Latta, Uzza, dan Manat adalah nama-nama berhala yang dipuja oleh kaum paganis Arab ratusan tahun yang silam. Kisah itu barangkali tidak terlalu memusingkan kita. Namun, ternyata pada masa sekarang ini kita masih tetap saja menjumpai ‘sesembahan’ lain yang diangkat oleh manusia layaknya berhala. Apabila mau ditelusuri, sebenarnya penghambaan semacam ini telah mengurat dan mengakar sejak dulu kala, dan telah menelan ribuan mangsa…
Ketahuilah, berhala itu adalah hawa nafsu dan kecintaan kepada dunia yang menjajah hati dan pikiran manusia! Allah ta’ala berfirman,
أَرَأَيْتَ مَنِ اتَّخَذَ إِلٰهَهُ هَوَاهُ
“Bagaimanakah pendapatmu mengenai orang yang telah menjadikan hawa nafsunya sebagai sesembahan?” (QS. al-Furqan: 43)
Syaikh Zaid bin Hadi al-Madkhali hafizhahullah berkata, “Patut untuk dimengerti bahwa sesungguhnya tidak ada seorang pun yang meninggalkan ibadah kepada Allah melainkan dia condong menujukan ibadahnya kepada selain Allah. Memang terkadang bisa jadi dia tidak tampak memuja patung atau berhala. Atau juga tidak tampak sedang memuja matahari dan bulan. Akan tetapi sebenarnya dia sedang menyembah hawa nafsu yang telah menjajah hatinya sehingga memalingkan dirinya dari tunduk beribadah kepada Allah.” (Thariq al-Wushul ila Idhah ats-Tsalatsah al-Ushul, hal. 147)
Ketika dunia telah memperbudak hati manusia
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Binasalah hamba Dinar! Celakalah hamba Dirham! Celakalah hamba khamisah (sejenis kain)! Celakalah hamba khamilah (sejenis model pakaian)! Apabila diberi dia merasa senang, dan apabila tidak diberi maka dia murka. Celaka dan merugilah dia!” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Hadits yang agung ini menunjukkan bahwa sebagian manusia ada yang cita-cita hidupnya hanya untuk mendapatkan dunia dan perkara itulah yang paling dikejar olehnya. Itulah tujuan pertama dan terakhir yang dicarinya. Maka kalau ada orang semacam ini niscaya akhir perjalanan hidupnya adalah kebinasaan dan kerugian (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 331).
Itulah sosok pengejar dunia, yang rasa senang dan bencinya dikendalikan oleh hawa nafsunya (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 241).
Hadits ini juga menunjukkan bahwa barangsiapa yang menjadikan dunia sebagai puncak urusan dan akhir cita-citanya maka pada hakekatnya dia telah mengangkatnya sebagai sesembahan tandingan bagi Allah ta’ala (lihat al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 332)
Ketika kecintaan kepada dunia telah memperbudak hati seorang hamba sehingga membuatnya benar-benar enggan mengamalkan ketaatan kalau tidak ada keuntungan dunia yang bisa diperolehnya, maka sesungguhnya di saat itu dia sedang mendaftarkan diri sebagai anggota komunitas pemuja berhala.
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata, “Pokok munculnya kesyirikan kepada Allah adalah kesyirikan dalam hal cinta. Sebagaimana yang difirmankan oleh Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sebagian manusia ada yang menjadikan selain Allah sebagai sekutu. Mereka mencintainya sebagaimana kecintaan mereka kepada Allah. Adapun orang-orang yang beriman lebih dalam cintanya kepada Allah.’ (QS. al-Baqarah: 165)…” (ad-Daa’ wa ad-Dawaa’, hal. 212)
Orang yang mencintai selain Allah sebagaimana kecintaannya kepada Allah, atau orang yang lebih mendahulukan ketaatan kepada selain Allah daripada ketaatan kepada Allah maka sesungguhnya orang tersebut telah terjerumus dalam syirik besar yang tidak akan pernah diampuni oleh Allah jika pelakunya tidak bertaubat darinya (lihat al-Qaul as-Sadid, hal. 96, lihat juga al-Jadid, hal. 278)
Kalau perlu amal soleh pun diperalat
Bahkan, karena saking gandrungnya kepada dunia sebagian orang tega menjadikan amal akherat sebagai alat untuk menggapai ambisi-ambisi dunia semata! Secara fisik mereka tampak mengejar pahala akherat, namun hatinya dipenuhi dengan kecintaan kepada kesenangan dunia yang hanya sesaat. Subhanallah…
Allah ta’ala berfirman,
مَن كَانَ يُرِيدُ الْحَيَاةَ الدُّنْيَا وَزِينَتَهَا نُوَفِّ إِلَيْهِمْ أَعْمَالَهُمْ فِيهَا وَهُمْ فِيهَا لَا يُبْخَسُونَ أُولٰئِكَ الَّذِينَ لَيْسَ لَهُمْ فِي الْآخِرَةِ إِلَّا النَّارُ وَحَبِطَ مَا صَنَعُوا فِيهَا وَبَاطِلٌ مَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
“Barangsiapa yang menginginkan kehidupan dunia dan perhiasannya, maka akan Kami sempurnakan untuk mereka balasan atas amal-amal mereka di dalamnya sedangkan mereka tidak dirugikan. Mereka itulah orang-orang yang tidak akan mendapatkan balasan apa-apa di akherat selain neraka dan akan hapuslah semua amal yang mereka kerjakan dan sia-sialah apa yang dahulu mereka kerjakan.” (QS. Huud: 15-16)
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa beramal soleh semata-mata untuk menggapai kesenangan dunia -tanpa ada keinginan untuk memperoleh balasan akherat- termasuk kategori kesyirikan, bertentangan dengan kesempurnaan tauhid, bahkan menyebabkan terhapusnya pahala amalan (lihat al-Mulakhash fi Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 238)
Saudaraku, apakah yang kau cari?
Sesungguhnya kenikmatan dunia hanya sementara. Kecantikan, kekayaan, ketenaran, dan jabatan pasti ada akhirnya. Tidakkah kita sadar tentang hakekat dunia yang hanya sebentar dan sedikit ini, wahai saudaraku? Apakah kita rela menukar kesenangan yang abadi dengan kenikmatan yang sesaat? Alangkah bodohnya kita kalau begitu…
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Demi Allah, tidaklah dunia ini apabila dibandingkan dengan akherat nanti kecuali sekedar sebagaimana apabila salah seorang di antara kalian mencelupkan jarinya ini -yaitu jari telunjuk- ke dalam lautan, lalu perhatikanlah apa yang masih tersisa ketika ia diangkat ke atas?” (HR. Muslim dari Mustaurid radhiyallahu’anhu).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila para penduduk surga telah memasuki surga dan para penduduk neraka pun telah menempati neraka maka didatangkanlah kematian lalu ditempatkan di antara surga dan neraka lalu ia disembelih. Kemudian ada penyeru yang berteriak, ‘Wahai penduduk surga! Kematian telah tiada. Wahai penduduk neraka! Kematian telah tiada.’ Maka semakin bertambahlah kegembiraan penduduk surga dan semakin bertambahlah kesedihan penduduk neraka.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda, “Surga itu diliputi dengan perkara-perkara yang tidak menyenangkan sedangkan neraka itu diliputi dengan perkara-perkara yang disenangi hawa nafsu.” (HR. Muslim dari Anas bin Malik radhiyallahu’anhu).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Dunia ini adalah penjara bagi seorang mukmin dan surga bagi orang kafir.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Allah ‘azza wa jalla berfirman; ‘Aku telah persiapkan untuk hamba-hamba-Ku yang soleh kesenangan yang belum pernah terlihat oleh mata, belum pernah terdengar oleh telinga, dan belum pernah terbetik dalam hati manusia.’.” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu)
Tak ada maaf bagimu!
Saudaraku, setelah engkau tahu bahwa kesenangan dunia ini adalah kesenangan yang menipu dan semu. Lalu untuk apa engkau pertontonkan kemaksiatanmu di depan orang banyak. Apakah dengan seperti itu akan merubah sesuatu yang rendah dan hina menjadi tinggi dan mulia? Apakah dengan seperti itu akan merubah kenikmatan yang semu menjadi kebahagiaan yang selama-lamanya? Ataukah engkau ingin mengajari umat manusia untuk membangkang kepada Rabb mereka Yang Maha keras siksa-Nya? Ataukah engkau sedang menawarkan diri untuk menanggung dosa orang-orang yang meniru sikap dan tingkah lakumu yang durhaka itu? Ataukah engkau sedang menantang Allah agar mengutus malaikat-Nya untuk segera mencabut nyawamu?!
Subhanallah… tidakkah kau ingat sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Semua umatku kelak akan dimaafkan kecuali orang-orang yang berbuat dosa secara terang-terangan…” (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu).
an-Nawawi rahimahullah berkata, “Mereka itu adalah orang-orang yang melakukan perbuatan maksiat dengan terang-terangan dan sengaja menampakkannya serta menyingkap tutup yang Allah karuniakan kepada mereka, mereka justru menceritakannya kepada orang lain tanpa ada kepentingan mendesak ataupun keperluan untuknya.” (Syarh Muslim [9/235])
Inilah realita masyarakat kita di zaman ini! Ketika kemaksiatan telah merebak di berbagai penjuru negeri, dari pesisir pantai hingga lereng gunung berapi, dari pinggir kali sampai kolam renang di dalam gedung yang tinggi, dari iklan koran hingga video tak sopan yang mengotori internet dan televisi, dari ramalan bintang anda hari ini sampai layanan pelet dan aji-aji, dari anak SD atau MI sampai para mahasiswa di perguruan tinggi. Subhanallah… Inikah yang kalian harapkan wahai kaum muslimin? Ketika kemungkaran merajalela dan maksiat dipertontonkan tanpa rasa malu di hadapan ribuan umat manusia? Inikah sosok negeri yang diidam-idamkan itu, baldatun thayyibatun wa rabbun ghafuur?
Allah ta’ala berfirman,
وَلَوْ يُؤَاخِذُ اللَّهُ النَّاسَ بِمَا كَسَبُوا مَا تَرَكَ عَلَىٰ ظَهْرِهَا مِن دَابَّةٍ وَلٰكِن يُؤَخِّرُهُمْ إِلَىٰ أَجَلٍ مُّسَمًّى فَإِذَا جَاءَ أَجَلُهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِعِبَادِهِ بَصِيرًا
“Seandainya Allah mau menyiksa manusia sebagai hukuman atas dosa yang mereka perbuat niscaya tidak akan Allah sisakan di atas muka bumi ini seekor binatang melatapun. Akan tetapi Allah menunda hukuman itu untuk mereka hingga waktu yang telah ditentukan. Maka apabila telah datang saatnya sesungguhnya Allah Maha melihat semua hamba-Nya.” (QS. Fathir: 45)
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Artinya adalah apabila Allah menyiksa mereka sebagai hukuman atas semua dosa yang mereka perbuat maka tentu Allah akan menghancurkan semua penduduk bumi dan segala binatang dan rezeki yang mereka miliki.” (Tafsir al-Qur’an al-’Azhim [6/362] cet. Maktabah at-Taufiqiyah).
Nah, apakah ini yang engkau inginkan untuk kita semua? Kepada-Mu lah ya Allah tempat kami mengadu dan meminta ampunan… Kepada-Mu lah ya Allah tempat kami berlindung dari fitnah yang tampak dan tersembunyi… Ya Allah tunjukilah hati kami… Berikanlah bimbingan kepada para pemimpin negeri ini… Wa shallahu ‘ala Nabiyyina Muhammadin wa ‘ala alihi sallam, walhamdu lillahi Rabbil ‘alamin.
Yogyakarta, pertengahan Dzulqa’dah 1430 H
Yang sangat membutuhkan ampunan Rabbnya
Abu Mushlih Ari Wahyudi