yang paling baik?” Maka beliau menjawab:
الَّتِي تَسُرُّهُ إِذَا نَظَرَ وَتُطِيعُهُ إِذَا أَمَرَ وَلَا تُخَالِفُهُ فِي نَفْسِهَا وَمَالِهَا بِمَا يَكْرَهُ
“Yang paling menyenangkannya jika dilihat suaminya, dan mentaatinya jika dia memerintahkannya, dan tidak menyelisihinya pada diri dan hartanya dengan apa yang dibenci suaminya.” (HR. An-Nasai no. 3231 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 3272)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا دَعَا الرَّجُلُ امْرَأَتَهُ إِلَى فِرَاشِهِ فَلَمْ تَأْتِهِ فَبَاتَ غَضْبَانَ عَلَيْهَا لَعَنَتْهَا الْمَلَائِكَةُ حَتَّى تُصْبِحَ
“Jika seorang suami mengajak istrinya ke tempat tidurnya, akan tetapi dia (istri) tidak mau memenuhi ajakan suami sehingga malam itu suaminya tidur dalam keadaan marah, maka para malaikat akan melaknat wanita itu sampai subuh.” (HR. Al-Bukhari no. 5193 dan Muslim no. 1436)

Dari Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَنْ تَصُومَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَلَا تَأْذَنَ فِي بَيْتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ وَمَا أَنْفَقَتْ مِنْ نَفَقَةٍ عَنْ غَيْرِ أَمْرِهِ فَإِنَّهُ يُؤَدَّى إِلَيْهِ شَطْرُهُ
“Tidak halal bagi seorang wanita untuk berpuasa sementara sementara suaminya ada di rumah, kecuai dengan seizinnya. Dan dia tidak boleh mengizinkan seseorang masuk ke dalam rumahnya kecuali dengan seizin suaminya. Dan sesuatu yang dia infakkan tanpa seizinnya, maka setengahnya harus dikembalikan pada suaminya.” (HR. Al-Bukhari no. 5195 dan Muslim no. 1026) 

Penjelasan ringkas:

Pada artikel: http://al-atsariyyah.com/ancaman-kepada-para-bencong-dan-waria.html, telah dijelaskan mengenai keutamaan lelaki di atas wanita. Dan ini mengisyaratkan bahwa seorang suami punya hak yang besar yang wajib diserahkan oleh istrinya kepadanya. Hal itu karena Allah Ta’ala telah menjadikan mereka sebagai pemimpin pasangannya, karenanya pasangannya diciptakan dari dirinya. Alasan yang lain, karena suami yang memberikan nafkah kepada istrinya, dia yang menjaganya dari berbagai kejelekan dan dia yang memenuhi semua kebutuhannya. Karenanya sangat wajar jika Allah Ta’ala mewajibkan istri untuk berbakti kepada suaminya melebihi bakti dia kepada orang tuanya.
Di antara hak-hak suami yang wajib diserahkan oleh istri kepadanya adalah:

a.    Selalu menjaga penampilannya agar suaminya merasa senang jika melihatnya.

b.    Tidak mengerjakan amalan-amalan yang dibenci oleh suaminya walaupun amalan itu mungkin perkara yang mubah.

c.    Tidak memanfaatkan harta suaminya pada sesuatu yang suaminya benci.

d.    Menaati semua perintah suaminya walaupun isi perintahnya asalnya adalah mubah, selama perintahnya bukan berupa kemaksiatan.

e.    Lebih terkhusus lagi, haram bagi istri untuk menolak ajakan suami untuk ‘berhubungan’.

f.    Tidak boleh berpuasa sunnah secara mutlak tanpa izin dari suaminya jika suaminya sedang ada di rumah.

g.    Tidak mengizinkan seorangpun masuk ke dalam rumahnya tanpa izin suaminya.

h.    Jika dia memanfaatkan harta suami tanpa izinnya maka dia wajib untuk mengganti setengahnya.
___________
Sumber: http://al-atsariyyah.com/hak-suami-dari-istrinya.html

Hak Istri Dari Suaminya

Label:

Allah Ta’ala berfirman:
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka (istri-istri kalian) dengan cara yang baik.” (QS. An-Nisa`: 19)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
اللَّهُمَّ إِنِّي أُحَرِّجُ حَقَّ الضَّعِيفَيْنِ الْيَتِيمِ وَالْمَرْأَةِ
“Ya Allah, sesungguhnya aku telah menetapkan sanksi atas hak dua orang yang lemah, yaitu hak anak yatim dan hak seorang wanita.” (HR. Ahmad no. 9289, Ibnu Majah no. 3668, dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 1015)

Yakni: Menetapkan saksi atas siapa saja yang menelantarkan hak kedua orang itu.

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:
مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَإِذَا شَهِدَ أَمْرًا فَلْيَتَكَلَّمْ بِخَيْرٍ أَوْ لِيَسْكُتْ وَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ إِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ خَيْرًا
“Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, kemudian dia menyaksikan suatu peristiwa, hendaklah dia berbicara dengan baik atau diam. Berwasiatlah kepada wanita dengan kebaikan, karena sesungguhnya mereka diciptakan dari tulang rusuk, dan bagian yang paling bengkok adalah tulang rusuk yang paling atas. Jika kamu berusaha untuk meluruskannya niscaya akan patah, tapi jika kamu membiarkannya maka dia akan senantiasa bengkok. Karenanya berwasiatlah terhadap wanita dengan kebaikan.” (HR. Al-Bukhari no. 5186 dan Muslim no. 1568)

Dari Hakim bin Mu’awiyah Al-Qusyairi dari ayahnya dia berkata: Aku pernah bertanya. “Wahai Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang di antara kami atas dirinya? Beliau menjawab:
أَنْ تُطْعِمَهَا إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ وَلَا تَضْرِبْ الْوَجْهَ وَلَا تُقَبِّحْ وَلَا تَهْجُرْ إِلَّا فِي الْبَيْتِ
“Engkau memberinya makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian, janganlah engkau memukul wajah, jangan engkau menjelek-jelekkannya (dengan perkataan atau cacian), dan jangan engkau tinggalkan kecuali di dalam rumah.” (HR. Abu Daud no. 2142)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا يَفْرَكْ مُؤْمِنٌ مُؤْمِنَةً إِنْ كَرِهَ مِنْهَا خُلُقًا رَضِيَ مِنْهَا آخَرَ
“Janganlah seorang mukmin membenci wanita mukminah, jika dia membenci salah satu perangainya, niscaya dia akan ridha dengan perangainya yang lain.” (HR. Muslim no. 1469)

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَكْمَلُ الْمُؤْمِنِينَ إِيمَانًا أَحْسَنُهُمْ خُلُقًا وَخِيَارُكُمْ خِيَارُكُمْ لِنِسَائِهِمْ خُلُقًا
“Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap para istrinya.” (HR. At-Tirmizi no. 1162) 

Penjelasan ringkas:
Sebagaimana suami punya hak dari istrinya maka sebaliknya istri juga punya hak dari suaminya. Suami wajib memperlakukan mereka dengan baik sebagaimana mereka senang diperlakukan dengan baik oleh istrinya, bahkan Nabi shallallahu alaihi wasallam menjadikan hal itu sebagai tanda kesempurnaan iman seorang suami. Hak dan kewajiban dalam rumah tangga merupakan faktor yang sangat penting. Karena dengan memperhatikan hal tersebut maka hubungan keduanya akan senantiasa harmonis, dan sebaliknya akan menyebabkan perpecahan di antara keduanya. Allah Ta’ala dan Rasul-Nya sangat menekankan masalah hak dan kewajiban suami istri ini, karena suatu umat itu lahir dari keluarga. Jika keluarganya baik maka akan baik umat yang lahir darinya, dan demikian pula sebaliknya. Karenanya suami mana saja yang menelantarkan hak istrinya maka secara tidak langsung dia telah menjadi sebab dari rusaknya keluarganya dan baginya dosa yang sangat besar.

Di antara hak istri dari suaminya adalah:

1.    Secara umum memperlakukan istrinya dengan perlakuan yang dia senang jika istrinya memperlakukan dia seperti itu.

2.    Menasehati istrinya dengan kebaikan.

3.    Bersabar dalam menasehatinya dan penuh hikmah di dalamnya. Tidak keseringan dinasehati sehingga membuatnya bosan atau membangkan dan tidak juga terlalu jarang sehingga membuatnya keluar dari akhlak seorang muslimah yang baik.

4.    Memberinya makan dari makanan yang dia makan.

5.    Memberinya pakaian semisal dengan pakaian yang dia gunakan. Kadar minimal wajibnya adalah memberikan kepada istrinya pakaian yang bisa menutupi auratnya.

6.    Tidak boleh memukul wajahnya.

7.    Tidak boleh mencelanya.

8.    Tidak boleh mendoakannya dengan doa yang jelek.

9.    Tidak memboikot dia kecuali di dalam rumah, yakni tidak menyuruhnya keluar dari rumah.

10.    Tidak membencinya dengan kebencian yang sangat, karena tentu masih ada perkara baik dari sisi lain yang dia senangi dari istrinya.
_____________
http://al-atsariyyah.com/hak-istri-dari-suaminya.html

Orang Tua Tak Merestui Hubungan Kami

Label: ,

Ustadz, Saya sedang bimbang, karena orang tua tidak menyukai lelaki pilihan saya, dengan alasan secara fisik tidak pantas bersanding dengan saya. Saya diminta putus padahal sudah 7 tahun saya jalani. Perlu diketahui, pasangan saya bertubuh sangat kurus dan berkulit hitam, namun dia sudah bekerja dan beragama muslim. Apa yg harus saya lakukan ustad?
Terima Kasih.
Seorang Muslimah
Alamat: Surabaya
Email: aldya_xxxxx@yahoo.com

Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc. menjawab:

Pertama: Ukhti… Perlu kita ingat kembali bahwa hukum wanita menjalin hubungan dengan laki-laki yang bukan mahrom (pacaran) adalah haram, sebagaimana ditegaskan oleh para ulama. Allah Ta’ala berfirman:

وَلا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلا
Dan janganlah kalian mendekati zina, karena ia merupakan suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk“. (QS. Al-Isra’: 32)

Ayat ini melarang dan mengharamkan kita untuk mendekati zina, apapun bentuknya. Dan diantara bentuk perbuatan mendekati zina adalah pacaran.

Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:
Sesungguhnya Alloh mentakdirkan untuk anak adam, bagian zina yang ia pasti akan melakukannya. Maka zinanya mata adalah melihat, zinanya lisan adalah dengan bertutur kata, dan hatinya berangan-angan dan menyenangi sesuatu. Sedang kemaluannya, bisa jadi ia menuruti semua itu, dan bisa juga ia tidak menurutinya”. (HR. Bukhari no.6243, Muslim no.2657)

Andai saja kepala salah seorang dari kalian ditusuk dengan penusuk dari besi, itu lebih baik bagi dia, daripada memegang wanita yang tidak halal baginya”. (HR. Thabarani, dan di-shahih-kan oleh Albani dalam Silsilah Shahihah, hadits no: 226)

Dan Islam tidak melarang sesuatu, kecuali karena adanya banyak mafsadah di dalamnya, atau mafsadah-nya lebih besar dari pada manfaatnya. Baik mafsadah itu kita rasakan langsung atau tidak.
Oleh karena itu, mohonlah ampun kepada Alloh dan bertaubatlah, karena Rasul -Shallallahu’alaihi Wasallam- juga bersabda:

Setiap anak adam itu banyak salahnya, dan sebaik-baik orang yang banyak salahnya itu mereka yang banyak taubatnya”. (HR. Tirmidzi: 2499, dan di-hasan-kan oleh Al Albani)

Kedua: Jangan kita lupakan pula, bahwa kita terlahir di dunia, -dari bayi yang tidak tahu apa-apa, hingga dewasa sehingga kaya ilmu-, adalah atas jasa orang tua kita. Oleh karena itulah Islam sangat menekankan masalah berbakti kepada orang tua, membahagiakan mereka, dan tidak durhaka pada mereka. Bahkan Nabi -Shallallahu’Alaihi Wasallam- bersabda:

Keridhaan Allah itu terletak pada keridhaan kedua orang tua, dan (sebaliknya) kemurkaaan Allah (juga) terletak pada kemurkaan kedua orang tua“.

Apalagi, kita juga nantinya akan menjadi orang tua bagi anak-anak kita, bukankah ketika itu, kita juga ingin agar anak kita berbakti pada kita, membahagiakan kita, dan tidak mendurhakai kita?! Jika kita nantinya ingin seperti ini, maka hendaklah sekarang kita melakukannya untuk orang tua kita, karena balasan sesuatu itu sesuai dengan amalan yang kita lakukan. (fal jaza’u min jinsil amal)

Ketiga: Islam sangatlah menghormati wanita, dan melindunginya dari segala sesuatu yang merugikan dan membahayakannya. Oleh karena itulah, ia tidak boleh menikah kecuali dengan izin dari walinya, sebagaimana sabda Nabi -Shallallahu’alaihi Wasallam-:
Siapapun wanita yang menikah tanpa izin walinya, maka nikahnya batal (tidak sah)”

Dan jika bapak anti masih ada, beliaulah yang harus menjadi wali. Maka bagaimana anti akan menikah dengan sah, jika bapak anti tidak mengizinkannya?!

Keempat: Keputusan menikah adalah keputusan yang sangat besar dalam perjalanan hidup anti, dan konsekuensinya akan anti rasakan seumur hidup. Oleh karena itu, hendaklah ekstra hati-hati dalam menghadapi masalah ini. Bertukar pendapatlah dengan orang yang paling berhak dijadikan rujukan, yakni orang tua kita. Biasanya mereka lebih jernih dalam melihat keadaan dari pada kita, karena mereka lebih pengalaman dalam mengarungi kehidupan, dan lebih matang pikirannya. Tentunya keputusan yang diambil dari kesepakatan antara kita dengan mereka, itu lebih baik dan lebih matang dari pada keputusan dari satu pihak saja.

Ditambah lagi, jika kita menjalani suatu keputusan atas restu dari orang tua, tentunya mereka akan selalu mendoakan kebaikan bagi kita, dan tidak diragukan lagi, doa mereka akan sangat mustajab dan menjadikan hidup kita penuh berkah, tentram, dan bahagia dunia akhirat.

Kelima: Cobalah membayangkan jika anti berada di posisi orang tua, mungkin anti juga akan mengambil langkah yang sama. Karena seringkali orang tua lebih menghargai anaknya, dari pada kita sendiri. Oleh karena itu, mungkin orang tua merasa tidak pantas anaknya mendapatkan orang yang kurang memenuhi standar dalam pandangannya. Disinilah pentingnya komunikasi, tukar pendapat, dan saling memberi informasi.

Keenam: Ingat pula sabda Nabi -Shallallahu alaihi Wasallam- tentang pentingnya agama calon kita, tentunya orang yang agamanya kuat, lebih kita dahulukan dari pada orang yang agamanya lemah, karena orang yang agamanya kuat, akan lebih mengetahui hak dan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga.

Ketujuh: mungkin solusi berikut bisa menjadi pertimbangan anti:
  • Adakan komunikasi yang lebih baik dan lebih terbuka dengan orang tua.
  • Jelaskan alasan yang mendasari langkah anti, dan kelebihan yang ada pada pilihan anti.
  • Jelaskan kerugian yang timbul, jika anti meninggalkan pilihan anti.
  • Jika satu kesempatan tidak cukup, teruslah komunikasi dalam kesempatan-kesempatan lainnya.
  • Mungkin orang tua ada pandangan lain, cobalah untuk menjajakinya
  • Jangan lupa untuk selalu berdoa kepada Alloh, terutama ketika sujud dalam sholat, dan ketika sepertiga malam terakhir, agar dimudahkan urusan anti, dan diberikan solusi terbaik.
  • Jangan lupa juga untuk sholat istikhoroh, dan memohon petunjuk Alloh, apakah calon anti itu baik bagi masa depan anti di dunia dan akhirat, atau tidak?… Karena hanya Dia-lah yang maha mengetahui apa yang tersembunyi dari hambanya… Petunjuk dari sholat istikhoroh, tidak harus berupa mimpi, tapi bisa juga dengan perasaan hati, atau yang lainnya.
Pesan terakhir, ingatlah selalu dan jangan sampai lupa, bahwa langkah untuk menikah adalah langkah besar dalam kehidupan kita. Oleh karena itu, jangan sampai kita melangkah, kecuali semuanya sudah clear, serta orang tua setuju dan merestui langkah besar ini…

Sekian… Mohon ma’af bila ada kata yang kurang berkenan… Semoga anti bisa tabah dan sabar dalam menghadapi masalah ini… Dan diberikan taufiq oleh Alloh untuk meraih yang terbaik bagi anti, di dunia ini hingga di akhirat nanti… amin.

Dari hamba yang sangat membutuhkan maghfiroh dari-Nya, Musyaffa’ ad-Dariny
Penulis: Ustadz Musyaffa Ad Darini, Lc.
Artikel UstadzKholid.Com

Untukmu Wahai Para Istri…

Label: ,

Nasehat Untuk Para Istri
Ahmad Sabiq bin Abdul Lathif Abu Yusuf

A. PENGANTAR
Terasa tidak adil kalau ada sebuah ketidak harmonisan dalam sebuah rumah tangga lalu kita limpahkan tanggung jawab pada salah satunya saja, karena harus diakui minimalnya suami maupun istri punya andil didalamnya.

Kisah yang saya sebutkan diawal pembahasan pada edisi lalu tentang para ibu-ibu yang memakan daging suami mereka sendiri dalam suasana obrolan mereka dengan lainnya tidak mesti hanya kesalahan suami mereka, bahkan sangat mungkin si suami sudah berbuat yang benar namun si istri lah yang tidak pernah mengerti dan memahami.

Maka pada edisi ini saya tujukan untaian nasehat ini kepada para istri, semoga semuanya bisa menjalankan apa seharusnya dia kerjakan, sehingga yang lainnya akan mendapatkan apa yang seharusnya di dapatkan. Wallohul Muwaffiq

B. TERIMA KODRATMU DAN PAHAMILAH POSISIMU
Semoga Alloh merohmati orang yang bisa menempatkan dirinya pada tempatnya yang tepat, saat sebagai suami dia mengetahui bahwa dia adalah seorang suami yang wajib mempergauli istrinya dengan baik, demikian juga tatkala dia sebagai istri, dia mengetahui hak dan kewajiban serta tanggung jawabnya yang besar dengan benar.

Sangat miris hati ini tatkala ada sebagian istri yang mengatakan : “Enak ya jadi suami, setiap hari keluar rumah, bisa berganti-ganti suasana, berbeda dengan istri yang setiap hari di rumah dan hanya berkutat dengan dapur dan anak.” Atau kalimat yang senada

Ketauhilah wahai ukhtil muslimah !!!
Alloh Ta’ala dan Rosululloh telah menempatkanmu pada posisi yang mulia. Perhatikanlah hadits berikut ini :
عَنْ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنِ عَوْفٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ زَوْجَهَا قِيلَ لَهَا ادْخُلِي الْجَنَّةَ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شِئْتِ
Dari Abdur Rohman bin Auf berkata : Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Apabila seorang wanita sholat lima waktu, puasa bulan Romadhon, menjaga farjinya, mentaati suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja engkau kehendaki.” (HR. Ahmad 1664 dengan sanad hasan. Lihat adabuz Zafaf oleh Syaikh Al Albani hal : 286)

Jalan menuju surga, tempat yang penuh dengan ketenangan dan keindahan nan kekal dan abadi telah dibentangkan dihadapanmu, yang salah satu jalanya adalah taat pada suami

Sadarilah olehmu bahwa dimanapun Alloh dan Rosululloh menyebutkan tentang dirimu pasti menyebutkan tentang ketaatan kepada suami. Terlalu banyak ayat dan hadits yang membicarakan tentang ini dan saya kira engkau sudah megetahuinya.

Maka sadarlah, bahwa engkau adalah seorang istri….
Sekali lagi engkau adalah seorang istri yang seharusnya selalu taat kepada suamimu selagi dia tidak memerintahkan kepada kemaksiatan….

C. PAHAMILAH SUAMIMU
  • Seorang suami telah dikodratkan oleh Alloh untuk menjadi kepala keluarga, dialah yang diberi kewajiban oleh Alloh dan Rosul Nya untuk memberi nafkah kepada istri dan anaknya. Yang mana hal ini berkonsekwensi wajib bagi dia untuk mencari pekerjaan, yang terkadang pada zaman seperti sekarang ini tidak semua orang mendapatkan usaha yang sesuai dengan bidangnya. Betapa banyak sarjana yang pekerjaanya di luar keahliannya, apalagi lainnya !!!
  • Sulitnya mencari pekerjaan dan capeknya bekerja diluar rumah bagi sang suami akan terasa ringan kalau didukung secara moril oleh si istri, beban dia akan menjadi sedikit ringan secara psikologis kalau istrinya ikut mendukung dan senang dengan apa yang dia kerjakan sekarang.
  • Namun kalau kebalikannya? Cobaah bayangkan, kalau suami sudah capek-capek cari pekerjaan, sudah sangat lelah diluar rumah tiba-tiba sampai rumah ditumpuki lagi dengan sikap istrinya yang sangat tidak mengenakkan.

Wahai saudariku …. 
Yang harus engkau perhatikan juga, bahwa sebuah pernikahan adalah mengumpulkan dua insan yang berbeda, berbeda dalam jenis kelaminnya, berbeda dalam karakter dasarnya, berbeda dalam latar belakang keluarganya, berbeda dalam latar belakang lingkungan dan pendidikannya, berbeda dalam unsur-unsur yang mempengaruhi jiwa dan pikirannya, dan mungkin berbeda dalam cara pandang dan cita-citanya serta perbedaan-perbedaan lainnya.

Akan sangat mustahi kalau ditemukan sepasang suami istri yang benar-benar sama dalam segala sesuatu.

Siapakah contoh keluarga yang benar-benar kita jadikan panutan ? bukankah keluarganya Rosululloh? Meskipun begitu, apakah selamat dari berbagai macam perbedaan semacam ini ? Tidak wahai saudariku.

Yang bisa dilakukan adalah saling memamami dan menghargai, wahai suami pahamilah istrimu dan wahai istri pahamilah suamimu.
    Saat si suami harus keluar malam, saat dia harus meningalkan rumah barang satu minggu atau dua minggu untuk sebuah keperluan yang bermanfaat, maka sadarilah kalau memang itu adalah tugas dan kewajibannya yang butuh dukungan dan kerelaan darimu

    Bukankah Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik wanita adalah yang bisa membuatmu senang saat engkau pandang, mentaatimu saat engkau perintahkan dan menjaga dirinya dan hartamu saat engkau tinggal.”(HR. Thobroni dengan sanad shohih, Lihat Shohihul Jami’ : 3299)

    Begitu pula sebaliknya, saat si istri harus ngambek, karena ada sesuatu yang membuatnya tidak senang, maka wahai suami sadarilah bahwa itu adalah pembawaan fithroh wanita yang tercipta dari tulang rusuk yang bengkok, yang kalau engkau sikapi dengan keras saat itu maka segera akan patah dan rusak.

    Jangan pernah berpikir bahwa salah satu dari suami maupun istri berfikir bahwa yang lainnya harus sama persis dengannya kayak kertas foto copi, karena kalau itu yang engkau inginkan, maka bukannya akan membuatmu senang namun akan semakin sensitif dengan segala perbedaan.

    D. TEGANYA KAU MAKAN DAGING SUAMIMU SENDIRI 
    Suatu ketika Rosululloh berjalan-jalan bersama Ummul Mu’minin Aisyah, Lalu Aisyah mengatakan : “Cukuplah bagimu bahwa Shofiyah itu begini dan begitu (maksudnya bahwa dia itu pendek).” Maka Rosululloh bersabda : “Engkau barusan mengucapkan sebuah kalimat, seandainya dicelupkan ke lautan pasti akan berubah warnanya.” (HR. Bukhori Muslim)

    Perhatikanlah ucapan ghibah yang “tidak seberapa” ini yang dikatakan oleh Aisyah, wanita yang paling dicintai oleh Rosululloh. Namun, beliau tetap mengatakan sebagaimana di atas. Lalu, bagaimana kalau seandainya yang melakukan hal ini adalah seorang istri untuk membongkar aib suaminya sendiri?

    Kalau seandainya engkau membongkar aib suamimu untuk mencari sebuah solusi, dengan cara menyampaikannya kepada seseorang yang diperkirakan dapat membantunya menasehati si suami, atau menahan kedlolimannya kalau memang dia begitu, maka itu adalah sesuatu yang sangat baik, sebagaimana pernah dilakukan oleh Hindun Binti Utbah.

    عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ هِنْدَ بِنْتَ عُتْبَةَ قَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
    Dari Aisyah bahwasannya Hindun Binti Utbah berkata : “Wahai Rosululloh, sesungguhnya Abu Sufyan adalah seorang yang sangat kikir, dia tidak memberikan kepadaku nafkah yang cukup bagiku dan bagi anakku kecuali kalau saya mengambilnya tanpa sepengetahuan dirinya.” Maka Rosululloh bersabda : “Ambillah yang cukup untukmu dan anakmu dengan cara yang baik.” (HR. Bukhori : 5346, Muslim : 1714)

    Alloh Ta’ala menggambarkan bahwa orang yang mengghibah orang lain adalah seperti memakan daging bangkainya, perhatikanlah firman Aloh Subhanahu wa ta'ala:

    يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِّنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْمُُ وَلاَتَجَسَّسُوا وَلاَيَغْتَب بَّعْضُكُمْ بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللهَ إِنَّ اللهَ تَوَّابُُ رَّحِيمُُ
    Wahai orang-orang yang beriman jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain dan janganlah sebagian diantara kamu menggunjing sebagian yang lain, sukakah salah seorang diantara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati ? Maka tentunya kamu merasa jijik dengannya. Dan bertaqwalah kepada Alloh, sesungguhnya Alloh Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang. (QS. Al Hujurot : 12)

    Kalau memang begitu tegakah engkau memakan daging bangkai seseorang yang banyak berbuat kebaikan kepadamu ???

    D. SUNGGUH! HAKNYA ATAS DIRIMU SANGATLAH BESAR…
    Bagi yang sedikit saja mengetahui ayat-ayat Alloh dan Sunnah Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam tentang hubungan suami istri, niscaya akan mengetahui bahwa hak suami atas istrinya sangatlah besar. Saya sebutkan beberapa diantaranya sebagai sebuah nasehat dan peringatan bagi semuanya karena memang agama ini adalah sebuah nasehat sebagai sabda Rosululloh kita.

    Alloh juga berfirman : “Berilah peringatan, karena sebuah peringatan itu akan bermanfaat bagi insan yang beriman.” (QS. Adz Dzariyat : 55)

    Di antara hak suamimu yang seharusnya engkau tunaikan adalah :

    1. Jagalah kehormatan dan harga dirinya, juga urusilah anak-anak, rumah dan hartanya
    Perhatikanlah firman Alloh Subhanahu wa ta'ala:
    فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللهُ
    “Wanita yang sholihat adalah yang taat kepada Alloh lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada karena Alloh telah memelihara mereka.” (QS. An Nisa’ : 34)

    Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda :
    “Seorang wanita adalah pemimpin dirumah suaminya dan bertangung jawab atas kepemimpinannya.” (HR. Bukhori Muslim)

    2. Berpenampilanlah yang menyenangkan dihadapannya, senyumlah jangan masam muka, bersikap manislah dan jangan menyebalkan
    Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Sebaik-baik wanita adalah yang bisa membuatmu senang saat engkau pandang, mentaatimu saat engkau perintahkan dan menjaga dirinya dan hartamu saat engkau tinggal.” (HR. Thobroni dengan sanad shohih, Lihat Shohihul Jami’ : 3299)

    Berkata Syaikh Abdul Adhim al Badawi : “Sesuatu yang sangat mengherankan kalau seorang istri tidak memperhatikan penampilannya dihadapan suaiminya, namun kalau mau keluar dia sangat perhatian dengan penampilannya, sehingga benarlah kalau ada yang mengatakan : “Kera kalau dirumah namun kijang kalau dijalanan 1.” Wahai hamba wanita Alloh, takutlah kalian kepada Alloh daam hak suamimu atas dirimu.”

    3. Jangan izinkan masuk rumahmu seseorang yang dibenci suamimu
    RosulullohShollallohu 'alaihi wa sallam  bersabda : “Hak kalian (para suami) atas para istri adalah tidak mengizinkan masuk rumah kalian orang-orang yang kalian benci.” (Potongan khutbah haji wada’ Rosululloh yang panjang)

    4. Jangan bilang kepada siapapun tentang sesuatu yang menjadi rahasia kalian berdua, terutama yang berhubungan dengan urusan ranjang.
    Perhatikanlah riwayat hadits berikut :
    Dari Asma’ binti Yazid berkata : “Banyak laki-laki dan wanita yang duduk-duduk bersama Rosululloh, lalu Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Barangkali ada seorang laki-laki yang menceritakan sesuatu yang dia lakukan dengan istrinya, begitu juga istri barangkali ada yang menceritakan apa yang dia lakukan dengan suminya.” Saya berkata : “Wahai Rosululloh, demi Alloh, baik suami maupun istri banyak yang melakukannya.” Maka Rosululloh bersabda : “Janganah kalian lakukan, permisalan orang semacam itu adalah semacam setan yang bertemu dengan setan wanita dijalan lalu berhubungan badan padahal orang-orang melihatnya.” (HR. Ahmad 16/223 dengan sanad shohih, lihat adabuz zafaf hal : 72)

    5. Berusahalah untuk menjaga kelanggengan bahtera rumah tangga, jangan sampai engkau minta cerai tanpa sebuah sebab syar’i.
    • Dari Tsauban berkata : “Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda :Wanita manapun yang minta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya mencium bau surga.”  (HR. HR. Tirmidzi 1199, Abu Dawud : 2209 dengan sanad shohih, lihat Al Irwa’ : 2035)
    • Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam juga bersabda : "Wanita yang mengajukan khulu’ (Menggugat cerai) adalah para wanita munafik. (HR. Tirmidzi : 1198, Ash Shohihah : 632)

    Wahai wanita muslimah…!!!
    Inilah hak-hak suamimu atas dirimu, berusahalah untuk menjalankannya, maafkanlah semua kekurangan suamimu, hargailah segala kelebihannya dan berterima kasihlah atas semua yang telah dikerjakan untukmu. Insya Alloh bahtera rumah tanggamu akan berlayar dengan tenang bersama hembusan sepoi-sepoinya angin laut.

    Wahai para ibu…!!!
    Ajarkanlah kepada putri-putri kalian tentang hak dan kewajibannya atas suaminya kalau dia menikah kelak. Inilah sunnahnya para wanita salafush sholih sebagaimana yang dilakukan oleh Umamah binti Harits terhadap otrinya menjelang pernikahanya. (Lihat Al Wajiz oleh Syaikh Abdul Adlim Al Badawi hal : 30 dan seterusnya)
    .
    E. CUKUPLAH BAGIMU GAMBARAN INI
    Sebagai kalimat penutup, renungkanlah beberaa kejadian pada zaman Rosululloh ini, semoga Alloh menunjukkan kita ‘tuk meniti jalan yang diridloi Nya :

    عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي أَوْفَى قَالَ لَمَّا قَدِمَ مُعَاذٌ مِنَ الشَّامِ سَجَدَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَا هَذَا يَا مُعَاذُ قَالَ أَتَيْتُ الشَّامَ فَوَافَقْتُهُمْ يَسْجُدُونَ لِأَسَاقِفَتِهِمْ وَبَطَارِقَتِهِمْ فَوَدِدْتُ فِي نَفْسِي أَنْ نَفْعَلَ ذَلِكَ بِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَا تَفْعَلُوا فَإِنِّي لَوْ كُنْتُ آمِرًا أَحَدًا أَنْ يَسْجُدَ لِغَيْرِ اللَّهِ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَا تُؤَدِّي الْمَرْأَةُ حَقَّ رَبِّهَا حَتَّى تُؤَدِّيَ حَقَّ زَوْجِهَا وَلَوْ سَأَلَهَا نَفْسَهَا وَهِيَ عَلَى قَتَبٍ لَمْ تَمْنَعْهُ *

    Dari Abdulloh bin Abi Aufa berkata :
    “Tatkala Mu’adz bin Jabal datang dari Syam maka dia bersujud kepada Rosululloh.
    Lalu Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Apa yang barusan engkau lakukan ini wahai Mu’adz ” Mu’adz menjawab : “Saya datang ke negeri Syam dan saya lihat penduduknya sujud kepada pendeta tokoh mereka, maka saya kepingin untuk melakukan hal itu terhadapmu.”
    Maka Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam  bersabda : “Jangan lakukan itu, seandainya saya memerintahkan seseorang untuk sujud kepada selain Alloh pasti saya perintahkan wanita untuk sujud pada suaminya, Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di Tangan Nya, seorang wanita tidak mungkin menunaikan hak Tuhannya selagi tidak mengerjakan hak suaminya, seandainya suaminya memintanya padahal saat itu sedang berada di dapur maka janganlah menolaknya.”
    (Ibnu Majah 1853, dan Ahmad dengan lafadz yang mirip 23950 dengan sanad shohih)

    عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ أَهْلُ بَيْتٍ مِنَ الْأَنْصَارِ لَهُمْ جَمَلٌ يَسْنُونَ عَلَيْهِ وَإِنَّ الْجَمَلَ اسْتُصْعِبَ عَلَيْهِمْ فَمَنَعَهُمْ ظَهْرَهُ وَإِنَّ الْأَنْصَارَ جَاءُوا إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا إِنَّهُ كَانَ لَنَا جَمَلٌ نُسْنِي عَلَيْهِ وَإِنَّهُ اسْتُصْعِبَ عَلَيْنَا وَمَنَعَنَا ظَهْرَهُ وَقَدْ عَطِشَ الزَّرْعُ وَالنَّخْلُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ قُومُوا فَقَامُوا فَدَخَلَ الْحَائِطَ وَالْجَمَلُ فِي نَاحِيَةٍ فَمَشَى النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَحْوَهُ فَقَالَتِ الْأَنْصَارُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ إِنَّهُ قَدْ صَارَ مِثْلَ الْكَلْبِ الْكَلِبِ وَإِنَّا نَخَافُ عَلَيْكَ صَوْلَتَهُ فَقَالَ لَيْسَ عَلَيَّ مِنْهُ بَأْسٌ فَلَمَّا نَظَرَ الْجَمَلُ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَقْبَلَ نَحْوَهُ حَتَّى خَرَّ سَاجِدًا بَيْنَ يَدَيْهِ فَأَخَذَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهم عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِنَاصِيَتِهِ أَذَلَّ مَا كَانَتْ قَطُّ حَتَّى أَدْخَلَهُ فِي الْعَمَلِ فَقَالَ لَهُ أَصْحَابُهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ هَذِهِ بَهِيمَةٌ لَا تَعْقِلُ تَسْجُدُ لَكَ وَنَحْنُ نَعْقِلُ فَنَحْنُ أَحَقُّ أَنْ نَسْجُدَ لَكَ فَقَالَ لَا يَصْلُحُ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ وَلَوْ صَلَحَ لِبَشَرٍ أَنْ يَسْجُدَ لِبَشَرٍ لَأَمَرْتُ الْمَرْأَةَ أَنْ تَسْجُدَ لِزَوْجِهَا مِنْ عِظَمِ حَقِّهِ عَلَيْهَا وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَوْ كَانَ مِنْ قَدَمِهِ إِلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ قُرْحَةً تَنْبَجِسُ بِالْقَيْحِ وَالصَّدِيدِ ثُمَّ اسْتَقْبَلَتْهُ فَلَحَسَتْهُ مَا أَدَّتْ حَقَّهُ

    Dari Anas bin Malik berkata :
    “Para keluarga dari kalangan sahabat anshor mempunyai unta untuk mengairi sawah mereka. Namun, ada seekor unta yang tidak mau di tunggangi. Lalu, mereka datang kepada Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam seraya berkata: “Kami mempunyai unta untuk mengairi sawah namun sekarang tidak mau ditunggani padahal tanaman sudah waktunya diairi.”
    Maka, Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda kepada para sahabatnya: “Bangunlah!”
    Akhirnya, mereka pun bangun lalu beliau masuk kebun , dan saat itu unta tersebut sedang berada di pojok kebun.
    Lalu, Rosululloh pun berjalan mendekatinya.
    Para sahabat anshor berkata: “Wahai Rosululloh, unta itu sekarang sudah mirip dengan aning gola, kami takut anda diserang olehnya.
    Maka Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : “Dia tidak akan membahayakanku.”
    Dan tatkala unta tersebut melihat  kedatangan Rosululloh, maka diapun segera berjalan menuju Rosululloh lalu bersujud dihadapannya, maka Rosululloh pun memegang ubun-ubunnya dan unta itupun menjadi sangat jinak untuk bs digunakan bekerja.
    Demi melihat kejadian itu, para sahabat berkata : “Wahai Rosululloh, kalau binatang yang tidak berakal saja bersujud kepadamu, maka kami yang berakal ini lebih pantas untuk bersujud kepadamu ?.”
    Maka Rosululloh Shollallohu 'alaihi wa sallam bersabda : 
    “Tidak layak bagi seseorang untuk bersujud kepada manusia lainnya, seandainya ada manusia yang layak untuk bersujud kepada lainnya niscaya saya akan memerintahkan waniat untuk sujud kepada suaminya karena hak suaminya yang sangat besar. Demi Alloh, Dzat yang jiwaku berada ditangan Nya, seandainya seluruh badan si suami itu dari ujung rambut sampai ujung kaki terdapat luka bernanah, lalu si istri itu mendatanginya dan menjilatinya maka dia belum bisa menunaikan hak suaminya.”
    (Ahmad 12203 dengan sanad sahih, Liha shohihul Jami’ : 3148)

    Adakah yang bisa engkau ambil pelajaran dari hadits berharga ini ??? 
    Wallohul A’lam wallohul Muwaffiq


    1 Kijang dalam konteks bahasa arab adalah seekor binatang yang sering diserupakan dengan wanita yang cantik.


    Betapa Penting Menyambung Silaturahmi

    Label: ,

    Oleh Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn

    Marilah kita bertakwa kepada Allah Ta'ala. Takwa yang juga dapat mengantarkan kita pada kebaikan hubungan dengan sesama manusia. Lebih khusus lagi, yaitu sambunglah tali silaturahmi dengan keluarga yang masih ada hubungan nasab (anshab). Yang dimaksud, yaitu keluarga itu sendiri, seperti ibu, bapak, anak lelaki, anak perempuan ataupun orang-orang yang mempunyai hubungan darah dari orang-orang sebelum bapaknya atau ibunya. Inilah yang disebut arham atau ansab. Adapun kerabat dari suami atau istri, mereka adalah para ipar, tidak memiliki hubungan rahim ataupun nasab.

    Banyak cara untuk menyambung tali silaturahmi. Misalnya dengan cara saling berziarah (berkunjung), saling memberi hadiah, atau dengan pemberian yang lain. Sambunglah silaturahmi itu dengan berlemah lembut, berkasih sayang, wajah berseri, memuliakan, dan dengan segala hal yang sudah dikenal manusia dalam membangun silaturahmi. Dengan silaturahmi, pahala yang besar akan diproleh dari Allah Azza wa Jalla. Silaturahim menyebabkan seseorang bisa masuk ke dalam surga. Silaturahim juga menyebabkan seorang hamba tidak akan putus hubungan dengan Allah di dunia dan akhirat.

    Disebutkan dalam Shahîh al-Bukhâri dan Shahîh Muslim, dari Abu Ayyûb al-Anshârî:

    أَنَّ رَجُلًا قَالَ : يا رَسُولَ اللَّهِ أَخْبِرْنِي بِمَا يُدْخِلُنِي الْجَنَّةَ وَيُبَاعِدُنِي مِنَ النَّارِ فَقَالَ النَّبِيُّ : لَقَدْ وُفِّقَ أَوْ قَالَ لَقَدْ هُدِيَ كَيْفَ قُلْتَ ؟ فَأَعَادَ الرَّجُلُ فَقَالَ النَّبِيُّ : تَعْبُدُ اللَّهَ لَا تُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا وَتُقِيمُ الصَّلَاةَ وَتُؤْتِي الزَّكَاةَ وَتَصِلُ ذَا رَحِمِكَ فَلَمَّا أَدْبَرَ قَالَ النَّبِيُّ : إِنْ تَمَسَّكَ بِمَا أَمَرْتُ بِهِ دَخَلَ الْجَنَّةَ
    "Bahwasanya ada seseorang berkata kepada Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam : "Wahai Rasulullah, beritahukan kepadaku tentang sesuatu yang bisa memasukkan aku ke dalam surga dan menjauhkanku dari neraka," maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Sungguh dia telah diberi taufik," atau "Sungguh telah diberi hidayah, apa tadi yang engkau katakan?" Lalu orang itupun mengulangi perkataannya. Setelah itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Engkau beribadah kepada Allah dan tidak menyekutukannya dengan sesuatu pun, menegakkan shalat, membayar zakat, dan engkau menyambung silaturahmi". Setelah orang itu pergi, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Jika dia melaksanakan apa yang aku perintahkan tadi, pastilah dia masuk surga".

    Silaturahmi juga merupakan faktor yang dapat menjadi penyebab umur panjang dan banyak rizki. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :
    مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    "Barang siapa yang ingin dilapangkan rizkinya dan dipanjangkan umurnya, maka hendaklah ia menyambung tali silaturahmi". [Muttafaqun 'alaihi].

    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    الرَّحِمُ مُعَلَّقَةٌ بِالْعَرْشِ تَقُولُ مَنْ وَصَلَنِي وَصَلَهُ اللَّهُ وَمَنْ قَطَعَنِي قَطَعَهُ اللَّهُ
    "Ar-rahim itu tergantung di Arsy. Ia berkata: "Barang siapa yang menyambungku, maka Allah akan menyambungnya. Dan barang siapa yang memutusku, maka Allah akan memutus hubungan dengannya". [Muttafaqun 'alaihi].

    Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam telah menjelaskan bahwa menyambung silaturahmi lebih besar pahalanya daripada memerdekakan seorang budak. Dalam Shahîh al-Bukhâri, dari Maimûnah Ummul-Mukminîn, dia berkata:

    يَا رَسُولَ اللَّهِ أَشَعَرْتَ أَنِّي أَعْتَقْتُ وَلِيدَتِي قَالَ أَوَفَعَلْتِ قَالَتْ نَعَمْ قَالَ أَمَا إِنَّكِ لَوْ أَعْطَيْتِهَا أَخْوَالَكِ كَانَ أَعْظَمَ لِأَجْرِكِ
    "Wahai Rasulullah, tahukah engkau bahwa aku memerdekakan budakku?" Nabi bertanya, "Apakah engkau telah melaksanakannya?" Ia menjawab, "Ya". Nabi bersabda, "Seandainya engkau berikan budak itu kepada paman-pamanmu, maka itu akan lebih besar pahalanya”.

    Yang amat disayangkan, ternyata ada sebagian orang yang tidak mau menyambung silaturahmi dengan kerabatnya, kecuali apabila kerabat itu mau menyambungnya. Jika demikian, maka sebenarnya yang dilakukan orang ini bukanlah silaturahmi, tetapi hanya sebagai balasan. Karena setiap orang yang berakal tentu berkeinginan untuk membalas setiap kebaikan yang telah diberikan kepadanya, meskipun dari orang jauh.

    Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
    لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
    "Orang yang menyambung silaturahmi itu, bukanlah yang menyambung hubungan yang sudah terjalin, akan tetapi orang yang menyambung silaturahmi ialah orang yang menjalin kembali hubungan kekerabatan yang sudah terputus". [Muttafaqun 'alaihi].

    Oleh karena itu, sambunglah hubungan silaturahmi dengan kerabat-kerabat kita, meskipun mereka memutuskannya. Sungguh kita akan mendapatkan balasan yang baik atas mereka.

    Diriwayatkan, telah datang seorang lelaki kepada Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan berkata:
    يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي قَرَابَةً أَصِلُهُمْ وَيَقْطَعُونِي وَأُحْسِنُ إِلَيْهِمْ وَيُسِيئُونَ إِلَيَّ وَأَحْلُمُ عَنْهُمْ وَيَجْهَلُونَ عَلَيَّ فَقَالَ لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنَ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
    "Wahai Rasulullah, aku mempunyai kerabat. Aku menyambung hubungan dengan mereka, akan tetapi mereka memutuskanku. Aku berbuat baik kepada mereka, akan tetapi mereka berbuat buruk terhadapku. Aku berlemah lembut kepada mereka, akan tetapi mereka kasar terhadapku," maka Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda, "Apabila engkau benar demikian, maka seakan engkau menyuapi mereka pasir panas, dan Allah akan senantiasa tetap menjadi penolongmu selama engkau berbuat demikan." [Muttafaq 'alaihi].

    Begitu pula firman Allah Ta'ala: 
    "Orang-orang yang merusak janji Allah setelah diikrarkan dengan teguh dan memutuskan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan dan mengadakan kerusakan di bumi, orang-orang itulah yang memperoleh kutukan dan bagi mereka tempat kediaman yang buruk (Jahannam)". [ar-Ra’d/13:25].

    Dari Jubair bin Mut’im bahwasanya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam telah bersabda:
    لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ
    "Tidaklah masuk surga orang yang suka memutus, ( memutus tali silaturahmi)". [Mutafaqun 'alaihi].

    Memutus tali silaturahmi yang paling besar, yaitu memutus hubungan dengan orang tua, kemudian dengan kerabat terdekat, dan kerabat terdekat selanjutnya. Oleh karena itu Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda
    أَلَا أُنَبِّئُكُمْ بِأَكْبَرِ الْكَبَائِرِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ قُلْنَا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الْإِشْرَاكُ بِاللَّهِ وَعُقُوقُ الْوَالِدَيْنِ
    ”Maukah kalian aku beritahu tentang dosa terbesar di antara dosa-dosa besar?” Beliau mengulangi pertanyaannya sebanyak tiga kali. Maka para sahabat menjawab: ”Mau, ya Rasulullah,” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Berbuat syirik kepada Allah dan durhaka kepada kedua orang tua”.

    Demikianlah, betapa besar dosa seseorang yang durhaka kepada orang tua. Dosa itu disebutkan setelah dosa syirik kepada Allah Ta'ala. Termasuk perbuatan durhaka kepada kedua orang tua, yaitu tidak mau berbuat baik kepada keduanya. Lebih parah lagi jika disertai dengan menyakiti dan memusuhi keduanya, baik secara langsung maupun tidak langsung.

    Dalam shahîhain, dari 'Abdullah bin 'Amr, sesungguhnya Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah bersabda:
    مِنَ الْكَبَائِرِ شَتْمُ الرَّجُلِ وَالِدَيْهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَهَلْ يَشْتِمُ الرَّجُلُ وَالِدَيْهِ قَالَ نَعَمْ يَسُبُّ أَبَا الرَّجُلِ فَيَسُبُّ أَبَاهُ وَيَسُبُّ أُمَّهُ فَيَسُبُّ أُمَّهُ
    ”Termasuk perbuatan dosa besar, yaitu seseorang yang menghina orang tuanya,” maka para sahabat bertanya: ”Wahai Rasulullah, adakah orang yang menghina kedua orang tuanya sendiri?” Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: ”Ya, seseorang menghina bapak orang lain, lalu orang lain ini membalas menghina bapaknya. Dan seseorang menghina ibu orang lain, lalu orang lain ini membalas dengan menghina ibunya”.

    Wahai orang-orang yang mengaku beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. Bertakwalah kepada Allah Azza wa Jalla. Dan marilah kita melihat diri kita masing-masing, sanak keluarga kita! Sudahkah kita menunaikan kewajiban atas mereka dengan menyambung tali silaturahmi? Sudahkah kita berlemah lembut terhadap mereka? Sudahkah kita tersenyum tatkala bertemu dengan mereka? Sudahkah kita mengunjungi mereka? Sudahkah kita mencintai, memuliakan, menghormati, saling menunjungi saat sehat, saling menjenguk ketika sakit? Sudahkah kita membantu memenuhi atau sekedar meringankan yang mereka butuhkan?

    Ada sebagian orang tidak suka melihat kedua orang tuanya yang dulu pernah merawatnya kecuali dengan pandangan yang menghinakan. Dia memuliakan istrinya, tetapi melecehkan ibunya. Dia berusaha mendekati teman-temannya, akan tetapi menjauhi bapaknya. Apabila duduk dengan kedua orang tuanya, maka seolah-olah ia sedang duduk di atas bara api. Dia berat apabila harus bersama kedua orang tuanya. Meski hanya sesaat bersama orang tua, tetapi ia merasa begitu lama. Dia bertutur kata dengan keduanya, kecuali dengan rasa berat dan malas. Sungguh jika perbuatannya demikian, berarti ia telah mengharamkan bagi dirinya kenikmatan berbakti kepada kedua orang tua dan balasannya yang terpuji.

    Ada pula manusia yang tidak mau memandang dan menganggap sanak kerabatanya sebagai keluarga. Dia tidak mau bergaul dengan karib kerabat dengan sikap yang sepantasnya diberikan sebagai keluarga. Dia tidak mau bertegus sapa dan melakukan perbuatan yang bisa menjalin hubungan silaturahmi. Begitu pula, ia tidak mau menggunakan hartanya untuk hal itu. Sehingga ia dalam keadaan serba kecukupan, sedangkan sanak keluarganya dalam keadaan kekurangan. Dia tidak mau menyambung hubungan dengan mereka. Padahal, terkadang sanak keluarga itu termasuk orang-orang yang wajib ia nafkahi karena ketidakmampuannya dalam berusaha, sedangkan ia mampu untuk menafkahinya. Akan tetapi, tetap saja ia tidak mau menafkahinya.

    Para ahlul-'ilmi telah berkata, setiap orang yang mempunyai hubungan waris dengan orang lain, maka ia wajib untuk memberi nafkah kepada mereka apabila orang lain itu membutuhkan atau lemah dalam mencari penghasilan, sedangkan ia dalam keadaan mampu. Yaitu sebagaimana yang dilakukan seorang ayah untuk memberikan nafkah. Maka barang siapa yang bakhil maka ia berdosa dan akan dihisab pada hari Kiamat.

    Oleh karena itu, tetap sambungkanlah tali silaturahmi. Berhati-hatilah dari memutuskannya. Masing-masing kita akan datang menghadap Allah dengan membawa pahala bagi orang yang menyambung tali silaturahmi. Atau ia menghadap dengan membawa dosa bagi orang yang memutus tali silaturahmi. Marilah kita memohon ampun kepada Allah Ta'ala, karena sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

    [Diadaptasi oleh Ustadz Abu Sauda` Eko Mas`uri, dari ad-Dhiyâ-ul Lâmi', Syaikh Muhammad bin Shâlih al-'Utsaimîn, hlm. 505-508]

    [Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XI/1429H/2008M. Penerbit Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo-Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-761016]


    Keutamaan Silaturahmi

    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau bersabda:

    إِنَّ اللَّهَ خَلَقَ الْخَلْقَ حَتَّى إِذَا فَرَغَ مِنْ خَلْقِهِ قَالَتْ الرَّحِمُ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ نَعَمْ أَمَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ قَالَ فَهُوَ لَكِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ:
    فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِنْ تَوَلَّيْتُمْ أَنْ تُفْسِدُوا فِي الْأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ. أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللَّهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ

    “Sesungguhnya Allah menciptakan seluruh makhluk. Sampai ketika Allah selesai menciptakan semua makhluk, maka rahim pun berkata, “Inikah tempat bagi yang berlindung kepadanya dari terputusnya silaturahim?’ Allah menjawab, “Benar. Tidakkah kamu senang kalau Aku akan menyambung orang yang menyambungmu dan memutuskan orang yang memutuskanmu?” Rahim menjawab, “Tentu, wahai Rabb.” Allah berfirman, “Kalau begitu itulah yang kamu miliki.” Setelah itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, “Jika kalian mau, maka bacalah ayat berikut ini: "Maka apakah kiranya jika kalian berkuasa maka kalian akan berbuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan kalian? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikan-Nya telinga mereka dan dibutakan-Nya penglihatan mereka.” (QS. Muhammad: 22-23). (HR. Al-Bukhari no. 5987 dan Muslim no. 2554)

    Dari Anas bin Malik radhiallahu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَيُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    “Barangsiapa yang ingin dilapangkan rezkinya, dan ingin dipanjangkan usianya, maka hendaklah dia menyambung silaturrahmi.” (HR. Al-Bukhari no. 5986)

    Dari Abdullah bin ‘Amr dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
    لَيْسَ الْوَاصِلُ بِالْمُكَافِئِ وَلَكِنْ الْوَاصِلُ الَّذِي إِذَا قُطِعَتْ رَحِمُهُ وَصَلَهَا
    “Orang yang menyambung silaturrahmi bukanlah orang yang membalas akan tetapi orang yang menyambung silaturrahmi adalah orang yang menyambungnya ketika dia itu terputus.” (HR. Al-Bukhari no. 5991)

    Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwasanya ada seorang laki-laki yang pernah berkata, “Ya Rasulullah, saya mempunyai kerabat. Saya selalu berupaya untuk menyambung silaturahim kepada mereka, tetapi mereka memutuskannya. Saya selalu berupaya untuk berbuat baik kepada mereka, tetapi mereka menyakiti saya. Saya selalu berupaya untuk lemah lembut terhadap mereka, tetapi mereka tak acuh kepada saya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
    لَئِنْ كُنْتَ كَمَا قُلْتَ فَكَأَنَّمَا تُسِفُّهُمْ الْمَلَّ وَلَا يَزَالُ مَعَكَ مِنْ اللَّهِ ظَهِيرٌ عَلَيْهِمْ مَا دُمْتَ عَلَى ذَلِكَ
    “Jika benar seperti apa yang kamu katakan, maka kamu seperti memberi makan mereka debu yang panas, dan selama kamu berbuat demikian maka pertolongan Allah akan selalu bersamamu.” (HR. Muslim no. 2558)

    Penjelasan ringkas:

    Islam menganjurkan untuk menyambung hubungan dan bersatu serta mengharamkan pemutusan hubungan, saling menjauhi, dan semua perkara yang menyebabkan lahirnya perpecahan. Karenanya Islam menganjurkan untuk menyambung silaturahim dan memperingatkan agar jangan sampai ada seorang muslim yang memutuskannya. Dan Nabi shalllallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa bukanlah dikatakan menyambung silaturahmi ketika seorang membalas kebaikan orang yang berbuat kebaikan kepadanya, yakni menyambung hubungan dengan orang yang senang kepadanya. Akan tetapi yang menjadi hakikat menyambung silaturahmi adalah ketika dia membalas kebaikan orang yang berbuat jelek kepadanya atau menyambung hubungan dengan orang yang memutuskan hubungan dengannya.

    Nabi shallallahu alaihi wasallam mengabarkan bahwa balasan disesuaikan dengan jenis amalan. Karenanya, barangsiapa yang menyambung hubungan silaturahminya maka Allah juga akan menyambung hubungan dengannya, dan di antara bentuk Allah menyambungnya adalah Allah akan menambah rezekinya, menambah umurnya, dan senantiasa memberikan pertolongan kepadanya.

    Sebaliknya, siapa saja yang memutuskan hubungan silaturahimnya maka Allah juga akan memutuskan hubungan dengannya. Dan ketika Allah sudah memutuskan hubungan dengannya maka Allah tidak akan perduli lagi dengannya, Allah akan menjadikannya buta dan tuli, dan menimpakan laknat kepadanya. Dan siapa yang mendapatkan laknat maka sungguh dia telah dijauhkan dari kebaikan dan rahmat Allah Ta’ala yang Maha Luas.

    Silaturahmi merupakan ibadah yang sangat agung, mudah dan membawa berkah. Kaum muslimin hendaknya tidak melalaikan dan melupakannya. Sehingga perlu meluangkan waktu untuk melaksanakan amal shalih ini. Demikian banyak dan mudahnya alat transportasi dan komunikasi, seharusnya menambah semangat kaum muslimin bersilaturahmi. Bukankah silaturahmi merupakan satu kebutuhan yang dituntut fitrah manusia? Karena dapat menyempurnakan rasa cinta dan interaksi sosial antar umat manusia. Silaturahmi juga merupakan dalil dan tanda kedermawanan serta ketinggian akhlak seseorang.

    Silaturahim termasuk akhlak yang mulia. Dianjurkan dan diseru oleh Islam. Diperingatkan untuk tidak memutuskannya. Allah Ta’ala telah menyeru hambanya berkaitan dengan menyambung tali silaturahmi dalam sembilan belas ayat di kitab-Nya yang mulia. Allah Ta’ala memperingatkan orang yang memutuskannya dengan laknat dan adzab, diantara firmanNya,

    فَهَلْ عَسَيْتُمْ إِن تَوَلَّيْتُمْ أَن تُفْسِدُوا فِي اْلأَرْضِ وَتُقَطِّعُوا أَرْحَامَكُمْ أُوْلَئِكَ الَّذِينَ لَعَنَهُمُ اللهُ فَأَصَمَّهُمْ وَأَعْمَى أَبْصَارَهُمْ
    “Maka apakah kiranya jika kamu berkuasa kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dan memutuskan hubungan kekeluargaan ? Mereka itulah orang-orang yang dilaknati Allah dan ditulikanNya telinga mereka, dan dibutakanNya penglihatan mereka.” (QS Muhammad 47:22-23).

    وَاتَّقُوا اللهَ الَّذِي تَسَآءَلُونَ بِهِ وَاْلأَرْحَامَ إِنَّ اللهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا
    “Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) namaNya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.” (QS An Nisaa’ 4:1).

    Juga sabda Rasulullah Shallallahu’alahi Wasallam ,
    مَنْ أَحَبَّ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    “Barangsiapa yang senang untuk dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya (dipanjangkan umurnya), maka hendaklah ia menyambung (tali) silaturahim.”

    Takhtij Hadits
    Hadits ini di riwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Minar Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429). Muslim dalam Shahihnya, Kitabul Birri Wal Shilah Wal Adab, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/330). Abu Daud dalam Sunannya, kitab Az Zakat, Bab Fi Shilaturrahmi no. 1693, dengan lafadz,
    مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”At Tirmidzi dalam Jami’nya, no. 1865, Ibnu Majah dalam Sunannya no. 3663 dan Ahmad dalam Musnadnya sebanyak 10 riwayat.

    Makna kosa kata hadits
    •  الأَثَ bermakna ajal, karena dia ikuti kepada kehidupan dalam jejak-jejaknya, dan
    •   بَسْطُ رِزْقِهِ bermakna dilapangkan dan diperbanyak, dikatakan pula bermakna berkah di dalamnya (yakni diberkahi rizkinya).

    Faedah hadits
    Hadits yang agung ini memberikan salah satu gambaran tentang keutamaan silaturahmi. Yaitu dipanjangkan umur pelakunya dan dilapangkan rizkinya.

    Adapun penundaan ajal atau perpanjangan umur, terdapat satu permasalahan; yaitu bagaimana mungkin ajal diakhirkan? Bukankah ajal telah ditetapkan dan tidak dapat bertambah dan berkurang sebagaimana firmanNya,
    وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
    “Maka apabila telah datang waktunya mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaatpun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf: 34).

    Jawaban para ulama tentang masalah ini sangatlah banyak. Di antaranya,

    Pertama. Yang dimaksud dengan tambahan di sini, yaitu tambahan berkah dalam umur. Kemudahan melakukan ketaatan dan menyibukkan diri dengan hal yang bermanfaat baginya di akhirat, serta terjaga dari kesia-siaan.

    Kedua. Berkaitan dengan ilmu yang ada pada malaikat yang terdapat di Lauh Mahfudz dan semisalnya. Umpama usia si fulan tertulis dalam Lauh Mahfuzh berumur 60 tahun. Akan tetapi jika dia menyambung silaturahim, maka akan mendapatkan tambahan 40 tahun, dan Allah telah mengetahui apa yang akan terjadi padanya (apakah ia akan menyambung silaturahim ataukah tidak). Inilah makna firman Allah Ta’ala ,
    يَمْحُو اللهُ مَايَشَآءُ وَيُثْبِتُ
    “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki).” (QS Ar Ra’d:39).

    Demikian ini ditinjau dari ilmu Allah. Apa yang telah ditakdirkan, maka tidak akan ada tambahannya. Bahkan tambahan tersebut adalah mustahil. Sedangkan ditinjau dari ilmu makhluk, maka akan tergambar adanya perpanjangan (usia).

    Dan yang ketiga. Yang dimaksud, bahwa namanya tetap diingat dan dipuji. Sehingga seolah-olah ia tidak pernah mati. Demikianlah yang diceritakan oleh Al Qadli, dan riwayat ini dha’if (lemah) atau bathil. Wallahu a’lam. [Shahih Muslim dengan Syarah Nawawi, bab Shilaturrahim Wa Tahrimu Qathi’atiha (16/114)]

    Demikian pula Syaikhul Islam berkomentar tentang permasalahan ini dengan pernyataan beliau :
    Adapun firman Allah Ta’ala ,

    وَمَايُعَمَّرُ مِن مُّعَمَّرٍ وَلاَيُنقَصُ مِنْ عُمُرِهِ …..
    “Dan sekali-kali tidak diperpanjang umur seorang yang berumur panjang, dan tidak pula dikurangi umurnya…… ” (QS Fathir:11).

    Bermakna umur manusia tidak akan diperpanjang, dan tidak pula akan dikurangi. Adapun maksud diperpanjangan dan pengurangan disini, bermakna dua hal, yaitu :

    Pertama. Si fulan berumur panjang, sedangkan lainnya berumur pendek. Maka pengurangan umur di sini merupakan kekurangannya dibanding yang lainnya, sebagaimana orang yang panjang umurnya berumur panjang dan yang lain berumur pendek. Maka pengurangan umurnya menunjukkan dia lebih pendek dibandingkan yang pertama sebagaimana perpanjangan merupakan tambahan dibanding yang lainnya.

    Kedua. Bisa jadi makna kurang disini ialah kurang dari umur yang telah ditentukan, sebagaimana yang dimaksud dengan tambahan adalah tambahan dari umur yang telah ditentukan. Sebagaimana dalam Shahihain dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam, beliau bersabda,
    مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturahim.”

    Sebagian orang berkata, yang dimaksud adalah barakah dalam umurnya dengan beramal dengan waktu yang singkat sesuatu yang diamalkan oleh orang lain dalam waktu yang lama. Mereka beralasan, karena rizki dan ajal telah ditakdirkan dan ditentukan. Maka dikatakan kepada mereka, bahwa barakah tadi bermakna tambahan dalam amal dan manfaat. Padahal hal tersebut juga telah ditakdirkan. Bahkan ketentuan tersebut meliputi semua hal.

    Jawaban yang benar ialah : Bahwa Allah telah menetapkan ajal hamba dalam catatan malaikat. Apabila ia menyambung silaturahim, maka akan ditambahkan pada apa yang tertulis dalam catatan malaikat tersebut. Jika ia melakukan amalan yang menyebabkan umurnya berkurang, maka akan dikurangkan dari apa yang telah tertulis tersebut. Pandangan ini berdasarkan apa yang ada dalam Sunan Tirmidzi dan lainnya dari Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam , beliau bersabda,

    أَنَّ آدم لَمَّا طَلَبَ مِنَ اللهِ أَنْ يُرَيَهُ صُوْرَةَ الأَنْبِيَاءِ مِنْ ذُرِّيَتِهِ فَأَرَاهُ إِيَاهُمْ فَرَأَى فِيْهِمْ رَجُلاً لَهُ بَصِيْصٌ فَقَالَ مَنْ هَذَا يَا رَبِّ؟ فَقَالَ ابْنُكَ دَاوُد فَقَالَ فَكَمْ عُمْرُهُ؟ قَالََ أَرْبَعِوْنَ سَنَةً قَالَ وَكَمْ عُمْرِيْ ؟ قَالَ أَلْفُ سَنَةٍ قَالَ فَقَدْ وَهَبْتُ لَهُ مِنْ عُمْرِي سِتِّينَ سَنَةً فَكَتَبَ عَلَيْهِ كِتَابٌ وَشَهِدَتْ عَلَيْهِ الْمَلاَئِكَةُ فَلَمَّا حَضَرَتِ الْوَفَاةُ قَالَ قَدْ بَقِيَ مِنْ عُمْرِي سِتُُّوْنَ سَنَةً قَالُوْا قَدْ وَهَبْتَهَا لإِبْنِكَ دَاوُدَ فَأَنْكَرَ ذَلِكَ فَأَخْرَجُوْا الْكِتَابَ قَالَ النَّبِيِّ : فنُسِّيَ آدَمُ فَنُسِّيَتْ ذُرِّيَّتُهَُوَجَحَدَ آدَمُ فَجَحَدَتْ ذُرِّيَّتُهُ
    “Sesungguhnya Adam ketika meminta kepada Allah agar diperlihatkan kepadanya wajah-wajah para nabi dari keturunannya, maka Allah pun memperlihatkannya. Kemudian dia melihat seorang laki-laki yang memiliki cahaya. Adam bertanya,”Ya Rabbi, siapakah ini?” Allah menjawab, ”Anakmu, Daud.” Lalu beliau bertanya lagi,”Berapa umurnya?” Dijawab,”Umurnya 40 tahun” , beliau bertanya lagi,”Berapa umur saya?” Dijawab,”Seribu tahun”, Adam berkata,”Saya berikan enam puluh tahun umur saya kepadanya.” Maka ditulis atasnya suatu kitab yang disaksikan oleh malaikat. Sehingga ketika akan meninggal dia berkata,”Umur saya masih tersisa enam puluh tahun.” Malaikat menjawab,”Kamu telah memberikannya kepada anakmu Daud.” Lalu Adam mengingkarinya dan dikeluarkanlah kitab tadi. Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam bersabda, “Adam telah lupa, maka anak keturunannya pun (punya sifat) lupa. Dan Adam telah mengingkari, maka anak keturunannya pun (punya sifat) mengingkari.”
    [Riwayat Tirmidzi dalam tafsir Surat Al A’raf dan dia berkata,”Hadits ini hasan gharib dari jalan ini (11/196). Berkata Al Arnauth dalam Jami’ul Ushul (2/141). Diriwayatkan oleh Al Hakim, dan beliau menshahihkannya serta disepakati oleh Adz Dzahabi. Syeikh Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' No. 5209]

    Dan telah diriwayatkan, bahwa umur Adam disempurnakan. Demikian juga umur Daud telah ditetapkan empat puluh tahun, kemudian ditambah*) enam puluh tahun. Inilah makna perkataan Umar, ”Ya Allah jika Engkau telah menulis, bahwa saya termasuk orang yang sengsara, maka hapuslah dan tulis saya sebagai orang yang berbahagia, karena Engkau menghapus apa yang Engkau kehendaki dan menetapkan (apa yang Engkau kehendaki).” Allah telah mengetahui apa yang sudah terjadi, yang sedang terjadi dan yang belum terjadi, dan seandainya terjadi bagaimana cara terjadinya. Allah mengetahui apa yang telah ditulis bagi seorang hamba, dan apa yang akan ditambahkan kepadanya. Sedangkan para malaikat tidak mengetahui, kecuali apa yang telah Allah beritahukan kepada mereka. Allah mengetahui segala sesuatu sebelum dan sesudah terjadinya. Oleh karena itu para ulama mengatakan, bahwa penghapusan dan penetapan itu terjadi pada catatan malaikat. Adapun ilmu Allah, maka tidak akan berbeda dan tidak ada yang baru yang belum diketahuinya. Sehingga tidak ada penghapusan dan penetapan. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (14/490)]

    [*) Barangkali yang benar adalah,“ditambah baginya” sebagai ganti dari “dijadikannya”, karena Adam alaihis salam telah memberikan kepada Daud 60 tahun dari umurnya, sehingga umur Daud menjadi 100 tahun bukan 60 tahun]

    Berkata di tempat lain :
    Ajal itu ada dua. Ajal mutlak dan ajal muqayyad. Dengan ini maka jelaslah makna sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam,
    مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِي رِزْقِهِ وَأَنْ يُنْسَأَ لَهُ فِي أَثَرِهِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    “Barangsiapa yang suka dilapangkan rizkinya dan diakhirkan ajalnya, maka sambunglah silaturrahim.”
    Karena Allah memerintahkan malaikat untuk menulis ajal seseorang, kemudian berfirman (yang artinya), “Apabila dia menyambungkan silaturahmi, maka tambah sekian dan sekian.” Dan malaikat tidak mengetahui, apakah akan ditambahkan ataukah tidak. Sedangkan Allah mengetahui apa yang akan terjadi. Sehingga apabila datang waktunya, maka tidak bisa dimajukan ataupun dimundurkan. [Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah (8/517)]

    Ibnu Hajar Rahimahullah menjawab permasalahan ini, ”Berkata Ibnu Tin, ‘Secara lahiriah, hadits ini bertentangan dengan firman Allah,
    وَلِكُلِّ أُمَّةٍ أَجَلٌ فَإِذَا جَآءَ أَجَلُهُمْ لاَيَسْتَأْخِرُونَ سَاعَةً وَلاَيَسْتَقْدِمُونَ
    “Maka apabila telah datang ajal mereka, mereka tidak dapat mengundurkannya barang sesaat pun dan tidak dapat (pula) memajukannya.” (QS Al A’raf:34).

    Untuk mancari titik temu kedua dalil tersebut dapat ditempuh melalui dua jalan.  

    Pertama, tambahan (umur) yang dimaksud yaitu kinayah dari usia yang diberi berkah, karena mendapat taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan, menyibukkan waktunya dengan hal yang bermanfaat di akhirat, serta menjaga waktunya dari kesia-siaan. Hal ini seperti sabda Nabi Shallallahu’Alaihi Wasallam , bahwa umur umat ini lebih pendek dibandingkan umur umat-umat yang terdahulu. Tetapi kemudian Allah menganugerahi lailatul qadar (malam qadar).

    Kesimpulannya, silaturahim dapat menjadi sebab mendapatkan taufiq (kemudahan) menjalankan ketaatan dan menjaga dari kemaksiatan. Sehingga namanya akan tetap dikenang. Seolah-olah seseorang itu tidak pernah mati. Dan di antara hal yang bisa mendatangkan taufiq, yaitu ilmu yang bermanfaat bagi orang setelahnya, shadaqah jariyah dan anak keturunan yang shalih.

    Kedua, tambahan itu secara hakikat atau sesungguhnya. Hal itu berkaitan dengan ilmu malaikat yang diberi tugas mengenai umur manusia. Adapun yang ditunjukkan oleh ayat pertama di atas, maka hal itu berkaitan dengan ilmu Allah Ta’ala . Umpamanya dikatakan kepada malaikat, umur si fulan 100 tahun jika ia menyambung silaturahmi, dan 60 tahun jika ia memutuskannya.

    Dalam ilmu Allah telah diketahui, bahwa fulan tersebut akan menyambung atau memutuskan silaturahim, maka yang ada dalam ilmu Allah tidak akan maju atau mundur, sedangkan yang ada dalam ilmu malaikat itulah yang mungkin bisa bertambah atau berkurang. Demikianlah yang diisyaratkan oleh firman Allah,
    يَمْحُو اللهُ مَايَشآءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
    “Allah menghapuskan apa yang Dia kehendaki dan menetapkan (apa yang Dia kehendaki), dan di sisiNya-lah tedapat Ummul Kitab (Lauh Mahfudz).” (QS Ar Ra’d:39).

    Jadi, yang dimaksud dengan menghapuskan dan menetapkan dalam ayat itu ialah yang ada dalam ilmu malaikat. Adapun yang ada di Lauh Mahfuzh itu, merupakan ilmu Allah yang tidak akan ada penghapusan (perubahan) selama-lamanya. Itulah yang disebut dengan al qadha al mubram (takdir atau putusan yang pasti). Sedangkan yang pertama (ilmu malaikat) disebut al qadha al mu’allaq (takdir atau putusan yang masih menggantung).

    Yang pertama tampak lebih cocok dengan lafadz hadits di atas. Karena al atsar ialah sesuatu yang mengikuti yang lain. Apabila diakhirkan, maka menjadi baik untuk membawanya kepada keharuman nama setelah meninggalnya. Ath Thibbi berkata, ”Jalan yang pertama lebih jelas…” [Fathul Bari, Kitabul Adab, bab Man Busitha Lahu Fir Rizqi Bi Shilatirrahim (10/429)]

    Berdasarkan nukilan ini, jelaslah, bahwa para ulama Rahimahumullah mempunyai tiga pendapat dalam menafsirkan penambahan umur.
    • Pendapat pertama, barakah.
    • Pendapat kedua, perpanjangan hakiki atau sesungguhnya.
    • Pendapat ketiga, keharuman nama setelah meninggalnya.

    Akhirnya, inti yang wajib kita jadikan jalan keluar dari perselisihan makna memanjangkan umur baik bermakna hakikat ataupun majaz (kiasan), yaitu memperpanjang umur tersebut dengan menggunakan dan menghabiskannya untuk mendapatkan tambahan kebaikan. Adapun seseorang yang panjang umurnya tetapi jelek amalannya, maka ia termasuk sejelek-jelek orang, sebagaimana sabda Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Bakrah Radhiyallahu’anhu.

    Keutamaan inipun dikuatkan dengan hadits Abdullah bin Mas’ud Radhiyallahu’anhu dari Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, yang berbunyi,
    صِلَةُ الرَّحِمِ تَزِيْدُ الْعُمُرَ
    “Silaturahim bisa menambah umur.”

    [Dikeluarkan oleh Al Qadha’i dalam Musnad Asy Syihab dan dihasankan oleh Al Munawi dalam Faidhul Qadir (4/192) dan Al Albani menshahihkannya dalam Shahihul Jami' no. 3776]

    Keutamaan silaturahmi yang lainnya, dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam banyak hadits. Diantaranya ialah:

    Pertama. Silaturahmi merupakan salah satu tanda dan kewajiban iman. Sebagaimana dijelaskan Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dalam hadits Abu Hurairah, beliau bersabda,

    وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَصِلْ رَحِمَهُ
    “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah bersilaturahmi.” (Mutafaqun ‘alaihi).

    Kedua. Mendapatkan rahmat dan kebaikan dari Allah Ta’ala . Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam,

    خَلَقَ اللَّهُ الْخَلْقَ فَلَمَّا فَرَغَ مِنْهُ قَامَتْ فَقَالَتْ هَذَا مَقَامُ الْعَائِذِ بِكَ مِنْ الْقَطِيعَةِ قَالَ أَلَا تَرْضَيْنَ أَنْ أَصِلَ مَنْ وَصَلَكِ وَأَقْطَعَ مَنْ قَطَعَكِ قَالَتْ بَلَى يَا رَبِّ
    “Allah menciptakan makhlukNya, ketika selesai menyempurnakannya, bangkitlah rahim dan berkata,”Ini tempat orang yang berlindung kepada Engkau dari pemutus rahim.” Allah menjawab, “Tidakkah engkau ridha, Aku sambung orang yang menyambungmu dan memutus orang yang memutusmu?” Dia menjawab,“Ya, wahai Rabb.”” (Mutafaqun ‘alaihi).

    Ibnu Abi Jamrah berkata, “Kata ‘Allah menyambung’, adalah ungkapan dari besarnya karunia kebaikan dari Allah kepadanya.”

    Sedangkan Imam Nawawi menyampaikan perkataan ulama dalam uraian beliau, “Para ulama berkata, ‘hakikat shilah adalah kasih-sayang dan rahmat. Sehingga, makna kata ‘Allah menyambung’ adalah ungkapan dari kasih-sayang dan rahmat Allah.” [Lihat syarah beliau atas Shahih Muslim 16/328-329]

    Ketiga. Silaturahmi adalah salah satu sebab penting masuk syurga dan dijauhkan dari api neraka. Sebagaimana sabda beliau Shallallahu’alaihi Wasallam
    “Dari Abu Ayub Al Anshari, beliau berkata, seorang berkata,”Wahai Rasulullah, beritahulah saya satu amalan yang dapat memasukkan saya ke dalam syurga.” Beliau Shallallahu’alaihi Wasallam menjawab,“Menyembah Allah dan tidak menyekutukanNya, menegakkan shalat, menunaikan zakat dan bersilaturahmi.”” (Diriwayatkan oleh Jama’ah).

    Silaturahmi adalah ketaatan dan amalan yang mendekatkan seorang hamba kepada Allah Ta’ala, serta tanda takutnya seorang hamba kepada Allah. Sebagaimana firman Allah Ta’ala (yang artinya), “Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Rabbnya dan takut kepada hisab yang buruk.” (QS Arra’d 13:21).

    Demikianlah sebagian keutamaan silaturahim. Tentunya tidak seorangpun dari kita yang ingin melewatkan keutamaan ini. Apalagi bila melihat akibat buruk dan adzab pedih yang Allah Ta’ala siapkan bagi orang yang memutus tali silaturahim.

    Karenanya, orang-orang shalih dari pendahulu umat ini membiasakan diri menyambung silaturahim, walaupun sulit sarana komunikasi pada jaman mereka. Sedangkan pada zaman sekarang ini, dengan tercukupinya sarana transportasi dan komunikasi, semestinya membuat kita lebih aktif melakukan silaturahim. Kemudahan yang Allah Ta’ala berikan kepada kita tersebut, hendaknya dipergunakan untuk silaturahim.

    Mungkin salah seorang dari kita melakukan perjalanan ke negeri yang jauh untuk wisata, akan tetapi dia merasa berat untuk mengunjungi salah seorang kerabatnya yang masih satu kota dengannya -kalau tidak saya katakan satu daerah dengannya- padahal paling tidak hubungan tersebut dapat dilakukan dengan hanya mengucapkan salam. Apa beratnya mempergunakan telepon untuk menghubungi salah satu kerabat kita dan mengucapkan salam kepadanya?

    Ibnu Abbas Radhiyallahu’anhu meriwayatkan, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
    بَلُوْا أَرحَامَكُمْ وَلَوْ بِالسَّلاَمِ
    “Sambunglah keluargamu meskipun dengan salam.”
    [Riwayat Al Bazzar, Ath Thabrani dan Al Baihaqi. Berkata Al Munawi dalam Faidhul Qadir, “Berkata Al-Bukhari,’Semua jalannya dha’if, akan tetapi saling menguatkan (3/207)’.” Al Albani menghasankannya dalam Shahihul Jami' no. 2838]

    Mungkin ada yang mengatakan, di antara penyebab terputusnya silaturahmi ialah banyaknya kesibukan manusia pada hari ini dan keluasan wilayah. Tetapi orang yang memperhatikan keadaan semisal Abu Bakar dan Umar Al Faruq Radhiyallahu’anhuma . Pada masa pemerintahannya, meskipun banyak beban yang harus dipikul di pundak mereka dan belum lengkapnya sarana transformasi dan komunikasi modern, akan tetapi mereka tetap memiliki waktu untuk mengunjungi kerabatnya dan membantu tetangganya. Sedangkan diri kita sering mengunjugi dan bercengkrama dengan sahabat-sahabat, tetapi tidak pernah memasukkan ke dalam agenda kegiatan untuk berkunjung ke salah satu kerabat, meskipun satu kali dalam sebulan.

    Tampaknya sebab utama yang menghalangi kita bersilaturahim, karena buruknya pengaturan dan manajemen waktu. Atau karena kita kurang begitu mengerti besarnya dosa memutus silaturahim. Kemudian dengan kesibukan yang berlebihan dalam kehidupan dunia,. hingga kita mendapati seseorang bekerja pada pagi hari. Setelah itu menyibukkan diri dengan pekerjaan lain pada sisa harinya. Padahal sudah berkecukupan dalam hal rizki. Lantas, mengabaikan hak-hak keluarga, anak-anak, kedua orang tua dan kerabatnya.

    Maka sepatutnyalah engkau, wahai saudaraku muslim. Hendaklah bersemangat memanjangkan umurmu dengan bersilaturahim. Ketahuilah, barangsiapa yang menyambungnya, niscaya Allah Ta’ala akan berhubungan dengannya. Dan barangsiapa memutuskannya, maka Allah pun akan memutuskan hubungan dengannya.

    [Untuk tambahan, lihat kitab Al Adab Asy Syar’iyyah Wal Minah Al Mur’iyyah, oleh Ibnu Muflih, Juz 1 dan kitab Shilaturrahim Fadluha Ahkamuha Itsmu Qathi’iha, oleh Syaikh Muhammad Thabl dan Ibrahim Muhammad]

    Mudah-mudahan risalah ini dapat mendorong kita semua untuk bersilaturahmi.

    Penulis: Kholid Syamhudi, Lc.
    Artikel UstadzKholid.com


    Artikel terkait:

       
      Test © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone