Tuntunan Shalat Sunnah Rawatib

Label: ,

Sesungguhnya diantara hikmah dan rahmat Allah atas hambanya adalah disyariatkannya At-tathowwu’ (ibadah tambahan). Dan dijadikan pada ibadah wajib diiringi dengan adanya at-tathowwu’ dari jenis ibadah yang serupa. Hal itu dikarenakan untuk melengkapi kekurangan yang terdapat pada ibadah wajib.

Dan sesungguhnya at-tathowwu’ di dalam ibadah sholat yang paling utama adalah sunnah rawatib. Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam senantiasa mengerjakannya dan tidak pernah sekalipun meninggalkannya dalam keadaan mukim (tidak bepergian jauh).

Mengingat pentingnya ibadah ini, serta dikerjakannya secara berulang-ulang sebagaimana sholat fardhu, sehingga saya (penulis) ingin menjelaskan sebagian dari hukum-hukum sholat rawatib secara ringkas:

1. Keutamaan Sholat Rawatib
Ummu Habibah radiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang keutamaan sholat sunnah rawatib, dia berkata: saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang sholat dua belas rakaat pada siang dan malam, maka akan dibangunkan baginya rumah di surga”. Ummu Habibah berkata: saya tidak pernah meninggalkan sholat sunnah rawatib semenjak mendengar hadits tersebut. ‘Anbasah berkata: Maka saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari Ummu Habibah. ‘Amru bin Aus berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Ansabah. An-Nu’am bin Salim berkata: Saya tidak pernah meninggalkannya setelah mendengar hadits tersebut dari ‘Amru bin Aus. (HR. Muslim no. 728)

‘Aisyah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan sebuah hadits tentang sholat sunnah rawatib sebelum (qobliyah) shubuh, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda, “Dua rakaat sebelum shubuh lebih baik dari dunia dan seisinya”. Dalam riwayat yang lain, “Dua raka’at sebelum shubuh lebih aku cintai daripada dunia seisinya” (HR. Muslim no. 725)

Adapun sholat sunnah sebelum shubuh ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah rawatib dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkannya baik ketika mukim (tidak berpegian) maupun dalam keadaan safar.

Ummu Habibah radhiyallahu ‘anha telah meriwayatkan tentang keutamaan rawatib dzuhur, dia berkata: saya mendengar rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Barangsiapa yang menjaga (sholat) empat rakaat sebelum dzuhur dan empat rakaat sesudahnya, Allah haramkan baginya api neraka”. (HR. Ahmad 6/325, Abu Dawud no. 1269, At-Tarmidzi no. 428, An-Nasa’i no. 1814, Ibnu Majah no. 1160)

2. Jumlah Sholat Sunnah Rawatib
Hadits Ummu Habibah di atas menjelaskan bahwa jumlah sholat rawatib ada 12 rakaat dan penjelasan hadits 12 rakaat ini diriwayatkan oleh At-Tarmidzi dan An-Nasa’i, dari ‘Aisyah radiyallahu ‘anha, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa yang tidak meninggalkan dua belas (12) rakaat pada sholat sunnah rawatib, maka Allah akan bangunkan baginya rumah di surga, (yaitu): empat rakaat sebelum dzuhur, dan dua rakaat sesudahnya, dan dua rakaat sesudah maghrib, dan dua rakaat sesudah ‘isya, dan dua rakaat sebelum subuh”. (HR. At-Tarmidzi no. 414, An-Nasa’i no. 1794)

3. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Qobliyah Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, “Bahwasanya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh membaca surat Al Kaafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد).”  (HR. Muslim no. 726)

Dan dari Sa’id bin Yasar, bahwasannya Ibnu Abbas mengkhabarkan kepadanya: “Sesungguhnya rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada sholat sunnah sebelum subuh dirakaat pertamanya membaca: (قولوا آمنا بالله وما أنزل إلينا) (QS. Al-Baqarah: 136), dan dirakaat keduanya membaca: (آمنا بالله واشهد بأنا مسلمون) (QS. Ali Imron: 52). (HR. Muslim no. 727)

4. Surat yang Dibaca pada Sholat Rawatib Ba’diyah Maghrib
Dari Ibnu Mas’ud radiyallahu ‘anha, dia berkata: Saya sering mendengar Rasulullah shallalllahu ‘alaihi wa sallam ketika beliau membaca surat pada sholat sunnah sesudah maghrib:” surat Al Kafirun (قل يا أيها الكافرون) dan surat Al Ikhlas (قل هو الله أحد). (HR. At-Tarmidzi no. 431, berkata Al-Albani: derajat hadits ini hasan shohih, Ibnu Majah no. 1166)

5. Apakah Sholat Rawatib 4 Rakaat Qobiyah Dzuhur Dikerjakan dengan Sekali Salam atau Dua Kali Salam?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sunnah Rawatib terdapat di dalamnya salam, seseorang yang sholat rawatib empat rakaat maka dengan dua salam bukan satu salam, karena sesungguhnya nabi bersabda: “Sholat (sunnah) di waktu malam dan siang dikerjakan dua rakaat salam dua rakaat salam”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/288)

6. Apakah Pada Sholat Ashar Terdapat Rawatib?
As-Syaikh Muammad bin Utsaimin rahimahullah berkata, “Tidak ada sunnah rawatib sebelum dan sesudah sholat ashar, namun disunnahkan sholat mutlak sebelum sholat ashar”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Al-Utsaimin 14/343)

7. Sholat Rawatib Qobliyah Jum’at
As-Syaikh Abdul ‘Azis bin Baz rahimahullah berkata: “Tidak ada sunnah rawatib sebelum sholat jum’at berdasarkan pendapat yang terkuat di antara dua pendapat ulama’. Akan tetapi disyari’atkan bagi kaum muslimin yang masuk masjid agar mengerjakan sholat beberapa rakaat semampunya” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 12/386&387)

8. Sholat Rawatib Ba’diyah Jum’at
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila seseorang di antara kalian mengerjakan sholat jum’at, maka sholatlah sesudahnya empat rakaat”. (HR. Muslim no. 881)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Adapun sesudah sholat jum’at, maka terdapat sunnah rawatib sekurang-kurangnya dua rakaat dan maksimum empat rakaat” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Bin Baz 13/387)

9. Sholat Rawatib Dalam Keadaan Safar
Ibnu Qayyim rahimahullah berkata, “Rasulullah shallallahu a’laihi wa sallam didalam safar senantiasa mengerjakan sholat sunnah rawatib sebelum shubuh dan sholat sunnah witir dikarenakan dua sholat sunnah ini merupakan yang paling utama di antara sholat sunnah, dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan sholat sunnah selain keduanya”. (Zaadul Ma’ad 1/315)

As-Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata: “Disyariatkan ketika safar meninggalkan sholat rawatib kecuali sholat witir dan rawatib sebelum subuh”. (Majmu’ fatawa 11/390)

10. Tempat Mengerjakan Sholat Rawatib
Dari Ibnu Umar radiyallahu ‘anhuma berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Lakukanlah di rumah-rumah kalian dari sholat-sholat dan jangan jadikan rumah kalian bagai kuburan”. (HR. Bukhori no. 1187, Muslim no. 777)

As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sudah seyogyanya bagi seseorang untuk mengerjakan sholat rawatib di rumahnya…. meskipun di Mekkah dan Madinah sekalipun maka lebih utama dikerjakan dirumah dari pada di masjid Al-Haram maupun masjid An-Nabawi; karena saat nabi shallallahu a’alihi wasallam bersabda sementara beliau berada di Madinah….. Ironisnya manusia sekarang lebih mengutamakan melakukan sholat sunnah rawatib di masjidil haram, dan ini termasuk bagian dari kebodohan”. (Syarh Riyadhus Sholihin 3/295)

11. Waktu Mengerjakan Sholat Rawatib
Ibnu Qudamah berkata: “Setiap sunnah rawatib qobliyah maka waktunya dimulai dari masuknya waktu sholat fardhu hingga sholat fardhu dikerjakan, dan sholat rawatib ba’diyah maka waktunya dimulai dari selesainya sholat fardhu hingga berakhirnya waktu sholat fardhu tersebut “. (Al-Mughni 2/544)

12. Mengganti (mengqodho’) Sholat Rawatib
Dari Anas radiyallahu ‘anhu dari rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang lupa akan sholatnya maka sholatlah ketika dia ingat, tidak ada tebusan kecuali hal itu”. (HR. Bukhori no. 597, Muslim no. 680)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Dan hadits ini meliputi sholat fardhu, sholat malam, witir, dan sunnah rawatib”. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah 23/90)

13. Mengqodho’ Sholat Rawatib Di Waktu yang Terlarang
Ibnu Qoyyim berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengqodho’ sholat ba’diyah dzuhur setelah ashar, dan terkadang melakukannya terus-menerus, karena apabila beliau melakukan amalan selalu melanggengkannya. Hukum mengqodho’ diwaktu-waktu terlarang bersifat umum bagi nabi dan umatnya, adapun dilakukan terus-menerus pada waktu terlarang merupakan kekhususan nabi”. (Zaadul Ma’ad  1/308)

14. Waktu Mengqodho’ Sholat Rawatib Sebelum Subuh
Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu berkata, rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa yang belum mengerjakan dua rakaat sebelum sholat subuh, maka sholatlah setelah matahari terbit”. (At-Tirmdzi 423, dan dishahihkan oleh Al-albani)

Dan dari Muhammad bin Ibrahim dari kakeknya Qois, berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar rumah mendatangi sholat kemudian qomat ditegakkan dan sholat subuh dikerjakan hingga selesai, kemudian nabi shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling menghadap ma’mum, maka beliau mendapati saya sedang mengerjakan sholat, lalu bersabda: “Sebentar wahai Qois apakah ada sholat subuh dua kali?”. Maka saya berkata: Wahai rasulullah sungguh saya belum mengerjakan sholat sebelum subuh, rasulullah bersabda: “Maka tidak mengapa”. (HR. At-Tirmidzi). Adapun pada Abu Dawud dengan lafadz: “Maka rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam diam (terhadap yang dilakukan Qois)”. (HR. At-tirmidzi no. 422, Abu Dawud no. 1267, dan Al-Albani menshahihkannya)

As-Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah berkata: “Barangsiapa yang masuk masjid mendapatkan jama’ah sedang sholat subuh, maka sholatlah bersama mereka. Baginya dapat mengerjakan sholat dua rakaat sebelum subuh setelah selesai sholat subuh, tetapi yang lebih utama adalah mengakhirkan sampai matahari naik setinggi tombak” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muammad bin Ibrahim 2/259 dan 260)

15. Jika Sholat Subuh Bersama Jama’ah Terlewatkan, Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Terlebih Dahulu atau Sholat Subuh?
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Sholat rawatib didahulukan atas sholat fardhu (subuh), karena sholat rawatib qobliyah subuh itu sebelum sholat subuh, meskipun orang-orang telah keluar selesai sholat berjama’ah dari masjid” (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsatimin 14/298)

16. Pengurutan Ketika Mengqodho’
As-Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah berkata: “Apabila didalam sholat itu terdapat rawatib qobliyah dan ba’diyah, dan sholat rawatib qobliyahnya terlewatkan, maka yang dikerjakan lebih dahulu adalah ba’diyah kemudian qobliyah, contoh: Seseorang masuk masjid yang belum mengerjakan sholat rawatib qobliyah mendapati imam sedang mengerjakan sholat dzuhur, maka apabila sholat dzuhur telah selesai, yang pertamakali dikerjakan adalah sholat rawatib ba’diyah dua rakaat, kemudian empat rakaat qobliyah”. (Syarh Riyadhus Sholihin, 3/283)

17. Mengqodho’ Sholat Rawatib yang Banyak Terlewatkan
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Diperbolehkan mengqodho’ sholat rawatib dan selainnya, karena merupakan sholat sunnah yang sangat dianjurkan (muakkadah)… kemudian jika sholat yang terlewatkan sangat banyak, maka yang utama adalah mencukupkan diri mengerjakan yang wajib (fardhu), karena mendahulukan untuk menghilangkan dosa adalah perkara yang utama, sebagaimana “Ketika rasulullah mengerjakan empat sholat fardhu yang tertinggal pada perang Khondaq, beliau mengqodho’nya secara berturut-turut”. Dan tidak ada riwayat bahwasannya rasulullah mengerjakan sholat rawatib diantara sholat-sholat fardhu tersebut.…. Dan jika hanya satu atau dua sholat yang terlewatkan, maka yang utama adalah mengerjakan semuanya sebagaimana perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pada saat sholat subuh terlewatkan, maka beliau mengqodho’nya bersama sholat rawatib”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 238)

18. Menggabungkan Sholat-sholat Rawatib, Tahiyatul Masjid, dan Sunnah Wudhu’
As-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di rahimahullah berkata: “Apabila seseorang masuk masjid diwaktu sholat rawatib, maka ia bisa mengerjakan sholat dua rakaat dengan niat sholat rawatib dan tahiyatul masjid, dengan demikian tertunailah dengan mendapatkan keutamaan keduanya. Dan demikian juga sholat sunnah wudhu’ bisa digabungkan dengan keduanya (sholat rawatib dan tahiyatul masjid), atau digabungkan dengan salah satu dari keduanya”. (Al-Qawaid Wal-Ushul Al-Jami’ah, hal. 75)

19. Menggabungkan Sholat Sebelum Subuh dan Sholat Duha Pada Waktu Duha
As-Syaikh Muhammad Bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Seseorang yang sholat qobliyah subuhnya terlewatkan sampai matahari terbit, dan waktu sholat dhuha tiba. Maka pada keadaan ini, sholat rawatib subuh tidak terhitung sebagai sholat dhuha, dan sholat dhuha juga tidak terhitung sebagai sholat rawatib subuh, dan tidak boleh juga menggabungkan keduanya dalam satu niat. Karena sholat dhuha itu tersendiri dan sholat rawatib subuh pun juga demikian, sehingga tidaklah salah satu dari keduanya terhitung (dianggap) sebagai yang lainnya. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, 20/13)

20. Menggabungkan Sholat Rawatib dengan Sholat Istikhorah
Dari Jabir bin Abdullah radiyallahu ‘anhuma berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam mengajarkan kami sholat istikhorah ketika menghadapi permasalahan sebagaimana mengajarkan kami surat-surat dari Al-Qur’an”, kemudian beliau bersabda: “Apabila seseorang dari kalian mendapatkan permasalahan, maka sholatlah dua rakaat dari selain sholat fardhu…” (HR. Bukhori no. 1166)

Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Jika seseorang berniat sholat rawatib tertentu digabungkan dengan sholat istikhorah maka terhitung sebagai pahala (boleh), tetapi berbeda jika tidak diniatkan”. (Fathul Bari 11/189)

21. Sholat Rawatib Ketika Iqomah Sholat Fardhu Telah Dikumandangkan
Dari Abu Huroiroh radiyallahu ‘anhu, dari nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu”. (HR. Muslim bi As-syarh An-Nawawi 5/222)

An-Nawawi berkata: “Hadits ini terdapat larangan yang jelas dari mengerjakan sholat sunnah setelah iqomah sholat dikumandangkan sekalipun sholat rawatib seperti rawatib subuh, dzuhur, ashar dan selainnya” (Al-Majmu’ 3/378)

22. Memutus Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu ditegakkan
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Apabila sholat telah ditegakkan dan ada sebagian jama’ah sedang melaksanakan sholat tahiyatul masjid atau sholat rawatib, maka disyari’atkan baginya untuk memutus sholatnya dan mempersiapkan diri untuk melaksanakan sholat fardhu, berdasarkan sabda nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: “Apabila iqomah sholat telah ditegakkan maka tidak ada sholat kecuali sholat fardhu..”, akantetapi seandainya sholat telah ditegakkan dan seseorang sedang berada pada posisi rukuk dirakaat yang kedua, maka tidak ada halangan bagi dia untuk menyelesaikan sholatnya. Karena sholatnya segera berakhir pada saat sholat fardhu baru terlaksana kurang dari satu rakaat”. (Majmu’ Fatawa 11/392 dan 393)

23. Apabila Mengetahui Sholat Fardhu Akan Segera Ditegakkan, Apakah Disyari’atkan Mengerjakan Sholat Rawatib?
As-Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Sudah seharusnya (mengenai hal ini) dikatakan: “Sesungguhnya tidak dianjurkan mengerjakan sholat rawatib diatas keyakinan yang kuat bahwasannya sholat fardhu akan terlewatkan dengan mengerjakannya. Bahkan meninggalkannya (sholat rawatib) karena mengetahui akan ditegakkan sholat bersama imam dan menjawab adzan (iqomah) adalah perkara yang disyari’atkan. Karena menjaga sholat fardhu dengan waktu-waktunya lebih utama daripada sholat sunnah rawatib yang bisa dimungkinkan untuk diqodho’”. (Syarh Al-’Umdah, hal. 609)

24. Mengangkat Kedua Tangan Untuk Berdo’a Setelah Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Sholat Rawatib: Saya tidak mengetahui adanya larangan dari mengangkat kedua tangan setelah mengerjakannya untuk berdo’a, dikarenakan beramal dengan keumuman dalil (akan disyari’atkan mengangkat tangan ketika berdo’a). Akan tetapi lebih utama untuk tidak melakukannya terus-menerus dalam hal itu (mengangkat tangan), karena tidaklah ada riwayat yang menyebutkan bahwa nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengerjakan demikian, seandainya beliau melakukannya setiap selesai sholat rawatib pasti akan ada riwayat yang dinisbahkan kepada beliau. Padahal para sahabat meriwayatkan seluruh perkataan-perkataan dan perbuatan-perbuatan rasulullah baik ketika safar maupun tidak. Bahkan seluruh kehidupan rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan para sahabat radiyallahu ‘anhum tersampaikan”. (Arkanul Islam, hal. 171)

25. Kapan Sholat Rawatib Ketika Sholat Fardhu DiJama’?
Imam Nawawi rahimahullah berkata: “Sholat rawatib dikerjakan setelah kedua sholat fardhu dijama’ dan tidak boleh dilakukan di antara keduanya. Dan demikian juga sholat rawatib qobliyah dzuhur dikerjakan sebelum kedua sholat fardhu dijama’”. (Shahih Muslim Bi Syarh An-Nawawi, 9/31)

26. Apakah Mengerjakan Sholat Rawatib Atau Mendengarkan Nasihat?
Dewan Tetap untuk Penelitian Ilmiyah dan Fatwa Saudi: “Disyariatkan bagi kaum muslimin jika mendapatkan nasihat (kultum) setelah sholat fardhu hendaknya mendengarkannya, kemudian setelahnya ia mengerjakan sholat rawatib seperti ba’diyah dzuhur, maghbrib dan ‘isya” (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah LilBuhuts Al-’Alamiyah Wal-Ifta’, 7/234)

27. Mendahulukan Menyempurnakan Dzikir-dzikir setelah Sholat Fardhu Sebelum Menunaikan Sholat Rawatib
As-Syaikh Abdullah bin Jibrin rahimahullah ditanya: “Apabila saya mengerjakan sholat jenazah setelah maghrib, apakah saya langsung mengerjakan sholat rawatib setelah selesai sholat jenazah ataukah menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian sholat rawatib?
 
Jawaban beliau rahimahullah: “Yang lebih utama adalah duduk untuk menyempurnakan dzikir-dzikir kemudian menunaikan sholat rawatib. Maka perkara ini disyariatkan baik ada atau tidaknya sholat jenazah. Maka dzikir-dzikir yang ada setelah sholat fardhu merupakan sunnah yang selayaknya untuk dijaga dan tidak sepantasnya ditinggalkan. Maka jika anda memutus dzikir tersebut karena menunaikan sholat jenazah, maka setelah itu hendaknya menyempurnakan dzikirnya ditempat anda berada, kemudian mengerjakan sholat rawatib yaitu sholat ba’diyah. Hal ini mencakup rawatib ba’diyah dzuhur, maghrib maupun ‘isya dengan mengakhirkan sholat rawatib setelah berdzikir”. (Al-Qoul Al-Mubin fii Ma’rifati Ma Yahummu Al-Mushollin, hal. 471)

28. Tersibukkan Dengan Memuliakan Tamu Dari Meninggalkan Sholat Rawatib
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Pada dasarnya seseorang terkadang mengerjakan amal yang kurang afdhol (utama) kemudian melakukan yang lebih afdhol (yang semestinya didahulukan) dengan adanya sebab. Maka seandainya seseorang tersibukkan dengan memuliakan tamu di saat adanya sholat rawatib, maka memuliakan tamu didahulukan daripada mengerjakan sholat rawatib”. (Majmu’ Fatawa As-Syaikh Muhammad bin Sholih Al-Utsaimin 16/176)

29. Sholatnya Seorang Pekerja Setelah Sholat Fardhu dengan Rawatib Maupun Sholat Sunnah lainnya.
As-Syaikh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah berkata: “Adapun sholat sunnah setelah sholat fardhu yang bukan rawatib maka tidak boleh. Karena waktu yang digunakan saat itu merupakan bagian dari waktu kerja semisal aqad menyewa dan pekerjaan lain. Adapun melakukan sholat rawatib (ba’da sholat fardhu), maka tidak mengapa. Karena itu merupakan hal yang biasa dilakukan dan masih dimaklumi (dibolehkan) oleh atasannya.

30. Apakah Meninggalkan Sholat Rawatib Termasuk Bentuk Kefasikan?
As-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata: “Perkataan sebagian ulama’: (Sesungguhnya meninggalkan sholat rawatib termasuk fasiq), merupakan perkataan yang kurang baik, bahkan tidak benar. Karena sholat rawatib itu adalah nafilah (sunnah). Maka barangsiapa yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat tidaklah dikatakan fasik bahkan dia adalah seorang mukmin yang baik lagi adil. Dan demikian juga sebagian perkataan Fuqoha’: (Sesungguhnya menjaga sholat rawatib merupakan bagian dari syarat adil dalam persaksian), maka ini adalah perkataan yang lemah. Karena setiap orang yang menjaga sholat fardhu dan meninggalkan maksiat maka ia adalah orang yang adil lagi tsiqoh. Akantetapi dari sifat seorang mukmin yang sempurna selayaknya bersegera (bersemangat) untuk mengerjakan sholat rawatib dan perkara-perkara baik lainnya yang sangat banyak dan berlomba-lomba untuk mengerjakannya”. (Majmu’ Fatawa 11/382)

(Yang dimaksud adalah artikel tersebut: http://fdawj.atspace.org/awwb/th2/14.htm (pen.))

Faedah:

Ibmu Qoyyim rahimahullah berkata: “Terdapat kumpulan sholat-sholat dari tuntunan nabi shallallahu ‘alaihi wasallam sehari semalam sebanyak 40 rakaat, yaitu dengan menjaga 17 rakaat dari sholat fardhu, 10 rakaat atau 12 rakaat dari sholat rawatib, 11 rakaat atau 13 rakaat sholat malam, maka keseluruhannya adalah 40 rakaat. Adapun tambahan sholat selain yang tersebutkan bukanlah sholat rawatib…..maka sudah seharusnyalah bagi seorang hamba untuk senantiasa menegakkan terus-menerus tuntunan ini selamanya hingga menjumpai ajal (maut). Sehingga adakah yang lebih cepat terkabulkannya do’a dan tersegeranya dibukakan pintu bagi orang yang mengetuk sehari semalam sebanyak 40 kali? Allah-lah tempat meminta pertolongan”. (Zadul Ma’ad 1/327)

Lembaran singkat ini saya ringkas dari sebuah buku yang saya tulis sendiri berjudul “Hukum-hukum Sholat Sunnah Rawatib”.

Dan sholawat serta salam kepada nabi kita muhammad shallalllahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya serta para sahabatnya. Amiin

Ummul Hamaam, 1 Ramadhan 1431 H
Penulis: As-Syaikh Abdullah bin Za’li Al-’Anziy

Sumber: Buletin Darul Qosim (www.dar-alqassem.com)
Penerjemah: Abu Ahmad Meilana Dharma Putra
Muroja’ah: Al-Ustadz Abu Raihana, MA.

Kita Tidak Mungkin Bersatu dengan Allah !!!

Label:

Membedah Kekeliruan Kaum Sufi dalam Memahami Hadits Wali

A. Pengantar
 
Sesungguhnya membela kemurnian agama dan membantah para ahli bid’ah dengan argumen dan hujjah merupakan kewajiban yang amat mulia dan landasan utama dalam agama. Oleh karenanya, para ulama salafush shalih lebih mengutamakannya daripada ibadah sunnah, bahkan mereka menilai bahwa hal tersebut merupakan jihad dan ketaatan yang sangat utama. Imam Ahmad pernah ditanya:
“Manakah yang lebih engkau sukai, antara seorang yang berpuasa (sunnah), shalat (sunnah), dan i’tikaf dengan seorang yang membantah ahli bid’ah?” Beliau menjawab: “Kalau dia shalat dan i’tikaf maka maslahatnya untuk dirinya pribadi, tetapi kalau dia membantah ahli bid’ah maka maslahatnya untuk kaum muslimin, ini lebih utama.” [1]

Di antara para ahli bid’ah yang tidak kalah bahayanya adalah kelompok Sufiyah yang memborong sekian banyak kesesatan dan penyimpangan yang beraneka ragam, di antara sekian kesesatan mereka yang paling berbahaya adalah aqidah wahdatul([2]) wujud (Manunggaling Kawula Gusti/bersatunya Tuhan dengan hamba), sebuah aqidah yang bertentangan seratus persen dengan pokok-pokok ajaran Islam, bahkan menghancurkan persendiannya baik dalam aqidah, ibadah, akhlaq, dan sebagainya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata: “Bangkit membantah mereka (ahli wahdatul wujud) merupakan kewajiban yang sangat utama, sebab mereka adalah perusak akal dan agama manusia, mereka membuat kerusakan di muka bumi, dan menghalangi dari jalan Alloh. Bahaya mereka terhadap agama melebihi bahaya para penjajah dunia seperti perampok dan pasukan Tatar yang hanya merampas harta tanpa merusak agama.” [3] 
  • Mungkin sebagian kita ada yang bergumam:
“Mengapa aqidah wahdatul wujud ini harus dipermasalahkan? Bukankah aqidah itu hanya ada pada beberapa tokoh zaman dulu saja semisal Ibnu Arabi, Ibnu Faridh, Ibnu Sab’in, dan sebagainya?! Bukankah aqidah itu sudah hilang dari permukaan bumi di masa kini?! Lantas mengapa perlu dibahas seperti ini?! Bukankah ini hanya sia-sia belaka?!”


    Kami jawab:

    “Tenanglah saudaraku! Jangan anda gegabah menilai seperti itu, bukalah mata anda lebar-lebar niscaya anda akan mengetahui (walau terkadang terselubung) betapa banyaknya pengibar bendera aqidah rusak ini di negeri kita dari para kyai, habib, penulis, aktivis, bahkan diajarkan di kuliah-kuliah agama seperti IAIN, contohnya.

Barangkali untuk lebih menenangkan hati, tidak mengapa kita nukil sebuah contoh –sekalipun hati ini sebenarnya terasa berat untuk menukilnya([4])–. Masih terngiang-ngiang di telinga saya ucapan keji Abdul Muqsith Ghazali MA, kawan Ulil Abshar dalam debat buku “Ada Pemurtadan di IAIN”,katanya:

Anjing akbar, tidak ada yang salah dengan pernyataan itu. Apa yang salah?! Sama sekali tidak ada yang salah, Akbar Tanjung, Anjing Akbar, Sekolah Akbar. Tidak ada yang salah. Itu kalau diniati bahwa anjing itu adalah Alloh.”
 Lebih lanjut, dia mengatakan:

    “Kalau dia menemukan sifat jamal dan kamal (keindahan dan kesempurnaan) dalam anjing itu maka enggak salah, justru dia akan naik maqamnya (kedudukannya), seperti Ibnu Arabi([5]) dalam kitabnya Fushus Hikam([6]), dia menemukan takallufnya ketika berhubungan suami istri. Ini adalah pluralisasi penafsiran yang akan dipuji sejarah!!!”

Aduhai, alangkah persisnya hari ini dengan kemarin!! Bukankah ucapan di atas adalah warisan nenek moyang para tokoh Sufi yang sesat dan menyesatkan dahulu?!! Coba anda perhatikan ucapan seorang tokoh Sufi berikut:

وَمَا الْكَلْبُ وَالْخِنْزِيْرُ إِلاَّ إِلَهُنَ
وَمَا اللَّهُ إِلاَّ رَاهِبٌ فِيْ كَنِيْسَةِ 
Tiada anjing dan babi itu, melainkan Tuhan kita juga
Dan tiadalah Alloh itu kecuali rahib di gereja
  • Salah seorang sufi, Abul Husain an-Nuri tatkala mendengar anjing yang menggonggong, dia mengatakan: “Labbaika wa Sa’daika” (Aku penuhi panggilanmu).” [7]
Maha Suci Alloh dari ucapan mereka!

Kemudian, jangan anda menyangka kalau mereka tidak memiliki argumen/dalil yang mendukung keyakinan sesat tersebut. Sungguh aneh bin ajaib memang, hampir tidak ada ahli bid’ah pun kecuali memiliki dalil untuk memperkuat kesesatan mereka. Demikian pula para penganut paham wahdatul wujud, mereka memiliki dalil –sekalipun lebih tepatnya disebut syubhat– dari al-Qur’an dan hadits untuk mendukung keyakinan tersebut, salah satunya adalah hadits wali yang akan menjadi tema bahasan kita kali ini. Namun, hal ini tak aneh kalau kita ingat ucapan Imam asy-Syathibi:
“Betapa sering engkau dapati ahli bid’ah dan penyesat umat mengemukakan dalil dan hadits dengan memaksakannya agar sesuai dengan pemikiran mereka dan menipu orang-orang awam dengan dalil-dalil tersebut. Lucunya mereka menganggap bahwa diri mereka di atas kebenaran!!” [8]
B. Teks Hadits

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صلى الله عليه و سلم: إِنَّ اللَّهَ قَالَ: مَنْ عَادَى لِيْ وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ، وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِيْ بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِليَّ مِمَّا افْتَرَضْتُهُ عَلَيْهِ. وَمَا زَالَ عَبْدِيْ يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ، فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِيْ يَسْمَعُ بِهِ، وَبَصَرَهُ الَّذِيْ يُبْصِرُ بِهِ، وَيَدَهُ الَّتِيْ يُبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِيْ يَمْشِيْ بِهَا، وَإِنْ سَأَلَنِيْ لأُعْطِيَنَّهُ، وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِيْ لأُعِيْذَنَّهُ، وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِيْ عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Alloh berfirman: ‘Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya. Tidaklah hamba-Ku bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada-Ku dengan melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintai-Nya. Apabila Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya, penglihatannya yang dia melihat dengannya, tangannya yang dia memegang dengannya, dan kakinya yang dia berjalan dengannya. Apabila dia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya. Dan tidaklah Aku bimbang akan sesuatu seperti kebimbangan-Ku dari mencabut nyawa seorang mukmin, dia benci kematian padahal Saya tidak ingin untuk menyakitinya (tetapi itu adalah kepastian).’”
  • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: "Hadits ini adalah hadits yang paling shahih tentang para wali.”. [9]
  • Beliau juga mengatakan:“Hadits ini sangat mulia dan merupakan hadits yang paling mulia tentang sifat wali.” [10]
Demikianlah komentar indah terhadap hadits yang menjadi topik bahasan kita kali ini. Namun hal itu bukan berarti bahwa hadits ini selamat dari serangan dan hujatan, sebab kenyataan di lapangan membuktikan bahwa hadits ini mendapat kritikan dari dua segi; sanad dan matannya secara bersamaan.
Sebagian kalangan ada yang mempermasalahkannya dari segi sanadnya, dan sebagian lagi ada yang salah paham terhadap matannya. Dari situlah, kami merasa terdorong untuk membahas hadits ini dari segi sanad dan matannya serta meluruskan kesalahpahaman tersebut. Semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya.

C. Sanad Hadits
Sebagian kalangan ada yang mengkritik hadits ini dari sanadnya, di mana memang pada sanadnya terdapat rawi yang dibicarakan oleh para ulama ahli hadits, yaitu Khalid bin Makhlad. [11]
Jawaban:([12])
  • Hadits ini diriwayatkan Bukhari dalam Shahihnya (6502), Abu Nu’aim dalam al-Hilyah (1/4), al-Baghawi dalam Syarh Sunnah (1248), Abul Qasim al-Mahrawani dalam al-Fawa’id al-Muntakhabah ash-Shihah (1/3/2), Ibnul Hamami ash-Shufi dalam Muntakhab min Masmu’atihi (1/171), dan ketiganya menyatakan shahih, Rizqullah al-Hanbali dalam Ahadits min Masmu’atihi (1/2), Yusuf bin Hasan an-Nabilsi dalam Ahadits as-Sittah al-Iraqiyyah (1/26), al-Baihaqi dalam al-Asma’ wa Shifat (491) dan az-Zuhud (2/83) dari jalan Khalid bin Makhlad: Menceritakan kami Sulaiman bin Bilal: Menceritakanku Syarik bin Abdullah bin Abu Nimr dari Atha’ dari Abu Hurairah
  • Sanad hadits ini lemah, dia termasuk beberapa hadits sedikit yang dikritik oleh para ulama terhadap Bukhari. Adz-Dzahabi mengatakan pada biografi Khalid bin Makhlad al-Qathawani setelah menyebutkan komentar para ulama ahli hadits tentangnya: “Hadits ini aneh sekali. Seandainya bukan karena kewibawaan Jami’us Shahih (Shahih Bukhari), niscaya saya akan memasukkannya termasuk munkarat Khalid bin Makhlad, sebab lafazhnya aneh dan ditambah lagi Syarik sendirian dalam riwayatnya padahal dia bukan seorang yang pakar…”
  • Ucapan ini dinukil secara ringkas oleh al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (11/292-293) lalu katanya: “Namun hadits ini memiliki beberapa jalur lain yang dengan terkumpulnya menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.” Kemudian beliau menyebutkan delapan jalur penguat.
  • Syaikh al-Muhaddits al-Albani berkomentar dalam ash-Shahihah (4/185-186): “Demikianlah ucapan al-Hafizh. Beliau telah memaparkannya secara panjang lebar. Hal itu sangat wajar, sebab hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya bukanlah suatu hal yang mudah untuk mencela keabsahannya hanya karena kelemahan pada sanadnya, karena mungkin saja hadits tersebut memiliki beberapa penguat yang menguatkan dan mengangkatnya. Nah, apakah hadits ini termasuk di antaranya? Al-Hafizh telah memaparkan delapan penguat dan menetapkan bahwa dengan terkumpulnya jalan-jalan tadi menunjukkan bahwa hadits ini ada asalnya.
  • Menimbang, karena termasuk syarat diterimanya penguat adalah tidak terlalu lemah sebagaimana ditegaskan oleh para ulama dalam ilmu musthalah hadits, sehingga kalau terlalu lemah maka tidak bisa terangkat; dan juga harus sempurna, sehingga kalau tidak sempurna pun tidak diterima, maka kita harus meneliti dalam beberapa penguat ini, apakah memenuhi dua persyaratan tersebut ataukah tidak.”
  • Setelah membahas secara panjang lebar, beliau menyimpulkan di akhir bahasan (4/190): “Kesimpulannya, kebanyakan penguat ini tidak bisa menguatkan hadits ini, ada yang karena sangat lemahnya dan ada pula karena ringkasnya (tidak sempurna), kecuali mungkin hadits Aisyah radhiyallahu ‘anha dan Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, di mana kalau keduanya digabungkan dengan sanad hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ini maka bisa terangkat kepada derajat shahih, insya Alloh. Dan telah dishahihkan oleh para ulama yang telah saya sebutkan di muka.”
Barangsiapa yang ingin memperluas takhrij hadits ini, kami sarankan membaca Silsilah Ahadits ash-Shahihah (4/183-193) oleh al-Albani, karena beliau telah memaparkan jalur-jalurnya dengan pembahasan yang jarang didapati di kitab lainnya.([13])

D. Matan Hadits([14])
Sebagian kalangan dari kaum Sufi berdalil dengan hadits ini untuk memperkuat aqidah rusak mereka yaitu “wahdatul wujud”, bahwa Tuhan bersatu dengan hamba, sebab Alloh mengkhabarkan bahwa dirinya adalah pendengaran hamba, penglihatannya, tangannya, dan kakinya. [15]
Jawaban:
Hadits ini tidak mendukung aqidah mereka secuil pun, bahkan sebaliknya malah membantah aqidah mereka([16]) ditinjau dari beberapa segi:
1|   Alloh mengatakan: “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka Aku umumkan perang terhadapnya.” Dalam hadits ini Alloh menetapkan tiga wujud: diri-Nya, wali-Nya, musuh-Nya. Maka bagaimana kalian jadikan mereka satu dzat saja?!
2|   Alloh mengatakan: “Tidaklah hamba-Ku melakukan suatu amalan yang lebih Aku cintai daripada apa yang Aku wajibkan pada mereka, kemudian hamba-Ku senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan perkara sunnah sehingga Aku mencintainya.”
  • Jadi Alloh menetapkan adanya hamba yang mendekatkan diri kepada Alloh dengan kewajiban dan sunnah dan bahwasanya dia senantiasa mendekatkan diri kepada-Nya sehingga Alloh mencintainya. Hal itu menunjukkan adanya hamba dan Rabb, Yang mencintai dan yang dicintai, yang beribadah dan Yang diibadahi. Lantas bagaimana kalian jadikan keduanya satu dzat saja?!
3|   Alloh mengatakan: “Apabila Aku mencintainya maka Aku adalah pendengarannya yang dia mendengar dengannya…”
  • Kecintaan ini diraih oleh hamba setelah dia mendekatkan diri kepada Alloh dan setelah Alloh mencintainya. Adapun menurut keyakinan wahdatul wujud bahwa Alloh adalah hamba itu sendiri, baik setelah mendekatkan diri maupun sebelumnya.
4|   Dalam hadits ini Alloh mengkhususkan keutamaan tersebut bagi wali-Nya tetapi dalam pandangan wahdatul wujud hal itu umum mencakup seluruh makhluk baik wali maupun musuh Alloh. Kalau demikian masalahnya, lantas apa keistimewaan wali?!
5|   Dalam hadits ini Alloh hanya menyebut pendengaran, penglihatan, tangan, dan kaki, tetapi mereka memperluasnya meliputi perut, paha, hidung dan sebagainya.
6|   Di akhir hadits, Alloh berfirman: “Kalau dia meminta kepada-Ku maka Aku akan memberinya, dan apabila dia meminta perlindungan kepada-Ku maka Aku akan melindunginya.” Hal ini sangat jelas bahwa di sana ada yang meminta dan ada Yang dimintai, ada yang meminta perlindungan dan ada Yang dimintai perlindungan. Semua ini berseberangan dengan aqidah wahdatul wujud.
  • Adapun makna hadits ini yang benar:
Sesungguhnya seorang hamba, apabila dia menunaikan perkara yang diwajibkan Alloh padanya kemudian berusaha menambahinya dengan perkara-perkara sunnah dengan segala kemampuannya, niscaya Alloh akan mencintainya dan menolongnya dalam segala urusannya, kalau dia mendengar maka dia pendengarannya mendapatkan bimbingan Alloh sehingga tidak mendengar kecuali kebaikan, tidak menerima kecuali kebenaran dan menolak kebatilan. Dan apabila dia memandang dengan penglihatannya, dia memandang dengan cahaya dan hidayah dari Alloh, sehingga dia memandang kebenaran dan mengikutinya, dan memandang kebatilan dan menjauhinya. Demikian pula apabila dia berjalan, maka dia berjalan dengan bimbingan Alloh sehingga dia berjalan dalam ketaatan kepada Alloh seperti mencari ilmu, jihad, dakwah, silaturrahmi dan sebagainya.
Walhasil, seluruh amalannya, kekuatannya, dan anggota badannya dalam hidayah Alloh, penjagaan-Nya dan taufiq-Nya. [17]
  • Al-Hafizh Ibnu Rajab berkata: “Apabila kecintaan dan pengagungan kepada Alloh memenuhi hati seorang hamba maka setiap apa pun selain-Nya akan terhapus dari hatinya, sehingga tidak tersisa pada diri hamba sesuatu pun dari hawa dan keinginannya kecuali sesuai dengan apa yang dicintai Alloh. Ketika itulah dia tidak berucap kecuali dengan mengingat-Nya, tidak bergerak kecuali dengan perintah-Nya, bila dia berbicara, berjalan, mendengar, melihat semuanya dengan bimbingan dari Alloh. Inilah maksud dari sabda beliau: ‘Aku adalah pendengarannya, pandangannya, tangannya, dan kakinya.’ Siapa pun yang menafsirkan selain ini, maka sesungguhnya dia mengisyaratkan kepada aqidah hulul dan wahdatul wujud yang Alloh dan Rasul-Nya berlepas diri darinya.”[18]
  • Abu Sulaiman al-Khaththabi berkata: “Semua perumpamaan yang digambarkan oleh Nabi ini maksudnya adalah –Wallohu A’lam– bahwa Alloh memberikan taufiq kepadanya untuk melakukan amalan dengan anggota badannya tersebut, yakni Alloh memudahkannya dengan anggota badan tersebut untuk melakukan perbuatan-perbuatan yang dicintai oleh Alloh dan menjaganya dari terjerumus kepada perbuatan yang dibenci Alloh berupa mendengarkan ucapan batil dan sia-sia dengan pendengarannya, memandang hal yang haram dengan matanya, berjalan menuju keharaman dengan kakinya. Atau bisa jadi maksud hadits ini adalah lekasnya terkabulkannya do’a wali sebab usaha manusia itu adalah dengan empat anggota tubuh tersebut.” [19]
  • Samahatusy Syaikh Abdul Aziz bin Baz juga berkata: “Seorang yang sedikit saja memiliki bekal ilmu bahasa Arab tidak akan memahami bahwa maksud hadits ini bahwa Alloh adalah pendengaran manusia, penglihatannya, tangan, dan kakinya. Maha Suci Alloh dari ucapan mereka. Tetapi maksudnya adalah bahwa Alloh memberikan taufiq kepada para wali-Nya dalam setiap gerakan mereka disebabkan ketaatan mereka kepada-Nya.” [20] Demikianlah makna hadits ini secara benar sebagaimana dipahami oleh para ulama ahli hadits semenjak dahulu hingga sekarang. Peganglah ucapan mereka dan cukuplah hal itu sebagai pedoman bagi kita. 
إِذَا قَالَتْ حَذَامِ فَصَدِّقُوْهَا
    فَإِنَّ الْقَوْلَ مَا قَالَتْ حَذَامِ 
    Apabila Hadhami[21] berucap maka benarkanlah
    Karena kebenaran pada dirinya.

    E. Fawa’id Hadits([22]) [Pelajaran yang Bisa Dipetik]
    Hadits ini memiliki banyak faedah. Al-Hafizh asy-Syaukani menulis kitab khusus tentang penjelasan hadits ini berjudul Qathrul Walyi bi Syarhi Hadits Wali. Di antara faedah yang dapat dipetik dari hadits ini sebagai berikut:

    1|   Keutamaan para wali (kekasih) Alloh
    Tetapi siapakah yang disebut wali Alloh?! Mereka adalah setiap hamba yang beriman dan bertaqwa kepada Alloh, sebagaimana firman-Nya, yang artinya: 
    Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Alloh itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih. (Yaitu) orang-orang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. Yunus [10]: 62-63) 

    2|   Sifat utama wali Alloh
    Sifat mereka adalah melaksanakan kewajiban dan menambahinya dengan perkara sunnah. Oleh karenanya, jangan tertipu dengan penampilan para wali gadungan dari para tukang sihir dan penyimpang yang doyan kesyirikan, kebid’ahan, dan kemaksiatan, sekalipun mereka menampakkan kedigdayaan dan keluarbiasaan, sebab semua itu adalah tipu daya setan. 
    إِذَا رَأَيْتَ شَخْصًا يَطِيْرُ
    وَفَوْقَ مَاءِ الْبَحْرِ قَدْ يَسِيْرُ
    وَلَمْ يَقِفْ عَلَى حُدُوْدِ الشَّرْعِ
    فَإِنَّهُ مُسْتَدْرَجٌ بِدْعِيْ 
    Bila engkau lihat seorang dapat terbang
    Dan berjalan di atas lautan
    Padahal dia tidak menaati tatanan syari’at 
    Maka ketahuilah bahwa dia ahli bid’ah yang dimanja.

    3|   Bahaya menyakiti para wali
    Menyakiti para wali Alloh merupakan dosa besar, sebab Alloh menyatakan perang terhadapnya. Maka celakalah orang-orang yang mencela para nabi([23]), para sahabat nabi, dan para ulama salafush shalih.([24]) 

    Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin dan mukminah tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata. (QS. al-Ahzab [33]: 58) 

    Al-Hafizh Ibnu Katsir berkata dalam Tafsirnya (4/481):
    “Barisan yang pertama kali masuk dalam ancaman ayat ini adalah orang-orang yang kafir kepada Alloh dan Rasul-Nya, kemudian kaum Rafidhah (Syi’ah) yang biasa mencela para sahabat dan menuduh mereka yang bukan-bukan serta menyifati mereka berlainan tajam dengan sifat yang diberikan Alloh kepada mereka, di mana Alloh memuji mereka dan mengkhabarkan bahwa Dia telah ridha kepada kaum Muhajirin dan Anshar, tetapi orang-orang jahil dan tolol itu mencela dan menghina mereka, dan menuduh mereka yang bukan-bukan. Sungguh mereka adalah manusia yang terbalik hatinya, mencela manusia terpuji dan memuji manusia tercela.”
    4|   Menetapkan “perang” bagi Alloh
    Alloh telah menyebutkan juga tentang riba, yang artinya: “Maka jika kamu tidak mengerjakan (meninggalkan sisa riba) maka ketahuilah bahwa Alloh dan rasul-Nya akan memerangimu.“ (QS. al-Baqarah [2]: 279) 

    5|   Menetapkan sifat “cinta” bagi Alloh.
    6|   Perintah Alloh terbagi menjadi dua, ada yang wajib dan ada yang sunnah.
    7|   Anjuran memperbanyak amalan sunnah.
    8|   Banyak mengamalkan perkara sunnah merupakan sebab kecintaan Alloh.
    9|   Sesungguhnya Alloh apabila mencintai seorang hamba, maka Alloh akan mengabulkan do’anya dan memenuhi permintaannya.
    10| Seorang hamba akan merasakan dekat kepada Alloh ketika dia beramal shalih.

    Demikianlah pembahasan kita kali ini, kami mengajak diri kami dan saudara kami untuk mempertebal keimanan dan ketaqwaan kepada Alloh, semoga Alloh menjadikan kita semua termasuk wali-wali-Nya. Amiin.

    .
    Catatan kaki:

    [1] Majmu Fatawa Ibnu Taimiyah 28/131.
    [2] Demikianlah yang lebih tepat dalam bahasa Arab, dengan memfathah huruf wawu, sekalipun yang lebih populer adalah wihdatul wujud, dengan mengkasrah wawu.
    [3] Majmu Fatawa 2/132.
    [4] Dalam bahasa Arab ada sebuah kata hikmah Mukrahun Akhuka La Bathal (Saudaramu terpaksa, padahal sebenarnya dia tidak berani), sebagaimana dalam Majma’ Amtsal (hal. 274) oleh al-Maidani. Imam as-Suyuthi juga pernah mengatakan: “Ketahuilah wahai saudaraku –semoga Alloh merahmatimu– bahwa di antara ilmu ada yang seperti obat, dan di antara pendapat ada yang seperti tempat buang hajat yang tidak diingat kecuali ketika dibutuhkan saja.” (Miftahul Jannah hal. 5)
    [5] Dia adalah seorang dedengkot Sufi, pengibar bendera wahdatul wujud (wafat 638 H). Dia mempunyai berbagai pemikiran kufur. Oleh karenanya, para ulama menganggapnya sesat bahkan tak sedikit yang mengkafirkannya. Syaikh Burhanuddin al-Biqa’i (885 H) menulis sebuah kitab berjudul Tanbih al-Ghabiyyi ’ala Takfir Ibni Arabi sebanyak 241 halaman. Dalam kitab tersebut, beliau menukil ±50 ulama yang mengkafirkan atau minimal menganggapnya sesat; di antaranya:
    • al-Izz bin Abdussalam,
    • Ibnu Daqiq al-’Ied,
    • Ibnu Shalah,
    • al-Hafizh Ibnu Hajar,
    • al-Bulqini,
    • al-Iraqi,
    • Abu Zur’ah al-Iraqi,
    • al-’Aini, adz-Dzahabi,
    • Badruddin bin Jama’ah,
    • al-Jazari,
    • Ibnu Hisyam,
    • as-Subki,
    • Abu Hayyan,
    • dan lainnya. (Lihat pula Mashra’ Tashawwuf hal. 138-168 oleh Burhanuddin al-Biqa’i dan ar-Radd ’ala ar-Rifa’i wa al-Buthi hal. 111-113 oleh Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad)
    [6] Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata dalam Siyar A’lamin Nubala’ (23/48): 
    “Di antara karya tulisnya (Ibnu Arabi) yang paling jelek adalah kitab Fushus, sebab kalau di dalamnya itu bukan kekufuran, maka tidak ada kekufuran di dunia ini. Kita memohon kepada Alloh ampunan dan keselamatan.”
    Ismail Abul Fida’ dalam kitabnya Akhbar Basyar (4/79) menyebutkan: “Pada tahun 744 H, kami merobek kitab Fushus Hikam karya Muhyiddin Ibnu Arabi di madrasah ’Ushfuriyah di kota Halab usai pelajaran sebagai peringatan akan haramnya menelaah dan memiliki kitab tersebut. Saya berkata tentangnya: 

    Ini adalah Fushus (batu mata cincin) yang tiada berharga
    Saya telah membaca ukirannya tetapi pahalanya ada pada sebaliknya. 
    (Lihat pula Kutub Hadzara Minha al-Ulama 1/37 oleh Syaikh Masyhur Hasan Salman).
    Anehnya, kitab ini telah disyarah oleh kurang lebih seratus lebih ulama Sufi, tiga di antara mereka adalah murid-murid Ibnu Arabi sendiri!! (Lihat Muallafat Ibnu Arabi hal. 479 oleh Utsman Yahya, Aqidah Shufiyyah hal. 158 oleh DR. Ahmad bin Abdul Aziz)
    [7] al-Luma’ fi Tashawwuf hal. 461 oleh Abdullah ath-Thusi, tahqiq Abdul Halim Mahmud, sebagaimana dalam ar-Rudud Ilmiyyah fi Dahdzi Abathil Shufiyyah hal. 266 oleh DR. Muhammad bin Ahmad al-Juwair.
    [8] al-Muwafaqat 3/52.
    [9] al-Furqan baina Auliya’ Rahman wa Auliya’ Syaithan hal. 50.
    [10] Majmu’ Fatawa 18/129.
    [11] Lihat Mizan I’tidal 1/64 adz-Dzahabi: biografi Khalid bin Makhlad, Jami’ul Ulum wal Hikam 2/330-331 Ibnu Rajab, Tafsir al-Manar Rasyid Ridha: surat Yunus [10]: 62-63, as-Sunnah Nabawiyyah Muhammad Ghazali: hal. 77 cet. Keenam.
    [12] Diringkas dari Silsilah Ahadits ash-Shahihah (4/184-190/no.1640) oleh al-Muhaddits al-Albani.
    [13] Dan hal ini merupakan salah satu bukti di antara banyak bukti pembelaan dan penghormatan Syaikh al-Albani terhadap Shahih Bukhari-Muslim, berbeda dengan anggapan sebagian kalangan. Lihat uraian penulis tentang masalah ini secara agak luas dalam bukunya “Syaikh al-Albani Dihujat” hal. 75-80. Semoga Allah memudahkan kami untuk mencetak ulang buku ini kembali.
    [14] Dinukil dengan beberapa tambahan dari kitab Aqidah Shufiyyah Wihdatul Wujud Khafiyyah (hal. 564-566) oleh DR. Ahmad bin Abdul Aziz al-Qushayyir, cet. Maktabah ar-Rusyd.
    [15] Lihat Fushus Hikam hal. 189 Ibnu Arabi, Thabaqat Kubra 2/24 asy-Sya’rani, Syarh Fushus Hikam 1/19 al-Qaishari, Iqadhul Himam hal. 52 Ibnu Ajibah, Syarh Jawahir Nushus hal. 47 an-Nabilisi.
    [16] Alangkah bagusnya ucapan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah: “Setiap ayat yang digunakan oleh ahli bid’ah maka pada ayat itu sendiri terdapat dalil yang membantah ucapannya, dan setiap dalil akal yang digunakan oleh ahli bid’ah maka pada dalil itu sendiri terdapat dalil yang menunjukkan kerusakan ucapannya.” (Lihat al-Aqud ad-Durriyyah hal. 39 oleh muridnya, Ibnu Abdil Hadi)
    [17] Lihat Majmu’ Fatawa 2/341 Ibnu Taimiyah, ad-Da’ wa Dawa’ hal. 315-319 Ibnul Qayyim, Fathul Bari 11/344 Ibnu Hajar, Qathrul Walyi bi Syarhi Hadits Wali hal. 428-429 asy-Syaukani, Fatawa Lajnah Da’imah 3/158, Fatawa Syaikh Ibnu Utsaimin 1/257-258.
    [18] Jami’ul Ulum wal Hikam 2/347.
    [19] Syarh Sunnah, al-Baghawi, 5/20.
    [20] Majmu’ Fatawa wa Maqalat 3/66-67.
    [21] Hadzami adalah nama wanita, istri seorang penyair. Makna bait ini: 
    • “Wanita ini dalam setiap ucapannya selalu benar, sehingga apabila dia mengatakan suatu ucapan maka ketahuilah bahwa itu adalah ucapan yang paten, tidak boleh diselisihi, kalian harus membenarkannya dan meyakini ucapannya.” (Sabilul Huda bi Tahqiq Syarh Qathr Nada, Muhammad Muhyiddin Abdul Hamid, hal. 35). 
    •  Dialah yang digelari dengan Zarqa’ Yamamah, yang konon ceritanya dapat melihat sesuatu yang jaraknya sejauh perjalanan tiga hari dengan mata kepalanya. Dan ketika dia terbunuh, dilihat ternyata pangkal matanya penuh dengan celak mata Itsmid. (Lihat Khizanatul Adab oleh al-Baghdadi 10/255 dan Syarh Mumti’ 1/157 oleh Syaikh Ibnu Utsaimin).
    [22] Dinukil –dengan beberapa tambahan– dari Syarh Arba’in Nawawiyyah (hal. 409-412) oleh Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin.
    [23] Beberapa bulan lalu, kita dibuat heboh oleh kelakuan jahat beberapa warga Denmark yang menampilkan gambar karikatur Nabi Muhammad yang penuh dengan bom dan rudal di kepalanya. Tapi yakinlah bahwa hal itu adalah pertanda kehancuran mereka sendiri, sebab Alloh telah berjanji untuk menghancurkan orang-orang yang merendahkan beliau (QS. al-Kautsar [108]: 3).
    • Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata dalam kitabnya ash-Sharimul Maslul (hal. 165): “Setiap orang yang melecehkan Nabi, membencinya, dan memusuhinya, maka Alloh pasti membinasakannya dan melenyapkannya.” Salah satu yang telah terbukti, baru beberapa hari kemudian dari ulah perbuatan mereka, negara Denmark langsung mengalami kerugian besar dalam perekonomiannya disebabkan pemboikotan negara-negara Islam terhadap produk-produknya!! Maha Benar Alloh.
    [24] Alangkah indah ucapan Imam Syafi’i: “Kalau para ulama bukan wali Alloh, maka saya tidak tahu siapakah mereka?” Oleh karenanya, barangsiapa yang merendahkan dan mencela para ulama Sunnah, maka dia berada di ambang kehancuran.
    • Imam Ibnu Asakir berkata dalam Tabyin Kadzib al-Muftari (hal. 29): “Ketahuilah wahai saudaraku, bahwa daging para ulama –semoga Alloh merahmati mereka– beracun. Alloh pasti menyingkap tirai para pencela mereka, karena menuduh dan menodai kehormatan mereka merupakan perbuatan dosa besar.”

    Hukum Mengusap Khuf (Sepatu)

    Label:

    Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
     
    Islam selalu mendatangan kemudahan. Inna ad diina yusrun[1], sesungguhnya Islam itu mudah, demikian sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Di antara kemudahan yang diberikan oleh Islam adalah memberikan keringanan saat thoharoh (bersuci). Ketika seseorang mesti mengenakan khuf (sejenis sepatu) dan sulit ia copot karena berada dalam perjalanan (misalnya), maka Islam mengajarkan jika kondisi demikian sepatu tersebut tidak perlu dilepas. Sepatu tersebut hanya perlu diusap asalkan sebelumnya dikenakan dalam keadaan suci. Baik, bagaimanakah Islam menjelaskan hal ini? Alangkah bagusnya kita menyimak ulasan sederhana berikut ini.

    Apa itu Khuf dan Apa yang Dimaksud Mengusap?

    Khuf adalah alas kaki dari kulit yang menutupi mata kaki[2].

    Sedangkan mengusap diistilahkan dengan (مَسْحِ) “mash” yaitu tangan yang dalam keadaan basah bergerak menyentuh sesuatu[3]. Jadi yang dimaksud mengusap khuf adalah membasahi khuf dengan cara yang khusus, di bagian yang khusus, dan pada waktu yang khusus sebagai ganti dari membasuh kedua kaki saat berwudhu.[4]

    Dalil Pensyariatan Khuf

    Tentang dalil pensyariatan mengusap khuf adalah dari berbagai hadits Nabawiyah. Di antaranya dari hadits ‘Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu,
    لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
    Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[5]

    Ada juga riwayat dari Jarir bin ‘Abdillah Al Bakhili radhiyallahu ‘anhu bahwa beliau kencing, kemudian berwudhu lalu mengusap kedua khufnya. Ada yang mengatakan padanya, “Betul engkau melakukan seperti itu?” “Iya betul”, jawab Jarir. Saya pernah melihat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam kencing, kemudian beliau berwudhu, lalu hanya mengusap kedua khufnya saja. Dan perlu diketahui bahwa Jarir masuk Islam setelah turun firman Allah yaitu surat Al Maidah berikut,

    يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ
    Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)[6]

    Penulis Tuhfatul Ahwadzi rahimahullah menjelaskan bahwa seandainya Jarir masuk Islam lebih dulu sebelum turunnya surat Al Maidah di atas, maka dapat dipahami kalau mengusap khuf itu sudah dihapus dengan ayat Al Maidah tersebut. Namun Islamnya Jabir ternyata belakangan setelah turun surat Al Maidah tadi. Dari sini dapat diketahui bahwa hadits mengusap khuf itu masih tetap diamalkan. Sedangkan yang dimaksud mencuci kaki (bukan mengusap khuf) dalam surat Al Maidah di atas berlaku untuk selain yang mengenakan khuf. Oleh karena itu, sunnah di sini menjadi pengkhusus bagi ayat di atas. Demikian kata An Nawawi.[7]

    Dalil yang menjelaskan disyari’atkannya mengusap khuf diriwayatkan lebih dari 80 sahabat radhiyallahu ‘anhum, di antara mereka adalah sepuluh sahabat yang diberi kabar gembira masuk surga.[8]

    Ibnul Mubarok rahimahullah mengatakan, “Tidak ada beda pendapat di kalangan sahabat akan bolehnya mengusap khuf. Karena setiap riwayat yang menunjukkan kalau mereka mengingkari bolehnya hal itu, dalam riwayat lainnya menunjukkan kebalikannya yaitu mereka membolehkan mengusap khuf.”[9]

    Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah mengatakan, “Aku tidak mengetahui riwayat dari salaf yang mengingkari bolehnya mengusap khuf kecuali dari Malik. Namun riwayat shahih dari Imam Malik adalah beliau membolehkan mengusap khuf.”[10]

    Hukum Mengusap Khuf

    Hukum asal mengusap khuf adalah boleh. Menurut mayoritas ulama, mencuci kaki lebih afdhol (lebih utama) daripada mengusap khuf. Mengusap khuf adalah rukhsoh (keringanan) dalam ajaran Islam. Allah subhanahu wa ta’ala amat menyukai orang yang mengambil rukhsoh (keringanan), sebagaimana Dia suka jika seseorang menjauhi larangan-Nya. Namun menurut ulama Hambali, mengusap khuf itu lebih afdhol karena itu berarti seseorang mengambil rukhsoh dan kedua-keduanya (antara mengusap khuf dan mencuci kaki saat wudhu) adalah suatu hal yang sama-sama disyari’atkan.[11]

    Hikmah Mengusap Khuf

    Hikmah mengusap khuf adalah untuk mendatangkan kemudahan dan keringanan bagi setiap muslim. Kesulitan yang dihadapi barangkali adalah kesulitan untuk melepas khuf dan mencuci kedua kaki, apalagi saat musim dingin atau ketika mendapati cuaca yang amat dingin. Begitu pula kesulitan tersebut bisa jadi didapati ketika safar yang biasanya terjadi ketergesa-gesaan sehingga sulit untuk mencuci kaki secara langsung.[12]

    Syarat Bolehnya Mengusap Khuf

    Syarat yang harus dipenuhi agar dibolehkan mengusap khuf adalah sebelum mengenakan khuf dalam keadaan bersuci (berwudhu atau mandi[13]) terlebih dahulu. Hal ini berdasarkan hadits Al Mughiroh bin Syu’bah, ia berkata, “Pada suatu malam di suatu perjalanan aku pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Lalu aku sodorkan pada beliau bejana berisi air. Kemudian beliau membasuh wajahnya, lengannya, mengusap kepalanya. Kemudian aku ingin melepaskan sepatu beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, namun beliau berkata,

    دَعْهُمَا ، فَإِنِّى أَدْخَلْتُهُمَا طَاهِرَتَيْنِ » . فَمَسَحَ عَلَيْهِمَا
    Biarkan keduanya (tetap kukenakan). Karena aku telah memakai keduanya dalam keadaan bersuci sebelumnya.” Lalu beliau cukup mengusap khufnya saja.[14] Syarat ini yaitu mengenakan khuf dalam keadaan sudah bersuci dengan sempurna adalah syarat yang disepakati oleh para ulama.[15]

    Adapun syarat yang dikatakan oleh sebagian ulama bahwa khuf tersebut harus menutupi kaki (yang wajib dibasuh saat wudhu), harus kokoh dan kuat digunakan untuk berjalan, maka tentang hal ini telah dijelaskan oleh Ibnu Taimiyah rahimahullah dalam fatwanya akan lemahnya pendapat tersebut.[16]

    Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Mengusap khuf disebutkan secara mutlak. Dan diketahui bahwa cacat ringan secara adat yang didapati pada khuf seperti adanya belahan, sobekan, lebih-lebih lagi jika khuf tersebut sudah lama dikenakan dan para sahabat di masa dahulu kebanyakan miskin, yang tidak mungkin mereka terus menggunakan khuf baru.”[17] Pendapat yang tepat adalah masih bolehnya mengusap khuf yang cacat (seperti ada sobekan) selama masih disebut khuf dan selama masih kuat untuk digunakan berjalan.[18]

    Bagian Mana yang Diusap?

    Bagian khuf yang diusap bukanlah seluruh khuf, atau bukan pula pada bagian bawah yang biasa menginjak tanah atau kotoran. Yang diajarkan dalam Islam, ketika berwudhu bagian khuf yang diusap adalah bagian punggung khuf (atas). Jadi cukup bagian atas khuf yang dibasahi lalu khuf diusap (tidak perlu air dialirkan), sebagaimana definisi “mengusap” (مَسْحِ) yang sudah disebutkan di awal.


    Dalilnya adalah hadits dari ‘Ali bin Abi Tholib, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
    لَوْ كَانَ الدِّينُ بِالرَّأْىِ لَكَانَ أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَمْسَحُ عَلَى ظَاهِرِ خُفَّيْهِ.
    Seandainya agama itu dengan logika semata, maka tentu bagian bawah khuf lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Namun sungguh aku sendiri telah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap bagian atas khufnya.”[19]

    Jangka Waktu Bolehnya Mengusap Khuf

    Keringanan mengusap khuf di sini bukan selamanya, ada masanya yang dibatasi oleh ajaran Islam. Bagi orang yang mukim, jangka waktu mengusap khuf adalah sehari semalam (1×24 jam), sedangkan untuk musafir selama tiga hari tiga malam (3×24 jam).

    Dari Shafwan bin ‘Assal, ia berkata,
    فَأَمَرَنَا أَنْ نَمْسَحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ إِذَا نَحْنُ أَدْخَلْنَاهُمَا عَلَى طُهْرٍ ثَلاَثاً إِذَا سَافَرْنَا وَيَوْماً وَلَيْلَةً إِذَا أَقَمْنَا وَلاَ نَخْلَعَهُمَا مِنْ غَائِطٍ وَلاَ بَوْلٍ وَلاَ نَوْمٍ وَلاَ نَخْلَعَهُمَا إِلاَّ مِنْ جَنَابَةٍ
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan kepada kami untuk mengusap khuf yang telah kami kenakan dalam keadaan kami suci sebelumnya. Jangka waktu mengusapnya adalah tiga hari tiga malam jika kami bersafar dan sehari semalam jika kami mukim. Dan kami tidak perlu melepasnya ketika kami buang hajat dan buang air kecil (kencing). Kami tidak mencopotnya selain ketika dalam kondisi junub.[20]

    Dari Syuraih bin Haani’, ia berkata, aku pernah mendatangi ‘Aisyah, lalu akan menanyakannya mengenai cara mengusap khuf. ‘Aisyah menjawab, “Lebih baik engkau bertanya pada ‘Ali bin Abi Tholib, tanyakanlah padanya karena ‘Ali pernah bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” Kemudian aku bertanya kepada ‘Ali, lantas ia menjawab,

    جَعَلَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَةَ أَيَّامٍ وَلَيَالِيَهُنَّ لِلْمُسَافِرِ وَيَوْمًا وَلَيْلَةً لِلْمُقِيمِ
    Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadikan tiga hari tiga malam sebagai jangka waktu mengusap khuf bagi musafir, sedangkan sehari semalam untuk mukim.”[21]

    Kapan dihitung 1×24 jam (bagi mukim) atau 3×24 jam (bagi musafir)? 

    Hitungannya adalah dimulai dari mengusap pertama kali setelah berhadats. Demikian pendapat Imam Ahmad, Al Auzai, An Nawawi, Ibnul Mundzir, dan Ibnu ‘Utsaimin. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan “musafir mengusap” atau “mukim mengusap”. Ini menunjukkan bahwa waktu permulaan sebagai hitungan memulai mengusap adalah ketika mengusap khuf pertama kali. Demikian pemahaman tekstual (zhohir) dari hadits. Wallahu a’lam.[22]

    Contoh: Ahmad berwudhu sebelum memulai safar pada pukul 06.00. Pada pukul 09.00, wudhu Ahmad batal karena hadats kecil (kentut). Namun ia berwudhu pada pukul 12.00 saat akan melaksanakan shalat Zhuhur. Maka pada pukul 12.00 mulai hitungan 3×24 jam bagi Ahmad. Jadi setelah 3×24 jam (pukul 12.00 tiga hari berikutnya), masa mengusap khuf bagi Ahmad usai.

    Cara Mengusap Khuf

    Setelah berwudhu secara sempurna lalu mengenakan khuf, kemudian setelah itu tatkala ingin berwudhu cukup khuf saja yang diusap sebagai ganti dari mencuci (membasuh) kaki. Keringanan seperti ini diberikan bagi orang mukim selama 1×24 jam dan bagi musafir selama 3×24 jam. Namun ketika seseorang terkena hadats besar (yaitu junub), wajib baginya melepas sepatunya saat bersuci. Sebagaimana hal ini dijelaskan dalam hadits Shafwan di atas.[23]

    Pembatal Mengusap Khuf
    • Berakhirnya waktu mengusap khuf.
    • Terkena junub.
    • Melepas sepatu.[24]
      Jika khuf dilepas –dan masa mengusap khuf belum selesai- kemudian berhadats, maka tidak diperkenankan mengenakan khuf dan mengusapnya, karena ketika itu berarti seseorang memasukkan kakinya dalam keadaan tidak suci.

      Jika salah satu pembatal di atas ada, maka tidak diperkenankan mengusap khuf. Wajib baginya ketika berhadats, ia berwudhu lagi, lalu ia mencuci kakinya secara langsung saat itu. Kemudian setelah itu, ia boleh lagi mengenakan khuf dan mengusapnya.[25]

      Catatan penting: Jika salah satu pembatal mengusap khuf di atas terwujud tidak berarti wudhunya batal jika memang masih dalam keadaan suci. Demikian pendapat An Nakho’i, Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibnu Hazm, pilihan An Nawawi, Ibnul Mundzir dan Ibnu Taimiyah.[26]

      Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat.

      References:
      • Ad Durul Mukhtar, Al Hish-faki, Mawqi’ Ya’sud (sesuai cetakan).
      • Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, terbitan Kementrian Agama Kuwait.
      • Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, Abul Fath Nashiruddin bin ‘Abdis Sayyidin ‘Ali bin ‘Ali bin Al Mathrizi, terbitan Maktabah Usamah bin Zaid, cetakan pertama, 1979.
      • Fiqih Sunnah, Sayyid Sabiq, tahqiq: Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, terbitan Muassasah Ar Risalah, cetakan ketiga, 1430 H.
      • Majmu’ Al Fatawa, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, terbitan Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H.
      • Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik Kamal bin Asy Sayyid Salim, cetakan Al Maktabah At Taufiqiyah.
      • Subulus Salam, Muhammad bin Ismai’l Al Amir Ash Shan’ani, tahqiq: Muhammad Shabhi Hasan Hallaq, terbitan Dar Ibnul Jauzi, cetakan kedua, Muharram 1432 H.
      • Tuhfatul Ahwadzi, Muhammad bin ‘Abdirrahman bin ‘Abdirrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Alaa, terbitan Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah.
        Riyadh-KSA, 8 Jumadil Ula 1432 H (11/04/2011)
        Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal

        [1] HR. Bukhari no. 39. [2] Subulus Salam, 1/233.
        [3] Al Mughrib fii Tartiibil Mu’rob, 2/266.
        [4] Ad Durul Mukhtar, 1/281.
        [5] HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
        [6] Lihat HR. Ibnu Majah no. 543. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.
        [7] Tuhfatul Ahwadzi, 1/264
        [8] Ad Durul Mukhtar, 1/286
        [9] Subulus Salam, 1/235.
        [10] Idem.
        [11] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/262.
        [12] Idem.
        [13] Sebagaimana pendapat mayoritas ulama selain Syafi’iyah. Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264.
        [14] HR. Ahmad 4/251, Bukhari no. 206 dan Muslim no. 274.
        [15] Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 37/264.
        [16] Fiqih Sunnah, 1/47.
        [17] Majmu’ Al Fatawa, 21/174.
        [18] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/154.
        [19] HR. Abu Daud no. 162. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
        [20] HR. Ahmad 4/239. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa penjelasan mengenai mengusap khuf dalam hadits ini dinilai shahih lighoirihi (dilihat dari jalur lain). Sedangkan sanad ini hasan dilihat dari jalur ‘Ashim.
        [21] HR. Muslim no. 276.
        [22] Shahih Fiqh Sunnah, 1/152.
        [23] Fiqih Sunnah, 1/48.
        [24] Fiqh Sunnah, 1/ 48 dan Shahih Fiqh Sunnah, 1/155.
        [25] Shahih Fiqh Sunnah, 1/155
        [26] Shahih Fiqh Sunnah, 1/156

         
        Test © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone