Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Hukum Islam. Tampilkan semua postingan

Hukum Sujud Kepada Manusia

Label: ,

Sujud kepada manusia itu ada dua macam.

Pertama, sujud ibadah itulah sujud yang bertujuan mendekatkan diri kepada manusia. Ini jelas kemusyrikan

Kedua, sujud penghormatan dan pemuliaan kepada manusia yang sujud itu ditujukan kepadanya semisal sujudnya para saudara nabi Yusuf kepada Yusuf dan sujud Muadz kepada Nabi. Sujud jenis kedua ini mubah dalam syariat para nabi terdahulu lalu diharamkan dalam syariat kita bahkan dinilai sebagai bagian dari dosa besar.

Sedangkan bersujud kepada benda yang tidak bisa kita bayangkan sama sekali bahwa benda semacam itu layak mendapatkan penghormatan dan pemuliaan semisal sujud kepada patung atau matahari atau semisalnya maka ini adalah kemusyrikan yang nyata.

An Nawawi asy Syafii mengatakan,
وأما ما يفعله عوام الفقراء وشبههم من سجودهم بين يدي المشايخ وربما كانوا محدثين فهو حرام بإجماع المسلمين
“Adapun kelakuan orang-orang sufi yang awam atau orang awam lain semisal mereka yang bersujud kepada para kyai atau ustadz sufi atau boleh jadi pakar hadits maka itu adalah perbuatan yang hukumnya haram dengan sepakat seluruh kaum muslimin”.

وسئل ابن الصلاح عن هذا السجود الذي قدمناه فقال (( هو من عظائم الذنوب ونخشى أن يكون كفراً.))
Ibnu Shalah asy Syafii ditanya mengenai sujud sebagaimana yang telah kami sampaikan di muka, jawaban beliau, “Itu terhitung dosa besar dan kami khawatir itu tergolong kekafiran” [al Majmu 2/44, pada topik bahasan menyentuh mushaf dalam kondisi berhadats]

Ketika membahas berbagai perbuatan dan perkataan yang membatalkan keimanan, Ibnu Hajar al Haitami asy Syafii mengatakan,
(( ومنها ما يفعله كثيرون من الجهلة من السجود بين يدي المشايخ إذا قصدوا عبادتهم أو التـقـرب إليهم.لا إن قصدوا تعظيمهم أو أطلقوا فلا يكون كفراً بل هو حراماً قطعاً ))
“Diantara pembatal iman adalah perbuatan banyak orang-orang bodoh yang bersujud di hadapan kyai. Ini adalah pembatal keimanan jika maksud sujud adalah ibadah dan mendekatkan diri kepada mereka, para kyai tersebut. Jika maksud sujud adalah menghormati atau tanpa maksud yang jelas maka hal itu bukanlah pembatal keimana namun jelas perbuatan yang hukumnya haram” [al I’lam bi Qawathi’il Islam].

Dasar pelarangan sujud penghormatan kepada manusia adalah sabda Nabi shallallahu'alaihi wa sallam,
لو كنت آمر أحداً أن يسجد لأحد لأمرت المرأة أن تسجد لزوجها
“Seandainya boleh kuperintahkan seseorang untuk bersujud kepada seseorang maka niscaya kuperintahkan isteri untuk bersujud kepada suaminya” [HR Tirmidzi dari Abu Hurairah].

Tidaklah diragukan bahwa sujud penghormatan kepada sesama manusia adalah hal yang haram dan terlarang dan termasuk jalan dan sarana menuju kemusyrikan.

Jadi sujud kepada manusia dalam rangka memberikan penghormatan dan bukan karena ibadah adalah bid’ah yang sesat. Sedangkan jika dilakukan karena ibadah dan memohon perlindungan maka itu adalah kemusyrikan.

Sehingga hukum sujud kepada manusia perlu mendapatkan rincian. Jika dalam rangka menghormati maka hukumnya adalah dosa dan maksiat karena menghormati manusia adalah hal yang mungkin untuk dibayangkan. Namun jika dalam rangka ibadah maka itu adalah kekafiran dan kemusyrikan dengan sepakat ulama. Dasar rincian ini adalah menimbang bahwa sujud dalam rangka menghormati itu dibolehkan di syariat nabi terdahulu sedangkan kemusyrikan itu haram dalam semua syariat para nabi. Seandainya semua sujud kepada manusia itu kemusyrikan untuk sujud dalam bentuk apapun tidaklah dibolehkan dalam syariat para nabi terdahulu.

Sedangkan bersujud kepada selain manusia semisal kuburan, pohon, matahari dan rembulan adalah kemusyrikan karena tidak mungkin kita bayangkan adanya penghormatan dan pemuliaan terhadap benda-benda tersebut dan sujud kepada benda-benda semacam ini tidak pernah dibolehkan dalam syariat para nabi terdahulu. Padahal kemusyrikan adalah kemusyrikan baik dalam syariat nabi terdahulu ataupun dalam syariat kita.

Ajaran semua para nabi itu sama, perbedaan hanya terjadi pada rincian syariat masing-masing nabi. Andai sujud dalam rangka penghormatan itu kemusyrikan niscaya statusnya juga kemusyrikan dalam ajaran para nabi terdahulu.

Adapun orang yang berpendapat bahwa bolehnya sujud kepada manusia dalam rangka penghormatan adalah itu sudah dihapus dan sekarang hukumnya adalah kemusyrikan pada ‘sudah dihapus’ adalah benar, namun menilai bahwa sujud penghormatan dalam syariat kita adalah kekafiran adalah anggapan yang tidak benar. Orang tersebut dituntut untuk mendatangkan dalil syariat yang menunjukkan benarnya perkataanya.

Jadi tauhid dan kekafiran itu adalah hal yang disepakati dalam syariat semua para nabi. Perbedaan syariat para nabi itu hanya ada pada rincian atau detail syariat semisal sujud dalam rangka penghormatan.

Sumber:
http://www.kulalsalafiyeen.com/vb/showthread.php?p=152560#post152560

Hukum Memejamkan Mata Ketika Shalat

Label: , ,

Pertanyaan: Berdoa atau berdzikir dengan keadaan mata terpejam memang terasa lebih khusyuk. Dan saya sering melakukannya. Namun akhir-akhir ini ada perasaan khawaatir, jangan-jangan hal itu tidak sesuai deengan ajaran Nabi. Mohon penjelasan


Jika ada orang yang bertanya, “Seandainya ada seorang yang memejamkan kedua matanya sehingga tidak memandang apa-apa, apakah hal ini diperbolehkan ataukah tidak, maka jawabannya pendapat yang benar, hal tersebut dimakruhkan karena tindakan tersebut menyerupai tindakan majusi pada saat memuja api. Di mana mereka pada saat itu memejamkan mata-mata mereka. Bahkan ada yang mengatakan bahwa hal tersebut juga merupakan perbuatan orang-orang Yahudi sedangkan menyerupai orang-orang non Islam, minimal hukumnya adalah haram, sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Jika demikian memejamkan mata pada saat sholat minimal hukumnya adalah makruh. Kecuali jika ada penyebab untuk melakukannya. Misalnya di sekeliling orang yang sholat tersebut, terdapat sesuatu yang mengganggu konsentrasinya seandainya dia membuka kedua matanya. Nah! Pada saat inilah hendaknya mata dipejamkan dalam rangka menghindari hal yang tidak diinginkan tersebut. 

Andai ada orang yang bertanya, ‘Jika aku memejamkan mataku, maka aku merasa lebih khusyu’ daripada aku tidak memejamkan mataku’ lalu apakah aku diperbolehkan memejamkan mata karena alasan demikian. Jawabannya adalah tetap tidak boleh. Karena kekhusyukan yang didapatkan melakukan perbuatan yang hukumnya makruh itu berasal dari syetan. Kekhusyukan seperti itu tak ubahnya sebagaimana kekhusyukan orang-orang sufi. Ketika melafadzkan dzikir-dzikir bid’ah, syetan terkadang menjauh dari hati kita sehingga tidak menimbulkan was-was ketika kita memejamkan mata dengan maksud untuk menjerumuskan kita dalam hal yang hukumnya makruh. Hendaknya mata tetap kita buka hendaknya kita berusaha untuk khusyuk ketika melaksanakan shalat. Sedangkan memejamkan mata tanpa sebab agar mendapatkan kekhusyukan sekali lagi ini berasal dari syetan. (Lihat Shifat as-Sholah karya Ibn Utsaimin hal 53 cetakan Darul Kutub al-Ilmiah)

Hukum Jenggot dalam Syari'at Islam

Label:

MEMELIHARA JENGGOT ADALAH TIDAK WAJIB KARENA KAJIAN ANATOMI MENYATAKAN BAHWA TIDAK SEMUA ORANG BERJENGGOT ? 

Tanya : Seorang Ustadz pernah menjelaskan bahwa hukum jenggot menurut beliau tidak wajib. Beliau menguatkan alasan ketidakwajibannya itu berdasarkan ilmu anatomi tubuh yang kebetulan beliau kuasai dimana tidak semua orang dapat berjenggot. Sehingga, apabila jenggot itu wajib, kasihan dong dengan orang yang tidak berjenggot. Apalagi kaum wanita. Tentu mereka akan berdosa semua. Bagaimana sebenarnya kedudukan permasalahan ini dalam kaca mata syari’at Islam ?
 
Jawab : Tanpa mengurangi rasa hormat kami kepada beliau, maka apa yang beliau sampaikan adalah keliru (kalau tidak boleh dikatakan sangat keliru). Permasalahan anatomi manusia bahwa tidak setiap orang itu mempunyai jenggot, tidak ada hubungannya sama sekali dengan metode istinbath hukum dalam permasalahan ini. Dan satu lagi, hal itu (bahwa tidak setiap orang mempunyai jenggot) bukanlah hal yang hanya diketahui orang jaman sekarang saja, akan tetapi sudah sangat ma’ruf/ diketahui semenjak jaman Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, bahkan jauh sebelum itu. Alasan yang beliau sampaikan untuk mengatakan tidak wajibnya memelihara jenggot berdasarkan dalil anatomi – sepanjang pengetahuan kami – tidak pernah ternukil dari para ulama mu’tabar Ahlus-Sunnah (bahkan dalam nukilan pendapat paling lemah sekalipun). Ini adalah satu hujjah yang terkesan dipaksakan dan – maaf – terlalu mengada-ada.

Pensyari’atan jenggot dalam Islam adalah khusus bagi laki-laki (bukan pada wanita) dan bagi mereka yang memang Allah karuniai jenggot yang tumbuh di pipi dan dagunya [1]. Jika memang seseorang yang ”dari sananya” tidak tumbuh jenggot, tentu tidak dikenai kewajiban (memelihara) jenggot. Allah telah berfirman :
لا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلا وُسْعَهَا لَهَا
”Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya” [QS. Al-Baqarah : 286].
Permasalahannya adalah bagi mereka (laki-laki) yang mempunyai jengot, namun malah memangkas atau mencukurnya. Inilah yang dijadikan khithab (objek yang diajak bicara) dari sabda Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dalam banyak haditsnya. Dan inilah yang dijadikan bahasan para ulama kita semenjak dahulu sampai dengan sekarang. Pembicaraan atau khilaf mengenai hukum memelihara jenggot itu secara garis besar terangkum dalam 4 (empat) pendapat masyhur. Namun sebelumnya perlu ditekankan bahwa khilaf ini sebatas pada khilaf terhadap jenggot yang panjangnya melebihi genggaman tangan. Khilaf ini tidak mencakup perbuatan mencukur pendek-pendek atau mencukur habis jenggot, sebab madzhab empat dan selainnya (Hanafiyyah, Malikiyyah, Syafi’iyyah, Hanabilah, dan Dhahiriyyah) telah sepakat tentang keharamannya. Khilaf tersebut adalah sebagai berikut : [2]
1. Tidak memotong jenggot sama sekali dengan membiarkannya sebagaimana adanya. Ini adalah pendapat yang dipilih oleh Asy-Syafi’i dalam satu nukilan (Al-’Iraqi), sebagian ulama Syafi’iyyah, sebagian ulama Hanabilah, dan beberapa ulama yang lainnya.
Pendapat ini berhujjah dengan keumuman hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam :
خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب
”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis” [HR. Al-Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
أحفوا الشوارب وأعفوا اللحى
”Potonglah kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Muslim no. 259].
انهكوا الشوارب وأعفوا اللحى
”Potong sampai habis kumis kalian dan peliharalah jenggot” [HR. Al-Bukhari no. 5554].
جزوا الشوارب وأرخوا اللحى خالفوا المجوس
”Potong/cukurlah kumis kalian dan panjangkanlah jenggot. Selisilah oleh kalian kaum Majusi” [HR. Muslim no. 260].
إن أهل الشرك يعفون شواربهم ويحفون لحاهم فخالفوهم فاعفوا اللحى وأحفوا الشوارب
”Sesungguhnya orang musyrik itu membiarkan kumis mereka lebat. Maka selisihilah mereka ! Peliharalah jenggot dan potonglah kumis kalian” [HR. Al-Bazzar no. 8123; hasan].
عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه أمر بإحفاء الشوارب وإعفاء اللحية
Dari Ibnu ’Umar, dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : ”Bahwasannya beliau memerintahkan untuk memotong kumis dan memelihara jenggot” [HR. Muslim no. 259].
Menurut kaidah ushul-fiqh, semua lafadh yang mengandung perintah menunjukkan makna wajib kecuali ada dalil yang memalingkannya.[3] Menurut mereka, tidak ada dalil shahih, sharih (jelas), lagi setara yang memalingkan dari kewajiban ini.
Ahmad bin Qaasim Al-’Abbaadi Asy-Syafi’i berkata :
قال ابن الرِّفْعة في حاشية الكفاية: إن الإمام الشافعي قد نصَّ في الأم على تحريم حلق اللحية ، وكذلك نصَّ الزَّرْكَشِيُّ والحُلَيْميُّ في شُعَب الإيمان وأستاذُه القَفَّالُ الشاشيُّ في محاسن الشريعة على تحريم حلق اللحية
”Telah berkata Ibnur-Rif’ah dalam kitab Haasyiyah Al-Kifaayah : ’Sesungguhnya Imam Asy-Syafi’i telah menegaskan dalam kitab Al-Umm tentang keharaman mencukur jenggot. Dan begitu pula yang ditegaskan oleh Az-Zarkasyi dan Al-Hulaimi dalam kitab Syu’abul-Iman, dan gurunya (yaitu) Al-Qaffaal Asy-Syaasyi dalam kitab Mahaasinusy-Syar’iyyah atas keharaman mencukur jenggot” [Hukmud-Diin fil-Lihyah wat-Tadkhiin oleh ’Ali Al-Halaby hal. 31].
An-Nawawi berkata :
والمختار تركها على حالها, وألا يتعرض لها بتقصير شيء أصلاً
”Pendapat yang terpilih adalah membiarkan jenggot sebagaimana adanya, dan tidak memendekkannya sama sekali” [Syarh Shahih Muslim 2/154].
Al-Hafidh Al-’Iraqi berkata :
واستدل الجمهور على أن الأولى ترك اللحية على حالها, وأن لا يقطع منها شيء, وهو قول الشافعي وأصحابه
”Jumhur ulama berkesimpulan pada pendapat pertama untuk membiarkan jenggot sebagaimana adanya, tidak memotongnya sedikitpun. Hal itu merupakan perkataan/pendapat Imam Asy-Syafi’i dan para shahabatnya” [Tharhut-Tatsrib 2/83].
Al-Qurthubi berkata :
لا يجوز حلقها ولا نتفها ولا قصها
”Tidak diperbolehkan untuk mencukur, mencabut, dan memangkas jenggot” [Tahriimu Halqil-Lihaa oleh ’Abdurrahman bin Qasim Al-’Ashimi Al-Hanbaly hal. 5].
As-Saffarini Al-Hanbaly berkata :
المعتمد في المذهب ، حُرمَةُ حَلْقِ اللحية
”Pendapat yang mu’tamad (resmi/dapat dipercaya) dalam Madzhab (Hanabilah) adalah diharamkannya mencukur jenggot” [Ghadzaaul-Albaab 1/376].
Abu Syaammah Al-Maqdisy Asy-Syafi’y berkata :
وقد حدث قوم يحلقون لحاهم وهو أشد مما نقل عن المجوس أنهم كانوا يقصونها
”Telah ada suatu kaum yang biasa mencukur jenggotnya (sampai habis). Hal itu lebih parah dari apa yang ternukil dari orang Majusi dimana mereka hanya memotongnya saja (tidak sampai habis)” [Fathul-Bari 10/351 no. 5553].
2. Membiarkan jenggot sebagaimana adanya, kecuali dalam ibadah haji dan ’umrah dimana diperbolehkan memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tangan dari panjang jenggotnya. Pendapat ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas tabi’in, Asy-Syafi’i, (hal yang disukai) oleh Malik, dan ulama yang lainnya. Pendapat ini dibangun dengan dalil yang disampaikan oleh pendapat pertama yang kemudian ditaqyid dengan atsar Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma :
عن نافع عن بن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال خالفوا المشركين وفروا اللحى وأحفوا الشوارب وكان بن عمر إذا حج أو اعتمر قبض على لحيته فما فضل أخذه
Dari Nafi’, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam, beliau bersabda : ”Selisilah oleh kalian orang-orang musyrik, lebatkanlah jenggot dan potonglah kumis”. (Nafi’ berkata : ) ”Adalah Ibnu ’Umar, jika ia menunaikan ibadah haji atau ’umrah, maka ia menggenggam jenggotnya. Maka apa-apa yang melebihi dari genggaman tersebut, ia potong” [HR. Bukhari no. 5553 dan Muslim no. 259].
عن نافع أن عبد الله بن عمر كان إذا أفطر من رمضان وهو يريد الحج لم يأخذ من رأسه ولا من لحيته شيئا حتى يحج
Dari Nafi’ : Bahwasanya Abdullah bin ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila datang bulan Ramadlan, dan ia ingin melakukan ibadah haji, maka ia tidak memotong rambut kepalanya dan jenggotnya sedikitpun hingga ia benar-benar melaksanakan haji” [HR. Malik dalam Al-Muwaththa’ Kitaabun-Nikaah 1/396, dan darinya Asy-Syafi’i meriwayatkan dalam Al-Umm 7/253].
عن مروان يعني بن سالم المقفع قال رأيت بن عمر يقبض على لحيته فيقطع ما زاد على الكف
Dari Marwan – yaitu Ibnu Saalim Al-Muqaffa’ – ia berkata : ”Aku pernah melihat Ibnu ’Umar menggenggam jenggotnya, lalu ia memotong apa-apa yang melebihi telapak tangannya” [HR. Abu Dawud no. 2357; hasan].
’Atha’ bin Abi Rabbah juga telah menceritakan/menghikayatkan dari sekelompok shahabat (dan tabi’in) dimana ia berkata :
كانوا يحبون أن يعفوا اللحية إلا في حج أو عمر.
”Mereka (para shahabat dan tabi’in) menyukai untuk memelihara jenggot, kecuali saat haji dan ’umrah (dimana mereka memotongnya apa-apa di bawah genggaman tangan)” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/25482 dengan sanad shahih] [4].
Madzhab Imam Malik adalah sebagaimana tertera dalam Al-Muwaththa’ dimana beliau membawakan riwayat Ibnu ’Umar yang membolehkan memotong jenggot yang melebihi genggaman tangan di waktu haji dan ’umrah [Al-Muwaththa’ 1/318]. Imam Malik tidak memberikan kelongaran dalam memotong jenggot kecuali saat haji dan ’umrah [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Beliau hanya menyukainya saja dan tidak mewajibkannya [Al-Mudawwanah 2/430].
Ar-Rabi’ bin Sulaiman bin ’Abdil-Jabbar bin Kamil (salah seorang murid besar dari Imam Asy-Syafi’i) meriwayatkan bahwa Imam Asy-Syafi’i membolehkan memotong jenggot yang panjangnya melebihi satu genggam berdasarkan riwayat Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Ar-Rabi’ berkata :
قال الشافعي: وأخبرنا مالك عن نافع أن ابن عمر كان إذا حلق في حج أو عمرة أخذ من لحيته وشاربه.
[قال الربيع]: قلت: فإنا نقول( ) : ليس على أحد الأخذ من لحيته وشاربه، إنما النسك في الرأس؟
قال الشافعي: وهذا مما تركتم عليه بغير رواية عن غيره عندكم علمتها.
”Telah berkata Asy-Syafi’i : Telah mengkhabarkan kepada kami Malik (bin Anas) dari Nafi’ : Bahwasannya Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma apabila mencukur (rambut) ketika ibadah haji, maka beliau memotong jenggotnya (selebih dari genggaman tangan) dan kumisnya”. Aku (yaitu Ar-Rabi’) berkata : ”Sesungguhnya kami berkata : Tidak boleh bagi seorangpun untuk memotong jenggot dan kumisnya. Bukankah dalam ibadah haji hanya disyari’atkan mencukur kepala saja ?”. Maka Asy-Syafi’i berkata : ”Ini termasuk hal yang kalian tinggalkan atasnya tanpa dasar riwayat dari selainnya di sisi kalian yang aku ketahui” [Ikhtilaaful-Imam Malik wasy-Syafi’i 7/253]. Di sini Imam Asy-Syafi’i memegang atsar Ibnu ’Umar dalam hal tersebut.
Dalam kitab lain Imam Asy-Syafi’i berkata :
وأحب إلي لو أخذ من لحيته وشاربه، حتى يضع من شعره شيئاً لله، وإن لم يفعل فلا شيء عليه، لأن النسك إنما هو في الرأس لا في اللحية.
”Aku menyukai jika ia memotong jenggot dan kumisnya, hingga ia meletakkan dari rambutnya sesuatu karena Allah. Jika ia tidak melakukannya, maka tidak apa-apa baginya, karena dalam ibadah haji yang wajib hanyalah (memotong) rambut kepala, tidak pada jenggot” [Al-Umm 2/2032].
3. Diperbolehkan memotong jenggot yang terlalu panjang (yang melebihi batas genggaman tangan) sehingga membuat jelek penampilannya. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari Malik bin Anas dan Qadli ’Iyadl.
Perkataan Imam Malik tentang bolehnya memotong jenggot karena panjangnya sehingga nampak padanya aib adalah sebagaimana terdapat dalam At-Tamhid karya Ibnu ’Abdil-Barr (24/145) dan Al-Muntaqaa karya Al-Baaji (3/32). [5]
Telah berkata Al-Qadli ’Iyadl ;
يكره حلق اللحية وقصها وتحذيفها وأما الأخذ من طولها وعرضها إذا عظمت فحسن بل تكره الشهرة في تعظيمها كما يكره في تقصيرها
”Mencukur, memangkas, dan mencabut jenggot adalah dibenci. Adapun jika ia memotong karena terlalu panjang dan (menjaga) kehormatannya jika ia membiarkannya (sehingga nampak jelek), maka itu adalah baik. Akan tetapi dibenci untuk membiarkan selama sebulan[6] sebagaimana dibenci untuk memendekkannya” [Fathul-Baari 10/351 no. 5553].
4. Disukai untuk memotong jenggot yang melebihi satu genggam secara mutlak, tidak dibatasi oleh waktu haji dan ’umrah. Pendapat ini merupakan pendapat masyhur dari kalangan Hanafiyyah, Imam Ahmad dan sebagian ulama Hanabilah, serta sebagian tabi’in.
Telah berkata Muhammad bin Al-Hasan – shahabat besar Abu Hanifah – rahimahumallah :
أخبرنا أبو حنيفة عن الهيثم عن ابن عمر -رضي الله عنهما-: أنه كان يقبض على لحيته ثم يقص ما تحت القبضة. قال محمد: وبه نأخذ، وهو قول أبي حنيفة.
”Telah mengkhabarkan kepadaku Abu Hanifah, dari Al-Haitsam, dari Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma : Bahwasannya ia (Ibnu ’Umar) menggenggam jenggotnya, kemudian memotong apa-apa yang berada di bawah genggaman tersebut”. Berkata Muhammad (bin Al-Hasan) : Kami mengambil pendapat tersebut. Dan itulah perkataan Abu Hanifah” [Al-Aatsaar 900].
Ibnu ’Abidin Al-Hanafy berkata :
ويحرم على الرجل قطع لحيته ـ أي حلقها, وصرح في النهاية بوجوب قطع ما زاد على القبضة, وأما الأخذ منها وهي دون ذلك كما يفعله بعض المغاربة ومخنثة الرجال, فلم يبحه أحد, وأخذ كلها فعل يهود الهند, ومجوس الأعاجم
”Dan diharamkan bagi seorang laki-laki memotong jenggotnya – yaitu mencukurnya. Dan telah dijelaskan dalam An-Nihayah atas wajibnya memotong apa-apa yang melebihi genggaman tangan. Adapun mengambil kurang dari itu (yaitu memotong jenggot yang belum melebihi satu genggaman tangan) - sebagaimana yang dilakukan sebagian orang-orang Maghrib dan orang-orang banci, maka tidak seorang pun ulama yang membolehkannya. Dan memotong seluruh jenggot merupakan perbuatan orang-orang Yahudi Hindustan dan orang-orang Majusi A’jaam (non-Arab)” [Raddul-Mukhtaar 2/418].
Madzhab Imam Ahmad bin Hanbal adalah membolehkan memotong/mencukur jenggot selebih genggaman tangan, namun tidak boleh kurang dari itu. Telah berkata Al-Khalaal : Telah mengkhabarkan kepadaku Harb, ia berkata : Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang memotong jenggot. Maka beliau menjawab : ”Sesungguhnya Ibnu ’Umar memotongnya, yaitu rambut jenggot yang melebihi genggaman tangannya”. (Harb berkata) : ”Seakan-akan beliau berpendapat dengan perbuatan Ibnu ’Umar tersebut”. Aku (Harb) bertanya kepada beliau : ”Apa hukumnya memelihara (jenggot) ?”. Beliau berkata : ”Telah diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam (tentang perintah tersebut)”. Harb berkata : ”Seakan-akan beliau berpendapat tentang wajibnya memelihara jenggot (yaitu tidak boleh memotongnya sama sekali)”. Selanjutnya Al-Khalaal berkata : Telah mengkhabarkan kepadaku Muhammad bin Harun, bahwasannya Ishaq (bin Haani’) telah menceritakan kepada mereka, bahwa ia berkata : ”Aku bertanya kepada Ahmad (bin Hanbal) tentang seorang laki-laki yang memotong rambut yang tumbuh di kedua pipinya”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong jenggotnya yang panjangnya melebihi genggaman tangan”. Aku (Ishaaq) berkata : ”Bagaimana dengan hadits Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam : Potonglah kumis dan peliharalah jenggot ?”. Maka beliau menjawab : ”Hendaknya ia memotong karena panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan), dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya”. (Ishaq berkata) : Aku melihat Abu ’Abdillah (Ahmad bin Hanbal) memotong panjang jenggotnya (yang melebihi genggaman tangan) dan (rambut yang tumbuh) di bawah tenggorokannya” [Kitab At-Tarajjul min Kitaabil-Jaami’ hal. 113-114].

Tarjih : Pendapat yang paling kuat menurut kami adalah pendapat kedua yang membolehkan memotong jenggot jika telah melebihi genggaman tangan pada waktu haji dan ’umrah. Atsar Ibnu ’Umar merupakan pentaqyid yang sangat jelas, yaitu berkaitan dengan waktu dan batasan panjang yang diperbolehkan [7]. Taqyid ini merupakan ijma’ (yaitu jenis ijma’ sukuti) yang terjadi di kalangan shahabat tanpa ternukil adanya pengingkaran. Dan sangat mungkin ini juga merupakan ijma’ yang terjadi di kalangan tabi’in. Apalagi diperkuat oleh atsar shahih dari ’Atha’ dalam Mushannaf Ibnu Abi Syaibah.
Wajib hukumnya memelihara (membiarkan) jenggot menurut nash yang jelas dari As-Sunnah, dan haram hukumnya memotong lebih pendek dari genggaman tangan atau bahkan mencukur habis keseluruhan jenggot. Namun jika memang sudah terlalu panjang sehingga memperburuk penampilan, diperbolehkan untuk memotongnya dengan batasan yang telah ditentukan syari’at (tidak boleh lebih pendek dari satu genggam).
Di sini mungkin perlu kami ingatkan tentang ucapan Ibnu Hazm :
واتفقوا أن حلق جميع اللحية مثلة لا تجوز
”Para ulama sepakat (ijma’) bahwa mencukur seluruh jenggot adalah tidak diperbolehkan (haram)” [Maraatibul-Ijmaa’ hal 157].
Hal tersebut sebagaimana juga dikatakan oleh Abul-Hasan bin Qaththaan Al-Maliki dalam kitab Al-Iqnaa’ fii Masaailil-Ijmaa’ 2/3953.
Sebagai seorang muslim, menjadi keharusan untuk mematuhi perintah Nabi shallallaahu ’alaihi wasallam dan mencontoh sifat-sifat yang ada padanya [8].
Mudlarat dari Memotong/Mencukur Jenggot
1. Menyelisihi perkara-perkara Nubuwwah yang datang dari Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam – yang tiadalah yang diucapkan beliau itu menurut kemauan hawa nafsunya – untuk memelihara jenggot. Allah ta’ala telah berfirman :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” [QS. An-Nuur : 63].
2. Penyelisihi perkataan-perkataan ahlul-’ilmi (ulama) – para pewaris Nabi – yang kita diperintahkan untuk mentaatinya, sebagaimana firman Allah ta’ala :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu” [QS. An-Nisaa’ : 59].
3. Menyelisihi petunjuk para nabi dan rasul dalam hal yang umum, dimana sunnah-sunnah mereka semuanya adalah memelihara jenggot. Allah ta’ala telah berfirman :
أُوْلَـئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهْ قُل لاَّ أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ أَجْراً إِنْ هُوَ إِلاَّ ذِكْرَى لِلْعَالَمِينَ
”Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah: "Aku tidak meminta upah kepadamu dalam menyampaikan (Al-Quran)." Al-Quran itu tidak lain hanyalah peringatan untuk seluruh ummat” [QS. Al-An’aam : 90].
4. Menyelisihi petunjuk nabi kita Muhammad shallallaahu ’alaihi wasallam dalam hal yang khusus, karena Allah telah memerintahkan kita untuk ber-ittiba’ kepada beliau :
َومَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
”Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya” [QS. Al-Hasyr : 7].
لَقَدْ كَانَ لَكُمْ فِي رَسُولِ اللَّهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِّمَن كَانَ يَرْجُو اللَّهَ وَالْيَوْمَ الْآخِرَ وَذَكَرَ اللَّهَ كَثِيراً
”Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” [QS. Al-Ahzaab : 21].
5. Menyelisihi petunjuk para pendahulu kita yang shalih (salafunash-shaalih) dari kalangan shahabat dan para tabi’in radliyallaahu ’anhum ajma’in dimana tidak diketahui satupun di antara mereka yang mencukur (pendek-pendek/habis) jenggotnya. Mereka adalah para imam kita dalam petunjuk, contoh kita dalam kebaikan, dan bintang-bintang kita yang menerangi dalam kegelapan. Mereka adalah kaum yang tidak akan mencelakan orang yang mengikutinya dengan idzin Allah.
6. Menyelisihi sunnah-sunnah fithrah yang telah Allah tetapkan pada manusia. Allah berfirman :
فطْرَةَ اللَّهِ الَّتِي فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ اللَّهِ
”(Tetaplah atas) fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. Tidak ada peubahan pada fitrah Allah” [QS. Ar-Ruum : 30].
7. Merubah ciptaan Allah tabaraka wata’ala, padahal semua ciptaan Allah adalah baik. [9]
8. Menyerupai orang-orang musyrikin, Yahudi, dan penyembah berhala. Padahal Allah telah memerintahkan kita untuk menyelisihi mereka.
9. Menyerupai wanita. Allah telah berfirman :
وَلَيْسَ الذَّكَرُ كَالأُنثَى
”Dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan” [QS. Ali-’Imran : 36].
10. Mengingkari karunia nikmat (jenggot) ini, dimana telah Allah muliakan laki-laki dengannya.
11. Dan yang lain-lain.
Peringatan :
1. Atsar Hasan Al-Bashri dan Ibnu Sirin rahimahumallah :
وكيع عن أبي هلال قال : سألت الحسن وابن سيرين فقالا : لا بأس به أن تأخذ من طول لحيتك.
Dari Waki’, dari Abu Hilal ia berkata : Aku bertanya kepada Al-Hasan (Al-Bashri) dan Ibnu Sirin (tentang hukum memotong jenggot), maka mereka menjawab : “Tidak mengapa untuk mengambil/memotong dari panjang jenggotmu” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226].
Atsar ini adalah dla’if karena kebersendirian Abu Hilaal Ar-Raasiby. Ia adalah seorang rawi yang diperbincangkan yang seseorang tidak boleh berhujjah dengannya jika bersendirian dalam meriwayatkan hadits.
Ibnu Hajar berkata : Ia seorang yang shaduq, tapi layyin (lemah haditsnya)” [At-Taqrib no. 5923].
Adz-Dzahabi berkata : ”Abu Dawud mentsiqahkannya; Abu Hatim berkata : Tempatnya kejujuran; tapi tidak kokoh; An-Nasa’i berkata : Tidak kuat (laisa bil-qawiy); Ibnu Ma’in : Shaduq, dituduh sebagai Qadariyyah; Al-Fallaas berkata : Yahya bin Sa’id tidak meriwayatkan hadits dari Abu Hilal, namun Abdurrahman meriwayatkan darinya” [Mizaanul-I’tidaal no. 7646]. Imam Bukhari memasukkannya sebagai perawi dla’if dalam kitab Adl-Dlu’afaa Ash-Shaghiir (no. 324).
2. Atsar Thawus bin Kaisan rahimahullah :
أبو خالد عن ابن جريج عن ابن طاوس عن أبيه أنه كان يأخذ من لحيته ولا يوجبه.
Dari Abu Khalid, dari Ibnu Juraij, dari Ibnu Thawus, dari bapaknya (Thawus) : ”Bahwasannya ia (Thawus) memotong jenggotnya namun tidak mewajibkannya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 5/226].
Atsar ini dla’if karena kebersendirian Ibnu Juraij. Ia adalah seorang mudallis yang jelek (qabiih) tadlisnya. Ia meriwayatkan secara ’an’anah dan tidak disebutkan dalam riwayat tersebut tentang penegasan sima’-nya.
3. Pada beberapa sumber sering dinukil perkataan yang dinisbatkan pada Ibnu ’Abdil-Barr dalam kitab At-Tamhiid :
ويحرم حلق اللحية ، ولا يفعله إلا المخنثون من الرجال
”Diharamkan mencukur jenggot. Tidak ada yang melakukannya kecuali dari kalangan laki-laki banci” [selesai].
Maka ini bukanlah perkataan Ibnu ’Abdil-Barr. Tidak terdapat dalam kitabnya, baik dalam At-Tamhiid ataupun Al-Istidzkaar. Namun anehnya perkataan ini termuat dan ternukil oleh sebagaian ulama besar kita yang kemudian dinisbatkan sebagaimana di atas.
Semoga apa yang saya tulis di sini dapat bermanfaat bagi ilmu dan amal kita. Amien............. Wallaahu a’lam bish-shawwab.
Abul-Jauzaa’ – lewat tengah malam, Jumadil-Ula 1429 [edited 1430 H].

[1] Jenggot dalam bahasa Arab disebut Al-Lihyah (اَللِّحْيَةُ). Al-Fairuz Abadi berkata tentang definisi dari Al-Lihyah : {شعْرُ الخدَّيْن و الذَّقنِ} ”rambut (yang tumbuh) di kedua pipi dan dagu” [Al-Qamus Al-Muhith 4/387]. Hal yang sama dinukil dari Ibnu Mandhur dalam Lisaanul-’Arab : { اسم يجمع من الشعر ما نبت على الخدّين والذقَن } ”nama bagi semua rambut yang tumbuh pada kedua pipi dan dagu”.
[2] Sebagaimana disarikan oleh Abu Ahmad Al-Hadzaly dalam Multaqaa Ahlil-Hadits yang diambil dari kitab I’faaul-Lihyah hal. 29-30, Fathul-Baari 10/350, dan Juzzul-Masaalik 15/6.
[3] Dalam pembahasan Ushul Fiqh, para ulama telah menjelaskan :
صيغة الأمر عند الإطلاق تقتضي: وجوب المأمور به، والمبادرة بفعله فوراً.
“Bentuk perintah secara mutlak/ umum memberi konsekuensi: wajibnya sesuatu yang diperintahkan dan bersegera dalam melakukannya secara langsung”.
Di antara dalil yang digunakan para ulama untuk membangun kaidah ini antara lain :
فَلْيَحْذَرِ الَّذِينَ يُخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيم
”Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul, takut akan ditimpa fitnah atau ditimpa azab yang pedih" [QS. An-Nuur : 63]. [lihat Al-Ushul min ‘Ilmil-Ushul oleh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah].
[4] ’Atha’ telah memutlakkan perbuatan dari para shahabat dan tabi’in untuk memotong jenggot ketika haji dan ’umrah. Sifat kemutlakan lafadh ’Atha’ ini dalam memotong jenggot ini dijelaskan oleh perbuatan Ibnu ’Umar dalam haji dan ’umrah bahwa yang dipotong itu adalah selebih dari genggaman tangan. ’Atha’ adalah salah satu murid Ibnu ’Umar radliyallaahu ’anhuma. Apa yang diriwayatkan oleh ’Atha’ ini sekaligus menafsiri apa yang diriwayatkan oleh ulama dari kalangan tabi’in lain yaitu Al-Qaasim bin Muhammad.
عن أفلح قال: كان القاسم إذا حلق رأسه أخذ من لحيته وشاربه
Dari Aflah ia berkata : ”Adalah Al-Qaasim jika ia mencukur kepalanya (waktu haji atau ’umrah), maka ia pun memotong jenggot dan kumisnya” [HR. Ibnu Abi Syaibah 5/225; shahih].
Al-Qaasim mencukur jenggotnya di waktu haji dan ’umrah adalah selebih dari genggaman tangan sebagaimana dilakukan oleh pembesar shahabat dan tabi’in lainnya.
[5] Dinukil melalui perantaraan risalah Asy-Syaikh Shalih bin Muhammad Al-Asmary yang berjudul : Hukmul-Akhdzi minal-Lihyah yang dipublikasikan dalam www.saaid.net; sebagaimana juga ternukil dalam pembahasan Multaqaa Ahlil-Hadiits (berjudul : هل يوجد قول معتبر يجوز الأخذ من اللحية ما دون القبضة ؟؟).
[6] Perkataan Al-Qadli ‘Iyadl tentang dibencinya membiarkan jenggot selama satu bulan jangan diartikan boleh mencukur selama satu bulan secara mutlak (sebagaimana dijadikan hujjah sebagian orang muta’akhkhirin). Maksud perkataan beliau adalah bahwa beliau membenci jenggot dibiarkan selama satu bulan jika telah melebihi satu genggaman tangan jika membuat jeleknya penampilan. Beliau berkata dalam Syarah Shahih Muslim sebagai berikut :
يُكْرَه حَلْقهَا وَقَصّهَا وَتَحْرِيقهَا , وَأَمَّا الْأَخْذ مِنْ طُولهَا وَعَرْضهَا فَحَسَن , وَتُكْرَه الشُّهْرَة فِي تَعْظِيمهَا كَمَا تُكْرَه فِي قَصِّهَا وَجَزّهَا . قَالَ : وَقَدْ اِخْتَلَفَ السَّلَف هَلْ لِذَلِكَ حَدّ ؟ فَمِنْهُمْ مَنْ لَمْ يُحَدِّد شَيْئًا فِي ذَلِكَ إِلَّا أَنَّهُ لَا يَتْرُكهَا لِحَدّ الشُّهْرَة وَيَأْخُذ مِنْهَا , وَكَرِهَ مَالِك طُولهَا جِدًّا , وَمِنْهُمْ مَنْ حَدَّدَ بِمَا زَادَ عَلَى الْقَبْضَة فَيُزَال , وَمِنْهُمْ مَنْ كَرِهَ الْأَخْذ مِنْهَا إِلَّا فِي حَجّ أَوْ عَمْرَة
”Dimakruhkan untuk mencukur, memotong, dan membakar jenggot. Adapun memotong karena saking panjangnya dan (menjaga) kehormatannya (yang jika dibiarkan nampak jelek/keji), maka hal itu baik. Dan dimakruhkan membiarkannya selama sebulan sebagaimana dimakruhkan untuk memotong dan mencukurnya. Dan para ulama salaf telah berbeda pendapat, apakah dalam hal ini terdapat batasan ? Diantara mereka ada yang tidak memberikan batasan apapun, namun mereka tidak membiarkannya terus memanjang selama satu bulan, dan segera memotongnya bila telah mencapai satu bulan. Dan Malik membenci/memakruhkan jika jenggot tersebut terlalu panjang. Di antara mereka (ulama) ada yang memberi batasan, apa-apa yang melebihi genggaman tangan maka boleh dihilangkan/dipotong. Dan di antara mereka ada pula yang membenci memotongnya kecuali saat haji dan ’umrah” [selesai].
Di sini jelas bahwa Al-Qadli ’Iyadl tidak memperbolehkan memotong jenggot yang panjangnya kurang dari genggaman tangan, sebab yang menjadi sebab adalah terlalu panjang sehingga memperburuk penampilan. Wallaahu a’lam.
[7] Jika ada dalil muthlaq dan muqayyad tentang satu hal yang mempunyai kesamaan sebab dan hukum, maka dalil muthlaq harus dibawa kepada dalil muqayyad (hamlul-muthlaq ‘alal-muqayyad wajibun) [silakan lihat kaidah ini dalam kitab Irsyaadul-Fuhuul oleh Imam Asy-Syaukani hal. 213-214; Maktabah Sahab].
[8] Dan Rasulullah shallallaahu’alaihi wasallam adalah orang yang memelihara jenggotnya, sebagaimana yang diceritakan oleh Anas bin Malik tentang jenggot beliau :
ما عددت في رأس رسول الله صلى الله عليه وسلم ولحيته إلا أربع عشرة شعرة بيضاء
”Tidaklah aku menghitung sesuatu di kepala dan jenggot Rasulullah shallallaahu ’alaihi wasallam melainkan aku dapatkan sebanyak empatbelas buah uban [HR. Tirmidzi dalam Mukhtashar Asy-Syamaail no. 31; shahih].
[9] Waliyullah Ad-Dahlawi berkata :
وقصها ـ أي اللحية ـ سنة المجوس, وفيه تغيير خلق الله
”Mencukurnya – yaitu mencukur jenggot – merupakan sunnah kaum Majusi. Hal itu terdapat perbuatan merubah ciptaan Allah” [Al-Hujjatul-Baalighah 1/182].

http://abul-jauzaa.blogspot.com/2008/05/hukum-jenggot-dalam-syariat-islam.html

Bersuci Bagi Orang Sakit

Label: ,

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Pada kesempatan kali ini kami akan mengutarakan bagaimanakah cara bersuci (thoharoh) bagi orang sakit. Kami terjemahkan dari kitab Thoharotul Maridh wa Sholatuhu, karya Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin rahimahullah.

Bismillahir rahmanir rohim

Segala puji hanyalah milik Allah, kami memuji-Nya, kami meminta pertolongan pada-Nya, kami memohon ampunan dari-Nya dan kami pun bertaubat kepada-Nya. Kami meminta perlindungan kepada Allah dari kejelekan diri kami dan kejelekan amal kami. Barangsiapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka tidak ada seorang pun yang bisa menyesatkannya. Barangsiapa yang disesatkan oleh-Nya, maka tidak ada seorang pun yang bisa memberi petunjuk baginya. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang disembah dengan benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Shalawat dan salam semoga dilimpahkan kepadanya, keluarga, sahabat dan yang mengikutinya dengan baik.

Amma ba’du …

Ini adalah risalah yang cukup ringkas yang berisi beberapa penjelasan mengenai thoharoh (bersuci) dan shalat yang khusus ditujukan bagi orang yang dirundung sakit. Perlu diketahui bahwa orang yang dirundung sakit memiliki hukum khusus dalam thoharoh (bersuci) dan shalat sesuai dengan keadaan mereka, yang juga hal ini diperhatikan oleh syari’at islam. Sesungguhnya Allah mengutus Nabi-Nya Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan ajaran yang lurus, toleran dan ajaran tersebut selalu mendatangkan kemudahan bagi hamba-Nya. Allah Ta’ala berfirman,

“Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu suatu kesempitan dalam agama.” (QS. Al Hajj [22]: 78)

Allah menghendaki kemudahan bagimu dan tidak menghendaki kesulitan bagimu.” (QS. Al Baqarah [2]: 185)

Maka bertakwalah kalian kepada Allah sesuai kesanggupan kalian dan dengarlah serta ta'atlah.” (QS. At Taghobun [64]: 16)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Sesungguhnya agama ini mudah.” (HR. Bukhari no. 39)

Jika kalian diperintahkan dengan suatu perintah, laksanakanlah semampu kalian.” (HR. Bukhari no. 7288 dan Muslim no. 1337)

Berdasarkan kaedah-kaedah penting ini, Allah Ta’ala meringankan bagi orang-orang yang kesulitan dalam melakukan ibadah supaya melakukan ibadah sesuai dengan kondisi mereka sehingga mereka dapat melakukan ibadah kepada Allah Ta’ala, tanpa merasa sempit dan sulit. Segala puji kita panjatkan pada Rabb kita, Rabb semesta alam.

Bagaimana cara bersuci (thoharoh) bagi orang yang sakit?

Pertama; wajib bagi orang yang sakit untuk bersuci dengan air yaitu dia wajib berwudhu ketika terkena hadats ashgor (hadats kecil). Jika terkena hadats akbar (hadats besar), dia diwajibkan untuk mandi wajib.

Kedua; jika tidak mampu bersuci dengan air karena tidak mampu atau karena khawatir sakitnya bertambah parah, atau khawatir sakitnya bisa bertambah lama sembuhnya, maka dia diharuskan untuk tayamum.

Ketiga; TATA CARA TAYAMUM adalah dengan menepuk kedua telapak tangan ke tanah yang suci dengan satu kali tepukan, lalu mengusap seluruh wajah dengan kedua telapak tangan tadi, setelah itu mengusap kedua telapak tangan satu sama lain.[2]

Keempat; jika orang yang sakit tersebut tidak mampu bersuci sendiri,  maka orang lain boleh membantunya untuk berwudhu atau tayamum. (Misalnya tayamum), orang yang dimintai tolong tersebut menepuk telapak tangannya ke tanah yang suci, lalu dia mengusap wajah orang yang sakit tadi, diteruskan dengan mengusap kedua telapak tangannya. Hal ini juga serupa jika orang yang sakit tersebut tidak mampu berwudhu (namun masih mampu menggunakan air, pen), maka orang lain pun bisa menolong dia dalam berwudhu (orang lain yang membasuh anggota tubuhnya  ketika wudhu, pen).

Kelima; jika pada sebagian anggota tubuh yang harus disucikan terdapat luka, maka luka tersebut tetap dibasuh dengan air.  Apabila dibasuh dengan air berdampak sesuatu (membuat luka bertambah parah, pen), cukup bagian yang terluka tersebut diusap dengan satu kali usapan. Caranya adalah tangan dibasahi dengan air, lalu luka tadi diusap dengan tangan yang basah tadi. Jika diusap juga berdampak sesuatu, pada saat ini diperbolehkan untuk bertayamum.

[Keterangan[3] : membasuh adalah dengan mengalirkan air pada anggota tubuh yang ingin dibersihkan, sedangkan mengusap adalah cukup dengan membasahi tangan dengan air, lalu tangan ini saja yang dipakai untuk mengusap, tidak dengan mengalirkan air]

Keenam;  jika sebagian anggota tubuh yang harus dibasuh mengalami patah, lalu dibalut dengan kain (perban) atau gips, maka cukup anggota tubuh tadi diusap dengan air sebagai ganti dari membasuh. Pada kondisi luka yang diperban seperti ini tidak perlu beralih ke tayamum karena mengusap adalah pengganti dari membasuh.

Ketujuh; boleh seseorang bertayamum pada tembok yang suci atau yang lainnya, asalkan memiliki debu[4]. Namun apabila tembok tersebut dilapisi dengan sesuatu yang bukan tanah -seperti cat-, maka pada saat ini tidak boleh bertayamum dari tembok tersebut kecuali jika ada debu.

Kedelapan; jika tidak ditemukan tanah atau tembok yang memiliki debu, maka tidak mengapa menggunakan debu yang dikumpulkan di suatu wadah atau di sapu tangan, kemudian setelah itu bertayamum dari debu tadi.

Kesembilan; jika kita telah bertayamum dan kita masih dalam keadaan suci (belum melakukan pembatal) hingga masuk waktu shalat berikutnya, maka kita cukup mengerjakan shalat dengan menggunakan tayamum yang pertama tadi, tanpa perlu mengulang tayamum lagi karena ini masih dalam keadaan thoharoh (suci) selama belum melakukan pembatal.

Kesepuluh; wajib bagi orang yang sakit untuk membersihkan badannya dari setiap najis. Jika dia tidak mampu untuk menghilangkannya dan dia shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Kesebelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat dengan pakaian yang suci. Jika pakaian tersebut terkena najis, maka wajib dicuci atau diganti dengan pakaian yang suci. Jika dia tidak mampu untuk melakukan hal ini dan shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Keduabelas; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat pada tempat yang suci. Apabila tempat shalatnya (seperti alas tidur atau bantal, pen) terkena najis, wajib najis tersebut dicuci atau diganti dengan yang suci, atau mungkin diberi alas lain yang suci. Jika tidak mampu untuk melakukan hal ini dan tetap shalat dalam keadaan seperti ini, shalatnya tetap sah dan tidak perlu diulangi.

Ketigabelas; tidak boleh bagi orang yang sakit mengakhirkan shalat hingga keluar waktunya dengan alasan karena tidak mampu untuk bersuci. Bahkan orang yang sakit ini tetap wajib bersuci sesuai dengan kadar kemampuannya, sehingga dia dapat shalat tepat waktu; walaupun badan, pakaian, atau tempat shalatnya dalam keadaan najis dan tidak mampu dibersihkan (disucikan).

-Insya Allah pembahasan ini akan dilanjutkan dengan penjelasan Shalat untuk Orang Sakit-

Penerjemah: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] Mengenai risalah ini kami tidak mendapatkan dari kitab asli, namun kami hanya menggabungkan dari dua naskah. Naskah pertama diterbitkan oleh Al Jami’ah Al Islamiyah Al Madinah Al Munawwaroh, tahun 1409 H, sumber: program aplikasi www.islamspirit.com. Naskah kedua terdapat di Majmu’ Fatawa wa Rosa’il Ibnu Utsaimin, sumber: Maktabah Syamilah.
[2] Untuk mengusap tangan cukup sampai telapak tangan saja (tidak sampai ke siku seperti berwudhu), inilah yang lebih tepat. Alasannya, ayat yang menyebutkan tata cara tayamum hanya menyebut sampai telapak tangan saja, sedangkan ayat tentang wudhu menyebutkan membasuh tangan sampai siku. Sehingga hukum membasuh tangan pada wudhu dan mengusap tangan pada tayamum berbeda dan tidak boleh disamakan.
[3] Ini adalah keterangan tambahan dari penerjemah. Silakan lihat penjelasan ini di Syarhul Mumthi’ ‘ala Zadil Mustaqni’ pada pembahasan wudhu.
[4] Namun, apakah tayamum harus dengan debu, tidak boleh dengan yang lainnya, ini terdapat perselisihan di antara para ulama.
Sebagian ulama, di antaranya Imam Asy Syafi’i dan Imam Ahmad, termasuk Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan hanya boleh dengan debu karena sho’id yang dimaksudkan dalam surat Al Maidah ayat 6 adalah debu. Namun, ulama lainnya, yaitu Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Hazm mengatakan bahwa boleh dengan selain debu karena sho’id yang dimaksudkan adalah segala sesuatu yang ada di permukaan bumi seperti kerikil, gunung, batu, debu dan pasir. Akan tetapi pendapat kedua ini memberi persyaratan untuk selain debu boleh digunakan asalkan dia menyatu dengan permukaan bumi. Pendapat kedua inilah yang lebih kuat berdasarkan dalil-dalil yang ada. Wallahu a’lam, wa ‘ilmu ‘indallah. Silakan lihat penjelasan ini di Shohih Fiqh Sunnah, 1/199-200, Al Maktabah At Taufiqiyyah.

Beberapa Fatwa untuk Perempuan Muslimah

Label: , ,

Fatwa tentang Merapikan Alis yang menyambung,operasi kecantikan dll
 
بسمالله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين و صلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين, أما بعد:
عَنِ ابْنِعَبَّاسٍ قَالَ لُعِنَتِ الْوَاصِلَةُ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ وَالنَّامِصَةُوَالْمُتَنَمِّصَةُ وَالْوَاشِمَةُ وَالْمُسْتَوْشِمَةُ مِنْ غَيْرِ دَاءٍ. قَالَأَبُو دَاوُدَ وَتَفْسِيرُ الْوَاصِلَةِ الَّتِى تَصِلُ الشَّعْرَ بِشَعْرِالنِّسَاءِ وَالْمُسْتَوْصِلَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا وَالنَّامِصَةُ الَّتِىتَنْقُشُ الْحَاجِبَ حَتَّى تَرِقَّهُ وَالْمُتَنَمِّصَةُ الْمَعْمُولُ بِهَاوَالْوَاشِمَةُ الَّتِى تَجْعَلُ الْخِيلاَنَ فِى وَجْهِهَا بِكُحْلٍ أَوْ مِدَادٍوَالْمُسْتَوْشِمَةُ الْمَعْمُولُ بِهَا. رواه أبو داود و صححه الألباني.

Artinya: "IbnuAbbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata: "Dilaknat al-washilah (wanitayang menyambung rambutnya), al-mustawshilah (wanita yang meminta disambungkanrambutnya),an-namishah (wanita yang mencukur alisnya), al-mutanammishah (wanitayang minta dicukur alisnya) dan al- wasyimah (wanita yang bertato) sertaal-mustawsyimah (wanita yang minta ditato) tanpa ada penyakit." AbuDaud rahimahullah berkata: "Dan tafsir dari al-washialahadalah wanita yang menyambung rambutnya dengan rambut wanita, dan al-mustawshilahadalah yang meminta untuk diperbuat demikian dan an-namishahadalah wanita yang mencukur alis mata sehingga menjadi tipis dan al-mutanammishahadalah wanita meminta untuk diperbuat demikian dan al-wasyimahadalah wanita yang menjadikan gambar di wajahnya dengan pacar atau dengan tintadan al-mustawsyimah adalah wanita yang meminta untuk diperbuatdemikian. Hadits riwayat Abu Daud dan dishahihkan oleh Al-Albani. 

عَنْ عَلْقَمَةَعَنْ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَعَنَ اللَّهُ الْوَاشِمَاتِ وَالْمُتَوَشِّمَاتِوَالْمُتَنَمِّصَاتِ وَالْمُتَفَلِّجَاتِ لِلْحُسْنِ الْمُغَيِّرَاتِ خَلْقَاللَّهِ. قَالَ: فَبَلَغَ امْرَأَةً فِى الْبَيْتِ يُقَالُ لَهَا أُمُّ يَعْقُوبَفَجَاءَتْ إِلَيْهِ فَقَالَتْ: بَلَغَنِى أَنَّكَ قُلْتَ كَيْتَ وَكَيْتَ.فَقَالَ: مَا لِى لاَ أَلْعَنُ مَنْ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم-فِى كِتَابِ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ. فَقَالَتْ: إِنِّى لأَقْرَأُ مَا بَيْنَلَوْحَيْهِ فَمَا وَجَدْتُهُ. فَقَالَ إِنْ كُنْتِ قَرَأْتِيهِ فَقَدْ وَجَدْتِيهِأَمَا قَرَأْتِ ( مَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُفَانْتَهُوا) قَالَتْ بَلَى. قَالَ: فَإِنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم-نَهَى عَنْهُ. قَالَتْ: إِنِّى لأَظُنُّ أَهْلَكَ يَفْعَلُونَ. قَالَ اذْهَبِىفَانْظُرِى. فَنَظَرَتْ فَلَمْ تَرَ مِنْ حَاجَتِهَا شَيْئاً فَجَاءَتْ فَقَالَتْ:مَا رَأَيْتُ شَيْئاً. قَالَ: لَوْ كَانَتْ كَذَلِكَ لَمْ تُجَامِعْنَا. مسند أحمد

Artinya:"Dari 'Alqamah rahimahullah: "Dari Abdullah (bin Mas'ud) radhiyallahu‘anhu, beliau berkata: "Allah Ta’ala melaknat al-wasyimat,al-mustawsyimat, al-mutanammishat dan al-mutalafijat (wanita-wanita yangmerenggangkan giginya untuk kecantikan) orang-orang yang mengganti ciptaanAllah."
 
Perawi berkata:"Lalu hal tersebut didengar oleh seorang wanita yang biasa dipanggildengan Ummu Ya'qub, ia mendatangi Ibnu Mas’ud dan berkata: "Sayadiberitahukan bahwa engkau telah berkata begini-begini”. 

Beliau (IbnuMas'ud radhiyallahu ‘anhu) menjawab: "Kenapa aku tidak melaknatorang yang telah dilaknat oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamdi dalam kitab Allah Ta’ala (al-Quran)”.
 
"Si wanitaberkata: "Sungguh saya telah periksa di dalam Mushhaf akan tetapi sayatidak dapatkan."
Ibnu Mas'ud  radhiyallahu ‘anhu berkata: "Jikaanda membacanya maka anda akan dapatkan, bukankah  anda membaca:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُوَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا [الحشر : 7]
Artinya: "Apa yang diberikan Rasulkepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah..."(QS. 59:7) 

Wanita menjawab: "Iya",
Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata: "Kalaubegitu, aku telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammelarang tentang hal demikian itu.
 
Si wanita berkata: "Sungguh aku mengira istrianda telah melakukannya."
Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu menjawab:"Masuklah dan silahkan lihat",
lalu wanita tadipun memeriksa dan tidak mendapatkanapa-apa, lalu ia kembali (Ibnu Mas'ud) dan berkata: "Saya tidakmendapatkan apa-apa".  

Ibnu Mas'ud radhiyallahu ‘anhu berkata: "Kalauseandainya istri saya mengerjakan demikian maka dia tidak akan bersama kita".Hadits riwayat  Ahmad. 

Fatwa tentang seorang wanita menghilangkan bulukumis, kedua betis dan lengan dan yang semisalnya 

Fatwa no.10896.

Pertanyaan:
"Apakah arti an namsh? Bolehkah seorangwanita untuk menghilangkan bulu janggut, bulu kumis, bulu kedua betis dan bulukedua tangan jika bulu-bulu tersebut terlalu kelihatan pada diri wanitatersebut dan menyebabkan kebencian suami, apakah hukumnya?"

Jawaban:
"Segala puji bagi Allah dan semoga shalawatdan salam selalu tercurahkan untuk Rasul-Nya dan para kerabat beliau serta parashahabat beliau, amma ba'du: "An namsh adalah: "Mengambil bulualis, dan ia tidak diperbolehkan, karena Rasulullah shalallahu ‘alaihiwasallam melaknat an-namishah dan al-mutanammishah, dandiperbolehkan bagi  wanita untukmenghilangkan bulu yang terkadang tumbuh di dalam dirinya seperti bulu janggutdan kumis dan bulu di kedua betisnya dan tangannya”.
Wa billahit taufiq, dan semoga Allah melimpah shalawat dan salamnya kepada Nabi kita Muhammaddan kepada para keliarga beliau serta para shahabat.

Komite Tetap Untuk Pembahasan Ilmiyyah Dan Fatwa KerajaanArab Saudi
Ketua         :Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil         :Abdurrazaq Afifi
Anggota     :Abdullah bin Ghudayyan   

Fatwa tentang menyamakan alis mata untuk berhias dihadapan suami.

Fatwa no. 16406.

Pertanyaan:
"Apa hukumnya menyamakan bulu alis, dan lebihlagi bagi wanita yang ingin berhias bagi suaminya atau bagi tunangannya, baikada yang memintanya berbuat demikian atau tidak, cuma dia hanya ingin berhiasdan lebih lagi jika alis tersebut sangat lebar dan warnanya hitam pekat danbulu alisnya panjang lebat hampir menyambungkan dua alis tersebut sehinggamenjadi rata?”

Jawaban:
"Tidak diperbolehkan bagi wanita untukmengambil dari rambut alis, baik itu dengan mengguntinggnya, atau mencabutnyaatau mencukurnya, karena sabda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
لَعَنَاللَّهُ  النامصات و الْمُتَنَمِّصَاتِ
"Allah melaknat an namishat danal-mutanammishat." Lihat sunan An-Nasa-'I, juz 8/149, no: 5109. dan an-namishahadalah wanita yang mengambil bulu alisnya dan al-mutanammishah adalahwanita yang meminta kepada wanita lain untuk menghilangkan bulu alisnya dan an-namshbukan termasuk berhias bahkan ia adalah pemburukan dan pengrobahan terhadapciptaan Allah dan jika suaminya memerintahkan yang demikan, maka tidakdiperbolehkan baginya untuk menta'atinya, karena hal tersebut adalah maksiatdan tidak boleh menta'ati seorang makhluq di dalam maksiat (kepada Allah Ta’ala)." 

Komite tetap untuk pembahasan ilmiyyah dan fatwaKerajaan Arab Saudi
Ketua         :Syeikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz
Wakil         :Syeikh Abdurrazaq Afifi
Anggota     :Syeikh Abdullah bin Ghudayyan 
                   :Syeikh Abdul Aziz Al Syeikh, Syeikh Shalih Al Fauzan, Syeikh Bakr Abu Zaid 

Fatwa tentang bulu alis yang tersambung bagi wanita

Pertanyaan:
"Apakah boleh mengambil bulu alis jika bulutersebut bersambung (dengan sebelahnya) diatas hidung dan memburukkan wajahapalagi jika panjang dan membahayakan, dan saya, demi Allah, tidak mengikutiorang-orang kafir dan orang-orang Yahudi dan model akan tetapi hal tersebuttelah memperburuk wajah saya dan bukan seluruh bulu alis akan tetapi yangtersambung diatas hidung, ia mempuburk dan membahayakan saya, wassalam?"

Jawaban:
"Syeikh menjawab: "Sedangkan menghilangkanbulu seperti ini dengan mencabutnya maka ini adalah haram, tidak diperbolehkankarena hal itu adalah an-namsh dan Rasulullah shallallahu ‘alaihiwasallam telah melaknat an-namishah dan al-mutanammishah, dansedangkan menghilangkannya (bulu alis yang tersambung tadi) tanpa mencabutnyaseperti mengguntingnya dan mencukurnya maka hal ini tidak mengapa, meskipunsebagian ulama berpendapat: bahwasanya yang demikian itu (menghilangkannyadengan menggunting / mencukurnya / mencabutnya) haram dan termasuk an-namshdan semestinya bagi wanita ini membiarkannya, maksudnya tidak merubahnya dengan sesuatu kecuali jikamembahayakannya, yang mana sebagian bulu ini turun diatas kedua matanyasehingga menyakiti keduanya atau menghalangi antara dia dan penglihatannnya,maka tidak mengapa baginya untuk menggunting bulu yang menyakiti matanya."Fatwa dari syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullah dari acara Nurun 'Ala AdDarb.
 
Fatwa tentang Operasi Kecantikan

Pertanyaan:
"Seorang pendengar juga bertanya: "Apahukum melakukan operasi kecantikan?"

Jawaban:
"Syeikh menjawab: "Operasi kecantikanterbagi menjadi dua macam:
  • Operasi kecantikandengan menghilangkan 'aib yang didapatkan oleh seorang manusia akibatkecelakaan atau yang lainnya, maka hal ini tidak mengapa dan tidak ada dosa didalamnya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam mengizinkanbagi seorang laki-laki yang terpotong hidungnya dalam perperangan untukmengambil hidung dari emas agar menghilangkan keburuk rupaan yang disebabkankarena terpotong hidungnya dan karena laki-laki yang telah mengerjakan operasikecantikan ini bukan maksudnya meningkatkan dirinya kepada kebaikan yang lebihsempurna dari apa yang telah diciptakan oleh Allah atasnya akan tetapi iamenginginkan untuk menghilangkan 'aib yang telah ia dapatkan, 
  • Sedangkanmacam kedua adalah operasi kecantikan tambahan yang bukan untuk menghilangkan'aib maka hal ini adalah haram dan tidak diperbolehkan ole sebab itu NabiMuhammad shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat an-namishah, al-mutanammishah,al-wasyirah, al-mustawsyirah dan al-wasyimah serta al-mustwasyimahkarena di dalamnya terdapat perubahan kecantikan yang menyempurnakan yang bukanuntuk menghilangkan 'aib, sedangkan tentang seorang dokter yang ditetapkantermasuk dari pelajarannya adalah materi ini maka tidak mengapa baginya untukmempelajarinya akan tetapi dia tidak melakukannya langsung akan sesuatu yang didalamnya ada keharaman akan tetapi orang yang minta hal tersebut darinya diberinasehat bahwasanya ini adalah haram dan tidak diperbolehkan maka di dalamnya adafaedah, karena nasehat jika dari dokter itu sendiri karena kebanyakan orangsakit atau yang meminta operasi kecantikan ini akan merasa puas lebih dari puasapabila orang lain yang menasehatinya. Fatwa dari Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahdari acara Nurun 'Ala Ad Darb.     

Fatwa tentang Mencabut Uban

Pertanyaan:
"Seorang wanita bertanya: "Apakah hukummencabut uban?"

Jawaban:
"Iya, mencabut uban jika ubannya di wajah makahal tersebut termasuk dosa besar, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihiwasallam melaknat an-namishah dan al-mutanammishah, para ulama berpendapatan-namsh adalah mencabut bulu wajah, sedangkan dari selainnya maksudnya dariselain bulu wajah, seperti uban kepala maka para ulama memamkruhkannya, merekamengatakan: "Dimakruhkan mencabut uban ini", dan saya tidak tahu apayang akan dikerjakan oleh orang yang mempunyai uban ini jika setiap kaliselembar dari rambutnya memutih lalu ia langsung mencabutya maka orang tersebutakan mencabuti seluruh rambut kepalanya karena uban itu seperti api menyala diatas kepala sebagaiman perkataan Nabi Zakariyya ‘alaihissalam:
وَاشْتَعَلَ الرَّأْسُ شَيْبًا وَلَمْأَكُنْ بِدُعَائِكَ رَبِّ شَقِيًّا [مريم : 4]
Artinya: "Kepalaku telah bernyala(ditumbuhi) uban, dan aku belum pernah kecewa dalam berdoa kepada Engkau, yaRabbku." (QS. 19:4). Fatwa dari Syeikh Ibnu Utsaimin rahimahullahdari acara Nurun 'Ala Ad Darb. 

Ditulis oleh Abu Abdillah Ahmad Zainuddin, ICC Dammam KSA
http://www.dakwahsunnah.com/2011/12/beberapa-fatwa-perempuan.html

 
Test © 2010 | Designed by My Blogger Themes | Blogger Template by Blog Zone