Hukum Sujud Kepada Manusia

Label: ,

Sujud kepada manusia itu ada dua macam.

Pertama, sujud ibadah itulah sujud yang bertujuan mendekatkan diri kepada manusia. Ini jelas kemusyrikan

Kedua, sujud penghormatan dan pemuliaan kepada manusia yang sujud itu ditujukan kepadanya semisal sujudnya para saudara nabi Yusuf kepada Yusuf dan sujud Muadz kepada Nabi. Sujud jenis kedua ini mubah dalam syariat para nabi terdahulu lalu diharamkan dalam syariat kita bahkan dinilai sebagai bagian dari dosa besar.

Sedangkan bersujud kepada benda yang tidak bisa kita bayangkan sama sekali bahwa benda semacam itu layak mendapatkan penghormatan dan pemuliaan semisal sujud kepada patung atau matahari atau semisalnya maka ini adalah kemusyrikan yang nyata.

An Nawawi asy Syafii mengatakan,
وأما ما يفعله عوام الفقراء وشبههم من سجودهم بين يدي المشايخ وربما كانوا محدثين فهو حرام بإجماع المسلمين
“Adapun kelakuan orang-orang sufi yang awam atau orang awam lain semisal mereka yang bersujud kepada para kyai atau ustadz sufi atau boleh jadi pakar hadits maka itu adalah perbuatan yang hukumnya haram dengan sepakat seluruh kaum muslimin”.

وسئل ابن الصلاح عن هذا السجود الذي قدمناه فقال (( هو من عظائم الذنوب ونخشى أن يكون كفراً.))
Ibnu Shalah asy Syafii ditanya mengenai sujud sebagaimana yang telah kami sampaikan di muka, jawaban beliau, “Itu terhitung dosa besar dan kami khawatir itu tergolong kekafiran” [al Majmu 2/44, pada topik bahasan menyentuh mushaf dalam kondisi berhadats]

Ketika membahas berbagai perbuatan dan perkataan yang membatalkan keimanan, Ibnu Hajar al Haitami asy Syafii mengatakan,
(( ومنها ما يفعله كثيرون من الجهلة من السجود بين يدي المشايخ إذا قصدوا عبادتهم أو التـقـرب إليهم.لا إن قصدوا تعظيمهم أو أطلقوا فلا يكون كفراً بل هو حراماً قطعاً ))
“Diantara pembatal iman adalah perbuatan banyak orang-orang bodoh yang bersujud di hadapan kyai. Ini adalah pembatal keimanan jika maksud sujud adalah ibadah dan mendekatkan diri kepada mereka, para kyai tersebut. Jika maksud sujud adalah menghormati atau tanpa maksud yang jelas maka hal itu bukanlah pembatal keimana namun jelas perbuatan yang hukumnya haram” [al I’lam bi Qawathi’il Islam].

Dasar pelarangan sujud penghormatan kepada manusia adalah sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam,
لو كنت آمر أحداً أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
“Seandainya boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang maka niscaya kuperintahkan isteri untuk bersujud kepada suaminya” [HR Tirmidzi dari Abu Hurairah].

Tidaklah diragukan bahwa sujud penghormatan kepada sesama manusia adalah hal yang haram dan terlarang dan termasuk jalan dan sarana menuju kemusyrikan.

Jadi sujud kepada manusia dalam rangka memberikan penghormatan dan bukan karena ibadah adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan jika dilakukan karena ibadah dan memohon perlindungan maka itu adalah kemusyrikan.

Sehingga hukum sujud kepada manusia perlu mendapatkan rincian. Jika dalam rangka menghormati maka hukumnya adalah dosa dan maksiat karena menghormati manusia adalah hal yang mungkin untuk dibayangkan. Namun jika dalam rangka ibadah maka itu adalah kekafiran dan kemusyrikan dengan sepakat ulama. Dasar rincian ini adalah menimbang bahwa sujud dalam rangka menghormati itu dibolehkan di syariat nabi terdahulu sedangkan kemusyrikan itu haram dalam semua syariat para nabi. Seandainya semua sujud kepada manusia itu kemusyrikan untuk sujud dalam bentuk apapun tidaklah dibolehkan dalam syariat para nabi terdahulu.

Sedangkan bersujud kepada selain manusia semisal kuburan, pohon, matahari dan rembulan adalah kemusyrikan karena tidak mungkin kita bayangkan adanya penghormatan dan pemuliaan terhadap benda-benda tersebut dan sujud kepada benda-benda semacam ini tidak pernah dibolehkan dalam syariat para nabi terdahulu. Padahal kemusyrikan adalah kemusyrikan baik dalam syariat nabi terdahulu ataupun dalam syariat kita.

Ajaran semua para nabi itu sama, perbedaan hanya terjadi pada rincian syariat masing-masing nabi. Andai sujud dalam rangka penghormatan itu kemusyrikan niscaya statusnya juga kemusyrikan dalam ajaran para nabi terdahulu.

Adapun orang yang berpendapat bahwa bolehnya sujud kepada manusia dalam rangka penghormatan adalah itu sudah dihapus dan sekarang hukumnya adalah kemusyrikan pada ‘sudah dihapus’ adalah benar, namun menilai bahwa sujud penghormatan dalam syariat kita adalah kekafiran adalah anggapan yang tidak benar. Orang tersebut dituntut untuk mendatangkan dalil syariat yang menunjukkan benarnya perkataanya.

Jadi tauhid dan kekafiran itu adalah hal yang disepakati dalam syariat semua para nabi. Perbedaan syariat para nabi itu hanya ada pada rincian atau detail syariat semisal sujud dalam rangka penghormatan.

Sumber:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=152560#post152560

Hukum Memejamkan Mata Ketika Shalat

Label: , ,

Pertanyaan: Berdoa atau berdzikir dengan keadaan mata terpejam memang terasa lebih khusyuk. Dan saya sering melakukannya. Namun akhir-akhir ini ada perasaan khawaatir, jangan-jangan hal itu tidak sesuai deengan ajaran Nabi. Mohon penjelasan


Jika ada orang yang bertanya, “Seandainya ada seorang yang memejamkan kedua matanya sehingga tidak memandang apa-apa, apakah hal ini diperbolehkan ataukah tidak, maka jawabannya pendapat yang benar, hal tersebut dimakruhkan karena tindakan tersebut menyerupai tindakan majusi pada saat memuja api. Di mana mereka pada saat itu memejamkan mata-mata mereka. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan perbuatan orang-orang Yahudi sedangkan menyerupai orang-orang non Islam, minimal hukumnya adalah haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Jika demikian memejamkan mata pada saat sholat minimal hukumnya adalah makruh. Kecuali jika ada penyebab untuk melakukannya. Misalnya di sekeliling orang yang sholat tersebut, terdapat sesuatu yang mengganggu konsentrasinya seandainya dia membuka kedua matanya. Nah! Pada saat inilah hendaknya mata dipejamkan dalam rangka menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut. 

Andai ada orang yang bertanya, ‘Jika aku memejamkan mataku, maka aku merasa lebih khusyu’ daripada aku tidak memejamkan mataku’ lalu apakah aku diperbolehkan memejamkan mata karena alasan demikian. Jawabannya adalah tetap tidak boleh. Karena kekhusyukan yang didapatkan melakukan perbuatan yang hukumnya makruh itu berasal dari syetan. Kekhusyukan seperti itu tak ubahnya sebagaimana kekhusyukan orang-orang sufi. Ketika melafadzkan dzikir-dzikir bid’ah, syetan terkadang menjauh dari hati kita sehingga tidak menimbulkan was-was ketika kita memejamkan mata dengan maksud untuk menjerumuskan kita dalam hal yang hukumnya makruh. Hendaknya mata tetap kita buka hendaknya kita berusaha untuk khusyuk ketika melaksanakan shalat. Sedangkan memejamkan mata tanpa sebab agar mendapatkan kekhusyukan sekali lagi ini berasal dari syetan. (Lihat Shifat as-Sholah karya Ibn Utsaimin hal 53 cetakan Darul Kutub al-Ilmiah)

Hanya Kepada-Mu Kami Berlindung

Label:

Barangsiapa yang bergantung kepada selain Allah, niscaya dia akan ditelantarkan. Sebab hanya Allah satu-satunya tempat berlindung, meminta keselamatan, dan tumpuan harapan. Allah, Rabb yang menguasai segenap langit dan bumi, tidak ada satupun makhluk yang luput dari kekuasaan dan ilmu-Nya. Segala manfaat dan madharat berada di tangan-Nya. Maka sungguh mengherankan apabila manusia yang lemah bersandar kepada sesama makhluk yang lemah pula, mengapa dia tidak menyandarkan urusannya kepada Allah ta’ala yang maha kuasa ?

Bukankah setiap hari, di setiap kali sholat, bahkan dalam setiap raka’at sholat kita selalu membaca ayat yang mulia, ‘Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in’; hanya kepada-Mu ya Allah kami beribadah, dan hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan… Oleh sebab itu bagi seorang mukmin, tempat menggantungkan hati dan puncak harapannya adalah Allah semata, bukan selain-Nya. Kepada Allah lah kita serahkan seluruh urusan kita…

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan kepada Allah saja hendaknya kalian bertawakal, jika kalian benar-benar beriman.” (QS. al-Ma’idah: 23).

Ayat yang mulia ini menunjukkan kewajiban menggantungkan hati semata-mata kepada Allah, bukan kepada selain-Nya. Tawakal adalah ibadah. Barangsiapa menujukan ibadah itu kepada selain Allah maka dia telah melakukan kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 256)

Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi kebutuhannya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang bertawakal kepada Allah, maka Dia pasti akan mencukupinya…” (QS. ath-Thalaq: 3).

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwasanya tawakal merupakan salah satu sebab utama untuk bisa mendapatkan kemanfaatan maupun menolak kemadharatan. Tawakal adalah kewajiban dan ibadah. Barangsiapa yang menujukan ibadah ini kepada selain Allah maka dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 260)

Salah satu bentuk perbuatan bergantung kepada selain Allah adalah dengan meminta perlindungan dan keselamatan hidup kepada selain Allah, entah itu jin, penghuni kubur ataupun yang lainnya. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu menyeru kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak menjamin manfaat maupun madharat kepadamu, apabila kamu tetap melakukannya niscaya kamu termasuk golongan orang-orang yang zalim.” (QS. Yunus: 106).

Mendatangkan manfaat dan menolak madharat adalah kekhususan yang dimiliki Allah. Barangsiapa yang berdoa kepada selain Allah dan dia meyakini bahwasanya yang dia seru itu menguasai kemanfaatan dan kemadharatan sebagai sekutu bagi Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 104)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan apabila Allah menimpakan kepadamu suatu bahaya maka tidak ada yang bisa menyingkapnya selain Dia, dan apabila Dia menghendaki kebaikan bagimu maka tidak ada yang bisa menolak keutamaan dari-Nya. Allah timpakan musibah kepada siapa saja yang Dia kehendaki, dan Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Yunus: 107).

Ayat yang agung ini menunjukkan bahwa menyingkap keburukan/bahaya dan mendatangkan manfaat merupakan kekhususan Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mencari hal itu dari selain Allah sesungguhnya dia telah berbuat kemusyrikan (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 105)

Ini semua menunjukkan kepada kita bahwa kesempurnaan iman dan tauhid seorang hamba ditentukan oleh sejauh mana ketergantungan hatinya kepada Allah semata dan upayanya dalam menolak segala sesembahan dan tempat berlindung selain-Nya. Kalau Allah yang menguasai hidup dan mati kita, lalu mengapa kita gantungkan hati kita kepada jin dan benda-benda mati yang tidak menguasai apa-apa?!

Indahnya Qiyamul Lail

Label: ,

Oleh Ustadz Abu Hamzah Yusuf

Qiyamul lail atau yang biasa disebut juga Sholat Tahajjud atau Sholat Malam adalah salah satu ibadah yang agung dan mulia , yang disyari’atkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai ibadah nafilah atau ibadah sunnah. Akan tetapi bila seorang hamba mengamalkannya dengan penuh kesungguhan, maka ia memiliki banyak keutamaan. Berat memang, karena memang tidak setiap muslim sanggup melakukannya.

Andaikan Anda tahu keutamaan dan keindahannya, tentu Anda akan berlomba-lomba untuk menggapainya. Benarkah ?

Ya, banyak nash dalam Alquran dan Assunnah yang menerangkan keutamaan ibadah ini. Di antaranya adalah sebagai berikut:

Pertama: Barangsiapa menunaikannya, berarti ia telah mentaati perintah Allah dan Rasul-Nya, sebagaimana dalam firman-Nya: “Dan pada sebagian malam hari, sholat tahajjudlah kamu sebagai ibadah nafilah bagimu, mudah-mudahan Rabb-mu mengangkatmu ke tempat yang terpuji.” (Al-Isro’:79)

Dr. Muhammad Sulaiman Abdullah Al-Asyqor menerangkan: “At-Tahajjud adalah sholat di waktu malam sesudah bangun tidur. Adapun makna ayat “sebagai ibadah nafilah” yakni sebagai tambahan bagi ibadah-ibadah yang fardhu. Disebutkan bahwa sholat lail itu merupakan ibadah yang wajib bagi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan sebagai ibadah tathowwu’ (sunnah) bagi umat beliau.” ( lihat Zubdatut Tafsir, hal. 375 dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/54-55)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda: “Sholat yang paling utama sesudah sholat fardhu adalah qiyamul lail (sholat di tengah malam).” (Muttafaqun ‘alaih)

Kedua : Qiyamul lail itu adalah kebiasaan orang-orang shalih dan calon penghuni surga. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam taman-taman surga dan di mata air-mata air, sambil mengambil apa yang diberikan oleh Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat kebaikan, (yakni) mereka sedikit sekali tidur di waktu malam, dan di akhir-akhir malam mereka memohon ampun (kepada Allah).” (Adz-Dzariyat: 15-18).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik lelaki adalah Abdullah (yakni Abdullah bin Umar bin Khaththab radhiyallahu ‘anhuma, -ed) seandainya ia sholat di waktu malam.” (HR Muslim No. 2478 dan 2479). 

Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menasihati Abdullah ibnu Umar radhiyallahu ‘anhuma: “Wahai Abdullah, janganlah engkau menjadi seperti fulan, ia kerjakan sholat malam, lalu ia meninggalkannya.” (HR Bukhari 3/31 dan Muslim 2/185).

Ketiga : Siapa yang menunaikan qiyamul lail itu, dia akan terpelihara dari gangguan setan, dan ia akan bangun di pagi hari dalam keadan segar dan bersih jiwanya. Sebaliknya, siapa yang meninggalkan qiyamul lail, ia akan bangun di pagi hari dalam keadan jiwanya dililit kekalutan (kejelekan) dan malas untuk beramal sholeh.

Suatu hari pernah diceritakan kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang orang yang tidur semalam suntuk tanpa mengingat untuk sholat, maka beliau menyatakan: “Orang tersebut telah dikencingi setan di kedua telinganya.” (Muttafaqun ‘alaih).

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga menceritakan: “Setan mengikat pada tengkuk setiap orang diantara kalian dengan tiga ikatan (simpul) ketika kalian akan tidur. Setiap simpulnya ditiupkanlah bisikannya (kepada orang yang tidur itu): “Bagimu malam yang panjang, tidurlah dengan nyenyak.” Maka apabila (ternyata) ia bangun dan menyebut nama Allah Ta’ala (berdoa), maka terurailah (terlepas) satu simpul. Kemudian apabila ia berwudhu, terurailah satu simpul lagi. Dan kemudian apabila ia sholat, terurailah simpul yang terakhir. Maka ia berpagi hari dalam keadaan segar dan bersih jiwanya. Jika tidak (yakni tidak bangun sholat dan ibadah di malam hari), maka ia berpagi hari dalam keadaan kotor jiwanya dan malas (beramal shalih).” (Muttafaqun ‘alaih)

Keempat : Ketahuilah, di malam hari itu ada satu waktu dimana Allah Subhanahu wa Ta’ala akan mengabulkan doa orang yang berdoa, Allah akan memberi sesuatu bagi orang yang meminta kepada-Nya, dan Allah akan mengampuni dosa-dosa hamba-Nya bila ia memohon ampunan kepada-Nya.
Hal itu sebagaimana yang disebutkan oleh Rasulullah dalam sabda beliau: “Di waktu malam terdapat satu saat dimana Allah akan mengabulkan doa setiap malam.” (HR Muslim No. 757). 

Dalam riwayat lain juga disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Rabb kalian turun setiap malam ke langit dunia tatkala lewat tengah malam, lalu Ia berfirman: “Adakah orang yang berdoa agar Aku mengabulkan doanya?” (HR Bukhari 3/25-26). 

Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman: “Barangsiapa yang memohon ampun kepada-Ku, niscaya Aku mengampuninya, siapa yang memohon (sesuatu) kepada-Ku, niscaya Aku pun akan memberinya, dan siapa yang berdoa kepada-Ku, niscaya Aku akan mengabulkannya.” Hal ini terus terjadi sampai terbitnya fajar. (Tafsir Ibnu Katsir 3/54)

Kesungguhan Salafus Shalih untuk menegakkan Qiyamul lail
 
Disebutkan dalam sebuah riwayat, bahwa tatkala orang-orang sudah terlelap dalam tidurnya, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu justru mulai bangun untuk shalat tahajjud, sehingga terdengar seperti suara dengungan lebah (yakni Al-Qur’an yang beliau baca dalam sholat lailnya seperti dengungan lebah, karena beliau membaca dengan suara pelan tetapi bisa terdengar oleh orang yang ada disekitarnya, ed.), sampai menjelang fajar menyingsing.

Al-Imam Al-Hasan Al-Bashri rahimahullah pernah ditanya: “Mengapa orang-orang yang suka bertahajjud itu wajahnya paling bercahaya dibanding yang lainnya?” Beliau menjawab: “Karena mereka suka berduaan bersama Allah Yang Maha Rahman, maka Allah menyelimuti mereka dengan cahaya-Nya.”

Abu Sulaiman berkata: “Malam hari bagi orang yang setia beribadah di dalamnya, itu lebih nikmat daripada permainan mereka yang suka hidup bersantai-santai. Seandainya tanpa adanya malam, sungguh aku tidak suka tinggal di dunia ini.”

Al-Imam Ibnu Al-Munkadir menyatakan : “Bagiku, kelezatan dunia ini hanya ada pada tiga perkara, yakni qiyamul lail, bersilaturrahmi dan sholat berjamaah.”

Al-Imam Hasan Al-Bashri juga pernah menegaskan: “Sesungguhnya orang yang telah melakukan dosa, akan terhalang dari qiyamul lail.” Ada seseorang yang bertanya: “Aku tidak dapat bangun untuk untuk qiyamul lail, maka beritahukanlah kepadaku apa yang harus kulakukan?” Beliau menjawab : “Jangan engkau bermaksiat (berbuat dosa) kepada-Nya di waktu siang, niscaya Dia akan membangunkanmu di waktu malam.”(Tazkiyyatun Nufus, karya Dr Ahmad Farid)

Pembaca yang budiman, inilah beberapa keutamaan dan keindahan qiyamul lail. Sungguh, akan merasakan keindahannya bagi orang yang memang hatinya telah diberi taufik oleh Allah Ta’ala, dan tidak akan merasakan keindahannya bagi siapa pun yang dijauhkan dari taufik-Nya. Mudah-mudahan, kita semua termasuk diantara hamba-hamba-Nya yang diberi keutamaan menunaikan qiyamul lail secara istiqamah. Wallahu waliyyut taufiq.
__________________________________________________________________________________

(Dikutip dari tulisan al Ustadz Abu Hamzah Yusuf. URL Sumber http://www.geocities.com/dmgto/mabhats201/qiyamulail.htm)

Artikel terkait: Panduan Shalat Tahajud

Kiat Harumkan Nama di Dunia dan Akherat

Label:

Berbicara tentang nama, memang tidak ada habisnya. Seperti pepatah mengatakan, “Harimau mati meninggalkan belang, manusia mati meninggalkan Nama.” Dan kita semua sebagai makhluk pasti akan merasakan kematian, kapan dan dimana pun kita berada. Allah ta’ala berfirman:

كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ وَإِنَّمَا تُوَفَّوْنَ أُجُورَكُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
“Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu.” (QS. Ali ‘Imran: 185)

Dan firman-Nya pula:
أَيْنَمَا تَكُونُوا يُدْرِككُّمُ الْمَوْتُ وَلَوْ كُنْتُمْ فِي بُرُوجٍ مُشَيَّدَةٍ
“Di mana saja kamu berada, kematian akan mendapatkan kamu, kendatipun kamu di dalam benteng yang Tinggi lagi kokoh.” (QS. An-Nisa’: 78)

Seorang penyair berkata:
كُلُّ ابْنِ أُنْثَى وَإِنْ طَالَتْ سَلاَمَتُهُ #  يَوْمًا عَلَى آلَةٍ حَدْبَاءَ مَحْمُوْلُ  
Setiap manusia, betapa pun panjang umurnya
Kelak di suatu hari, dirinya akan terusung di atas keranda
Setiap orang yang mati pasti meninggalkan nama dan jejak rekam yang baik maupun buruk bagi keluarga, masyarakat dan generasi sesudahnya. Maka di sini timbul pertanyaan-pertanyaan yang cukup penting, bagaimana kita meninggalkan nama yang harum bagi generasi di belakang kita? Seperti apa kita akan diingat ketika kita sudah tidak lagi ada di dunia ini? Ketika mendengar nama kita, apa yang akan dikenang orang? Kebaikan atau kejahatan? Orang yang bersih atau koruptor? Orang yang jujur atau pendusta dan penipu? Orang yang amanah atau pengkhianat? Dan pertanyaan-pertanyaan semisal.

Nama kita akan dikenang orang sesuai dengan bagaimana perbuatan kita selama hidup di dunia. Jangan lupa bahwa nama ini akan kita wariskan pula ke anak cucu kita. Betapa kasihannya jika anak kita akan dikenal sebagai anak penjahat, koruptor, penipu, pelacur, penjudi, pemabuk, pembunuh, penyebar kebatilan dan kesesatan,  dan lain sebagainya. Sesuatu yang bukan kesalahan mereka, namun mereka harus menanggungnya sepanjang hidup mereka. Karena itu, nama baik adalah hal yang cukup penting untuk selalu kita perhatikan dan jaga.

MENGHARUMKAN NAMA BAIK DALAM PANDANGAN MANUSIA
Sebagian orang yang tamak dan berambisi meraih ketenaran, popularitas dan kenangan yang baik, mereka melakukan hal-hal yang dianggapnya dapat mengabadikan nama baik sepeninggal mereka. Di antara yang banyak dilakukan oleh sebagian orang dalam rangka itu, mereka membuat patung-patung baik oleh diri mereka sendiri ketika masih hidup atau dibuat oleh keluarganya atau orang lain dari generasi penerusnya yang menghargai dan menghormatinya karena memandang bahwa orang tersebut memiliki jasa-jasa dan kebaikan yang besar bagi orang lain dan kehidupan.

Sebagian lain ada yang menggantungkan prasasti-prasasti (batu/benda keras) yang bertuliskan nama mereka pada bangunan-bangunan yang mereka buat seperti masjid, pesantren atau sekolah atau selainnya.

Ada pula sebagian lain yang membagi-bagikan sumbangan kepada masyarakat baik berupa uang ataupun bahan makanan pokok demi mendapatkan simpati dan mengharumkan nama dan agar jasanya dikenang oleh mereka. Hal ini sering terjadi apalagi di saat musim pemilu atau pilkada.  Dan masih banyak cara-cara lain yang dilakukan oleh manusia dalam rangka mengharumkan namanya.

SIAPAKAH ORANG YANG PALING HARUM NAMANYA SEPANJANG SEJARAH KEHIDUPAN MANUSIA?
Orang yang baik dan memiliki jasa besar bagi manusia dan kehidupan akan selalu dikenang oleh sejarah. Semakin besar jasa dan manfaat seseorang bagi manusia, maka semakin harum namanya dan semakin banyak pula orang yang mengenangnya. Dan pada setiap generasi hampir dipastikan terdapat orang-orang yang berjasa besar bagi generasinya dan dikenang kebaikan-kebaikannya.

Dengan pembahasan ini, kita tidak berniat untuk dikenang oleh sejarah, dan jangan sampai ada di anatara kita yang berbuat sesuatu karena ingin dikenang atau dianggap hebat karena itu bisa-bisa akan membuat kita lalai dan riya’ (berbuat karena mau dilihat orang). Tapi faktanya memang seperti itu. Orang yang baik akan dikenang kebaikannya. Demikian pula sebaliknya, orang yang jahat dan buruk akan dikenang kejahatan dan keburukannya.

Sebagai contoh, Raja Namrudz di jaman nabi Ibrahim alaihis salam,  Fir’aun di jaman nabi Musa alaihis salam dan raja-raja zhalim lainnya dikenang, tapi manusia tahu bahwa mereka semua adalah orang-orang kafir yang zhalim dan banyak berbuat dosa. Qarun juga dikenang tapi dengan kesombongannya. Demikian pula Kaisar Nero dan Hitler dikenang tapi mereka kejam. Allah ta’ala berfirman menceritakan Fir’aun dan pengikutnya yang dibinasakan oleh Allah dalam keadaan kafir agar dijadikan kenangan dan pelajaran bagi umat-umat yang datang sesudahnya:

فَلَمَّا آسَفُونَا انْتَقَمْنَا مِنْهُمْ فَأَغْرَقْنَاهُمْ أَجْمَعِينَ (.) فَجَعَلْنَاهُمْ سَلَفًا وَمَثَلا لِلآخِرِينَ
“Maka tatkala mereka membuat kami murka, kami menghukum mereka lalu kami tenggelamkan mereka semuanya (di laut), Dan kami jadikan mereka sebagai pelajaran dan contoh bagi orang-orang yang kemudian.” (QS. Az-Zukhruf: 55-56)

Abu Lahab dan Abu Jahal juga dikenang dengan kekufuran, kesyirikan dan permusuhannya yang keras terhadap Nabi shallallahu alaihi wa sallam dan para sahabat. Mereka semua dikenang namun keburukan merekalah yang dikenang lebih dominan oleh masyarakat di zamannya dan generasi yang datang sesudahnya hingga hari kiamat.

Sedangkan manusia yang paling baik dan harum namanya sepanjang zaman di dunia dan akhirat, dan disepakati oleh kawan dan lawan maka dia tiada lain adalah nabi kita Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam yang Allah utus sebagai penutup para nabi dan rasul. Hal ini dikarenakan beliau merupakan manusia yang paling besar jasa dan manfaatnya bagi seluruh makhluk yang ada di alam semesta ini. Beliau diutus oleh Allah sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta. Allah berfirman:
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.” (QS. Al-Anbiya’: 107)

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam menjadi orang yang paling harum namanya dan paling dikenang jasa-jasanya oleh manusia sepanjang zaman di dunia dan akhirat berdasarkan firman Allah ta’ala:
وَرَفَعْنَا لَكَ ذِكْرَك
“Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu.” (QS. Al-Insyirah: 4)

Qotadah rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Bahwa Allah meninggikan penyebutan nama nabi shallallahu alaihi wa sallam di dunia dan akhirat. Tiada seorang khatib, orang yang membaca tasyahud dan mendirikan shalat melainkan mengucapkan, ‘Asyhadau an laa ilaaha illallaahu wa asyhadu anna muhammadan rasulullah’.

Hasan Al-Bashri rahimahullah menafsirkan ayat di atas dengan mengatakan, “Bahwa Allah tidaklah disebutkan (nama-Nya) di suatu tempat melainkan disebutkan pula bersamanya nama nabi shallallahu alaihi wa sallam.”

Dan ada pula yang menafsirkan ayat tersebut dengan mengatakan, “Kami (Allah) meninggikan penyebutan namamu di hadapan para malaikat di langit dan di sisi orang-orang beriman di bumi.” (Lihat Fathul Qadir karya imam Syaukani, Tahqiq Abdur Razzaq Al-Mahdi (V/568), Darul Kitab Al-Arabi, Beirut – Lebanon, cet. Pertama th.1420 H / 1999 M).

Abu Hayyan rahimahullah menafsirkan ayat ini dengan mengatakan, “Bahwa Allah menyebutkan nama nabi shallallahu alaihi wa sallam bersama dengan nama-Nya di dalam kalimat syahadat, adzan, iqomat, tasyahud, khutbah, di dalam beberapa ayat Al-Qur’an, dalam penamaannya sebagai nabi dan rasul Allah, dan disebutkan pula namanya di dalam kitab-kitab (Allah) terdahulu.” (Al-Bahrul Muhith Fit Tafsir (10/500), Darul Fikri, cet. Pertama th. 1426 H / 2005 M).

MENGHARUMKAN NAMA BAIK DALAM PANDANGAN ISLAM
Sebagai seorang muslim, kita semua pasti tidak ingin menjadi kenangan buruk bagi orang-orang sesudah kita. Namun kita juga tidak berharap untuk dihormati, dihargai, atau mendapatkan kemuliaan dari manusia, karena manusia bisa berubah. Tapi hendaknya kita semua berharap kemuliaan dan keridhoan itu hanya dari Allah Dzat yang maha mulia. Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

مَنِ الْتَمَسَ رِضَى اللهِ بِسَخَطِ النَّاسِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ وَأَرْضَى النَّاسَ عَنْهُ وَمَنِ الْتَمَسَ رِضَا النَّاسِ بِسَخَطِ اللهِ سَخِطَ اللهُ عَلَيْهِ وَأَسْخَطَ عَلَيْهِ النَّاسَ 
“Barangsiapa mencari keridhoan dari Allah (saja) meskipun manusia benci kepadanya, niscaya Allah akan ridho kepadanya dan Dia akan menjadikan manusia ridho kepadanya pula. Dan barangsiapa mencari keridhoan dari manusia dengan membuat Allah murka kepadanya, niscaya Allah akan murka kepadanya dan Dia akan menjadikan manusia murka kepadanya pula.” (HR. Ibnu Hibban di dalam Shahihnya no.276 (I/497), dari Aisyah. Syuaib Al-Arnauth berkata: “Sanadnya Hasan.”).

Di dalam riwayat lain, Nabi shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَرْضَى النَّاسَ بِسَخَطِ اللهِ وَكَلَهُ اللهُ إِلَى النَّاسِ وَمَنْ أَسْخَطَ النَّاسَ بِرِضَا اللهِ كَفَاهُ اللهُ مُؤْنَةَ النَّاسِ
“Barangsiapa mencari keridhoan manusia dengan membuat Allah murka, maka ia diserahkan oleh Allah kepada manusia. Dan barangsiapa membuat manusia murka dengan keridhoan Allah, maka Allah akan mencukupinya dari kejahatan manusia.” (Shahih. HR. Ibnu Hibban no.277 (I/510), dari Aisyah. Dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ Ash-Shaghir no.6010). 

Maka dari itu, tindakan apapun yang kita lakukan hendaknya diniatkan semata-mata mengharap keridhoan dan balasan dari Allah ta’ala. Tidak mengharapkan sesuatu apapun dari manusia baik berupa pujian, imbalan, popularitas dan ketenaran maupun lainnya. Hal ini sebagaimana yang bisa kita petik dari do’a salah seorang istri Fir’aun dalam al-Qur’an yang tetap teguh pada keyakinannya pada Allah. Ia berdo’a agar dibangunkan untuknya “baitan fil jannah” (rumah di surga)–bukan “baitan fil ardhi (rumah di bumi)” ataukah “prasasti di bumi yang dikenang orang lain”. Dia hanya berharap pada Allah, diselamatkan jiwa, dan keyakinannya dari virus-virus orang zalim. Allah ta’ala berfirman:

وَضَرَبَ اللَّهُ مَثَلا لِلَّذِينَ آمَنُوا اِمْرَأَةَ فِرْعَوْنَ إِذْ قَالَتْ رَبِّ ابْنِ لِي عِنْدَكَ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ وَنَجِّنِي مِنْ فِرْعَوْنَ وَعَمَلِهِ وَنَجِّنِي مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ
“Dan Allah membuat isteri Fir’aun perumpamaan bagi orang-orang yang beriman, ketika ia berkata: “Ya Rabbku, bangunkanlah untukku sebuah rumah di sisi-Mu dalam (surga) Firdaus, dan selamatkanlah Aku dari Fir’aun dan perbuatannya, dan selamatkanlah Aku dari kaum yang zhalim.” (QS. At-Tahriim: 11)

Dia berfirman pula:
إِنَّمَا نُطْعِمُكُمْ لِوَجْهِ اللَّهِ لا نُرِيدُ مِنْكُمْ جَزَاءً وَلا شُكُورًا
“Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.” (QS. Al-Insaan: 9)

Jangan sampai kita melakukan suatu amalan dengan niat dan tujuan supaya dikenang dan dipuji oleh manusia karena akan menyebabkan kebinasaan. Sebagaimana dikabarkan oleh nabi shallallahu alaihi wa sallam di dalam hadits yang diriwayatkan imam Muslim di dalam kitab Shahihnya (no.1905) tentang golongan manusia yang pertama kali diadili oleh Allah dan dicampakkan ke dalam api neraka pada hari kiamat, dan mereka adalah orang yang berjihad di jalan Allah, menuntut ilmu dan mengajarkannya serta membaca Al-Qur’an, dan orang yang bersedekah, namun mereka mengerjakan ibadah-ibadah yang agung tersebut tanpa ikhlas karena Allah.

Sikap seorang muslim manakala mendengar banyak pujian orang terhadap dirinya, maka ia pun semakin banyak beristigfar kepada Allah. Dia takut kepada Allah, jangan sampai karena pujian itu membuat dirinya riya’, beribadah dan beraktivitas karena mau dikenang, atau dilihat orang lain. Hal ini sebagaimana doa yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam tatkala menerima atau mendengar pujian kepada dirinya:

اَللَّهُمَّ لاَ تُؤَاخِذْنِيْ بِمَا يَقُوْلُوْنَ , وَاغْفِرْلِيْ مَا لاَيَعْلَمُوْنَ, وَاجْعَلْنِيْ خَيْرًا مِمَّا يَظُنُّوْنَ
“Ya Allah, semoga Engkau tidak menghukumku karena apa yang mereka katakan. Ampunilah aku atas apa yang tidak mereka ketahui. (Dan jadikanlah aku lebih baik daripada yang mereka perkirakan).”
(HR. Bukhari dalam Al-Adabul Mufrad no. 761. Isnad hadits tersebut dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Adabul Mufrad no. 585. Kalimat dalam kurung tambahan dari Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman 4/228 dari jalan lain).

Mari berlomba-lomba kita buat prasasti terbaik di surga -karena surga juga memiliki tingkatan yang berbeda-beda- dengan berbudi baik, berkata-kata yang baik, dan beramal dengan sebaik-baik amalan. Allah ta’ala berfirman:

فَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَرَهُ. وَمَنْ يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.” (QS. Az-Zalzalah: 7-8)

BEBERAPA AMALAN ISLAM YANG DAPAT MENGHARUMKAN NAMA DI DUNIA DAN AKHIRAT
Sesungguhnya ajaran Islam semuanya merupakan kebaikan bagi seluruh umat manusia. Bila mereka menjalankannya dengan iltizam (komitmen), maka akan lahir insan-insan terbaik yang tidak dijumpai pada umat-umat agama lain, dan para sahabat Nabi adalah contoh konkritnya. Semua orang memuji dan menyanjung serta mendoakan kebaikan bagi mereka –kecuali orang-orang yang jauh dari taufiq Allah- lantaran keislaman mereka yang bagus dan jasa besar mereka bagi umat Islam sehingga mereka dikenang dengan kenangan yang baik, red).

Namun, dalam halaman yang cukup terbatas ini, kami (penulis) akan sebutkan beberapa amalan yang bisa mengharumkan nama baik seorang hamba ketika ia masih hidup di dunia ini ataupun sesudah meninggalnya berdasarkan dalil-dalil syar’i:

1. Beriman dan Bertakwa kepada Allah kapanpun dan di manapun.
Hal ini merupakan perkara yang paling agung dan paling utama untuk mengharumkan nama seorang hamba di dunia dan akhirat. Karena apabila seorang hamba telah beriman kepada Allah dan senantiasa bertakwa kepada-Nya, maka Allah akan mencintainya dan memerintahkan para malaikat dan hamba-hamba-Nya yang lain untuk mencintainya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits berikut ini:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ رضى الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” إِنَّ اللَّهَ تَبَارَكَ وَتَعَالَى إِذَا أَحَبَّ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ ، ثُمَّ يُنَادِى جِبْرِيلُ فِى السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَبَّ فُلاَنًا فَأَحِبُّوهُ ، فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ وَيُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِى أَهْلِ الأَرْضِ

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu, ia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya Allah tabaraka wa ta’ala apabila mencintai seorang hamba, Dia memanggil malaikat Jibril (seraya mengatakan, pent), “Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan, maka cintailah dia”, maka Jibril pun mencintainya, lalu Jibril berkumandang di langit dengan mengatakan, “Sesungguhnya Allah telah mencintai si fulan maka cintailah ia”, maka (para malaikat) penghuni langit pun mencintainya, lalu ditanamkan rasa menerima (dan mencintainya, pent) pada penduduk bumi.” (HR. Bukhari no.7047 dan Muslim no.2637).

Dari sini kita dapat mengetahui bahwa agar nama kita harum dan dicintai oleh Allah, para malaikat dan manusia maka hendaknya kita berupaya memperoleh kecintaan dari Allah dengan cara beriman dan bertakwa dengan sebenar-benarnya.

2. Mengajarkan ilmu yang bermanfaat dan menuliskannya
Hal ini bisa dilakukan oleh para ulama dan penuntut ilmu yang telah mapan keilmuannya dengan cara mengajarkan ilmu kepada manusia tentang perkara-perkara agama mereka. Disamping itu juga dengan cara mengarang dan menuliskan ilmunya di dalam sebuah majalah atau buku atau blog di internet agar ilmunya terjaga, tersebar luas dan bermanfaat bagi generasi-generasi yang datang sesudahnya.

Berapa banyak ulama yang meninggal dunia semenjak ratusan tahun yang lalu tetapi ilmunya masih ada, dikenang dan dimanfaatkan melalui kitab-kitab yang telah dikarangnya lalu dipakai dari generasi ke generasi sesudahnya dengan perantara para muridnya kemudian para pencari ilmu setelah mereka. Dan setiap kali kaum muslimin menyebutkan nama penulisnya, mereka selalu mendoakan kebaikan dan memohon rahmat dan ampunan kepada Allah baginya. Ini adalah keutamaan dan karunia dari Allah yang diberikan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. Berapa banyak generasi yang diselamatkan Allah dari kesesatan dengan jasa seorang ulama, maka ulama itu mendapatkan seperti pahala orang yang mengikutinya sampai hari kiamat. Sebagaimana Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
 
مَنْ عَلَّمَ عِلْمًا فَلَهُ أَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهِ لاَ يَنْقُصُ مِنْ أَجْرِ الْعَامِلِ
“Barangsiapa mengajarkan suatu ilmu, maka dia mendapatkan pahala orang yang mengamalkannya, tidak mengurangi dari pahala orang yang mengamalkannya sedikitpun.” (HR. Ibnu Majah no.240 (I/88), dan dihasankan oleh syaikh al-Albani).

Sama saja apakah dia mengajarkan ilmu tersebut kepada orang lain secara langsung atau berupa buku yang mana orang-orang mempelajarinya setelah kematiannya.

Dari Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu, dia berkata, bahwa Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ الْعَالِمَ لَيَسْتَغْفِرُ لَهُ مَنْ فِى السَّمَوَاتِ وَمَنْ فِى الأَرْضِ وَالْحِيتَانُ فِى جَوْفِ الْمَاءِ
“Orang yang mengajarkan ilmu (kebaikan) dimintakan ampunan oleh segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, sampai ikan-ikan yang ada di dalam lautan.” (HR. Abu Daud no.3641 (II/341), at-Tirmidzi no.2682 (V/48), dan al-Baihaqi di dalam Al-Adaab no.862).

Dan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنَ الأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا وَمَنْ دَعَا إِلَى ضَلاَلَةٍ كَانَ عَلَيْهِ مِنَ الإِثْمِ مِثْلُ آثَامِ مَنْ تَبِعَهُ لاَ يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ آثَامِهِمْ شَيْئًا
“Barangsiapa yang menyeru kepada petunjuk (kebajikan), maka dia mendapatkan pahala sebagaimana pahala-pahala orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi pahala-pahala mereka sedikitpun. Dan barangsiapa menyeru kepada kesesatan, maka dia mendapatkan dosa seperti dosa-dosa orang yang mengikutinya, hal itu tidak mengurangi dosa-dosa mereka sedikitpun.” (HR. Muslim no.2674 (IV/2060), Abu Daud no.4609 (II/612), At-Tirmidzi no.2674 (V/43), Ibnu Majah no.206 (I/75), Ahmad no.9149, dan Ibnu Hibban no.112 (1/318), dan dishahihkan oleh syaikh al-Albani).

3. Shodaqoh jariyah
Shadaqah jariyah adalah suatu ketaatan yang dilakukan oleh seseorang untuk mengharapkan ridha Allah Ta’ala, agar orang-orang umum bisa memanfaatkan harta yang disedakahkannya tersebut sehingga pahalanya mengalir baginya sepanjang barang tersebut masih ada.

Para ulama telah menafsirkan shadaqah jariyah dengan wakaf untuk kebaikan. Seperti mewakafkan tanah, masjid, madrasah, rumah hunian, kebun kurma, mushaf Al-Qur’an, kitab yang berguna, dan lain sebagainya. Disini merupakan dalil disyariatkannya mewakafkan barang yang bermanfaat dan perintah untuk melakukannya, bahkan itu termasuk amalan yang paling mulia yang bisa dilakukan seseorang untuk kemuliaan dirinya di dunia dan akhirat. Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا مَاتَ إِبْنُ آدَمَ إِنْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلاَثٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ, أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِه, أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُوْ لَهُ
 “Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah segala amalannya, kecuali dari tiga perkara; shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat atau anak shaleh yang mendo’akannya.” [HR. Muslim, HR. Muslim (5/73), Imam Bukhari di dalam Al-Adab Al-Mufrad hal.8, Abu Daud (2/15), an-Nasa’i (2/129), ath-Thahawi di dalam Al-Musykil (1/85), al-Baihaqi (6/278), dan Ahmad (2/372). Lihat Ahkamul Jana-iz Wa Bida’uha oleh Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani hal.224].

Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga bersabda:
مَنْ بَنَى لِلَّهِ مَسْجِدًا يَبْتَغِى بِهِ وَجْهَ اللَّهِ بَنَى اللَّهُ لَهُ بَيْتًا فِي الْجَنَّةِ
“Barangsiapa yang membangun masjid untuk mencari wajah Allah, niscaya Allah membangunkan untuknya sebuah rumah di dalam surga.” (HR. Bukhari no.439 (I/172), dan Muslim no.533 (I/378)).

4. Mendidik anak menjadi anak sholih
Anak adalah anugerah Allah yang diamanahkan kepada kedua orang tuanya. Dan amanah ini akan dimintai pertanggung-jawabannya kelak pada hari kiamat. Orang tua akan selamat dan sukses di dunia dan akhirat apabila mampu menunaikan amanah ini dengan sebaik-baiknya. Kesuksesan orang tua dalam mengemban amanah ini ditandai dengan kesuksesannya dalam mendidik anaknya menjadi anak shalih yang taat kepada Allah dan kedua orang tuanya serta bermanfaat bagi orang lain. Semakin banyak kebaikan dan manfaat yang dilakukan oleh anak sholih tersebut, maka semakin banyak pahala yang mengalir kepada kedua orang tuanya dan semakin banyak pula orang memuji dan mengenangnya.  

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّ مِنْ أَطْيَبِ مَا أَكَلَ الرَّجُلُ مِنْ كَسْبِهِ وَوَلَدُهُ مِنْ كَسْبِهِ
“Sesungguhnya yang paling baik dari makanan seseorang adalah hasil jerih payahnya sendiri. Dan anak merupakan hasil jerih payah orang tua.”(HR. Abu Daud no. 3528 dan An Nasa-i no. 4451. Syaikh al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ini berarti amalan dari anaknya yang sholih masih tetap bermanfaat bagi orang tuanya walaupun sudah berada di liang lahat karena anak adalah hasil jerih payah orang tua yang pantas mereka nikmati.

5. Zuhud terhadap apa yang ada pada manusia
Zuhud (tidak meminta-minta dan berharap) terhadap apa yang dimiliki oleh orang lain dapat menyebabkan seseorang dicintai oleh manusia. Di samping itu juga Allah mencintai hamba-hamba-Nya yang zuhud. Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin Sa’d as-Sa’idi radhiyallahu anhu, ia menceritakan bahwa ada seseorang yang datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu berkata:

“Wahai Rasulullah, tunjukkan kepadaku satu amalan yang jika aku mengamalkannya maka aku akan dicintai oleh Allah dan dicintai manusia.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: “Zuhudlah terhadap dunia, niscaya engkau dicintai Allah, dan zuhudlah terhadap apa yang dimiliki manusia, niscaya engkau dicintai manusia.” (HR. Ibnu Majah no.4102 dan ini lafazhnya, Ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Kabir no.5972, Al-Hakim IV/313, dan selainnya. Syaikh Al-Albani menghasankannya di dalam Silsilah al-Ahadits ash-Shahihah no.944 dan Shahih al-Jami’ ash-Shaghir no.922).

Hasan al-Bashri rahimahullah berkata: “Engkau senantiasa menjadi mulia di mata manusia, atau manusia senantiasa memuliakanmu jika engkau tidak mengambil apa yang ada di tangan manusia. Jika engkau mengambil apa yang ada di tangan manusia, mereka meremehkanmu, membenci perkataanmu dan benci kepadamu.” (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam karya al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali II/204-205)

Ada seorang Arab Badui bertanya kepada penduduk Bashrah, “Siapakah orang mulia di desa ini?” Penduduk Bashrah menjawab, “Al-Hasan (maksudnya Hasan al-Bashri seorang ulama tabi’in, pen).” Orang Arab Badui itu bertanya lagi, “Kenapa ia mulia bagi penduduk Bashrah?” penduduk Bashrah menjawab, “Manusia membutuhkan ilmunya, sedangkan ia tidak membutuhkan dunia mereka.” (Jami’ul ‘Uluum wal Hikam karya al-Hafizh Ibnu Rajab al-Hanbali II/206)

6. Berakhlak dan bermuamalah yang baik kepada sesama manusia
Manusia yang paling mulia akhlaknya dan paling baik muamalahnya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Hal ini berdasarkan rekomendasi dari Allah kepada beliau dengan firman-Nya:
وَإِنَّكَ لَعَلى خُلُقٍ عَظِيمٍ
“Dan Sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. Al-Qalam: 4)

Beliau senantiasa berakhlak dan bermuamalah dengan baik kepada seluruh makhluk. Karena salah satu tugas mulia beliau dalam berdakwah adalah menyempurnakan akhlak yang mulia, sebagaimana sabdanya:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الْأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku ini diutus (oleh Allah) agar menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. al-Hakim no.4221 (II/670) dan ia berkata: “Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim, akan tetapi keduanya (Bukhari dan Muslim) tidak mengeluarkannya (di dalam kitab Shahih keduanya, pent), dan al-Baihaqi no.20571 (X/191)).

Oleh karenanya, beliau menjadi manusia yang paling harum namanya dan paling dikenang keluhuran akhlaknya oleh manusia sepanjang sejarah. Maka sepantasnya bagi kita semua sebagai umatnya agar senantiasa meneladani beliau dalam hal akhlak, muamalah dan selainnya.

Terdapat banyak dalil syar’i yang memberikan pujian dan sanjungan kepada orang-orang yang berakhlak mulia dan bermuamalah baik dengan sesama manusia. Di antaranya adalah hadits-hadits berikut ini:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم:” إِنَّ مِنْ أَخْيَرِكُمْ أَحْسَنَكُمْ خُلُقًا
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya sebaik-baik orang di antara kalian adalah orang yang paling baik akhlaknya.” (HR. Bukhari no.6029 (X/452) dengan Fathul Bari, Muslim (IV/1810) no.3321).

وَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم: ” خَيْرُ الأَصْحَابِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِصَاحِبِهِ وَخَيْرُ الْجِيرَانِ عِنْدَ اللَّهِ خَيْرُهُمْ لِجَارِهِ “.
Dari Abdullah bin Amr, ia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sebaik-baik sahabat di sisi Allah ialah orang yang paling berbuat baik kepada sahabatnya, dan sebaik-baik tetangga di sisi Allah ialah orang yang paling berbuat baik kepada tetangganya.”
(HR. Tirmidzi IV/333 no.1944, al-Hakim (IV/181) dan ia berkata; “Shahih sesuai syarat Bukhari dan Muslim”, dan disepakati oleh adz-Dzahabi, dan Ahmad II/167 no.6566, dan Syu’aib al-Arnauth berkata: “Isnadnya kuat sesuai syarat imam Muslim).

7. Suka membantu dan meringankan beban orang lain
Orang yang gemar membantu dan meringankan beban dan kesulitan orang lain baik dengan harta benda, perkataan, perbuatan, pikiran positif ataupun lainnya, dia akan dicintai dan dikenang jasa-jasa baiknya oleh manusia. Ini dikarenakan jiwa manusia secara fitrah mencintai siapa saja yang suka menolong dan berbudi baik kepadanya.

Imam Ibnul Qoyyim rahimahullah berkata ketika menyebutkan pendapat para ulama tentang amalan yang paling utama: “Golongan ketiga berpendapat bahwa ibadah yang paling utama dan bermanfaat ialah amalan apa saja  yang mengandung manfaat yang mengalir kepada orang lain seperti membantu orang-orang fakir, menyibukkan diri dengan hal-hal yang ada maslahatnya bagi manusia, memenuhi kebutuhan mereka, dan membantu mereka dengan harta, kedudukan dan manfaat lainnya. Itu semua lebih utama daripada ibadah yang manfaatnya terbatas bagi pelakunya saja.” (Madarijus Salikin (I/87) dengan sedikit perubahan, dan dinukil dari kitab Tajridul Ittiba’ Fi Bayani Asbabi Tafadhulil A’mali, karya Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hal.153).

Al-Hafizh Ibnu Rajab rahimahullah berkata: “Secara garis besar, sebaik-baik manusia ialah yang paling bermanfaat bagi orang lain, dan paling bersabar dalam menghadapi gangguan manusia. Hal ini sebagaimana firman Allah ta’ala:

الَّذِينَ يُنْفِقُونَ فِي السَّرَّاءِ وَالضَّرَّاءِ وَالْكَاظِمِينَ الْغَيْظَ وَالْعَافِينَ عَنِ النَّاسِ وَاللَّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“(yaitu) orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema’afkan (kesalahan) orang. Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebajikan.” (QS. Ali Imran: 134)
(Latha-iful Ma’arif hal.411, dan dinukil dari kitab Tajridul Ittiba’ Fi Bayani Asbabi Tafadhulil A’mali, karya Dr. Ibrahim bin Amir ar-Ruhaili hal.154).

Dan telah diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu anhuma, bahwa ada seorang laki-laki mendatangi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya bertanya:
“Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling dicintai oleh Allah? Dan amalan apakah yang paling dicintai oleh Allah?” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Orang yang paling dicintai oleh Allah adalah orang yang paling bermanfaat bagi manusia, dan amalan yang paling dicintai oleh Allah ialah engkau menggembirakan seorang muslim, atau menghilangkan kesulitannya, atau melunasi hutangnya, atau mengenyangkannya dari rasa lapar. Dan sungguh aku berjalan bersama saudaraku untuk memenuhi suatu hajat lebih aku cintai daripada aku beri’tikaf selama sebulan di masjidku ini (masjid Nabawi), dst….” (HR. ath-Thabrani di dalam al-Mu’jam al-Kabir no.13646 (XII/453).

Demikian pembahasan sederhana ini kami tulis dengan harapan agar menjadi tambahan ilmu yang bermanfaat, yang senantiasa mengalirkan pahala dan memperberat timbangan amalan pada hari kiamat kelak. Wallahu ta’ala a’lam bish-showab.

Oleh: Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc
[Sumber: Majalah AS-SUNNAH Edisi 06 / Thn. XIV, Dzul Qo’dah 1431 H / 2010].

Panduan Shalat Tahajud

Label:

Alhamdulillah, wa shalaatu wa salaamu 'ala Rosulillah wa 'ala alihi wa shohbihi wa man tabi'ahum bi ihsanin ilaa yaumid diin.

Suatu kenikmatan yang sangat indah adalah bila seorang hamba bisa merasakan bagaimana bermunajat dengan Allah di tengah malam terutama ketika 1/3 malam terakhir. Berikut sedikit panduan dari kami mengenai shalat tahajud.

Maksud Shalat Tahajud
Shalat malam (qiyamul lail) biasa disebut juga dengan shalat tahajud. Mayoritas pakar fiqih mengatakan bahwa shalat tahajud adalah shalat sunnah yang dilakukan di malam hari secara umum setelah bangun tidur.[1]

Keutamaan Shalat Tahajud
Pertama: Shalat tahajud adalah sifat orang bertakwa dan calon penghuni surga.
Allah Ta'ala berfirman,
إِنَّ الْمُتَّقِينَ فِي جَنَّاتٍ وَعُيُونٍ (15) آَخِذِينَ مَا آَتَاهُمْ رَبُّهُمْ إِنَّهُمْ كَانُوا قَبْلَ ذَلِكَ مُحْسِنِينَ (16) كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ (17) وَبِالْأَسْحَارِ هُمْ يَسْتَغْفِرُونَ (18)
“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada dalam taman-taman (syurga) dan mata air-mata air, sambil menerima segala pemberian Rabb mereka. Sesungguhnya mereka sebelum itu di dunia adalah orang-orang yang berbuat kebaikan. Di dunia mereka sedikit sekali tidur di waktu malam. Dan selalu memohonkan ampunan diwaktu pagi sebelum fajar.” (QS. Adz Dzariyat: 15-18).

Al Hasan Al Bashri mengatakan mengenai ayat ini, “Mereka bersengaja melaksanakan qiyamul lail (shalat tahajud). Di malam hari, mereka hanya tidur sedikit saja. Mereka menghidupkan malam hingga sahur (menjelang shubuh). Dan mereka pun banyak beristighfar di waktu sahur.” [2]

Kedua: Tidak sama antara orang yang shalat malam dan yang tidak.
Allah Ta'ala berfirman,
أَمْ مَنْ هُوَ قَانِتٌ آَنَاءَ اللَّيْلِ سَاجِدًا وَقَائِمًا يَحْذَرُ الْآَخِرَةَ وَيَرْجُو رَحْمَةَ رَبِّهِ قُلْ هَلْ يَسْتَوِي الَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَالَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُولُو الْأَلْبَابِ
“(Apakah kamu hai orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang yang beribadat di waktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada (azab) akhirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya? Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran. ” (QS. Az Zumar: 9).

Yang dimaksud qunut dalam ayat ini bukan hanya berdiri, namun juga disertai dengan khusu'.[3]

Salah satu maksud ayat ini, “Apakah sama antara orang yang berdiri untuk beribadah (di waktu malam) dengan orang yang tidak demikian?!”[4] Jawabannya, tentu saja tidak sama.

Ketiga: Shalat tahajud adalah sebaik-baik shalat sunnah.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ شَهْرِ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ وَأَفْضَلُ الصَّلَاةِ بَعْدَ الْفَرِيضَةِ صَلَاةُ اللَّيْلِ
“Sebaik-baik puasa setelah puasa Ramadhan adalah puasa pada bulan Allah –Muharram-. Sebaik-baik shalat setelah shalat wajib adalah shalat malam.” [5]

An Nawawi -rahimahullah- mengatakan, “Ini adalah dalil dari kesepakatan ulama bahwa shalat sunnah di malam hari lebih baik dari shalat sunnah di siang hari. Ini juga adalah dalil bagi ulama Syafi’iyah (yang satu madzhab dengan kami) di antaranya Abu Ishaq Al Maruzi dan yang sepaham dengannya, bahwa shalat malam lebih baik dari shalat sunnah rawatib. Sebagian ulama Syafi’iyah yang lain berpendapat bahwa shalat sunnah rawatib lebih afdhol (lebih utama) dari shalat malam karena kemiripannya dengan shalat wajib. Namun pendapat pertama tetap lebih kuat dan sesuai dengan hadits. Wallahu a’lam. [6]

Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan,“Waktu tahajud di malam hari adalah sebaik-baik waktu pelaksanaan shalat sunnah. Ketika itu hamba semakin dekat dengan Rabbnya. Waktu tersebut adalah saat dibukakannya pintu langit dan terijabahinya (terkabulnya) do'a. Saat itu adalah waktu untuk mengemukakan berbagai macam hajat kepada Allah.”[7]

'Amr bin Al 'Ash mengatakan,“Satu raka'at shalat sunnah di malam hari lebih baik dari 10 raka'at shalat sunnah di siang hari.” Dikeluarkan oleh Ibnu Abi Dunya.[8]

Ibnu Rajab mengatakan,“Di sini 'Amr bin Al 'Ash membedakan antara shalat malam dan shalat di siang hari. Shalat malam lebih mudah dilakukan sembunyi-sembunyi dan lebih mudah mengantarkan pada keikhlasan.”[9]
Inilah sebabnya para ulama lebih menyukai shalat malam karena amalannya yang jarang diketahui orang lain.

Keempat: Shalat tahajud adalah kebiasaan orang sholih.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
عَلَيْكُمْ بِقِيَامِ اللَّيْلِ فَإِنَّهُ دَأْبُ الصَّالِحِيْنَ قَبْلَكُمْ وَهُوَ قُرْبَةٌ إِلَى رَبِّكُمْ وَمُكَفِّرَةٌ لِلسَّيِّئَاتِ وَمَنْهَاةٌ عَنِ الإِثْمِ
“Hendaklah kalian melaksanakan qiyamul lail (shalat malam) karena shalat amalan adalah kebiasaan orang sholih sebelum kalian dan membuat kalian lebih dekat pada Allah. Shalat malam dapat menghapuskan kesalahan dan dosa. ”[10]

Kelima: Sebaik-baik orang adalah yang melaksanakan shalat tahajud.
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengatakan mengenai 'Abdullah bin 'Umar,
« نِعْمَ الرَّجُلُ عَبْدُ اللَّهِ ، لَوْ كَانَ يُصَلِّى بِاللَّيْلِ » . قَالَ سَالِمٌ فَكَانَ عَبْدُ اللَّهِ لاَ يَنَامُ مِنَ اللَّيْلِ إِلاَّ قَلِيلاً .
“Sebaik-baik orang adalah 'Abdullah (maksudnya Ibnu 'Umar) seandainya ia mau melaksanakan shalat malam.” Salim mengatakan, “Setelah dikatakan seperti ini, Abdullah bin 'Umar tidak pernah lagi tidur di waktu malam kecuali sedikit.”[11]

Waktu Shalat Tahajud
Shalat tahajud boleh dikerjakan di awal, pertengahan atau akhir malam. Ini semua pernah dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Sebagaimana Anas bin Malik -pembantu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam- mengatakan,
مَا كُنَّا نَشَاءُ أَنْ نَرَى رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي اللَّيْلِ مُصَلِّيًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ وَلَا نَشَاءُ أَنْ نَرَاهُ نَائِمًا إِلَّا رَأَيْنَاهُ
“Tidaklah kami bangun agar ingin melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam di malam hari mengerjakan shalat kecuali pasti kami melihatnya. Dan tidaklah kami bangun melihat beliau dalam keadaan tidur kecuali pasti kami melihatnya pula.”[12]

Ibnu Hajar menjelaskan,
إِنَّ صَلَاته وَنَوْمه كَانَ يَخْتَلِف بِاللَّيْلِ وَلَا يُرَتِّب وَقْتًا مُعَيَّنًا بَلْ بِحَسَبِ مَا تَيَسَّرَ لَهُ الْقِيَام
“Sesungguhnya waktu shalat malam dan tidur yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam berbeda-beda setiap malamnya. Beliau tidak menetapkan waktu tertentu untuk shalat. Namun beliau mengerjakannya sesuai keadaan yang mudah bagi beliau.”[13]

Waktu Utama untuk Shalat Tahajud
Waktu utama untuk shalat malam adalah di akhir malam. Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ فَيَقُولُ مَنْ يَدْعُونِى فَأَسْتَجِيبَ لَهُ وَمَنْ يَسْأَلُنِى فَأُعْطِيَهُ وَمَنْ يَسْتَغْفِرُنِى فَأَغْفِرَ لَهُ
“Rabb kami -Tabaroka wa Ta'ala- akan turun setiap malamnya ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir. Lalu Allah berfirman, “Siapa yang memanjatkan do'a pada-Ku, maka Aku akan mengabulkannya. Siapa yang memohon kepada-Ku, maka Aku akan memberinya. Siapa yang meminta ampun pada-Ku, Aku akan memberikan ampunan untuknya”.”[14]

Dari 'Abdullah bin 'Amr, Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ أَحَبَّ الصِّيَامِ إِلَى اللَّهِ صِيَامُ دَاوُدَ وَأَحَبَّ الصَّلاَةِ إِلَى اللَّهِ صَلاَةُ دَاوُدَ عَلَيْهِ السَّلاَمُ كَانَ يَنَامُ نِصْفَ اللَّيْلِ وَيَقُومُ ثُلُثَهُ وَيَنَامُ سُدُسَهُ وَكَانَ يَصُومُ يَوْمًا وَيُفْطِرُ يَوْمًا
“Sesungguhnya sebaik-baik puasa di sisi Allah adalah puasa Daud [15] dan sebaik-baik shalat di sisi Allah adalah shalatnya Nabi Daud 'alaihis salam. Beliau biasa tidur di separuh malam dan bangun tidur pada sepertiga malam terakhir. Lalu beliau tidur kembali pada seperenam malam terakhir. Nabi Daud biasa sehari berpuasa dan keesokan harinya tidak berpuasa.”[16]

'Aisyah pernah ditanyakan mengenai shalat malam yang dilakukan oleh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 'Aisyah menjawab,
كَانَ يَنَامُ أَوَّلَهُ وَيَقُومُ آخِرَهُ ، فَيُصَلِّى ثُمَّ يَرْجِعُ إِلَى فِرَاشِهِ ، فَإِذَا أَذَّنَ الْمُؤَذِّنُ وَثَبَ ، فَإِنْ كَانَ بِهِ حَاجَةٌ اغْتَسَلَ ، وَإِلاَّ تَوَضَّأَ وَخَرَجَ
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa tidur di awal malam, lalu beliau bangun di akhir malam. Kemudian beliau melaksanakan shalat, lalu beliau kembali lagi ke tempat tidurnya. Jika terdengar suara muadzin, barulah beliau bangun kembali. Jika memiliki hajat, beliau mandi. Dan jika tidak, beliau berwudhu lalu segera keluar (ke masjid).”[17]

Shalat Tahajud Ketika Kondisi Sulit
Bermunajatlah pada Allah di akhir malam ketika kondisi begitu sulit. 'Ali bin Abi Tholib pernah menceritakan,
رَأَيْتُنَا لَيْلَةَ بَدْرٍ وَمَا مِنَّا إِنْسَانٌ إِلاَّ نَائِمٌ إِلاَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَإِنَّهُ كَانَ يُصَلِّى إِلَى شَجَرَةٍ وَيَدْعُو حَتَّى أَصْبَحَ وَمَا كَانَ مِنَّا فَارِسٌ يَوْمَ بَدْرٍ غَيْرَ الْمِقْدَادِ بْنِ الأَسْوَدِ
“Kami pernah memperhatikan pada malam Badar dan ketika itu semua orang pada terlelap tidur kecuali Rasulullah shallalahu 'alaihi wa sallam. Beliau melaksanakan shalat di bawah pohon. Beliau memanjatkan do'a pada Allah hingga waktu Shubuh. Dan tidak ada di antara kami tidak ada yang mahir menunggang kuda selain Al Miqdad bin Al Aswad.”[18]

Dalam riwayat lain disebutkan,
يُصَلِّى وَيَبْكِى حَتَّى أَصْبَحَ
“Beliau melaksanakan shalat sambil menangis hingga waktu shubuh.” [19]

Jumlah Raka'at Shalat Tahajud yang Dianjurkan (Disunnahkan)
Jumlah raka'at shalat tahajud yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka'at. Dan inilah yang menjadi pilihan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. 'Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً ، يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى أَرْبَعًا فَلاَ تَسْأَلْ عَنْ حُسْنِهِنَّ وَطُولِهِنَّ ، ثُمَّ يُصَلِّى ثَلاَثًا
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 raka'at. Beliau melakukan shalat empat raka'at, maka jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat empat raka'at lagi dan jangan tanyakan mengenai bagus dan panjangnya. Kemudian beliau melakukan shalat tiga raka'at.” [20]

Ibnu 'Abbas mengatakan,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ - صلى الله عليه وسلم - ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam biasa melaksanakan shalat malam 13 raka'at. ”[21]

Zaid bin Kholid Al Juhani mengatakan,
لأَرْمُقَنَّ صَلاَةَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- اللَّيْلَةَ فَصَلَّى. رَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ طَوِيلَتَيْنِ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ وَهُمَا دُونَ اللَّتَيْنِ قَبْلَهُمَا ثُمَّ أَوْتَرَ فَذَلِكَ ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
“Aku pernah memperhatikan shalat malam yang dilakukan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. Beliau pun melaksanakan 2 raka'at ringan. Kemudian setelah itu beliau laksanakan 2 raka'at yang panjang-panjang. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka'at yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka'at lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Beliau pun lakukan shalat 2 raka'at yang lebih ringan dari sebelumnya. Kemudian beliau lakukan shalat 2 raka'at lagi yang lebih ringan dari sebelumnya. Lalu terakhir beliau berwitir sehingga jadilah beliau laksanakan shalat malam ketika itu 13 raka'at.”[22]

Ini berarti Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam melaksanakan witir dengan 1 raka'at. [23]

Dari sini menunjukkan bahwa disunnahkan sebelum shalat malam, dibuka dengan 2 raka'at ringan terlebih dahulu. 'Aisyah mengatakan,
كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ مِنَ اللَّيْلِ لِيُصَلِّىَ افْتَتَحَ صَلاَتَهُ بِرَكْعَتَيْنِ خَفِيفَتَيْنِ.
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam jika hendak melaksanakan shalat malam, beliau buka terlebih dahulu dengan melaksanakan shalat dua raka'at yang ringan.” [24]

Bolehkah Menambahkan Raka'at Shalat Malam Lebih Dari 11 Raka'at?
Al Qodhi 'Iyadh mengatakan,
وَلَا خِلَاف أَنَّهُ لَيْسَ فِي ذَلِكَ حَدّ لَا يُزَاد عَلَيْهِ وَلَا يَنْقُص مِنْهُ ، وَأَنَّ صَلَاة اللَّيْل مِنْ الطَّاعَات الَّتِي كُلَّمَا زَادَ فِيهَا زَادَ الْأَجْر ، وَإِنَّمَا الْخِلَاف فِي فِعْل النَّبِيّ صَلَّى اللَّه عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَمَا اِخْتَارَهُ لِنَفْسِهِ
“Tidak ada khilaf bahwa tidak ada batasan jumlah raka'at dalam shalat malam, tidak mengapa ditambah atau dikurang. Alasannya, shalat malam adalah bagian dari ketaatan yang apabila seseorang menambah jumlah raka'atnya maka bertambah pula pahalanya. Jika dilakukan seperti ini, maka itu hanya menyelisihi perbuatan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dan menyelisihi pilihan yang beliau pilih untuk dirinya sendiri.” [25]

Ibnu 'Abdil Barr mengatakan,
فلا خلاف بين المسلمين أن صلاة الليل ليس فيها حد محدود وأنها نافلة وفعل خير وعمل بر فمن شاء استقل ومن شاء استكثر
“Tidak ada khilaf di antara kaum muslimin bahwa shalat malam tidak ada batasan raka'atnya. Shalat malam adalah shalat nafilah (shalat sunnah) dan termasuk amalan kebaikan. Seseorang boleh semaunya mengerjakan dengan jumlah raka'at yang sedikit atau pun banyak.”[26]

Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya menambah lebih dari 11 raka'at, di antaranya:
Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam ditanya mengenai shalat malam, beliau menjawab,

صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى ، فَإِذَا خَشِىَ أَحَدُكُمُ الصُّبْحَ صَلَّى رَكْعَةً وَاحِدَةً ، تُوتِرُ لَهُ مَا قَدْ صَلَّى
“Shalat malam itu dua raka'at-dua raka'at. Jika salah seorang di antara kalian takut masuk waktu shubuh, maka kerjakanlah satu raka'at. Dengan itu berarti kalian menutup shalat tadi dengan witir.”[27]
Padahal ini dalam konteks pertanyaan. Seandainya shalat malam itu ada batasannya, tentu Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam akan menjelaskannya.

Lalu bagaimana dengan hadits 'Aisyah,
مَا كَانَ يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menambah shalat malam di bulan Ramadhan dan bulan lainnya lebih dari 11 raka'at. ” [28]

Jawabannya adalah sebagai berikut:
Jika ingin mengikuti sunnah (ajaran) Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam, maka mestinya mencocoki beliau dalam jumlah raka'at shalat juga dengan tata cara shalatnya. Sedangkan shalat yang paling bagus, kata Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam adalah,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوت
“Shalat yang paling baik adalah yang paling lama berdirinya.” [29]

Namun sekarang yang melakukan 11 raka'at demi mencontoh Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam tidak melakukan lama seperti beliau. Padahal jika kita ingin mencontoh jumlah raka'at yang dilakukan Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam seharusnya juga lama shalatnya pun sama.

Sekarang pertanyaannya, manakah yang lebih utama melakukan shalat malam 11 raka'at dalam waktu 1 jam ataukah shalat malam 23 raka'at yang dilakukan dalam waktu dua jam atau tiga jam?

Yang satu mendekati perbuatan Nabi shallalahu 'alaihi wa sallam dari segi jumlah raka'at. Namun yang satu mendekati ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam dari segi lamanya. Manakah di antara kedua cara ini yang lebih baik?

Jawabannya, tentu yang kedua yaitu yang shalatnya lebih lama dengan raka'at yang lebih banyak. Alasannya, karena pujian Allah terhadap orang yang waktu malamnya digunakan untuk shalat malam dan sedikit tidurnya. Allah Ta'ala berfirman,
كَانُوا قَلِيلًا مِنَ اللَّيْلِ مَا يَهْجَعُونَ
“Di dunia mereka sedikit sekali tidur diwaktu malam.” (QS. Adz Dzariyat: 17)

وَمِنَ اللَّيْلِ فَاسْجُدْ لَهُ وَسَبِّحْهُ لَيْلًا طَوِيلًا
“Dan pada sebagian dari malam, maka sujudlah kepada-Nya dan bertasbihlah kepada-Nya pada bagian yang panjang dimalam hari.” (QS. Al Insan: 26)

Oleh karena itu, para ulama ada yang melakukan shalat malam hanya dengan 11 raka'at namun dengan raka'at yang panjang. Ada pula yang melakukannya dengan 20 raka'at atau 36 raka'at. Ada pula yang kurang atau lebih dari itu. Mereka di sini bukan bermaksud menyelisihi ajaran Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam. Namun yang mereka inginkan adalah mengikuti maksud Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam yaitu dengan mengerjakan shalat malam dengan thulul qunut (berdiri yang lama).

Sampai-sampai sebagian ulama memiliki perkataan yang bagus, “Barangsiapa yang ingin memperlama berdiri dan membaca surat dalam shalat malam, maka ia boleh mengerjakannya dengan raka'at yang sedikit. Namun jika ia ingin tidak terlalu berdiri dan membaca surat, hendaklah ia menambah raka'atnya.”

Mengapa ulama ini bisa mengatakan demikian? Karena yang jadi patokan adalah lama berdiri di hadapan Allah ketika shalat malam. -Demikianlah faedah yang kami dapatkan dari penjelasan Syaikh Musthofa Al 'Adawi dalam At Tarsyid- [30]

Qodho' bagi yang Luput dari Shalat Tahajud karena Udzur 
Bagi yang luput dari shalat tahajud karena udzur seperti ketiduran atau sakit, maka ia boleh mengqodho'nya di siang hari sebelum Zhuhur. 'Aisyah mengatakan,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا فَاتَتْهُ الصَّلاَةُ مِنَ اللَّيْلِ مِنْ وَجَعٍ أَوْ غَيْرِهِ صَلَّى مِنَ النَّهَارِ ثِنْتَىْ عَشْرَةَ رَكْعَةً.
“Sesungguhnya Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, jika beliau luput dari shalat malam karena tidur atau udzur lainnya, beliau mengqodho'nya di siang hari dengan mengerjakan 12 raka'at.” [31]

'Umar bin Khottob mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ نَامَ عَنْ حِزْبِهِ أَوْ عَنْ شَىْءٍ مِنْهُ فَقَرَأَهُ فِيمَا بَيْنَ صَلاَةِ الْفَجْرِ وَصَلاَةِ الظُّهْرِ كُتِبَ لَهُ كَأَنَّمَا قَرَأَهُ مِنَ اللَّيْلِ
“Barangsiapa yang tertidur dari penjagaannya atau dari yang lainnya, lalu ia membaca apa yang biasa ia baca di shalat malam antara shalat shubuh dan shalat zhuhur, maka ia dicatat seperti membacanya di malam hari.” [32]

Semoga kita semakin terbimbing dengan sajian ringkas ini. Semoga Allah memudahkan kita untuk mengamalkan sekaligus merutinkannya. Segala puji bagi Allah yang dengan nikmat-Nya segala kebaikan menjadi sempurna.

Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal.
Artikel Rumaysho.com
_____________
Footnote:
1 Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 1/397, Al Maktabah At Taufiqiyah.
2 Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, Ibnu Katsir, 13/212, Maktabah Al Qurthubah.
3 Lihat Tafsir Al Qur'an Al 'Azhim, 12/115.
4 Lihat Zaadul Masiir, Ibnul Jauzi, 7/166, Al Maktab Al Islami.
5 HR. Muslim no. 1163, dari Abu Hurairah.
6 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, 8/55, Dar Ihya' At Turots Al 'Arobi, Beirut, 1392
7 Lathoif Al Ma'arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 77, Al Maktab Al Islami, cetakan pertama, tahun 1428 H.
8 Lathoif Al Ma'arif, hal. 76.
9 Idem.
10 Lihat Al Irwa' no. 452. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
11 HR. Bukhari no. 3739, dari Hafshoh.
12 Shahih. HR. Bukhari no. 1141, An Nasai no. 1627 (ini lafazh An Nasai), At Tirmidzi no. 769. Lihat Shahih wa Dho'if Sunan An Nasai, Syaikh Al Albani, 4/271, Asy Syamilah.
13 Fathul Bari, Ibnu Hajar Al 'Asqolani Asy Syafi'i, 3/23, Darul Ma'rifah Beirut, 1379.
14 HR. Bukhari no. 1145 dan Muslim no. 758, dari Abu Hurairah.
15 Sebagaimana dijelaskan oleh penulis Shahih Fiqh Sunnah -Syaikh Abu Malik- bahwa puasa Daud ini boleh dilakukan dengan syarat tidak sampai melalaikan yang wajib-wajib dan tidak sampai melalaikan memberi nafkah kepada keluarga yang menjadi tanggungannya. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Syaikh Abu Malik, 2/138, Al Maktabah At Taufiqiyah.
16 HR. Bukhari no. 1131 dan Muslim no. 1159, dari 'Abdullah bin 'Amr.
17 HR. Bukhari no. 1146, dari 'Aisyah.
18 HR. Ahmad 1/138. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
19 HR. Ahmad 1/125. Syaikh Syu'aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
20 HR. Bukhari no. 3569 dan Muslim no. 738.
21 HR. Bukhari no. 1138 dan Muslim no. 764.
22 HR. Muslim no. 765.
23 Lihat Al Muntaqo Syarh Al Muwatho', 1/280, Mawqi' Al Islam.
24 HR. Muslim no. 767.
25 Al Minhaj Syarh Shahih Muslim bin Al Hajjaj, An Nawawi, 6/19, Dar Ihya' At Turots Al Arobi Beirut, cetakan kedua, 1392.
26 At Tamhid, Ibnu 'Abdil Barr, 21/69-70, Wizaroh Umum Al Awqof, 1387 dan Al Istidzkar, Ibnu 'Abdil Barr, 2/98, Darul Kutub Al 'Ilmiyyah, 1421 H.
27 HR. Bukhari no. 990 dan Muslim no. 749, dari Ibnu 'Umar.
28 HR. Bukhari dan Muslim. Sudah lewat takhrijnya.
29 HR. Muslim no. 756, dari Jabir.
30 Lihat At Tarsyid, Syaikh Musthofa Al 'Adawi, hal. 146-149, Dar Ad Diya'.
31 HR. Muslim no. 746.
32 HR. Muslim no. 747.

Kelompok Paling Sesat

Label:


Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Siapakah yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa (beribadah) kepada selain Allah, sesuatu yang tidak bisa memenuhi keinginannya hingga hari kiamat. Sementara mereka itu lalai dari doa yang dipanjatkan kepada mereka. Tatkala umat manusia dikumpulkan -di hari kiamat- maka sesembahan mereka itu justru menjadi musuh mereka. Dan mereka sendiri mengingkari peribadahan yang ditujukan kepada dirinya.” (QS. al-Ahqaf: 5-6)

Ayat ini menunjukkan bahwa tidak ada yang lebih sesat daripada orang-orang yang berdoa/beribadah kepada selain Allah (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 52)

Ayat yang agung ini berlaku umum bagi segala bentuk sesembahan selain Allah. Baik yang disembah atau dimintai itu sudah mati atau orang yang tidak bisa dihubungi (ghaib), atau orang itu tidak mungkin mampu memenuhi permintaan yang ditujukan kepadanya. Entah itu berupa thaghut yang hidup, maupun berhala yang dipuja-puja. Selain itu, ayat ini juga mencakup setiap orang yang berdoa/beribadah kepada selain Allah. Hasil yang akan dicapai oleh setiap orang yang beribadah kepada selain Allah -apapun bentuknya- adalah kerugian semata. Sesembahan yang mereka puja-puja di dunia akan berubah menjadi musuh mereka kelak di akherat (lihat Fath al-Majid, hal. 167).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan (ingatlah) suatu hari (ketika) Allah menghimpunkan mereka beserta apa yang mereka sembah selain Allah, lalu Allah berkata (kepada yang disembah), 'Apakah kamu yang menyesatkan hamba-hamba-Ku itu, atau mereka sendirikah yang sesat dari jalan (yang benar)?'. Mereka (yang disembah itu) menjawab, 'Maha Suci Engkau, tidaklah patut bagi kami mengambil selain Engkau (untuk menjadi) pelindung. Akan tetapi Engkau telah memberi mereka dan bapak-bapak mereka kenikmatan hidup sampai mereka lupa mengingati (Engkau), dan mereka adalah kaum yang binasa.'.” (QS. al-Furqan: 17-18)

Mereka itu, yaitu orang-orang yang tenggelam di dalam kemusyrikan, ternyata terjerumus ke dalamnya akibat tidak pandai mensyukuri nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Allah limpahkan kepada mereka berbagai kenikmatan dunia, namun mereka lalai dari mensyukurinya. Mereka terbuai oleh hawa nafsunya dan terlena dengan kesenangan-kesenangan dunia. Mereka berupaya keras memelihara kesenangan dunianya dan justru menyia-nyiakan agamanya. Inilah penyebab mereka bergelimang dengan kemusyrikan, yaitu bersenang-senang dengan kenikmatan dunia -tanpa mengindahkan syari'at, pent- sehingga memalingkan mereka dari hidayah (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 631)

Pada hari kiamat nanti, tidak ada yang diperoleh orang-orang musyrik selain kebalikan dari apa yang mereka harapkan. Sesembahan mereka akan berlepas diri dan tidak mau ikut bertanggung-jawab atas ibadah yang ditujukan kepadanya. Sesembahan mereka akan mengingkari perbuatan itu dengan sekeras-kerasnya (lihat Fath al-Majid, hal. 167).

Allah ta'ala berfirman (yang artinya), “Dan (ingatlah) suatu hari ketika itu Kami mengumpulkan mereka semuanya, kemudian Kami berkata kepada orang-orang yang mempersekutukan (Tuhan), 'Tetaplah kamu dan sekutu-sekutumu di tempat itu.' Lalu Kami pisahkan mereka dan berkatalah sekutu-sekutu mereka, 'Kamu sekali-kali tidak pernah menyembah kami. Dan cukuplah Allah menjadi saksi antara kami dengan kamu, bahwa kami tidak tahu-menahu tentang penyembahan kamu (kepada kami).” (QS. Yunus: 28-29) 

Maka berubahlah kecintaan dan kasih sayang yang dahulu mereka jalin di dunia menjadi kebencian dan permusuhan... Ketika itulah mereka akan menyesal sedalam-dalamnya... (lihat Taisir al-Karim ar-Rahman, hal. 380).

Ayat-ayat di atas memberikan sebuah pelajaran penting kepada kita, bahwa orang yang paling bodoh dan paling sesat adalah yang berdoa/beribadah kepada selain Allah (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 108).

Di antara bukti kebodohan mereka adalah mereka bergantung dan memuja-muja sesuatu yang tidak menguasai rezeki sama sekali. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang-orang yang kamu sembah selain Allah tidak menguasai rezeki untuk kalian...” (QS. al-Ankabut: 17).

Selain itu, sesembahan yang mereka puja tidak menguasai manfaat maupun madharat. Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Janganlah kamu menyeru kepada selain Allah, sesuatu yang jelas tidak mengendalikan manfaat maupun madharat kepadamu...” (QS. Yunus: 106)

Setipis kulit ari pun tidak mereka kuasai, akan tetapi tetap saja mereka disembah dan dipuja-puja.. Subhanallah! Allah ta’ala berfirman (yang artinya), ”Dan orang-orang yang kamu sembah selain Allah tidak memiliki apa-apa walaupun hanya setipis kulit ari.” (QS. Fathir: 13)

Dari sekelumit pelajaran ini, kita menyadari bahwa kejahatan dan bahaya terbesar yang harus diantisipasi oleh segenap umat ini –pemerintah dan rakyatnya- adalah gerakan para penyebar ajaran kemusyrikan. Merekalah kelompok tersesat yang pertama kali harus diberantas dan dilarang berkegiatan di segala penjuru negeri.

Kalau seandainya kita benar-benar menyayangi negeri ini, bukan hanya korupsi, perjudian, perampokan, dan penipuan yang senantiasa diperangi setiap hari. Akan tetapi, syirik dengan segala macam bentuknya itulah biang kesengsaraan dan penyebab kehancuran berbagai negeri. Inilah kejahatan yang harus dicabut hingga ke akar-akarnya, demi terwujudnya sebuah negeri yang aman tentram dan mendapat curahan barakah dari Allah ta’ala.

Dan hal itu tidak akan pernah tercapai tanpa pengajaran dan pendidikan tauhid dan keimanan sebagaimana ajaran al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman para shahabat secara terus-menerus dan menyentuh segenap lapisan masyarakat. Sementara, melakukan ini tidak semudah membalikkan telapak tangan. Apakah cukup dengan dakwah sehari dua hari, sebulan dua bulan, setahun dua tahun, kemudian masyarakat bisa memahami tauhid dengan semestinya lantas dengan serta-merta pasrah total kepada syari’ah-Nya tanpa sedikit pun menyimpan rasa sempit di dalam dada...?!

Lihatlah, Nabi Nuh ‘alaihis salam yang mendakwahkan tauhid kepada umatnya siang dan malam, secara sembunyi dan terang-terangan, selama beratus-ratus tahun... Dan tidak ada yang merespon dakwahnya kecuali beberapa gelintir orang saja. Mereka lah umat yang selamat dari terpaan bah siksaan dan mengharapkan pahala dari Allah di atas bahtera keselamatan..

Inilah tugas kita bersama... Mendakwahkan tauhid kepada umat manusia, setelah sebelumnya berusaha untuk memahami dan mengamalkannya. Sudahkah setiap kita berusaha menunaikannya? Allahu a’lam.
Wa shallallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi wa sallam. Walhamdulillahi rabbil ‘alamin.
_________________

 
Test © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone