SINETRON, film, bahkan konser musik, sudah menjadi media penghantar untuk menjejalkan kemusyrikan dan aneka kemunkaran kepada penikmatnya. Namun, ada yang telah lebih dulu mejadi media penghantar bahkan pelestari kemusyrikan dan aneka kemunkaran, yaitu apa yang disebut dengan tradisi atau budaya lokal.
Tradisi atau budaya lokal itu disamping dijadikan sebagai sarana penghantar bahkan pelestari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran; masih pula kemudian dijejalkan kepada murid-murid sekolah, yang sering dikemas dalam pelajaran apa yang disebut Bahasa Indonesia yang setiap sepekannya menghabiskan sekitar 8 sampai 10 jam pelajaran. Sedang pelajaran agama hanya sekitar 2 jam pelajaran alias 80 sampai 90 menit. Sementara Pelajaran Bahasa Indonesia menghabiskan waktu sekitar 450 menit. Jadi pelestarian kemusyrikan dan kemunkaran lebih punya banyak waktu dibanding waktu untuk pelajaran agama. Mari kita simak kembali kondisi pendidikan di Indonesia.
Menanamkan kemusyrikan lewat pendidikan
Kenapa hasilnya seburuk itu?
Ya bagaimana mau menghasilkan alumni yang baik, lha wong kurikulumnya saja hanya mementingkan 4 pelajaran (bukan pendidikan dan bukan hal yang penting-penting amat di dunia apalagi di akherat); yaitu bahasa (Indonesia di sekolah dasar, ditambah Bahasa Inggeris di sekolah lanjutan), matematika, dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sain. Sedang pelajaran agama Islam (sekadar pelajaran, tidak sampai pendidikan agama Islam) seolah hanya embel-embel, sejajar dengan pendidikan lingkungan (seperti masalah menguras comberan). Dari sini sudah tergambar, bahwa pendidikan di Indonesia mengabaikan agama.
Ketika kenyataannya sudah mengabaikan agama, sedang tujuan disekolahkannya anak-anak itu hanya agar nantinya dapat cari makan, maka hasilnya adalah apa yang sudah diancam oleh Alloh Subhanahu wa ta'ala yaitu: manusia-manusia yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (QS An-Nazi’at/ 79: 37, 38, 39)
Yang diujikan dan menjadi fokusnya ya yang 4 pelajaran itu. Padahal tentang bahasa Indonesia misalnya, seminggu 10 jam pelajaran artinya sebulan 40 jam pelajaran itu berbicara sekitar dongeng-dongeng atau legende-legende seperti Malim Kundang, Situ Bagendit, dongeng khayal yang menyebarkan kemusyikan seperti tentang Dewi Sri yang dianggap sebagai dewa padi; dan sebagainya yang sama sekali tidak memajukan secara kehidupan di dunia ini, bahkan lebih mungkin merusak aqidah ummat Islam.
Contoh nyata, Dongeng Datangnya Dewi Sri. Ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.” (buku Bahasa Indonesia untuk SD/ MI (Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35).
Itu jelas pendidikan kemusyrikan! Dongeng khayal, namun merusak aqidah anak-anak kelas 4 SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Masih pula ditekankan dalam buku itu: Siapakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut? Ayo tentukanlah pokok-pokok pikiran dalam dongeng tersebut di buku tugasmu!. Ayo, ceritakan dongeng tersebut di depan kelas! (ibid).
Tradisi atau budaya lokal itu disamping dijadikan sebagai sarana penghantar bahkan pelestari kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran; masih pula kemudian dijejalkan kepada murid-murid sekolah, yang sering dikemas dalam pelajaran apa yang disebut Bahasa Indonesia yang setiap sepekannya menghabiskan sekitar 8 sampai 10 jam pelajaran. Sedang pelajaran agama hanya sekitar 2 jam pelajaran alias 80 sampai 90 menit. Sementara Pelajaran Bahasa Indonesia menghabiskan waktu sekitar 450 menit. Jadi pelestarian kemusyrikan dan kemunkaran lebih punya banyak waktu dibanding waktu untuk pelajaran agama. Mari kita simak kembali kondisi pendidikan di Indonesia.
Menanamkan kemusyrikan lewat pendidikan
Kenapa hasilnya seburuk itu?
Ya bagaimana mau menghasilkan alumni yang baik, lha wong kurikulumnya saja hanya mementingkan 4 pelajaran (bukan pendidikan dan bukan hal yang penting-penting amat di dunia apalagi di akherat); yaitu bahasa (Indonesia di sekolah dasar, ditambah Bahasa Inggeris di sekolah lanjutan), matematika, dan IPA (Ilmu Pengetahuan Alam) atau sain. Sedang pelajaran agama Islam (sekadar pelajaran, tidak sampai pendidikan agama Islam) seolah hanya embel-embel, sejajar dengan pendidikan lingkungan (seperti masalah menguras comberan). Dari sini sudah tergambar, bahwa pendidikan di Indonesia mengabaikan agama.
Ketika kenyataannya sudah mengabaikan agama, sedang tujuan disekolahkannya anak-anak itu hanya agar nantinya dapat cari makan, maka hasilnya adalah apa yang sudah diancam oleh Alloh Subhanahu wa ta'ala yaitu: manusia-manusia yang melampaui batas dan lebih mengutamakan kehidupan dunia, maka sesungguhnya nerakalah tempat tinggal (nya). (QS An-Nazi’at/ 79: 37, 38, 39)
Yang diujikan dan menjadi fokusnya ya yang 4 pelajaran itu. Padahal tentang bahasa Indonesia misalnya, seminggu 10 jam pelajaran artinya sebulan 40 jam pelajaran itu berbicara sekitar dongeng-dongeng atau legende-legende seperti Malim Kundang, Situ Bagendit, dongeng khayal yang menyebarkan kemusyikan seperti tentang Dewi Sri yang dianggap sebagai dewa padi; dan sebagainya yang sama sekali tidak memajukan secara kehidupan di dunia ini, bahkan lebih mungkin merusak aqidah ummat Islam.
Contoh nyata, Dongeng Datangnya Dewi Sri. Ada kalimat: “Semua merasa bahwa padi adalah pemberian Dewi Sri untuk bahan pangan untuk seluruh manusia. Di Pulau Jawa orang menyebutnya Dewi Sri. Di Sumatra ada yang menamakannya Putri Dewi Sri, Putri Mayang Padi Mengurai, atau Putri Sirumpun Emas Lestari.” (buku Bahasa Indonesia untuk SD/ MI (Sekolah Dasar/ Madrasah Ibtidaiyah) Kelas 4, karangan Widyati S, terbitan PT Bintang Ilmu cetakan 2, Juni 2006, halaman 35).
Itu jelas pendidikan kemusyrikan! Dongeng khayal, namun merusak aqidah anak-anak kelas 4 SD atau Madrasah Ibtidaiyah. Masih pula ditekankan dalam buku itu: Siapakah tokoh-tokoh dalam cerita tersebut? Ayo tentukanlah pokok-pokok pikiran dalam dongeng tersebut di buku tugasmu!. Ayo, ceritakan dongeng tersebut di depan kelas! (ibid).
Pokok-pokok pikiran itu tak lain adalah penyesatan tertinggi yaitu menyebarkan kemusyrikan!
Untuk lebih lihai dalam praktek ritual kemusyrikan, sudah dituntun pula dengan buku Bahasa Indonesia itu, yaitu digemarkan menari. Jadi kalau diadakan upacara kemusyrikan sudah mampu menjadi penari. Maka ditulislah kalimat: “Lina gemar menari. Dia ingin belajar tari dari Bali. Oleh sebab itu, Lina ingin belajar menari di Sanggar Anggrek.” (ibid, halaman 26). Itulah “pendidikan” alias penyesatan yang diprogramkan secara sistematis di negeri ini, agar generasi mendatang jadi orang-orang musyrik secara nyata, dengan dibekali ubo rampenya (aneka perangkatnya). (lihat nahimunkar.com, FENOMENA PENGHANCURAN BANGSA (1) rknya Pendidikan, Isinya Penjahiliyahan,Oleh Hartono Ahmad Jaiz, July 4, 2008 Artikel).
Keadaan yang sudah parah itu masih ditambah lagi dengan media-media massa baiki televise, radio, majalah, Koran, tabloid, internet dan sebagainya yang rata-rata sinis terhadap Islam akhir-akhir ini. Itu bukan hanya dari kelompok non Islam, tetapi dari orang yang mengaku Islam tetapi mungkin dapat disewa oleh orang lain, justru lebih kencang dalam merusak pemahaman Islam lewat media yang mereka kuasai. Sehingga tak segan-segan mereka membesar-besarkan kemusyrikan, kemunkaran, dan suara-suara tokoh yang sinis terhadap Islam.
Tampaknya mereka tidak menyadari bahwa semua itu dicatat oleh malaikat, yang nantinya di akherat harus dipertanggung jawabkan secara total. Padahal yang mereka perjuangkan justru kemusyrikan, kemaksiatan, kemunkaran, dan kesinisan terhadap Islam.
Di saat manusia-manusia durjana berkeliaran di bumi milik Allah Ta’ala ini sikapnya seperti itu, maka aneka kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang dibungkus dengan tradisi atau budaya local, kemudian dibumbui simbol-simbol Islam seperti doa maka merupakan makanan paling empuk bagi mereka. Bagai tumbu oleh tutup (bakul mendapatkan tutup), klop. Pucuk dicinta ulam tiba. Kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran dicinta karena sejalan dengan isi jiwa para pesinis Islam, kemudian masih diberi angin segar pula yakni apa yang sering mereka kumandangkan yaitu perlunya kita melestarikan budaya warisan leluhur. Maka jadilah adonan yang kental, siap saji dan bisa diproyekkan. Apakah akan mereka sia-siakan? Tentu saja tidak. Buktinya seperti berita-berita yang kami tampilkan disertai langsung komentar seperti berikut ini.
Tradisi Syawalan
Tradisi syawalan biasanya berlangsung satu pekan (hari ketujuh dan seterusnya) setelah merayakan Lebaran (Hari Raya Iedul Fithri). Isi tradisi ini penuh dengan berbagai kegiatan yang meriah (variety show), seperti Lomban atau Pesta Lomban (di Jepara, Jawa Tengah) atau Pesta Laut. Ada pula tradisi larung sesaji di laut. Tradisi tahunan Syawalan ini konon sudah berlangsung sejak tahun 1883. Pada tradisi larung sesaji, materi yang dilarung sebagai sesaji antara lain berupa kepala kerbau bersama tumpeng tujuh lauk (nasi berbentuk gunung dengan 7 macam penganan pendamping nasi).
Kepala kerbau dan tumpeng tujuh lauk tadi, kemudian dihanyutkan (dilarung) ke tengah laut, diiringi tetabuhan rebana. Sementara itu, pasca prosesi larung, para tokoh masyarakat dan ‘ulama’ melakukan doa bersama di atas kapal. Dengan harapan, para nelayan diberi keselamatan dan mendapat hasil tangkapan ikan yang melimpah. Di darat, selama sepekan digelar pasar malam dan berbagai panggung hiburan seperti orkes dangdut dan ketoprak.
Sebagaimana diberitakan Republika online edisi 19 Syawal 1429 H (bertepatan dengan 19 Oktober 2008), tradisi di atas dilaksanakan oleh masyarakat nelayan sekitar Margolinduk, Purworejo, dan Morodemak, (wilayah Demak Jawa Tengah) berserta Muspida dan sejumlah ‘ualama’ setempat.
Sekilas, karena ada doa bersama (dalam bahasa Arab), maka bagi masyarakat awam, tradisi tadi disangka bagian dari ajaran Islam. Sebenarnya tidak, bahkan justru bertentangan. Pasca menjalani shaum Ramadhan, memasuki bulan Syawal (malam tanggal 1 Syawal alias malam Iedul Fithri), Islam mengajarkan ummatnya untuk membayar zakat fithri (paling lambat sebelum berlangsung shalat Ied), melaksanakan shalat Ied di lapangan terbuka, kemudian sejak hari kedua Syawal, menjalankan puasa Syawal selama enam hari.
Larung sesaji dengan kepala kerbau berikut tumpeng tujuh lauk dengan diiringi tetabuhan rebana, kemudian diikuti doa bersama di tengah laut, bukanlah ajaran Islam. Tidak ada anjuran atau contoh seperti itu yang datangnya dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Begitu juga dengan tujuan atau maksud dari larung sesaji dan doa bersama dengan harapan para nelayan memperoleh hasil melimpah dan terjaga keselamatannya selama melaut, tidak boleh ditempuh dengan cara-cara seperti itu.
Tradisi larung sesaji dengan kepala kerbau, jelas tidak ditujukan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena Allah tidak membutuhkan kepala kerbau. Tetapi, ditujukan kepada makhluk ghaib lain yang bukan Allah tetapi syaithon dan sejenisnya. Menghanyutkan sejumlah tumpeng dengan tujuh lauk, merupakan perbuatan tabzir (pemborosan), pelakunya disebut mubazir (pemboros) yang dinyatakan dalam Al-Qur’an sebagai saudaranya syaithon.
وَآتِ ذَا اْلقُرْبَى حَقَّهُ وَاْلِمْسكِيْنَ وَابْنَ الَّسِبْيلِ وَلاَ تُبَذِّرْ تَبْذِيْراً # إِنَّ اْلمُبَذِّرِيْنَ كاَنُوْا إِخْوَانَ الشَّيْطَانِ وَكاَنَ الشَّيْطَانِ لِرَبِّهِ كَفُوْراً
26. Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros.
27. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya. (QS Al-Israa’/ 17: 26, 27).
Begitu juga dengan pasar malam dan hiburan musik dangdut dan sebagainya, itu semua tidak ada kaitannya dengan ibadah sesudah shaum Ramadhan, tidak ada kaitannya dengan anjuran dan contoh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Itu semua adalah perbuatan syaithon, ajaran kemaksiatan dengan campur aduk lelaki dan perempuan, dan kalau itu dalam rangkaian sesaji maka merupakan rangkaian kemusyrikan yang dibungkus tradisi, kemudian dikelabui dengan rapalan doa-doa berbahasa Arab, sehingga terkesan seolah-olah Islami, padahal justru kian menjauh dari Islam.
Dengan dalih tradisi nenek moyang, maka masyarakat awam tidak menolak keberadaan kemuysrikan. Tradisi ibarat kapsul, sedangkan racunnya yang berada di dalam kapsul adalah prosesi kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainya. Tradisi ini kemudian dibungkus lagi dengan sesuatu yang indah bernama budya lokal atau tradisional. Nah, masyarakat awam kemudian ‘ditakut-takuti’ dengan ‘ancaman’ bila tidak taat pada tradisi dan kebudayaan tadi maka akan disebut tidak njawani, tidak indonesiawi, dan sebagainya.
Terbukti, di desa Bendar, Kecamatan Juwana, seorang tokoh masyarakat di sana mengatakan, “Kita tidak berani, jika tidak menggelar tradisi yang sudah dilakukan sejak nenek moyang kami. Tradisi ini, bukan berarti syirik, tetapi sebagai tradisi dan budaya masyarakat setempat yang harus kita jaga dan sebagai ungkapan rasa syukur kami.” (Radar Kudus, Rabu, 08 Oktober 2008).
Tidak berani atau takut tadi entah tertuju kepada siapa. Padahal, rasa takut (taqwa) seharusnya tertuju hanya kepada Allah saja. Seseorang yang tidak mengikuti tradisi (budaya) Jawa, dia tetap orang Jawa dan tetap orang Indonesia. Hanya karena ingin tetap dibilang orang Jawa atau orang Indonesia tetapi dengan mengikuti tradisi (kebudayaan tradisional) yang musyrik, itu merupakan sebuah pilihan yang salah fatal. Sebab, status kejawaan dan keindonesiaan seseorang tidak dapat menolongnya dari dosa besar syirik. Padahal dosa syirik itu dosa terbesar, tidak diampuni oleh Allah Ta’ala apabila seseorang meninggal dalam keadaan musyrik, belum bertaubat. Allah Ta’ala berfirman:
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
48. Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar. (QS An-Nisaa’: 48).
Pesta Lumban atau Pesta Laut
Di tempat lain, pesta lomban yang disebut juga dengan pesta laut, berisi antara lain wisata air menggunakan kapal cothok yang disewa dari para nelayan setempat. Sebagian warga ada yang datang hanya untuk sekadar berendam atau membasahi tubuh dengan air laut, dengan keyakinan untuk membuang sial. Usai berendam dan mandi mereka makan-makan di pesisir pantai. Di kabupaten Jepara, pesta laut seperti ini sudah berlangsung lebih dari satu abad.
Di dalam Islam tidak ada istilah membuang sial. Apalagi dengan cara lumban ataupun kungkum atau apa saja yang kaitannya dengan perbuatan yang tidak diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sial itu sendiri tidak akan menimpa manusia kecuali kalau allah Ta’ala menetapkan-Nya.
قُلْ لَنْ يُصِيْبَناَ إِلاَّ مَا كَتَبَ اللهُ لَنَا هُوْ مَوْلاَناَ وَعَلَى اللهِ فَلْيَتَوَكَّلِ اْلمُؤْمِنُوْنَ
51. Katakanlah: “Sekali-kali tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah untuk kami. Dia lah pelindung kami, dan hanya kepada Allah orang-orang yang beriman harus bertawakal.” (QS At-taubah/ 9: 51).
Setiap kebaikan akan kembali berupa kebaikan bagi pelakunya. Begitulah ajaran Islam. Musibah, dapat terjadi kapan saja dan menimpa siapa saja. Bila di suatu tempat ada sekelompok orang yang suka menebangi hutan secara liar, maka musibah banjir akan menimpa siapa saja, orang beriman atau tidak. Tugas orang beriman adalah, selain tidak melakukan penebangan liar dan brutal, juga turut mencegah orang lain melakukan hal itu.
Allah Ta’ala memperingatkan:
ظَهَرَ اْلفَسَادُ فيِ اْلبَرِّ وَاْلبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِيْ النَّاسَ لِيُذِيْقَهُمْ بَعْضَ الَّذِيْ عَمِلُوْا لَعَلَّهُمْ يَرْجِعُوْنَ
41. Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebahagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar). (QS Ar-Ruum: 41).
وَاتَّقُوْا فِتْنَةً لاَ تُصِيْبَنَّ الَّذِيْنَ ظَلَمُوْا مِنْكُمْ خَاصَّةً وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلعِقَابِ
25. Dan peliharalah dirimu dari pada siksaan yang tidak khusus menimpa orang-orang yang zalim saja di antara kamu. dan ketahuilah bahwa Allah amat keras siksaan-Nya. (QS Al-Anfaal/ 8: 25).
Masyarakat Islam di Indonesia, faktanya tidak saja dikepung oleh pemikiran sepilis (sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama (ini kemusyrikan baru), bahkan neo komunis, pada satu sisi; namun pada sisi lain juga masih dijejali dengan tradisi yang bersifat syirik kepada Allah, diliputi dengan kemunkaran. Ironisnya, kedua sisi tadi dapat kita temukan diRepublika, yang selama ini masih diposisikan oleh sebagian orang sebagai koran Islam. Gayapenyajian Republika terhadap tradisi yang bermuatan syirik dan kemunkaran, cenderung kepada mempromosikannya. Padahal, seharusnya Republika menjadi media yang dapat mempengaruhi masyarakat (termasuk Muspida dan ‘ulama’ setempat) untuk meninggalkan tradisi yang selain tidak Islami juga tidak rasional dan merupakan sebuah pemborosan.
Meski hanya satu rupiah yang kita keluarkan untuk kemusyrikan dan aneka kemunkaran, itu terlalu mahal. Apalagi kemusyrikan dan aneka kemunkaran yang dilakukan sekelompok orang itu menghabiskan dana ratusan juta rupiah. Lebih baik dananya digunakan untuk membangun gedung sekolah, dibagi-bagikan kepada pedagang kecil, petani dan nelayan sebagai tambahan modal, sehingga mereka tidak terlalu menderita akibat adanya krisis global ini.
Di desa Bendar, Kecamatan Juwana, Kudus, Jawa Tengah, tradisi larung sesaji menghabiskan dana sebesar Rp 350 juta. Uang sebanyak itu dihambur-hamburkan untuk melakukan sesuatu yang selain tidak rasional juga musyrik. Artinya, dengan uang sebanyak itu pelakunya tidak mendapat keuntungan apa-apa di dunia dan akhirat.
Di dalam hadits dinyatakan, ada orang yang masuk neraka hanya karena berkorban dengan lalat. Tidak sampai bernilai tinggi apalagi ratusan juta rupiah, hanya dengan berkorban lalat saja karena untuk syetan, maka akibatnya masuk neraka. Haditsnya sebagai berikut:
{ دَخَلَ رَجُلٌ الْجَنَّةَ فِي ذُبَابٍ وَدَخَلَ النَّارَ رَجُلٌ فِي ذُبَابٍ , قَالُوا : وَكَيْفَ ذَلِكَ ؟ قَالَ مَرَّ رَجُلاَنِ عَلَى قَوْمٍ لَهُمْ صَنَمٌ لاَ يَجُوزُهُ أَحَدٌ حَتَّى يُقَرِّبَ لَهُ شَيْئًا، فَقَالُوا لأَحَدِهِمَا : قَرِّبْ قَالَ : لَيْسَ عِنْدِي شَيْءٌ فَقَالُوا لَهُ قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا، فَقَرَّبَ ذُبَابًا فَخَلَّوْا سَبِيلَهُ قَالَ : فَدَخَلَ النَّارَ، وَقَالُوا لِلآخَرِ قَرِّبْ وَلَوْ ذُبَابًا قَالَ مَا كُنْت لأُقَرِّبَ لأَحَدٍ شَيْئًا دُونَ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ قَالَ : فَضَرَبُوا عُنُقَهُ قَالَ فَدَخَلَ الْجَنَّةَ } قسم العقيدة – (ج 21 / ص 179) أخرجه أحمد في الزهد (22) وأبو نعيم في « الحلية » 1 / 203 موقوفا على سليمان الفارسي . عن طارق عن سلمان الفارسي موقوفاً بسندٍ صحيحٍ.
صحيح موقوفا: رواه أحمد في الزهد (15 , 16), وأبو نعيم في الحلية (1/203) عن طارق بن شهاب عن سلمان الفارسي موقوفا بسند صحيح أفاده الدوسري في النهج السديد.
Nabi Shallallahu'alaihi wa sallam bersabda: Ada seorang yang masuk naar (neraka) karena lalat dan seorang lainnya yang masuk jannah (surga) karena lalat. Maka para sahabat radhiyallahu ‘anhu bertanya, Bagaimana bisa begitu wahai Rasulullah? Maka jawab Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, Dua orang lelaki lewat pada suatu kaum yang memiliki berhala yang tidak boleh dilewati tanpa berkorban sesuatu. Maka kaum itu berkata kepada lelaki yang pertama, Sembelihlah kurban! Jawab lelaki tersebut, Aku tidak punya sesuatu untuk dikorbankan. Maka kata kaum tersebut, Berkurbanlah walau hanya dengan seekor lalat! Maka lelaki itu melakukannya dan ia bisa lewat dengan selamat, tetapi ia masuk naar (neraka). Maka hal yang sama terjadi pada lelaki yang kedua, saat diminta berkurban ia menjawab, Aku tidak akan berkurban kepada sesuatu pun selain Allah ‘Azza wa Jalla, maka lelaki yang kedua ini dipenggal kepalanya oleh mereka dan ia masuk jannah (surga). (HR. Ahmad dalam Az-Zuhd halaman 15, 16, dan Abu Nu’aim dalam Al-Hilyah 1/ 203 dari Thariq bin Syihab dari Salman Al-Farisi, mauquf, dengan sanad shahih).
Di desa Bendar ini sesaji yang dilarung berupa kepala kambing (bukan kerbau), dengan diiringi 25 wanita cantik yang mengantar sesaji tadi menuju laut atau sungai Juwana tempat prosesi larung sesaji dilakukan. Agar tidak terkesan hura-hura semata, karena begitu banyaknya pemusik dangdut yang didatangkan, maka sebagai puncak acara digelar pengajian.
Pengajian seperti itu jelas merupakan pengajian yang dijadikan alasan untuk menepis adanya muatan kemusyrikan dan aneka kemunkaran yang terkandung di dalam tradisi Lomban atau Pesta Laut tadi. Tradisi, budaya, dan pengajian telah dijadikan media untuk menjejalkan kemusyrikan dan aneka kemunkaran. Pelakunya, jelas dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka rela mengeluarkan uang untuk berkorban demi syetan laut yang mereka percayai. Padahal, berkorban untuk selain Allah Ta’ala adalah tindakan kemusyrikan, menyekutukan Allah Ta’ala, dosa terbesar yang pelakunya akan menjadi penghuni neraka, bila meninggal dalam keadaan belum taubat dengan taubatan nashuha, taubat yang sebenar-benarnya, dan tidak mengulanginya.
وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu musyrik/menyekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi…” (QS Az-Zumar/39: 65).
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
Di desa Bendar ini sesaji yang dilarung berupa kepala kambing (bukan kerbau), dengan diiringi 25 wanita cantik yang mengantar sesaji tadi menuju laut atau sungai Juwana tempat prosesi larung sesaji dilakukan. Agar tidak terkesan hura-hura semata, karena begitu banyaknya pemusik dangdut yang didatangkan, maka sebagai puncak acara digelar pengajian.
Pengajian seperti itu jelas merupakan pengajian yang dijadikan alasan untuk menepis adanya muatan kemusyrikan dan aneka kemunkaran yang terkandung di dalam tradisi Lomban atau Pesta Laut tadi. Tradisi, budaya, dan pengajian telah dijadikan media untuk menjejalkan kemusyrikan dan aneka kemunkaran. Pelakunya, jelas dilaknat Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mereka rela mengeluarkan uang untuk berkorban demi syetan laut yang mereka percayai. Padahal, berkorban untuk selain Allah Ta’ala adalah tindakan kemusyrikan, menyekutukan Allah Ta’ala, dosa terbesar yang pelakunya akan menjadi penghuni neraka, bila meninggal dalam keadaan belum taubat dengan taubatan nashuha, taubat yang sebenar-benarnya, dan tidak mengulanginya.
وَلَقَدْ أُوْحِيَ إِلَيْكَ وَإِلىَ الَّذِيْنَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
“Dan sesungguhnya telah diwahyukan kepadamu dan kepada (nabi-nabi) yang sebelummu: “Jika kamu musyrik/menyekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi…” (QS Az-Zumar/39: 65).
إِنَّ اللهَ لاَ يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُوْنَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ وَمَنْ يُشْرِكْ بِاللهِ فَقَدِ افْتَرَى إِثْمًا عَظِيْمًا
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang selain dari (syirik) itu, bagi siapa yang dikehendaki-Nya. Barangsiapa yang mempersekutukan Allah, maka sungguh ia telah berbuat dosa yang besar.” (QS An-Nisa’/ 4: 48).
Sedekah Laut
Larung sesaji yaitu menghanyutkan sesajian ke laut lepas, tidak hanya dilakukan sebagai bagian dari tradisi tahunan syawalan. Tetapi, dapat dilakukan di luar waktu-waktu itu, dalam rangka menjalankan sebuah tradisi yang diberi nama sedekah laut. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan selama melaut, dan untuk mendapatkan keberkahan (ngalap berkah) dari aktivitas melaut yang dilakukan sepanjang tahun.
Adakalanya, tradisi sedekah laut juga dibarengi dengan kegiatan lain, misalnya haul (memperingati hari kematian seseorang, ulang tahun kematian). Contohnya di Demak, masyarakat Desa Bedono, Kecamatan Sayung pernah mengadakan tradisi sedekah laut sekaligus memperingati ulang tahun kematian (haul) KH Mudzakir. Haul dilaksanakan pada hari Sabtu (01 Des 2007) pukul 16.00 di pemakaman Mudzakir yang dikelilingi air laut. Sedangkan sedekah laut berupa selamatan tumpeng (melarung/ menghanyutkan tumpeng) diadakan pada keesokan harinya (Minggu o2 Des 2007) pukul 08.00 di perairan pantai Morosari. Kegiatan tradisional itu sebagai upacara selamatan para nelayan. Selain melarung tumpeng ke laut, juga diadakan acara ruwatan bumi yang ditandai dengan pergelaran wayang kulit. (Suara Merdeka, Sabtu, 01 Desember 2007).
Di Cilacap, sejumlah 40 warga Desa Cidondong, Bantarsari, Cilacap yang bermaksud ngalap berkah pada acara sedekah laut yang diselenggarakan di Pantai Teluk Penyu Cilacap Jawa Tengah, Jumat 2 Januari 2009, justru mengalami musibah. Tiga di antaranya meninggal dunia, dan 20 lainnya mengalami luka berat. Peristiwa kecelakaan tunggal tersebut diduga karena sopir kurang menguasai medan jalan di ruas Jeruklegi-Kubangkangkung yang berkelok dan banyak rusak. (Pos Kota Sabtu 3 Januari 2009, Jam: 10:11:00)
Betapa berat tanggung jawab para pemimpin dan penyelenggara upacara kemusyrikan itu. Mereka telah menyeret warga ke kubangan kemusyrikan, dan bahkan sebagian dari mereka ada yang mati dalam keadaan hendak menghadiri upacara yang sangat dimurkai Allah Ta’ala itu. Orang-orang awam yang jahil agamanya, tidak tahu agama, telah jadi korban. Baik fisiknya maupun hartanya, bahkan keyakinannya sekalian. Itu sudah habis-habisan. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Tradisi Suro (Muharram)
Bukan hanya bulan Syawal yang telah dijadikan momen mensosialisasikan kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga bulan Muharram alias bulan Suro dalam istilah Jawa. Kemungkinan istilah Suro diambil dari ‘Asyura (hari ke sepuluh). Di dalam ajaran Islam, memang disyariatkan menjalankan puasa ‘Asyura di bulan Muharram yaitu tanggal 10 Muharram, dan lebih baiknya dengan tanggal 9, agar menyelisihi Yahudi yang memperingati tanggal 10 Muharram itu karena mereka selamat dari Fir’aun. Di Dalam Islam, tidak ada perayaan yang aneh-aneh, apalagi bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.
Oleh sebagian orang, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Misalnya, masyarakat Kaliurang Jogjakarta mengisi malam 1 Suro dengan menggelar kirab Topo Bisu, yaitu mengelilingi seluruh kawasan wisata di Kaliurang, tanpa bicara sedikit pun seraya mengucapkan doa (permohonan) di dalam hati. Peserta kirab, yang jumlahnya ratusan itu, berbusana Jawa lengkap dengan pernak-pernik khas Jawa.
Di Keraton Kasunanan Surakarta, pada malam 1 Suro tahun lalu, dirayakan dengan menggelar kirab pusaka dengan mengarak Kebo Kyiai Slamet. Kala itu, Keraton Surakarta hanya mengarak empat ekor kebo bule Kyai Selamet, sebab sebagian kebo ngambek dan lainnya mengamuk. Akibat, kejadian ini, warga Solo menyimpulkan ngambeknya kebo tersebut pertanda akan terjadi sesuatu di tanah Jawa. (Ini kepercayaan tathayyur, menganggap suatu kejadian diyakini sebagai perlambang akan datangnya sial).
Masyarakat Jogjakarta, mengisi malam 1 Suro dengan melakukan tirakat Mubeng Benteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali tanpa bicara. Itu merupakan salah satu tirakat, salah satu laku (amalan) yang dipercaya dapat menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Jogjakarta.
Bagi masyarakat Jogja yang memiliki benda pusaka (seperti keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya), pada saat itu mengkhususkan diri memandikan atau mencuci (njamasi) benda-benda pusaka tadi dengan air kembang setaman. Karena, mereka percaya benda-benda pusaka tadi memiliki kekuatan supranatural.
Di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, setiap malam satu Suro, sejumlah masyarakat memadati kawasan itu, khususnya di sekitar Puri Parangkusumo untuk memanjatkan doa (permohonan), entah kepada siapa. Puri Parangkusumo dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara antara Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dan Nyi Roro Kidul. Di tempat ini digelar ritual khusus bagi mereka yang percaya tentang masalah kejawen (ilmu kebatinan).
Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi). Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa berbahasa Arab (secara Islam?). Bersamaan dengan itu, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi sebagai materi sedekah pun dibawa ke kawah Merapi dan dilabuh di sana. Meski ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa berbuat syirik kepada Allah dan dosa berupa perbuatan tabzir.
Berebut Air Jamasan
Setiap malam 1 Suro di Pendopo Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, dilakukan ritual memandikan (mencuci) pusaka milik Pura Mangkunegaran. Pusaka itu berwujud Tombak dan Joli (sebuah rumah-rumahan kecil berisi pakaian milik Mangkunagoro I atau Raden Mas Said), yang dipanggul empat orang prajurit Mangkunegaran.
Pusaka tersebut dibawa dengan cara dikirabkan (semacam pawai) mengelilingi Pura Mangkunegaran dengan ikuti para kerabat Mangkunegaran, abdi dalem dan masyarakat lainnya, sambil menerapkan “laku bisu” (sama sekali tidak bicara), sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi negara saat ini. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan sekaligus dalam rangka tolak bala.
Bersamaan dengan itu, sejumlah abdi dalem menyebarkan bungkusan nasi kepada ribuan orang yang mengikuti ritual tersebut. Mereka saling berebutan, karena diyakini siapa saja yang mendapatkan bungkusan nasi tersebut akan mendapatkan banyak berkah dan diberi kemurahan rezeki.
Benda pusaka tadi dicuci atau dimandikan atau dijamas dengan air bercampur bunga. Air sisa mencuci benda pusaka tadi, atau biasa disebut air jamasan, diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat yang percaya bahwa air dan bunga sisa jamasan tadi dapat membawa berkah.
Ritual tersebut berlangsung pada 28 Desember 2008 (malam 1 Suro), sekitar pukul 19:00 waktu setempat.
Rebutan air jamasan juga terjadi di Jogjakarta. Menurut pemberitaan detiknews edisi Jumat, 02/01/2009 13:27 WIB, ratusan warga berebutan air sisa jamasan (pencucian) kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Berbeda dengan di Solo yang ritual mencuci benda pusakanya berlangsung pada malam 1 Suro, di Jogja ritual mencuci benda pusaka berlangsung pada hari Jumat tanggal 2 Januari 2009, bertepatan dengan tanggal 5 Suro (hari pasaran Jumat Kliwon) tahun 1942 berdasarkan penanggalan Jawa.
Benda pusaka (kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat) yang dijamas adalah kereta utama yang diberi nama Kanjeng Nyai Jimat, dan satu buah kereta pengiringnya. Pada masanya, kereta utama buatan Belanda pada pertengahan abad 18 tersebut, boleh jadi merupakan barang mewah. Kalau dikiaskan dengan masa sekarang, barangkali setara dengan mobil mewah Jaguar, Mercedes Benz atau Volvo. Barang mewah itu merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jacob Mossel) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Maksudnya, untuk dijadikan kendaraan utama para sultan tersebut.
Kalau saja saat itu sudah ada KPK, mungkin Sri Sultan sudah diseret KPK karena menerima hadiah barang mewah, dari penjajah pula. Hadiah yang diberikan penjajah tentu bukan tanpa maksud. Pasti ada tujuan-tujuan berupa mengekalkan kolonialisme di Nusantara. Siapapun yang menerima hadiah dari penjajah untuk mengekalkan kolonialisasi di daerah jajahannya, layak disebut sebagai pengkhianat.
Seandainya Jacob Mossel masih hidup dan melihat barang mewah yang dihadiahkannya kepada Sultan masih terawat, mungkin ia akan merasa senang. Tetapi, ketika ia melihat benda itu diperlakukan sebagai benda bertuah, bahkan air cuciannya diperebutkan banyak orang, mungkin ia akan tertawa terkekeh-kekeh melihat betapa bodohnya bangsa koeli van Jogja ini.
Boleh jadi Jacob Mossel juga akan terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah tidak ada orang berpendidikan di nusantara ini, sehingga perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa terus berlangsung tanpa ada yang memberi pencerahan sama sekali?
Kenyataannya, perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa, bahkan menghancurkan keimanan itu justru diagung-agungkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang luhur dan harus dilestarikan. Padahal, bangsa lain sudah mampu menciptakan pesawat terbang, berbagai jenis mobil, dan mampu membangun budaya disiplin yang tinggi, eh…, bangsa kita boro-boro bikin mobil, disuruh sabar mengantre saja tidak bisa, disuruh tertib berkendaraan saja tidak bisa, bahkan air jamasan (bekas cucian) kereta kuda saja diperebutkan, dan dijadikan objek wisata, dibiayai pula oleh pemerintah.
Ramai-ramai mengusung kemusyrikan
Kalau sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan, pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat, tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan, berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.
Mana buktinya?
Buktinya, mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.
وَتَعاَوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلاِثْمِ واَلْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلِعقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
Di kala manusia tolong menolong dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
اْلمُنَافِقُوْنَ وَاْلمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أَيْدَيْهِمْ نَسُوْا الله فَنَسِيَهُمْ إِنَّ اْلمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
67. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah/ 9: 67).
[648] Maksudnya: berlaku kikir
Kalau sudah demikian, apakah kemusyrikan itu tidak bisa diberantas? Insya Allah bisa.
Ada pejabat yang begitu terpilih, maka program 100 hari yang dicanangkannya adalah menebang pohon tempat kemusyrikan di alun-alun Purwokerto Jawa Tengah. Reaksi para pendukung kemusyrikan pun berdatangan dari berbagai kalangan, dari DPRD, Keuskupan Purwokerto, seniman budayawan, dan aneka macam orang yang mendukung kemusyrikan dengan dalih cagar budaya dan semacamnya. Tetapi Bupati Banyumas, Drs. H. Mardjoko, M.M. tetap tegas:
’’Ada kepercayaan dua pohon beringin itu tak boleh ditebang. Itu tidak mutlak benar. Sekarang perlu disesuaikan,’’ kata Mardjoko di depan peserta dialog kampus di gedung rektorat Unsoed, Sabtu lalu (16 Mei 2008). Dialog bertema ’’Banyumasku Kampusku Ukir Prestasi, Sejahterakan Rakyat Pribumi’’ itu digelar bersamaan dengan peluncuran USP Koperasi Kampus. Bupati Mardjoko menegaskan kawasan alun-alun Purwokerto tetap akan ditata. Jalan tengah disatukan, dua pohon beringin ditebang. (Warta Purbalanjar, Mon May 19, 2008 10:30 pm)
Apakah benar, keberatan mereka itu dilatar belakangi pelestarian kemusyrikan?
Ya. Buktinya, apa yang ditulis di situs Keuskupan Purwokerto sebagai berikut:
Rupanya ribut-ribut soal pohon beringin alun-alun itu menyusup dan menjadi perbincangan warga Wisma Kasepuhan. Kang Warto ikutan mendengarkan dan mencermati.”Waktu saya kecil, setiap kali wetonan, Simbok saya membuat bubur abang putih,” begitu Romo Sepuh memulai bercerita.”Simbok bilang, Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana,” tambahnya. (Sesaji Romo Sepuh untuk Pohon Beringin, Selasa, 25 November 2008 05:45:31 – oleh : kangwarto, Keuskupan Purwokerto, keuskupan%20protes%20beringin%20ditebang.htm).
Perkataan “Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana” (Nak, ini bawa dan taruh di bawah pohon beringin sana) itu adalah praktek sesaji. Judulnya itu sendiri adalah cerita tentang sesaji. Jelas itu adalah kemusyrikan, dosa terbesar yang tak diampuni, bila pelakunya belum bertaubat benar-benar dan tak mengulanginya.
Menghadapi halangan dan protes yang mengusung kemusyrikan semacam itu, perlu ada landasan legalnya. Dalam kasus ini, ternyata kemudian ada surat dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
Sedekah Laut
Larung sesaji yaitu menghanyutkan sesajian ke laut lepas, tidak hanya dilakukan sebagai bagian dari tradisi tahunan syawalan. Tetapi, dapat dilakukan di luar waktu-waktu itu, dalam rangka menjalankan sebuah tradisi yang diberi nama sedekah laut. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan selama melaut, dan untuk mendapatkan keberkahan (ngalap berkah) dari aktivitas melaut yang dilakukan sepanjang tahun.
Adakalanya, tradisi sedekah laut juga dibarengi dengan kegiatan lain, misalnya haul (memperingati hari kematian seseorang, ulang tahun kematian). Contohnya di Demak, masyarakat Desa Bedono, Kecamatan Sayung pernah mengadakan tradisi sedekah laut sekaligus memperingati ulang tahun kematian (haul) KH Mudzakir. Haul dilaksanakan pada hari Sabtu (01 Des 2007) pukul 16.00 di pemakaman Mudzakir yang dikelilingi air laut. Sedangkan sedekah laut berupa selamatan tumpeng (melarung/ menghanyutkan tumpeng) diadakan pada keesokan harinya (Minggu o2 Des 2007) pukul 08.00 di perairan pantai Morosari. Kegiatan tradisional itu sebagai upacara selamatan para nelayan. Selain melarung tumpeng ke laut, juga diadakan acara ruwatan bumi yang ditandai dengan pergelaran wayang kulit. (Suara Merdeka, Sabtu, 01 Desember 2007).
Di Cilacap, sejumlah 40 warga Desa Cidondong, Bantarsari, Cilacap yang bermaksud ngalap berkah pada acara sedekah laut yang diselenggarakan di Pantai Teluk Penyu Cilacap Jawa Tengah, Jumat 2 Januari 2009, justru mengalami musibah. Tiga di antaranya meninggal dunia, dan 20 lainnya mengalami luka berat. Peristiwa kecelakaan tunggal tersebut diduga karena sopir kurang menguasai medan jalan di ruas Jeruklegi-Kubangkangkung yang berkelok dan banyak rusak. (Pos Kota Sabtu 3 Januari 2009, Jam: 10:11:00)
Betapa berat tanggung jawab para pemimpin dan penyelenggara upacara kemusyrikan itu. Mereka telah menyeret warga ke kubangan kemusyrikan, dan bahkan sebagian dari mereka ada yang mati dalam keadaan hendak menghadiri upacara yang sangat dimurkai Allah Ta’ala itu. Orang-orang awam yang jahil agamanya, tidak tahu agama, telah jadi korban. Baik fisiknya maupun hartanya, bahkan keyakinannya sekalian. Itu sudah habis-habisan. Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang demikian.
Tradisi Suro (Muharram)
Bukan hanya bulan Syawal yang telah dijadikan momen mensosialisasikan kemusyrikan dan aneka kemunkaran lainnya, tetapi juga bulan Muharram alias bulan Suro dalam istilah Jawa. Kemungkinan istilah Suro diambil dari ‘Asyura (hari ke sepuluh). Di dalam ajaran Islam, memang disyariatkan menjalankan puasa ‘Asyura di bulan Muharram yaitu tanggal 10 Muharram, dan lebih baiknya dengan tanggal 9, agar menyelisihi Yahudi yang memperingati tanggal 10 Muharram itu karena mereka selamat dari Fir’aun. Di Dalam Islam, tidak ada perayaan yang aneh-aneh, apalagi bermuatan syirik kepada Alah, bermuatan kemunkaran dan sebagainya.
Oleh sebagian orang, malam 1 Muharram atau malam 1 Suro diisi dengan berbagai kegiatan yang tidak ada kaitannya dengan Islam. Misalnya, masyarakat Kaliurang Jogjakarta mengisi malam 1 Suro dengan menggelar kirab Topo Bisu, yaitu mengelilingi seluruh kawasan wisata di Kaliurang, tanpa bicara sedikit pun seraya mengucapkan doa (permohonan) di dalam hati. Peserta kirab, yang jumlahnya ratusan itu, berbusana Jawa lengkap dengan pernak-pernik khas Jawa.
Di Keraton Kasunanan Surakarta, pada malam 1 Suro tahun lalu, dirayakan dengan menggelar kirab pusaka dengan mengarak Kebo Kyiai Slamet. Kala itu, Keraton Surakarta hanya mengarak empat ekor kebo bule Kyai Selamet, sebab sebagian kebo ngambek dan lainnya mengamuk. Akibat, kejadian ini, warga Solo menyimpulkan ngambeknya kebo tersebut pertanda akan terjadi sesuatu di tanah Jawa. (Ini kepercayaan tathayyur, menganggap suatu kejadian diyakini sebagai perlambang akan datangnya sial).
Masyarakat Jogjakarta, mengisi malam 1 Suro dengan melakukan tirakat Mubeng Benteng (memutari benteng) Keraton Yogyakarta sebanyak tujuh kali tanpa bicara. Itu merupakan salah satu tirakat, salah satu laku (amalan) yang dipercaya dapat menyingkirkan marabahaya yang akan menimpa Jogjakarta.
Bagi masyarakat Jogja yang memiliki benda pusaka (seperti keris, tombak, wesi aji, dan sejenisnya), pada saat itu mengkhususkan diri memandikan atau mencuci (njamasi) benda-benda pusaka tadi dengan air kembang setaman. Karena, mereka percaya benda-benda pusaka tadi memiliki kekuatan supranatural.
Di kawasan Parangtritis, Kabupaten Bantul, setiap malam satu Suro, sejumlah masyarakat memadati kawasan itu, khususnya di sekitar Puri Parangkusumo untuk memanjatkan doa (permohonan), entah kepada siapa. Puri Parangkusumo dipercaya sebagai tempat pertemuan asmara antara Panembahan Senopati (pendiri kerajaan Mataram Islam) dan Nyi Roro Kidul. Di tempat ini digelar ritual khusus bagi mereka yang percaya tentang masalah kejawen (ilmu kebatinan).
Malam 1 Suro bagi masyarakat Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah, diisi dengan melakukan ritual sedekah di Gunung Merapi (Sedekah Merapi), berupa mempersembahkan kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi kepada leluhur Kyai/Nyai Singomerjoyo, Kyai/Nyai Simbarjaya, Nyai Gadung Melati (penunggu kawasan Pasar Bubrah) dan Kyai Petruk (penguasa seluruh Merapi). Tujuannya, agar Gunung Merapi tidak marah lagi dengan letusannya. Ritual ini dilengkapi pula dengan melantunkan shalawat dan memanjatkan doa berbahasa Arab (secara Islam?). Bersamaan dengan itu, kepala kerbau dan tujuh tumpeng nasi sebagai materi sedekah pun dibawa ke kawah Merapi dan dilabuh di sana. Meski ada lantunan shalawat dan doa berbahasa Arab, namun demikian tradisi ini tidak lepas dari dosa berbuat syirik kepada Allah dan dosa berupa perbuatan tabzir.
Berebut Air Jamasan
Setiap malam 1 Suro di Pendopo Pura Mangkunegaran, Surakarta, Jawa Tengah, dilakukan ritual memandikan (mencuci) pusaka milik Pura Mangkunegaran. Pusaka itu berwujud Tombak dan Joli (sebuah rumah-rumahan kecil berisi pakaian milik Mangkunagoro I atau Raden Mas Said), yang dipanggul empat orang prajurit Mangkunegaran.
Pusaka tersebut dibawa dengan cara dikirabkan (semacam pawai) mengelilingi Pura Mangkunegaran dengan ikuti para kerabat Mangkunegaran, abdi dalem dan masyarakat lainnya, sambil menerapkan “laku bisu” (sama sekali tidak bicara), sebagai wujud keprihatinan terhadap kondisi negara saat ini. Tujuannya, untuk mendapatkan keselamatan sekaligus dalam rangka tolak bala.
Bersamaan dengan itu, sejumlah abdi dalem menyebarkan bungkusan nasi kepada ribuan orang yang mengikuti ritual tersebut. Mereka saling berebutan, karena diyakini siapa saja yang mendapatkan bungkusan nasi tersebut akan mendapatkan banyak berkah dan diberi kemurahan rezeki.
Benda pusaka tadi dicuci atau dimandikan atau dijamas dengan air bercampur bunga. Air sisa mencuci benda pusaka tadi, atau biasa disebut air jamasan, diperebutkan oleh ribuan warga masyarakat yang percaya bahwa air dan bunga sisa jamasan tadi dapat membawa berkah.
Ritual tersebut berlangsung pada 28 Desember 2008 (malam 1 Suro), sekitar pukul 19:00 waktu setempat.
Rebutan air jamasan juga terjadi di Jogjakarta. Menurut pemberitaan detiknews edisi Jumat, 02/01/2009 13:27 WIB, ratusan warga berebutan air sisa jamasan (pencucian) kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat. Berbeda dengan di Solo yang ritual mencuci benda pusakanya berlangsung pada malam 1 Suro, di Jogja ritual mencuci benda pusaka berlangsung pada hari Jumat tanggal 2 Januari 2009, bertepatan dengan tanggal 5 Suro (hari pasaran Jumat Kliwon) tahun 1942 berdasarkan penanggalan Jawa.
Benda pusaka (kereta pusaka Kraton Ngayogyakarto Hadiningrat) yang dijamas adalah kereta utama yang diberi nama Kanjeng Nyai Jimat, dan satu buah kereta pengiringnya. Pada masanya, kereta utama buatan Belanda pada pertengahan abad 18 tersebut, boleh jadi merupakan barang mewah. Kalau dikiaskan dengan masa sekarang, barangkali setara dengan mobil mewah Jaguar, Mercedes Benz atau Volvo. Barang mewah itu merupakan hadiah dari Gubernur Jenderal Belanda di Batavia (Jacob Mossel) kepada Sri Sultan Hamengku Buwono I sampai Sri Sultan Hamengku Buwono IV. Maksudnya, untuk dijadikan kendaraan utama para sultan tersebut.
Kalau saja saat itu sudah ada KPK, mungkin Sri Sultan sudah diseret KPK karena menerima hadiah barang mewah, dari penjajah pula. Hadiah yang diberikan penjajah tentu bukan tanpa maksud. Pasti ada tujuan-tujuan berupa mengekalkan kolonialisme di Nusantara. Siapapun yang menerima hadiah dari penjajah untuk mengekalkan kolonialisasi di daerah jajahannya, layak disebut sebagai pengkhianat.
Seandainya Jacob Mossel masih hidup dan melihat barang mewah yang dihadiahkannya kepada Sultan masih terawat, mungkin ia akan merasa senang. Tetapi, ketika ia melihat benda itu diperlakukan sebagai benda bertuah, bahkan air cuciannya diperebutkan banyak orang, mungkin ia akan tertawa terkekeh-kekeh melihat betapa bodohnya bangsa koeli van Jogja ini.
Boleh jadi Jacob Mossel juga akan terheran-heran dan bertanya-tanya, apakah tidak ada orang berpendidikan di nusantara ini, sehingga perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa terus berlangsung tanpa ada yang memberi pencerahan sama sekali?
Kenyataannya, perilaku bodoh yang merendahkan martabat bangsa, bahkan menghancurkan keimanan itu justru diagung-agungkan sebagai bagian dari kekayaan budaya Indonesia yang luhur dan harus dilestarikan. Padahal, bangsa lain sudah mampu menciptakan pesawat terbang, berbagai jenis mobil, dan mampu membangun budaya disiplin yang tinggi, eh…, bangsa kita boro-boro bikin mobil, disuruh sabar mengantre saja tidak bisa, disuruh tertib berkendaraan saja tidak bisa, bahkan air jamasan (bekas cucian) kereta kuda saja diperebutkan, dan dijadikan objek wisata, dibiayai pula oleh pemerintah.
Ramai-ramai mengusung kemusyrikan
Kalau sudah seperti itu maka berbagai elemen, dari penguasa, seniman, budayawan, pelaku adat, dan pengelola media massa secara beramai-ramai mengusung kemusyrikan, kemaksiatan, dan kemunkaran yang merusak iman, atas nama adat, tradisi, dan budaya. Pada dasarnya mereka kalau mengaku beragama Islam (dan itu memang mayoritas, karena penduduk Indonesia ini mayoritas Muslim, termasuk pejabatnya pula) maka mereka jelas-jelas mlenteti (tidak mentaati sambil masih pula bernada meremehkan) Allah Ta’ala, yang telah memberikan segalanya: hingga mereka bisa hidup, bahkan punya jabatan, berpangkat, bisa jalan-jalan ke sana sini, tertawa-tawa dan sebagainya; namun Allah Ta’ala yang Maha Pemurah itu bukan dibalas dengan rasa syukur, justru diplenteti.
Mana buktinya?
Buktinya, mereka telah melanggar aturan Allah Ta’ala. Allah Ta’ala menyuruh manusia ini untuk bertolong menolong dalam kebaikan dan taqwa. Sebaliknya, melarang bertolong menolong dalam dosa dan pelanggaran.
وَتَعاَوَنُوْا عَلىَ الْبِرِّ وَالتَّقْوَى وَلاَ تَعَاوَنُوْا عَلىَ اْلاِثْمِ واَلْعُدْوَانِ وَاتَّقُوْا اللهَ إِنَّ اللهَ شَدِيْدُ اْلِعقَابِ
Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. dan bertakwalah kamu kepada Allah, Sesungguhnya Allah amat berat siksa-Nya. (QS Al-Maaidah: 2).
Di kala manusia tolong menolong dalam keburukan, maka telah dikecam oleh Allah Ta’ala dalam Al-Qur’an:
اْلمُنَافِقُوْنَ وَاْلمُنَافِقَاتُ بَعْضُهُمْ مِنْ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِالْمُنْكَرِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمَعْرُوْفِ وَيَقْبِضُوْنَ أَيْدَيْهِمْ نَسُوْا الله فَنَسِيَهُمْ إِنَّ اْلمُنَافِقِيْنَ هُمُ اْلفَاسِقُوْنَ
67. Orang-orang munafik laki-laki dan perempuan sebagian dengan sebagian yang lain adalah sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan mereka menggenggamkan tangannya[648]. mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang fasik. (QS At-Taubah/ 9: 67).
[648] Maksudnya: berlaku kikir
Kalau sudah demikian, apakah kemusyrikan itu tidak bisa diberantas? Insya Allah bisa.
Ada pejabat yang begitu terpilih, maka program 100 hari yang dicanangkannya adalah menebang pohon tempat kemusyrikan di alun-alun Purwokerto Jawa Tengah. Reaksi para pendukung kemusyrikan pun berdatangan dari berbagai kalangan, dari DPRD, Keuskupan Purwokerto, seniman budayawan, dan aneka macam orang yang mendukung kemusyrikan dengan dalih cagar budaya dan semacamnya. Tetapi Bupati Banyumas, Drs. H. Mardjoko, M.M. tetap tegas:
’’Ada kepercayaan dua pohon beringin itu tak boleh ditebang. Itu tidak mutlak benar. Sekarang perlu disesuaikan,’’ kata Mardjoko di depan peserta dialog kampus di gedung rektorat Unsoed, Sabtu lalu (16 Mei 2008). Dialog bertema ’’Banyumasku Kampusku Ukir Prestasi, Sejahterakan Rakyat Pribumi’’ itu digelar bersamaan dengan peluncuran USP Koperasi Kampus. Bupati Mardjoko menegaskan kawasan alun-alun Purwokerto tetap akan ditata. Jalan tengah disatukan, dua pohon beringin ditebang. (Warta Purbalanjar, Mon May 19, 2008 10:30 pm)
Apakah benar, keberatan mereka itu dilatar belakangi pelestarian kemusyrikan?
Ya. Buktinya, apa yang ditulis di situs Keuskupan Purwokerto sebagai berikut:
Rupanya ribut-ribut soal pohon beringin alun-alun itu menyusup dan menjadi perbincangan warga Wisma Kasepuhan. Kang Warto ikutan mendengarkan dan mencermati.”Waktu saya kecil, setiap kali wetonan, Simbok saya membuat bubur abang putih,” begitu Romo Sepuh memulai bercerita.”Simbok bilang, Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana,” tambahnya. (Sesaji Romo Sepuh untuk Pohon Beringin, Selasa, 25 November 2008 05:45:31 – oleh : kangwarto, Keuskupan Purwokerto, keuskupan%20protes%20beringin%20ditebang.htm).
Perkataan “Le, iki gawa lan dekek ngisor wit ringin kana” (Nak, ini bawa dan taruh di bawah pohon beringin sana) itu adalah praktek sesaji. Judulnya itu sendiri adalah cerita tentang sesaji. Jelas itu adalah kemusyrikan, dosa terbesar yang tak diampuni, bila pelakunya belum bertaubat benar-benar dan tak mengulanginya.
Menghadapi halangan dan protes yang mengusung kemusyrikan semacam itu, perlu ada landasan legalnya. Dalam kasus ini, ternyata kemudian ada surat dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3) Jawa Tengah.
Dalam surat dari BP3 Jawa Tengah tentang alun-alun Purwokerto menyebutkan bahwa (1) Alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas merupakan Benda Cagar Budaya yang dilindungi UU No 5/1992 sehingga dalam upaya revitalisasinya memperhatikan nilai penting sebagai simbolisme religius, nilai penting kota bersejarah, dan nilai penting sebagai landmark kota. (2) Revitalisasi alun-alun dapat dilaksanakan sesuai gambar perencanaan landscape alun-alun Purwokerto Kabupaten Banyumas Tahun 2008 dengan memperhatikan: a. Jalan aspal ditengah alun-alun dihilangkan dan dapat dibuat akses tapak jalan dari coneblock dengan ketinggian yang selaras dengan lahan alun-alun; b. Pohon beringin kurung dan beringin batur tetap dipertahankan, dalam arti beringin kurung yang mati diganti baru; c. Pagar beringin kurung dapat diganti dengan bentuk yang dikonsultasikan lebih dahulu dengan BP3 Jateng; d. Jika ada perubahan-perubahan dari rencana supaya dikonsultasikan dengan BP3 Jateng. (kamar Puisi, ALUN-ALUN YANG UNIK ITU KINI TELAH HILANG, di 03:57 Diposkan oleh Ryan Rachman )
Ketika ada tekad bulat, ternyata ada jalan pula. Tidak mudah memang, untuk menyingkirkan daki-daki yang mengotori bahkan merusak keimanan di negeri ini. Tetapi kalau saja ada pejabat yang berani bertindak, walau bukan karena memberantas kemusyrikan, tetapi untuk menata kota agar lebih baik, ternyata bisa berjalan pula, bahkan ada pula yang mendukungnya. Dalam kasus ini, Muhammadiyah Purwokerto mendukungnya:
PURWOKERTO (KR)-
Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kabupaten Banyumas secara resmi telah menyampaikan surat dukungan atas rehab Alun-alun Purwokerto oleh Pemkab/Bupati Banyumas, Mardjoko, Kamis (28/8). Alasan Muhammadiyah Banyumas mendukung rehab alun-alun tersebut karena secara kemanfaatan, alun-alun yang sekarang telah 90 persen direhab lebih bermanfaat bagi sebagian besar masyarakat Banyumas ketimbang sebelumnya.
Dalam surat tersebut diuraikan kemanfaatan yang bisa diambil dari rehab tersebut antara lain, luas alun-alun menjadi bertambah dan memudahkan masyarakat untuk menggunakannya dalam berbagai kepentingan, seperti untuk Salat Idul Fitri maupun Idul Adha. Selain itu, setelah rehab dilakukan sebagai area publik alun-alun tak lagi menjadi seperti pasar yang semrawut karena banyaknya Pedagang Kaki Lima (PKL).
Ketua PDM Kabupaten Banyumas H Ahmad Kifni yang menandatangani surat tersebut mengatakan, wajah Alun-alun Purwokerto sebagai kawasan publik sekarang ini sudah lebih baik dari sebelum direhab. Dengan begitu maka rehab yang dilakukan Pemkab Banyumas dinilai sebagai upaya positif untuk terciptanya revitalisasi fungsi alun-alun yang sesungguhnya, yakni sebagai kawasan publik. Adanya rehab tingkat kenyamanan alun-alun menjadi tampak dibanding sebelumnya yang terkesan kumuh. (kedaulatan rakyat online, 30/08/2008 07:29:52 ).
Apakah karena Bupati itu dari Muhammadiyah?
Wallahu a’lam. Yang jelas, beliau kabarnya dari hasil pemilihan, sedang bendera yang beliau bawa saat itu adalah PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) yang notabene bukan partai Islam.
Bukan dari partai Islam saja bisa berbuat dalam hal ini walau tidak untuk menghilangkan kemusyrikan, namun punya akibat baik bagi Islam; apalagi mestinya dari partai-partai Islam atau bahkan yang menyebut diri partai da’wah. Seharusnya lebih teguh lagi.
Mudah-mudahan pelaksanaan dan dukungan itu merupakan perbuatan yang termasuk dipuji oleh Allah Ta’ala, kebalikan dari kecaman yang tersebut di atas:
وَاْلمُؤْمِنُوْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتُ بَعْضُهُمْ أَوْلِياَءُ بَعْضٍ يَأْمُرُوْنَ بِاْلمَعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ اْلمُنْكَرِ وَيُقِيْمُوْنَ الصَّلاَةَ وَيُؤْتُوْنَ الزَّكَاةَ وَيُطِيْعُوَنَ اللهَ وَرَسُوْلَهُ أُوْلَئِكَ سَيَرْحَمُهُمُ اللهُ إِنَّ اللهَ عَزِيْزٌ حَكِيْمٌ
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS At-taubah/ 9: 71).
Bibit-bibit dan potensi iman untuk menegakkan kebenaran dan memberantas keburukan masih ada. Pendukungnya pun ada. Semoga potensi iman itu tidak tertelan oleh hingar bingar dunia yang amat menggoda ini, hingga justru –yang tampaknya ngetren kini— potensi iman itu digadaikan demi sesuap nasi. Makanya hanya pohon beringin ditebang saja ributnya memenuhi bumi Banyumas –bahkan mungkin Indonesia–, sampai keuskupan pun ikut bicara. Sementara itu keimanan manusia ini dicabuti dari dada-dada Muslimin setiap saat, diganti dengan kemusyrikan ditambah dengan kemusyrikan baru (sepilis – sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme–) dan aneka perangkat kemaksiatan serta perusakan iman lewat televisi dan aneka media massa bahkan lewat pendidikan tinggi Islam se-Indonesia dan pendidikan umum; mereka diam saja, sampai ulama-ulamanya. Kecuali hanya sedikit orang saja.
Mereka yang memprotes-protes atas ditebangnya pohon beringin itu, karena membela keyakinan syetan, maka akal sehatnya tidak dipakai. Sehingga walaupun dengan dalih yang dicanggih-canggihkan, maka tetap saja tidak memakai akal dan tak konsisten. Kalau memang konsisten, mestinya mereka setiap hari mengajukan protes dan menjadi penunggu hutan-hutan di Indonesia. Pohon-pohon yang umurnya ratusan tahun, dengan alasan cagar budaya atau benda purbakala, maka mesti mereka tunggui, siapa saja tidak boleh menebangnya. Juga pohon-pohon tua yang ada di pinggir-pinggir jalan. Tidak boleh ada petugas yang menebangnya. Siapa yang menebangnya, walau petugas, akan diadukan ke polisi untuk diadili dan dipenjarakan.
Kalau itu diberlakukan, maka akibatnya, di sana-ini akan banyak pohon tumbang, jalanan terhalang, dan para pengikut ajaran syetan itu akan dikutuk manusia di mana-mana, sekaligus bersama syetan-syetannya.
Oleh karena itu, mereka yang mempertahankan pohon beringin (dengan latar belakang demit-demitnya yang dipertahankan) itu, mereka sebenarnya tidak lebih dari orang-orang yang berebut tai kerbau di Solo Jawa Tengah setiap malam tanggal satu Suro (Muharram) itu. Sesama rekannya pun mereka berebut tai, sampai-sampai air bekas cucian kereta kuda pun diperebutkan. Itulah sebenarnya mutu mereka. Sehingga ketika duduk di DPRD misalnya, ataupun jadi seniman, budayawan, wartawan, dan bahkan menguasai media massa, bahkan mungkin memimpin masyarakat, ya akan berlaku seperti para perebut air bekas cucian kereta itu, kalau memang keyakinan kemusyrikannya sama. Hanya saja ucapannya dicanggih-canggihkan, agar kelihatannya pakai otak gitu lho. (haji/tede)
_____________
Sumber: http://nahimunkar.com/219/mengagungkan-budaya-adat-melestarikan-syirik-dan-maksiat/
Bibit-bibit dan potensi iman untuk menegakkan kebenaran dan memberantas keburukan masih ada. Pendukungnya pun ada. Semoga potensi iman itu tidak tertelan oleh hingar bingar dunia yang amat menggoda ini, hingga justru –yang tampaknya ngetren kini— potensi iman itu digadaikan demi sesuap nasi. Makanya hanya pohon beringin ditebang saja ributnya memenuhi bumi Banyumas –bahkan mungkin Indonesia–, sampai keuskupan pun ikut bicara. Sementara itu keimanan manusia ini dicabuti dari dada-dada Muslimin setiap saat, diganti dengan kemusyrikan ditambah dengan kemusyrikan baru (sepilis – sekulerisme, pluralisme agama alias menyamakan semua agama, dan liberalisme–) dan aneka perangkat kemaksiatan serta perusakan iman lewat televisi dan aneka media massa bahkan lewat pendidikan tinggi Islam se-Indonesia dan pendidikan umum; mereka diam saja, sampai ulama-ulamanya. Kecuali hanya sedikit orang saja.
Mereka yang memprotes-protes atas ditebangnya pohon beringin itu, karena membela keyakinan syetan, maka akal sehatnya tidak dipakai. Sehingga walaupun dengan dalih yang dicanggih-canggihkan, maka tetap saja tidak memakai akal dan tak konsisten. Kalau memang konsisten, mestinya mereka setiap hari mengajukan protes dan menjadi penunggu hutan-hutan di Indonesia. Pohon-pohon yang umurnya ratusan tahun, dengan alasan cagar budaya atau benda purbakala, maka mesti mereka tunggui, siapa saja tidak boleh menebangnya. Juga pohon-pohon tua yang ada di pinggir-pinggir jalan. Tidak boleh ada petugas yang menebangnya. Siapa yang menebangnya, walau petugas, akan diadukan ke polisi untuk diadili dan dipenjarakan.
Kalau itu diberlakukan, maka akibatnya, di sana-ini akan banyak pohon tumbang, jalanan terhalang, dan para pengikut ajaran syetan itu akan dikutuk manusia di mana-mana, sekaligus bersama syetan-syetannya.
Oleh karena itu, mereka yang mempertahankan pohon beringin (dengan latar belakang demit-demitnya yang dipertahankan) itu, mereka sebenarnya tidak lebih dari orang-orang yang berebut tai kerbau di Solo Jawa Tengah setiap malam tanggal satu Suro (Muharram) itu. Sesama rekannya pun mereka berebut tai, sampai-sampai air bekas cucian kereta kuda pun diperebutkan. Itulah sebenarnya mutu mereka. Sehingga ketika duduk di DPRD misalnya, ataupun jadi seniman, budayawan, wartawan, dan bahkan menguasai media massa, bahkan mungkin memimpin masyarakat, ya akan berlaku seperti para perebut air bekas cucian kereta itu, kalau memang keyakinan kemusyrikannya sama. Hanya saja ucapannya dicanggih-canggihkan, agar kelihatannya pakai otak gitu lho. (haji/tede)
_____________
Sumber: http://nahimunkar.com/219/mengagungkan-budaya-adat-melestarikan-syirik-dan-maksiat/