Oleh : Ustadz Abu Isma’il Muslim Al Atsari
Dunia adalah negeri ujian. Allah subhanahu wa ta’ala menghendaki keadaan manusia berbeda-beda sebagai ujian. Ada orang Mukmin dan kafir, orang sehat dan sakit, orang kaya dan miskin, dan seterusnya. Makna semua ini, bahwa seseorang itu di uji dengan orang yang tidak seperti dia. Seseorang yang kaya contohnya, dia di uji dengan keberadaan orang miskin. Sepantasnya orang kaya tersebut, membantunya dan tidak menghinanya. Sebaliknya si miskin juga di uji dengan keberadaan si kaya. Sepantasnya dia tidak hasad terhadap si kaya dan tidak mengambil hartanya dengan tanpa hak. Dan masing-masing berkewajiban meniti jalan kebeneran.
Maka jika kita liat di uji oleh Allah ta’ala dengan kemiskinan dan kesulitan hidup, hendaklah kita menyikapinya dengan cara-cara yang telah ditunjukkan oleh Allah ta’ala dan Rasul-Nya. Di antara kiat-kiat menghadapi keadaan sulit tersebut itu adalah :
Wajib berkhusnudzon kepada Allah ta’ala
Yang pertama dan utama hendaklah setiap hamba berkhusnudzon (berprasangka baik) kepada Allah ta’ala ketika musibah dan kesusahan yang menimpanya. Karena sesungguhnya keimanan dan tauhid seseorang tidak akan sempurna kecuali dengan husnudzon kepada Allah ta’ala. Syaikh Muhammad bin Shalih al ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Engkau wajib husnudzon kepada Allah ta’ala terhadap perbuatannya di alam ini. Engkau wajib menyakini bahwa apa yang Allah ta’ala lakukan itu untuk hikmah yang sempurna. Terkadang akal manusia yang memahaminya atau terkadang tidak. Dengan cara itulah keagungan Allah ta’ala dan hikmah-Nya di dalam takdir-Nya bisa diketahui. Maka janganlah ada yang menyangka bahwa jika Allah ta’ala melakukan sesuatu di alam ini, adalah karena kehendak-Nya yang buruk. Termasuk kejadian-kejadian dan musibah-musibah yang ada, Allah ta’ala tidak mengadakannya karena kehendak buruk yang berkaitan dengan perbuatan-Nya. Adapun yang berkaitan dengan makhluk, bahwa Allah ta’ala menetapkan apa yang Dia kehendaki, itu terkadang menyusahkannya, maka ini seperti firman Allah ta’ala:
“Katakanlah: “Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah, jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?” [QS.al Ahzab/33:17] [1]
Bersabar
Kemudian senjata hamba di dalam menghadapi kesusahan adalah kesabaran. Sabar adalah sifat yang agung. Sabar menghadapi kesusahan adalah menahan jiwa dari berkeluh kesah, menahan lisan dari mengadu kepada manusia, dan menahan anggota badan dari perkara yang menyelesihi syari’at. Bagi seorang Mukmin sabar merupakan senjatanya untuk menghadapi kesusahan. Dan hal itu akan membuahkan kebaikan baginya.
Jika kita melihat keadaan Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam dan keluarganya, maka kita akan takjub dengan kesabaran mereka menghadapi kesusahan hidup di dunia ini. Memang karena layak dijadikan panutan. Ibnu Abbas rahimahullah berkata:
“Dahulu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam melewati beberapa malam berturut-turut dengan keadaan perutnya kosong, demikian juga keluarganya, mereka tidak mendapati makan malam. Dan sesungguhnya kebanyakan rotinya mereka adalah roti gandum. [2]
Bersikap Qana’ah
Selain kesabaran, maka sikap yang tidak kalah penting adalah qana’ah. Yang dimaksud dengan qana’ah adalah ridha terhadap pembagian Allah ta’ala. Karena sesungguhnya hakekat kaya itu adalah kaya hati, bukan kaya harta. Dan qana’ah merupakan jalan kebahagiaan. Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Sesungguhnya telah beruntung orang yang telah masuk agama islam, diberi kecukupan rezeki dan Allah menjadikannya qana’ah terhadap apa-apa yang telah Dia berikan kepadanya. [3]
Yaitu benar-benar sukses orang yang tunduk kepada Rabbnya dan dia diberi rezeki yang mencukupi keperluan dan kebutuhan pokonya; dan Allah subhanahu wa ‘ta’ala menjadikannya qana’ah terhadap semua yang telah Dia berikan kepadanya. [4]