Mutiara-Mutiara Akhlaq Yang Telah Hilang

Label:

Al Ustadz Ja’far Umar Thalib

Akhlaq itu maknanya ialah perangai atau sikap zahir ataupun batin pada diri manusia. Sedangkan perangai atau sikap itu baik dhahir maupun batin berkaitan dengan apa yang diistilahkan dengan hablum minallah (hubungan dengan Allah Ta’ala) dan hablum minan nas (hubungan dengan sesama manusia). Allah Ta’ala telah menegaskan prinsip akhlaq dalam kerangka hablum minallah dan hablum minan nas ini dalam firman-Nya sebagai berikut:

 “Mereka telah ditimpa kehinaan di mana pun mereka berada, kecuali bila mereka menyambung hubungan dengan Allah (hablum minallah) dan dengan sesama manusia (hablum minannas). Dan mereka juga ditimpa dengan kemurkaan dari Allah dan ditimpa pula oleh kemiskinan. Yang demikian itu karena mereka mengingkari ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi-nabi dengan tidak benar. Yang demikian itu karena akibat dari kedurhakaan yang mereka lakukan dan mereka adalah orang yang melampaui batas.” (Ali Imran: 112)

Ayat ini memberitakan berbagai malapetaka yang telah menimpa Bani Israil sebagai akibat dari berbagai kedurhakaan mereka kepada Allah dan kepada para Nabi-Nabi-Nya, sehingga mereka harus mengalami malapeteka kehinaan, kemiskinan, dan kemurkaan dari Allah. Maka telah diberitakan oleh-Nya bahwa jalan keluar dari segala malapetaka yang mengepung mereka itu adalah dengan membangun kembali hablum minallah dan hablum minan-nas. Sehingga jadilah keduanya sebagai kerangka akhlaq dalam membangun kehidupan yang seutuhnya bagi masyarakat manusia di dunia ini. Oleh karena itu kita harus mengerti apa sesungguhnya hablum minallah dan hablum minan nas itu, untuk mengerti kerangka akhlaqul karimah (akhlaq yang mulia) dan kemudian kriterianya pula yang kita pahami dari Al-Qur’an dan As-Sunnah dengan pemahaman para Salafus Shalih.

PENGERTIAN HABLUM MINALLAH DAN HABLUM MINAN-NAS
Kalau dimaknakan secara bahasa, hablum minallah itu adalah hubungan dengan Allah dan hablum minan-nas adalah hubungan dengan manusia. Akan tetapi dalam pengertian istilah syari’ah maknanya adalah sebagai berikut:

1). Hablum minallah, maknanya ialah perjanjian dari Allah. Yaitu masuk Islam atau beriman dengan Islam sebagai jaminan keselamatan bagi mereka di dunia dan akherat. Atau tunduk kepada pemerintahan Muslimin dengan jaminan dari pemerintah itu sebagaimana yang diatur oleh Syari’ah dalam perkara hak dan kewajiban orang kafir dzimmi (yaitu orang kafir yang menjadi warga negara Islam) untuk mendapatkan jaminan perlindungan hak-haknya sebagai manusia di dalam kehidupan dunia saja, dan mendapat ancaman adzab di akhirat. (Lihat Tafsir At-Thabari, Tafsir Al-Baghawi, dan Tafsir Ibnu Katsir tentang pengertian surat Ali
Imran 112).

2). Hablum minan-nas, maknanya ialah perjanjian dari kaum Mukminin dalam bentuk jaminan keamanan bagi orang kafir dzimmi dengan membayar upeti bagi kaum Mukminin melalui pemerintahnya untuk hidup sebagai warga negara Islam dari kalangan minoritas non Muslim. Atau dengan bahasa lain ialah dalam berinteraksi dengan sesama manusia, maka jaminan yang bisa dipercaya hanyalah dari kaum Muslimin yang dibimbing oleh Syari’at Allah Ta’ala.

Dengan demikian, akhlaqul karimah dibangun di atas kerangka hubungan dengan Allah melalui perjanjian yang diatur dalam Syari’at-Nya berkenaan dengan kewajiban menunaikan hak-hak Allah Ta’ala dan juga kerangka hubungan dengan sesame manusia melalui kewajiban menunaikan hak-hak sesama manusia baik yang muslim maupun yang kafir.

Dari kerangka inilah kemudian diuraikan kriteria akhlaqul karimah. Hak-hak Allah itu ialah mentauhidkan-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan yang lain-Nya. Yaitu menunaikan tauhidullah dan menjauhi syirik, mentaati Rasul-Nya dan menjauhi bid’ah (yakni penyimpangan dari ajarannya). Dan inilah sesungguhnya prinsip utama bagi akhlaqul karimah, yang kemudian dari prinsip ini akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dipuji dan disanjung oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
 “Dan sesungguhnya engkau (hai Muhammad) di atas akhlaq yang agung.” (Al-Qalam: 4)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menerangkan tentang ayat ini:
“Dan adapun akhlaq yang agung yang Allah terangkan bahwa ia itu ada pada Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam, pengertiannya adalah pengamalan segenap ajaran agama ini, yaitu segenap apa yang Allah perintahkan dengan mutlak.” (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah jilid ke 10 halaman 658).

Dalam pengertian yang demikian inilah akhlaq Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam sebagai penafsiran yang sah bagi ajaran Allah yang ada di dalam Al-Qur’an, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Aisyah Ummul Mu’minin radliyallahu `anha: “Akhlaq Rasulullah itu adalah Al-Qur’an.” (HR. Muslim).

Al-Imam Abi Abdillah Muhammad bin Muflih Al-Maqdisi rahimahullah dalam kitabnya Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah menerangkan tentang pengertian daripada pernyataan A’isyah ini sebagai berikut:

“Maksudnya ialah, bahwa beliau berpegang dengan adab-adab yang diajarkan oleh Al-Qur’an, dan segenap perintah yang ada padanya dan juga segenap larangannya, juga berpegang dengan apa yang dikandunginya dari kemuliaan akhlaq dan kebaikan perangai serta kelembutan.” (Al-Aadaab Asy-Syar’iyyah, jilid ke dua hal. 194).

Bahkan Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menyatakan:
 “Sesungguhnya seorang Mu’min itu akan bisa mencapai derajat amalan puasa dan shalat malam dengan memiliki akhlaq yang baik.” (HR. Abu Dawud dalam Sunannya, Kitabul Adab bab Fi Husnil Khuluq hadits ke 4798 dari A’isyah radliyallahu `anha).

Al-`Allamah Abit Thayyib Muhammad Syamsul Haq Al-Adhim Abadi rahimahullah dalam kitabnya Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud menerangkan makna hadits tersebut di atas:

“Orang Mu’min yang mempunyai akhlaq yang baik diberi keutamaan yang besar seperti ini, karena memang orang yang puasa dan orang yang shalat malam adalah orang-orang yang berjihad melawan hawa nafsunya. Demikian pula orang yang akhlaqnya baik terhadap manusia, walaupun kenyataannya manusia itu beraneka ragam tabiatnya juga tingkah laku mereka yang berbeda-beda satu dengan lainnya, maka dengan tetap dia berakhlaq yang baik kepada semua mereka itu, berarti dia harus berjihad melawan berbagai hawa nafsu dari banyak orang itu. Sehingga dengan demikian, Mu’min yang berakhlaq seperti ini mencapai keutamaan seperti yang dicapai oleh orang yang banyak puasa sunnah dan selalu menunaikan shalat malam. Kedudukannya sederajat dengan mereka, bahkan kadang-kadang derajatnya lebih tinggi.” (Aunul Ma’bud Syarah Sunan Abi Dawud juz 13 halaman 154).

Juga Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam menegaskan tentang keutamaan orang Mu’min yang mempunyai akhlaq yang mulia dalam sabda beliau sebagai berikut:
 “Sesungguhnya orang yang terbaik dari kalangan kalian adalah yang paling baik akhlaqnya.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya Kitabul Adab bab Husnul Khuluq was Sakha’ wa Maa Yukrahu Minal Bukhli hadits ke 6035 dari Abdullah bin Amr, lihat Fathul Bari juz 10 hal. 456).

BEBERAPA AKHLAQ YANG TERCELA MENURUT PANDANGAN ISLAM
Setelah kita mengerti kerangka dan kriteria akhlaqul karimah, kita perlu mengerti pula kerangka dan kriteria akhlaqudz dzamimah (yakni akhlaq yang tercela). Agar kita dapat lebih dalam lagi memahami akhlaqul karimah, sehingga dapat lebih mudah lagi mengamalkannya. Akhlaq yang tercela telah dipaparkan dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits, adalah dalam rangka menimbulkan perasaan anti pati dalam diri kita terhadapnya.

Adapun akhlaqudz dzamimah, tumbuh dalam kerangka perbuatan kemusyrikan dan kebid’ahan dan dalam rangka mengekor kepada hawa nafsu. Karena itu kita dapati, bahwa Islam amat mencela perbuatan syirik, bid’ah dan mengekor kepada hawa nafsu. Segala kerusakan akhlaq, adalah bersumber dari ketiganya. Hal ini dinyatakan oleh Allah dan Rasul-Nya dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits sebagai berikut:

1). Syirik sebagai kedhaliman yang paling besar dan menumbuhkan mental penakut:
 “Sesungguhnya syirik itu adalah kedhaliman yang besar.” (Luqman: 13).

Allah Ta’ala menegaskan pula tentang mental penakut pada orang yang berbuat syirik:
 “Kami akan memasukkan rasa takut yang dahsyat dalam hati orang-orang kafir akibat perbuatan mereka menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya yang tidak diperintahkan oleh-Nya. Dan tempat kembali mereka itu adalah neraka, sebagai tempat kembali yang sejelek-jeleknya bagi orang-orang yang berbuat dhalim.” (Ali Imran: 151).

2). Bid’ah sebagai sumber kesesatan dan penyimpangan agama, sebagaimana hal ini dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam:
 “Dan hati-hatilah kalian dari perkara yang dibikin-bikin dalam agama, karena semua yang dibikin-bikin itu adalah bid’ah dan semua yang bid’ah itu adalah sesat.” (HR.Abu Dawud dan At-Tirmidzi dalam Sunan keduanya).

3). Hawa nafsu, sebagai sebab terbesar terjadinya kemusyrikan dan kebid’ahan serta segala penyimpangan lainnya. Allah Ta’ala menegaskan tentang betapa jahatnya orang yang selalu menuruti hawa nafsunya:
 “Tidakkah engkau melihat orang-orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahannya. Apakah engkau akan menjadi pembela terhadap mereka ini? Apakah engkau menyangka bahwa kebanyakan mereka itu mendengar dan memikirkan apa yang engkau sampaikan, mereka itu tidak lain keadaannya seperti binatang ternak atau bahkan lebih rendah.” (Al-Furqan: 43 – 44).

Menjadikan hawa nafsu sebagai sesembahan itu maknanya ialah menuruti selera hawa nafsu itu apapun yang dimaukannya. (Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat-ayat tersebut).

Dari tiga akhlaq yang tercela ini, muncullah berbagai pelanggaran akhlaq, karena dengan ketiganya disingkirkanlah otoritas agama sebagai pengatur dan pembimbing kehidupan di dunia ini. Sehingga muncullah segala malapetaka pada segenap aspek kehidupan ummat manusia seperti sekarang ini.

MUTIARA-MUTIARA AKHLAQ YANG TELAH HILANG
Dalam rangka otokritik (kritik kepada kalangan sendiri), tulisan ini disajikan kepada segenap pembaca yang budiman. Sebagai upaya kita berjihad memperbaiki nasib Ummat Islam yang semakin terpuruk dari masa ke masa dalam pergaulan universal. Imam Malik bin Anas rahimahullah menyatakan kemestian problem solving bagi ummat ini:
“Tidak akan menjadi baik urusan ummat ini kecuali dengan yang telah memperbaiki pendahulunya.”

Pendahulu ummat ini adalah para Shahabat Nabi shallallahu `alaihi wa sallam. Sedangkan yang telah memperbaiki nasib penduhulu ummat ini adalah ketika mereka beriman dan beramal dengan bimbingan Al-Qur’an dan As-Sunnah. Itulah ang terus kita perjuangkan dan berikut ini kita berusaha mengenali kekurangan diri ita sendiri agar kita berpeluang memperbaikinya. Yaitu mutiara-mutiara akhlaq ang hilang dari pergaulan kita. Semoga dengan kita menyadari kehilangan barang brharga tersebut, kita akan berusaha menemukannya kembali, dan mutiara itu bersinar lagi dalam pergaulan kita. Inilah data barang hilang itu:

1). Al-Ikhlas, yaitu kemurnian tauhid dari segala noda syirik dalam beribadah epada Allah Ta’ala. Noda syirik itu dengan segenap jenisnya akan merusakkan keikhlasan kita dalam beribadah kepada-Nya. Sedangkan jenis-jenis syirik itu adalah:

a). Syirik akbar atau syirik besar, yaitu mempersembahkan amalan ibadah kepada selain Allah disamping mempersembahkannya kepada Allah. Syirik akbar ini membatalkan keislaman pelakunya dan tentu membatalkan keikhlasannya pula. Syirik akbar ini contohnya ialah sujud dan ruku’ kepada selain Allah, berdoa kepada selain-Nya, thawaf mengelilingi tempat yang dikeramatkan selain Ka’bah seperti thawaf di kuburan wali dan lain-lainnya. Dan masih banyak lagi contoh perbuatan syirik akbar.

b). Syirik asghar atau syirik kecil, yaitu mempunyai niat amalan shalih selain untuk Allah juga untuk yang selain-Nya. Atau menyandarkan diri dalam upaya mencapai keberuntungan dan juga usaha untuk menghindarkan diri dari mara bahaya kepada selain Allah di samping kepada Allah. Contohnya seperti riya’ (yakni diniatkan amalannya untuk dilihat atau dipuji orang), juga meyakini keselamatan rumahnya dari pencuri karena ada anjing penjaga padanya atau ada angsa yang selalu bersuara keras bila ada orang yang tidak dikenalnya. Dan termasuk dalam katagori syirik asghar, ialah bila seseorang beramal dengan amalan akhirat, tetapi dia niatkan dengannya untuk mendapatkan kepentingan dunia. Semua itu adalah syirik asghar yang merusakkan keikhlasan pelakunya. Dan masih banyak lagi contoh-contoh amalan syirik asghar selain apa yang tersebut di atas.

c). Syirik khafi atau syirik yang tersembunyi, yaitu amalan syirik yang tersamar pada kebanyakan orang karena tampaknya seolah-olah perbuatan itu ikhlas untuk Allah semata padahal ada niat sampingan yang tersembunyi untuk selain Allah. Hal ini disadari oleh sedikit orang yang dirahmati Allah dan segera dia bertaubat kepada-Nya untuk memurnikan kembali keihkhlasannya yang telah dirusak oleh syirik khafi tersebut. Tetapi kebanyakan orang amat sulit merasakannya dan baru dia mengerti setelah adanya penyimpangan yang jauh dari niat ikhlasnya untuk Allah dan sulit untuk memurnikan kembali niatnya karena telah terkait dengan kepentingan dunia amalan ibadahnya dan hancurlah keikhlasannya untuk Allah karenanya. Kebanyakan syirik khafi ini dimulai dari syirik asghar dan kemudian berkembang sampai pada tingkat syirik akbar.

Contohnya ialah seorang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah. Tetapi diam-diam dia mempunyai agenda tertentu untuk meraih keuntungan dunia melalui jalan dakwah. Atau orang yang berjihad di jalan Allah, disamping niatnya untuk meraih keridlaan Allah juga mempunyai niat lain dari kepentingan dunia. Sehingga akhirnya sampai pada tingkat tujuannya mencapai kepentingan dunia mengalahkan niatnya untuk meraih ridla Allah.

Demikian bahayanya syirik itu dalam merusakkan atau bahkan menghancurkan sama sekali keikhlasan seorang mukmin dalam beribadah atau beramal shalih. Semakin tersembunyinya syirik itu bagi kebanyakan orang, maka semakin besar pula bahayanya. Tetapi sayang, di hari ini semua jenis syirik yang tiga itu telah mewabah pada kebanyakan kaum Muslimin. Bahkan telah mendominasi kehidupan mereka. Sehingga kaum Muslimin tidak ada lagi wibawanya di hadapan musuh-musuhnya. Karena yang muncul di tengah-tengah kaum Muslimin adalah orang-orang oportunis yang membonceng kepada kepentingan agama demi mencapai kepentingan dunia.

Sedikit sekali orang yang benar-benar ikhlas karena Allah dalam beragama ini. Karena memang perbuatan ikhlas itu telah menjadi amalan yang amat berat dalam kehidupan ummat ini di masa kini. Lebih jelasnya, makna ihklas itu telah amat sulit diterapkan pada ummat ini. Karena telah sedikit sekali orang yang mengerti makna ikhlas dengan lengkap dikarenakan semakin malasnya ummat ini untuk belajar agama.

Al-Imam Abu Utsman Said bin Ismail rahimahullah telah menerangkan dengan lengkap tentang makna ikhlas yang sesungguhnya sebagai berikut:
“Makna sesungguhnya keikhlasan itu ialah bila seorang Muslim dalam beramal shalih, selalu mengabaikan penglihatan makhluk terhadap amalan itu karena terus menerus menumpahkan perhatian kepada penglihatan Al-Khaliq (sang Pencipta). Dan ikhlas itu ialah bila engkau beramal shalih, hatimu menginginkan ridla Allah semata dari amalan, ilmu serta dari perbuatan itu. Karena engkau takut kemurkaan Allah dengan sebab ilmu yang ada padamu dan Allah terus-menerus melihat engkau. Sehingga dengan itu akan hilanglah dari hatimu riya’. Kemudian engkau selalu ingat berbagai kenikmatan Allah atasmu, karena Dia telah memberimu taufiq (bimbingan) untuk kamu memilih amalan itu sehingga hilanglah rasa ‘ujub (yakni rasa bangga diri) dari hatimu. Dan kemudian engkau menggunakan kelembutan dalam beramal itu sehingga hilanglah dari hatimu ketergesa-gesaan. Karena Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam bersabda:
“Tidaklah Allah jadikan kelembutan pada sesuatu kecuali akan memperindah sesuatu itu dan tidaklah Ia mencabut kelembutan itu dari sesuatu, kecuali akan memburukkannya.”

Selanjutnya Abu Utsman menerangkan: “Dan ketergesa-gesaan itu adalah sikap orang yang mengikuti hawa nafsu, sedangkan kelembutan itu adalah sikap orang yang mengikuti sunnah (yakni ajaran Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam). Bila engkau telah selesai menjalankan amalanmu dengan cara demikian, hatimu terasa penuh ketakutan dari kemungkinan Allah menolak amalanmu dan tidak menerimanya. Hal ini sebagaimana diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya:
 “Dan orang-orang yang bila mengerjakan suatu amalan, hati mereka akan penuh ketakutan karena mereka yakin akan kembali ke Tuhan mereka.” (Al-Mu’minun:60).

Kemudian Abu Utsman menegaskan: “Barang siapa yang mengumpulkan empat perkara ini dalam amalannya, maka sungguh dia adalah orang yang berbuat ikhlas dalam amalannya insya Allah.” (HR. Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman jilid 5 halaman 348 riwayat ke 6885 – 6886)

Empat perkara yang merupakan ciri keikhlasan seseorang yang bisa dirasakan oleh orang yang sedang beramal itu sendiri sebagaimana yang dijelaskan oleh Abu Utsman Sa’ied bin Ismail tersebut di atas, bila diringkaskan adalah sebagai berikut:

a). Ar-Ru’yah, yakni merasa yakin bahwa amalannya sedang dilihat dan diawasi oleh Allah Ta’ala.
b). Ar-Raja’ , yakni mengharapkan ridla Allah semata untuk menerima amalan itu dan memberinya pahala.
c). Ar-Rifeq, yakni kelembutan dan kehati-hatian dalam menjalankan amalan itu dan tidak tergesa-gesa.
d). Al-Khauf, yakni takut kalau amalannya itu tidak diterima oleh Allah Ta’ala.

Betapa jarangnya kaum Muslimin yang memenuhi hatinya dengan empat perkara tersebut ketika beramal shalih. Bahkan sebaliknya, yang diharapkan ialah pengakuan manusia, yang ditakutinya ialah kemarahan atau pengucilan handai taulan karib kerabat terhadapnya, cenderung kasar dan tergesa-gesa membikin keputusan, serta penuh rasa ujub (bangga diri) dalam beramal dan mengharapkan acungan jempol banyak orang.

Jadi, mutiara ikhlas telah hilang dari kita dan gantinya adalah kemunafikan dalam bentuk sikap beragama dua muka yang berbeda antara satu muka dengan muka yang lainnya. Tampaknya sedang beramal dengan amalan shaleh untuk Allah, tetapi hatinya penuh agenda tersendiri untuk meraih kedudukan di sisi manusia. Hal ini telah dikeluhkan oleh para Shahabat Nabi di jaman Ta’biin (yaitu zaman sepeninggal Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa sallam tetapi para shahabat beliau masih hidup). Hudzaifah bin Al-Yaman radhiyallahu anhu menjelaskan tentang sikap dua muka orang munafiq itu, dalam riwayat berikut ini:
Dari Abi Yahya mengatakan: Pernah Hudzaifah ditanyai: “Apakah yang dinamakan munafiq itu?” Beliau menjawab: “Munafiq itu adalah orang yang berbicara tentang Islam tetapi dia tidak beramal dengannya.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 296 riwayat ke 928).

Ini menunjukkan bahwa si munafiq itu ketika berbicara tentang Islam, sama sekali tidak ada keikhlasan untuk merasa terikat dengannya sehingga Islam hanya dibibirnya saja tetapi tidak ada realisasinya dalam amalannya.

Kemudian Hudzaifah memperingatkan: “Akan datang suatu masa pada kaum Muslimin, dimana pada waktu itu bila engkau melempar anak panah di hari Jum’at (yaitu ketika banyak orang berkumpul di masjid untuk menunaikan kewajiban shalat Jum’at), maka anak panah itu tidak mengena kecuali orang kafir atau orang munafiq.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 1 halaman 179 riwayat ke 9).

Yakni mayoritas orang yang ada di masjid-masjid pada hari Jum’at itu adalah orang-orang Islam yang telah batal keislamannya karena berbagai kemusyrikan yang dilakukannya sehingga jadilah dia kafir karenanya. Atau kalau tidak demikian maka yang paling ringan adalah orang Islam yang tidak lagi mempunyai keyakinan dan keikhlasan dalam beragama sehingga jadilah dia sebagai orang munafiq karenanya.

Masyarakat Muslimin yang telah kehilangan mutiara-mutiara akhlaq dan juga amat rendah pengetahuannya serta pengamalannya tentang agama. Rasulullah shallallahu`alaihi wa sallam memberitahukan bahwa orang munafiq itu tidak akan mempunyai perangai yang mulia dan tidak akan pula mengerti ilmu agama. Hal ini telah diberitakan olehnya dalam sabdanya:
 “Dua perkara yang tidak mungkin ada pada orang munafiq, yaitu perangai yang baik dan paham agama.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya hadits ke 2684 dari Abi Hurairah).

Ini menunjukkan bahwa akhlaq yang mulia akan hilang dengan hilangnya keikhlasan dan munculnya kemunafikan. Demikian pula akan terjadi sikap ummat Islam yang mengabaikan ilmu agama ketika tumbuh subur di kalangan mereka mental munafiq.

Abdullah bin Umar bin Al-Khattab radhiyallahu anhuma menyatakan: “Sesungguhnya seorang Muslim masuk ke rumah penguasa dalam keadaan masih ada Iman dan Islam pada dirinya, tetapi ketika dia keluar dari padanya dalam keadaan tidak lagi tersisa padanya agamanya sedikit pun.” Ditanyakan kepada beliau: “Mengapa demikian wahai Abu Abdur Rahman?” Beliau menjawab: “Karena dia di hadapan penguasa itu berusaha menyenangkannya dengan perkara yang dibenci oleh Allah.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 halaman 694 riwayat ke 924).

Demikianlah kenyataannya, dunia politik praktis sering mendidik kaum Muslimin melakukan basa-basi politik atau tegasnya sikap menjilat kepada penguasa sehingga kosong dari keikhlasan. Bahkan sikap menjilat itu dilakukan dengan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah atau dengan tenang menginjak-nginjak hukum Allah demi mendapatkan restu penguasa itu. Yang demikian itu adalah kemunafikan yang menghancurkan keikhlasannya dalam beragama.

Pernah pula ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang orang yang menemui penguasa dan di hadapan penguasa itu dia memuji-mujinya. Tetapi ketika dia keluar dari tempat kediaman penguasa itu, dia mencaci-maki penguasa tersebut. Bagaimana perbuatan orang yang demikian ini? Beliau menjawabnya: “Kami para shahabat Nabi menganggap perbuatan yang demikian ini di zaman Nabi shallallahu `alaihi wa sallam sebagai kemunafikan.” (Riwayat Ibnu Batthah Al-Ukbari dalam Al-Ibanah Al-Kubra jilid 2 hal. 693 – 694 riwayat ke 921).

Semuanya telah terjadi di hadapan kita dan di masyarakat kita dan mutiara ikhlas itu memang telah hilang dari kita. Syaikh Abdurrahman bin Al-Hasan bin Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahumullah dalam Fathul Majid halaman 185 jilid ke 2 menukil omongan kakeknya (yaitu Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah): “Diperingatkan agar orang yang berdakwah menyeru manusia kepada agama Allah harus menjaga keikhlasannya. Karena banyak orang yang tampaknya menyeru kepada kebenaran, kemudian ternyata dia menyeru orang untuk memuliakan si juru da’wah itu sendiri.” Orang-orang yang beramal shalih tetapi mempunyai niat bercabang antara niat untuk Allah dan juga untuk yang lain-Nya, akan berhadapan dengan pengadilan Allah di hari Mahsyar di hari kiamat dan di sana Allah menyatakan menolak sama sekali semua amalan yang niatnya bercabang seperti itu. Hal ini telah diberitakan oleh Nabi Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya manusia pertama yang akan diadili perkaranya oleh Allah di hari kiamat adalah seorang pria yang syahid (terbunuh dalam pertempuran membela agama Allah), kemudia orang itu didatangkan di hadapan Allah dan kemudian diperkenalkan kepadanya segenap nikmat-Nya yang dilimpahkan kepadanya dan dia mengakui semua nikmat itu. Kemudian ditanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau amalkan dengan nikmat itu?” Dia menjawab: “Aku berperang di jalan-Mu dan aku terbunuh sebagai syahid.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau telah berperang agar engkau dikatakan sebagai pemberani. Dan sungguh telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan agar diseret orang tersebut pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka. Kemudian didatangkan pula seorang yang belajar ilmu agama dan mengajarkannya dan membaca Al-Qur’an untuk dihadapkan kepada Allah. Diperkenalkanlah kepadanya berbagai kenikmatan-Nya kepadanya dan dia mengakui segala limpahan kenikmatan itu dari-Nya. Allah menanyakan kepadanya: “Apa yang engkau telah lakukan dengannya?” Orang ini pun menjawab: “Aku telah belajar ilmu agama dan aku mengajarkannya dan aku membaca Al-Qur’an semata-mata untuk-Mu.” Maka Allah menjawabnya: “Engkau telah berdusta, akan tetapi engkau belajar agama agar engkau dikatakan sebagai orang yang berilmu, dan memang telah dikatakan demikian. Dan engkau membaca Al-Qur’an agar dikatakan sebagai ahli baca Al-Qur’an, dan memang telah dikatakan demikian.” Maka Allah perintahkan agar orang ini diseret pada wajahnya dan kemudian dia dilemparkan ke neraka. Didatangkan pula pada waktu itu seorang yang dilapangkan rizkinya oleh Allah dan diberi limpahan harta dengan segala jenisnya. Orang tersebut dihadapkan kepada Allah dan dikenalkan kepadanya berbagai kenikmatan-Nya yang telah dilimpahkan kepadanya, dan dia mengakuinya. Maka Allah tanyakan kepadanya: “Apa yang telah engkau lakukan dengan berbagai kenikmatan itu?” Diapun menjawab: “Aku tidak  membiarkan satu jalan pun yang Engkau senangi, kecuali aku selalu belanjakan hartaku padanya untuk-Mu.” Allah menyatakan kepadanya: “Engkau telah berdusta. Engkau lakukan semua itu adalah untuk engkau dikatakan dermawan dan memang telah dikatakan demikian.” Kemudian diperintahkan untuk orang ini diseret pada wajahnya sehingga dilemparkan ke neraka.” (HR. Muslim dalam Shahihnya hadits nomor 1905 dari Abi Hurairah radliyallahu `anhu juz 13 hlm. 44 bab Man Qotala li ar-Riya’i wash Shum’ati istahaqqon-nari).

Demikianlah, betapa celakanya orang yang beramal shalih dengan amalan-amalan yang besar tetapi niatnya tidak ikhlas karena Allah Ta’ala bahkan niatnya bercabang dengan berbagai niat yang lainnya. Maka “ikhlas” itu sebagai mutiara akhlaq yang dapat ditumbuh suburkan melalui pembekalan ilmu Tauhid dengan mengenal Allah dan sifat-sifat-Nya serta perbuatan-Nya dan mempersembahkan segenap amalan shalih hanya untuk Allah semata serta membersihkan Tauhid dari segenap noda syirik.

2). As-Shidqu, yakni kejujuran. Yaitu kejujuran dalam menyatakan iman kepada Allah dan Rasul-Nya serta kejujuran dalam segala perkara yang diwajibkan oleh agama kita. Kejujuran yang dimaksud di sini ialah samanya pernyataan lisan dengan apa yang diyakini oleh hati dan sama antara keadaan tersembunyi dengan keadaan di hadapan orang ramai. Kalau lawan daripada Al-Ikhlash adalah An-Nifaq (yakni kemunafikan), maka lawan dari As-Shidqu adalah Al-Kadzib (yakni kedustaan). As-Shidqu itu adalah sumber segala amalan baik, sedangkan Al-Kadzib itu adalah sumber segala amalan jahat. Hal ini telah dinyatakan oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam sabda beliau sebagai berikut:

“Sesungguhnya As-Shidqu itu membimbing orang kepada amalan shalih dan amalan shalih membimbing pelakunya kepada surga. Dan sesungguhnya seorang itu terus menerus berbuat shidiq (yakni jujur) sehingga ditulis di sisi Allah sebagai shiddiq (yakni orang yang selalu berbuat jujur). Dan sesungguhnya dusta itu membimbing orang kepada amalan jahat, dan sesunguhnya amalan jahat itu membimbing pelakunya ke neraka. Dan seseorang itu terus-menerus berdusta, sehingga ditulis di sisi Allah sebagai pendusta.” (HR. Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahih keduanya dari Abdullah bin Mas’ud).

Diberitakan pula oleh Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi sallam tentang ciri-ciri as-shidqu itu adalah ketentraman pada pelakunya dan sebaliknya ciri-ciri kedustaan itu ialah kebimbangan pada pelakunya:
 “Tinggalkanlah apa yang meragukanmu dan berpeganglah dengan apa yang tidak meragukan kamu, karena As-Shidqu (kejujuran) itu menyebabkan ketentraman pada pelakunya dan dusta itu menyebabkan kebimbangan pada pelakunya.” (HR. At-Tirmidzi dalam Sunannya dari Al-Hasan bin Ali).

Al-`Allamah Al-Mubarakfuri rahimahullah menjelaskan makna hadits ini sebagai berikut:
“Maknanya ialah: Tinggalkanlah apa yang engkau ragu padanya baik dari perkataan maupun dari perbuatan, ragu apakah ia terlarang ataukah ia tidak terlarang, apakah ia sunnah ataukah ia bid’ah. Tinggalkanlah yang demikian keadaannya dan condonglah kamu kepada apa yang engkau tidak ragu padanya. Yang dimaksud dengan perintah ini ialah bahwa setiap mukallaf hendaknya membangun keyakinan agamanya di atas keyakinan ilmiah setelah melakukan upaya penelitian dalil untuk mencapai kepastian. Dan hendaknya setiap orang itu di atas ilmu dalam beragama.” (Tuhfatul Afwadzi bi Syarah Jami’it Tirmidzi jilid 7 hal. 221).

Demikianlah mestinya sikap shidiq dalam beragama, sehingga akan menimbulkan ketenangan di hati dalam meyakini agamanya dan akan mantap dan penuh semangat dalam mengamalkannya. Adapun orang-orang yang tidak mempunyai akhlaq shidiq dalam beragama, dan banyak bermain-main dengan kedustaan dalam beragama, maka sungguh dia akan hanya menimbulkan fitnah belaka dalam mengamalkan agama. Karena pengamalannya tidak konsisten pada satu sikap, akan tetapi mudah sekali berubah-rubah dari satu sikap kepada sikap yang lainnya tanpa alasan yang jelas.

Baru saja orang-orang diperingatkan untuk jangan dekat-dekat dengan si fulan. Alasannya bahwa si fulan itu membawa pemahaman yang sesat. Kemudian dalam tempo sebulan atau dua bulan, sudah berubah lagi dengan seruan untuk mengupayakan ishlah (kerukunan) kembali dengan si fulan yang dituduh sesat itu. Bila ditanyakan, apa alasannya kok terjadi perubahan sikap yang secepat itu?
Jawabnya: “Masih menunggu keterangan Ulama’.” Sementara para pendusta yang sedang mempermainkan ummat dengan kedustaannya, terus-menerus berpindah-pindah dari satu Ulama’ kepada Ulama’ yang lainnya untuk memperoleh pembenaran terhadap kedustaannya dengan melakukan penipuan kepada para Ulama’ tersebut.

Bila mendapat jawaban dari seorang Ulama’ yang tidak sesuai dengan maneuver kedustaannya, maka tentunya jawaban itu segera disembunyikan atau tidak berselera untuk menyebarkannya. Akan tetapi bila dia berhasil mendapatkan jawaban yang sesuai dengan hawa nafsu kedustaannya, segeralah jawaban itu disebarluaskan ke semua pihak disertai dengan anjuran untuk mengikuti Ulama’. Betapa celakanya ummat ini ketika dakwah kepada sunnah (ajaran) Nabi shallallahu`alaihi wa alihi wa sallam dijadikan bulan-bulanan permainan kotor para pendusta.

Inilah kenyataan pahit yang sedang berlangsung di generasi kita. Dan mutiara As-Shidqu adalah mutiara akhlaq yang telah hilang dari kehidupan kita. Sehingga yang sedang mewabah adalah Al-Kadzib.

Quo vadis Ummat Islam, barangkali inilah yang sangat dikuatirkan oleh Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri rahimahullah (beliau adalah Imam dari kalangan tabi’it tabi’in) sebagai mana yang telah diceritakan oleh murid beliau yang bernama Al Faryabi rahimahullah sebagai berikut ini:
“Sufyan Ats-Tsauri bila melihat orang-orang An-Nabath (yakni orang-orang asli Irak tidak punya nasab dan tidak terdidik dalam keluarga yang mulia) mencatat ilmu di majlis ilmu, wajah beliau berubah karena tidak senang. Maka aku pun menanyakannya: “Wahai Aba Abdillah, aku melihat engkau amat keberatan bila melihat orang-orang itu menulis ilmu (yakni ilmu agama), mengapa?” Beliau pun menjawab: “Ilmu agama ini dulunya ada di tangan orang-orang Arab dari kalangan orang-orang mulia. Maka bila ilmu ini telah keluar dari tangan mereka dan berpindah tangan kepada orang-orang nabathi itu dan di tangan orang-orang yang rendah budi pekertinya, maka akan rusaklah agama ini.” (Riwayat Ibnu Abdil Bar dalam Jami’ Bayanul Ilmi wa Fadl-lihi jilid 1 hal 620 – 621, riwayat ke 1072)

Maka untuk membangun kembali akhlaq shidiq pada ummat ini, haruslah dibangkitkan keimanan mereka kepada ancaman adzab Allah di dunia dan akhirat terhadap para pendusta. Agar orang yang beriman itu terus-menerus mendidik dirinya untuk selalu bersikap shidiq. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadits-hadits Nabi shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam yang menganjurkan sikap shidiq dan mengancam orang yang selalu berdusta, tidak akan bermanfaat bagi orang yang tidak beriman kepada kengerian adzab Allah bagi orang yang berdusta dan tidak beriman pula kepada janji kemuliaan dari-Nya bagi orang yang berbuat shidiq.

3. Al-Amanah, yaitu menunaikan kepercayaan pihak lain kepadanya. Seseorang bila telah dipercaya oleh satu pihak dengan satu perkara, maka orang yang dipercaya tersebut telah mendapat beban amanah yang harus ditunaikan. Pihak pemberi amanah yang paling tinggi dan paling besar adalah Allah Ta’ala. Hal ini telah diberitakan oleh-Nya dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab 72:
 “Sesungguhnya Kami telah tawarkan amanah ini kepada langit yang tujuh dan kepada bumi serta gunung-gunung, tetapi semuanya tidak mau menerima tawaran untuk menunaikan amanah itu karena merasa berat untuk memikulnya. Tetapi manusia justru menerimanya. Sesungguhnya manusia itu memang sangat dhalim dan sangat bodoh.” (Al-Ahzab: 72)

Amanah yang Allah tawarkan itu ialah satu ketentuan yang menyatakan: “Barang siapa menunaikan kewajiban mentaati-Nya maka dia akan mendapatkan pahala dari-Nya dan barang siapa yang tidak menunaikan kewajiban itu maka akan disiksa oleh-Nya.” (Lihat Tafsir At-Thabari tentang ayat ini).

Adapun pihak yang diberi amanah yang paling mulia adalah para Nabi dan para Rasul, sebagaimana hal ini telah diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di Al-Qur’an surat An-Nahl 36:
 “Dan sungguh Kami telah utus pada setiap ummat seorang Rasul yang mengajarkan perintah-Nya agar kalian beribadah hanya kepada Allah dan menjauhkan diri dari para thaghut (yakni segala sesembahan selain Allah). Maka sebagian manusia ada yang mendapatkan petunjuk Allah untuk menunaikan ajaran para Rasul itu dan ada pula dari mereka telah ditentukan atasnya kesesatan. Oleh karena itu berjalanlah kamu di muka bumi dan lihatlah bagaimana akibatnya orang yang mendustakan ajaran para Rasul itu.” (An-Nahl: 36)

Kemudian setelah kedudukan para Nabi dan para Rasul itu sebagai penerima amanah yang termulia, ialah para Ulama’ dan para da’i yang menyeru manusia kepada agama Allah. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Fushshilat 33:
 “Dan siapakah yang lebih baik omongannya dari orang yang menyeru manusia kepada agama Allah dan beramal shalih dan menyatakan: Sesungguhnya aku termasuk dari golongan orang-orang yang tunduk kepada agama Allah.” (Fushshilat:33)

Setelah kedudukan para ulama’ dan da’i itu, pihak termulia yang mendapat amanah Allah adalah segenap kaum Mukminin. Hal ini sebagaimana yang diberitakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran 110:
“Kalian adalah sebaik-baik ummat yang diciptakan untuk kebaikan bagi manusia untuk menunaikan misi tugas kalian yaitu menyeru manusia kepada kebaikan dan mencegah mereka dari kemungkaran dan kalian beriman kepada Allah.” (Ali Imran:110)

Sedangkan perkara paling mulia yang diamanahkan kepada kita adalah Islam dan Iman. Tentang keduanyalah kita akan dimintai pertanggungjawaban di hari kiamat kelak, yaitu sejauh mana kita menunaikan kewajiban menuntut ilmu agama Allah dan sejauh mana kita beramal dengan ilmu tersebut. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Allah Ta’ala dalam firman-Nya di dalam Al-Qur’an surat Fathir 32:
“Kemudian Kami amanahkan Kitab ini (yakni ilmu yang Allah turunkan kepada Rasul-Nya, yaitu Al-Qur’an dan As-Sunnah) kepada orang-orang yang Kami pilih. Dari mereka yang diberi amanah itu ada yang dhalim terhadap diri mereka sendiri dan dari mereka ada yang sedang (yakni tidak dhalim dan tidak pula lebih baik), ada pula dari mereka yang melampaui yang lainnya dalam kebaikan dengan ijin Allah. Yang demikian itu adalah keutamaan yang besar dari Allah.” (Fathir: 32)

Demikianlah amanah yang termulia itu, ia datang dari pemberi amanah yang termulia, yaitu Allah Ta’ala. Diberikan amanah itu kepada makhluq Allah termulia, yaitu para Nabi dan para Rasul. Disampaikanlah amanah itu dari mereka kepada orang-orang yang termulia setelah para Nabi dan para Rasul, yaitu para ulama’ dan para da’i. Dipercayakan untuk pengamalannya kepada ummat terbaik, yaitu segenap kaum Mukminin yang menjalankan kewajiban amar ma’ruf dan nahi munkar serta beriman kepada Allah Ta’ala dengan cara yang benar menurut-Nya.

Maka bila amanah yang termulia ini ditunaikan dengan baik, penduduk bumi akan hidup dalam kesejahteraan dhahir maupun batin. Akan tetapi bila amanah ini dikhianati, maka akan terjadi malapetaka di muka bumi baik dhahir maupun batin. Dan segala amanah yang lainnya akan dikhianati dengan ditelantarkan segala kemestiannya, sehingga yang merajalela di muka bumi adalah mental khianat dan pada saat itu hilanglah akhlaq menunaikan amanah. Semua malapetaka ini telah diperingatkan oleh Nabi kita Muhammad shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam dalam hadits berikut ini:
Seorang Arab dari gunung datang ke majlis Nabi shallallahu `alaihi wa sallam dan bertanya: “Kapan terjadinya hari kiamat?” Maka Rasulullah shallallahu `alaihi wa sallam menjawab: “Ialah bila diterlantarkannya amanah, maka tunggulah terjadinya kiamat.” Orang itu masih bertanya lagi: “Bagaimana amanah itu dikatakan telah diterlantarkan?” Beliau menjawab: “Bila suatu urusan diserahkan kepada bukan ahlinya maka tunggulah terjadinya hari kiamat.” (HR. Bukhari dalam Shahihnya bab Kitabul Ilmi hadits ke 59 hari Abi Hurairah).

Begitulah bahayanya kerusakan amanah, yaitu dengan diserahkannya perkara agama ini sebagai amanah yang termulia kepada orang-orang yang bukan ahlinya. Rasulullah shallallahu `alaihi wa alihi wa sallam memberitakan tentang keadaan yang paling genting menjelang datangnya hari kiamat ketika amanah menjaga agama Allah telah diabaikan:

Dari Hudzaifah bin Al-Yaman, dia menceritakan: Aku pernah bertanya kepada Rasulullah: “Wahai Rasulallah, kapan kita meninggalkan amar ma’ruf dan nahi munkar, padahal keduanya adalah amalan yang pokok bagi orang-orang baik?” Beliau pun menjawab: “Apabila tampak pada kalian apa yang pernah nampak pada Bani Israil ummat sebelum kalian.” Akupun bertanya lagi: “Apakah yang pernah tampak pada mereka?” Beliau menjawab: “Apabila orang-orang baik dari kalian berbasa-basi dengan orang-orang jahat dari kalian dalam kemaksiatan, dan fiqih (yakni ilmu agama) di tangan orang-orang yang paling jahat dari kalian (yaitu orang yang berilmu agama tetapi suka melakukan kemaksiatan), dan negara dipimpin oleh orang-orang kerdil pikirannya (yakni orang-orang yang lemah akal), maka ketika itulah fitnah akan terus-menerus meliputi kalian, dan kalian akan menyerang dan diserang.” (HR. At-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Ausath jilid 1 hal. 51–52 riwayat ke 144).

Terhadap hadits ini Al-Imam Ibnu Hajar Al-Haitsami dalam Majma’uz Zawa’id jilid 7 hal. 286 melemahkan sanadnya. Tetapi hadits ini diriwayatkan melalui banyak sanad sehingga menjadi hasan karenanya. Adapun berbagai sanad tersebut adalah sebagai berikut ini:
Diriwayatkan oleh Ibnu Abdil Bar dari Anas bin Malik dalam Jami’ Bayanul Ilmi Wa Fadl-lih jilid 1 dengan membawakan beberapa sanad di halaman 610–612, riwayat ke 1048 hingga 1050. Juga Ibnu Majah dalam Sunannya dari Anas bin Malik hadits ke 4015. Al-Hafidh Abu Nu’aim Al-Asfahani meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik pula dalam Al-Hilyah jilid 5 hal 185. Ibnu Abid Dunya meriwayatkan hadits ini dari A’isyah Ummul Mukminin dalam Kitabul Amri bil Ma’ruf wan Nahyi ‘anil Munkar riwayat ke 27. Abu Ja’far At-Thahawi meriwayatkan hadits ini dari Anas bin Malik dalam Musykilul Atsar juz 4 hal 216 riwayat ke 3658. Imam Ahmad bin Hanbal meriwayatkannya dari Anas bin Malik dalam Musnad beliau jilid 3 halaman 187. Al-Hindi membawakan riwayat ini dalam Kanzul Ummalnya jilid 3 halaman 685 riwayat ke 8458 dan beliau menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Asakir dan Ibnu An-Najjar dari Anas bin Malik.

Maka telah jelaslah bagi kita, bahwa bila amanah telah hilang dari akhlaq ummat Islam, kondisi ummat Islam akan sangat terpuruk. Masyarakat cenderung berfikir untuk kepentingan dirinya sendiri dan amar makruf nahi munkar telah mandek. Tawashaw bil haq watawashaw bis shabr (yakni saling menasehati kepada kebenaran dan saling menasehati kepada kesabaran) telah ditinggalkan. Karena ummat Islam telah hilang kepercayaan antara satu dengan yang lainnya, bahkan saling mencurigai di antara sesamanya. Ummat Islam terkotak-kotak dalam bebagai golongan, lengkap dengan pemahamannya masing-masing terhadap agamanya.

Inilah perpecahan yang amat dicela oleh Allah dan Rasul-Nya dan dengan sebab ini Allah mengutuk ummat Islam sebagaimana Ia mengutuk ummat-ummat Yahudi dan Nashara. Sehingga musuh-musuh ummat Islam menjadi berani melecehkan dan menghinakan mereka, bahkan mereka dijadikan sebagai bulan-bulanan kejahatan orang-orang Yahudi, Nashara dan musyrikin.

Untuk membangun kembali harga diri dan kewibawaan ummat Islam, haruslah diupayakan dan dipelopori pendidikan agama bagi ummat ini dengan menekankan pada upaya menumbuhkan kepribadian al-amanah bersamaan dengan kepribadian al-ihkhlas dan as-shidiq.

PENUTUP
Demikianlah keresahanku sebagai da’i, aku kemukakan kepada pembaca sekalian sebagai upaya pencerahan terapi penyakit ummat Islam untuk mendapat perhatian semua pihak guna menanggulanginya lebih serius. Agar energi perjuangan ummat Islam lebih efisien lagi karena lebih fokus pada sasarannya yang lebih tepat.

Tidak ada alasan bagi para pejuang Islam untuk pesimis ataupun putus asa dalam menatap masa depan perjuangan ini. Estafet perjuangan harus terus-menerus diwariskan kepada anak cucu dengan bara api semangat perjuangan yang tak kunjung padam. Kemenangan dari Allah pasti akan datang di suatu saat yang dikehendaki-Nya. Dia sedang memilih, siapakah dari ummat ini yang paling pantas dilimpahi amanah kemenangan yang agung dari Dzat Yang Maha Agung itu.

Berlombalah kita untuk memperbaiki diri agar dipilih oleh Allah Ta’ala menjadi orang yang pantas dilimpahi amanah kemenangan dari-Nya. Kita perbaiki keikhlasan, hiasi diri dengan kepribadian As-Shidqu, dan kita tumbuhkan akhlaq Al-Amanah pada diri kita. Berjuanglah terus, jangan berhenti dan jangan ragu dengan janji Allah. Fajar kemenangan akan terbit sebentar lagi.


 
Test © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone