Oleh: Ustadz Abu Zubair al-Hawary, Lc.
Kisah ini diriwayatkan oleh Imam Al-Hakim di Mustadroknya, ia berkata, “Ini adalah hadits shohih menurut syarat Muslim dan keduanya tidak mengeluarkannya”. Dari Robi’ah bin Ka’ab Al-Aslamy ia menuturkan:
Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam memberiku sebidang tanah, dan ia juga memberi Abu Bakar sebidang tanah. Lalu kami berselisih pada sepokok kurma. Ia (Robi’ah) berkata, “Maka datanglah dunia”. Maka Abu Bakar berkata, “Ini termasuk dalam batas tanahku”. Aku pun menyanggah, “Tidak .. akan tetapi ini termasuk dalam batas tanahku”. Lantas Abu Bakar melontarkan kepadaku kata-kata yang tidak aku sukai. Dan dia menyesali kata-katanya itu. Maka ia berkata kepadaku, “Hai Robi’ah, ucapkanlah kepadaku seperti apa yang telah aku katakan kepadamu sehingga menjadi qishosh”. Aku menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”. Abu Bakar kembali berkata, “Demi Allah, engkau harus mengucapkan kepadaku seperti ucapanku kepadamu sehingga menjadi qishosh atau aku akan mengadukanmu kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam”.
Aku berkata, “Tidak, aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”. Maka Abu Bakar tidak menerima pembagian tanah tersebut, dan ia mendatangi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Sementara aku (Robi’ah) mengikuti di belakangnya. Sekelompok orang dari suku Aslam (suku Robi’ah) berkata, “Semoga Allah merahmati Abu Bakar. Dia yang telah melontarkan kata-kata itu kepadamu, kenapa dia yang mengadukanmu kepada Rasulullah?”.Aku berkata, “Tahukah kalian siapa ini? Ini adalah Abu Bakar .. teman Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam di dalam gua. Orang yang dituakan oleh kaum muslimin. Jangan sampai ia menoleh dan melihat kalian membelaku, sehingga dia marah lantas Rasulullah ikut marah karena kemarahanya, maka Allah akan marah pula karena kemarahan keduanya. Jika sampai itu terjadi celakalah Robi’ah. Pulanglah kalian!!”.
Robi’ah bergegas menyusul Abu Bakar. Sesampai Abu Bakar di hadapan Nabi shallallahu'alaihi wa sallam, ia menceritakan apa yang terjadi antara dia dan Robi’ah. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepada Robi’ah, “Hai Robi’ah, ada apa antara kamu dengan Ash- Shiddiq?”. Robi’ah menceritakan apa yang terjadi dan apa yang diucapkan oleh Abu Bakar kepadanya. Dan keengganannya membalas Abu Bakar dengan ucapan yang sama. Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam berkata kepadanya, “Baiklah, jangan katakan kepadanya seperti yang dikatakannya kepadamu, akan tetapi katakanlah ‘Semoga Allah mengampunimu hai Abu Bakar”. Maka Abu Bakar pergi meninggalkan majelis tersebut sambil menangis …[1]
Kisah menakjubkan yang dinukilkan oleh kutubussunah kepada kita. Didalamnya terkandung butir-butir pelajaran berharga bagi setiap muslim yang ingin meneladani generasi emas umat ini.
Akar kisah ini adalah apa yang terjadi di antara dua orang sahabat yang mulia ini, dan pandangan mereka yang berbeda tentang sebatang korma yang menjadi pemicu perselisihan kecil antara keduanya. Dalam kisah ini, Robi’ah menuturkan penyebab terjadinya perselisihan ini, ia mengatakan (Dan datanglah dunia …) maksudnya sebab utama adalah karena perhatian kepada dunia dan perhiasannya.
Seolah-olah Robi’ah g mengatakan kepada kita bahwa dunia dan perhiasannya adalah penyebab banyak perselisihan diantara sesama muslim. Seolah-olah ia mengatakan kepada kita, kenapa harus berselisih, bertengkar, dan saling memutus hubungan persaudaraan hanya karena harta, tanah atau warisan dan urusan dunia lainnya?? Sampai kapan dunia ini menyibukkan kita dari tujuan dan cita-cita yang mulia?
Dengarkan firman Robb kita Subhanahu wa Ta'ala,
“Dan berilah perumpamaan kepada mereka (manusia), kehidupan dunia sebagai air hujan yang Kami turunkan dari langit, maka menjadi subur karenanya tumbuh-tumbuhan di muka bumi, kemudian tumbuh-tumbuhan itu menjadi kering yang diterbangkan oleh angin. Dan adalah Allah, Maha Kuasa atas segala sesuatu”. (Al-Kahfi : 45)
Kemudian cobalah ulang lagi membaca dan merenungi penuturan Robi’ah (Lantas Abu Bakar melontarkan kepadaku kata-kata yang tidak aku sukai. Dan dia menyesali kata-katanya itu). Tidak diceritakan apa kalimat yang telah dilontarkan Abu Bakar kepada Robi’ah. Kita yakin tentu kalimat tersebut tak lebih dari sekedar ketidak sengajaan yang segara di sadari Abu Bakar dengan penyesalannya atas apa yang telah ia ucapkan. Ini merupakan ‘ibroh yang luar biasa.
Seorang yang berjiwa besar sekalipun ia dihormati jika keliru segera kembali kepada yang benar. Kemudian tidak adanya nukilan ucapan Abu Bakar tersebut mengisyaratkan kepada kita bahwasanya Robi’ah sama sekali tidak memendam dendam. Ia ingin ucapan Abu Bakar tersebut dilupakan dan tidak diingat … Abu Bakar g meminta Robi’ah radhiyallahu'anhu membalas ucapannya sebagai qishosh atas perbuatannya. Kedudukannya di sisi Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam tidak membuatnya menghinak an dan merendahkan seseorangpun dari kaum muslimin bahkan dia tidak ingin menyakiti seseorangpun sekalipun itu hanya dengan ucapan sepele.
Dengan sikap yang mulia ini Ash-Shiddiq mengajarkan kepada kita sifat adil, tawadhu dan tidak sombong. Di sisi lain juga tergambar jiwa besar Robi’ah. Ia tidak ingin membalas kalimat yang tidak disukainya dengan kalimat yang semisal. Bahkan ia menegaskan (Tidak ..demi Allah aku tidak akan katakan kepadamu kecuali yang baik). Ini peringatan bagi kita agar kita tidak membalas keburukan dengan kebaikan. Jangan biarkan syetan mendapatkan celah untuk merusak mu’amalahmu bersama saudara-saudara dan sahabat-sahabatmu. Jangan ucapkan dengan lisanmu kecuali yang ucapan yang baik.
“Tolaklah perbuatan buruk mereka dengan yang lebih baik. Kami lebih mengetahui apa yang mereka sifatkan”. (Al-Mukminun : 96)
Ini juga menjadi ‘ibroh yang berharga bagi orang-orang yang menjadikan lisannya laksana pedang untuk mencaci-maki, mencela, mengolok-olok, memakan bangkai saudaranya (ghibah), atau berdusta. Jangan .. jangan lakukan itu saudaraku!!
Kemudian ia memberikan kepada kita pelajaran lain yaitu ’sabar’. Ia tidak membalas ucapan Abu Bakar .. sama sekali tidak. Bukankah ini pelajaran bagi kita semua, agar kita mengendalikan nafsu dan emosi kita. Sangat disayangkan sebagian orang membalas satu kata dengan dua kali lipat atau bahkan berlebih-lebihan. Masalah sepele saja memantik emosinya, sehingga menggelegak lalu mencela, memaki dan melaknat. Lupakah ia wasiat Qudwah-nya shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mewasiatkan salah seorang sahabatnya, “Jangan marah”.[2]
Kemudian Abu Bakar yang menyesali perkataannya, ketika Robi’ah tidak mau membalasnya ia pergi menemui Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk meminta petunjuk dalam masalahnya itu. Ini mengandung faedah yang agung yaitu meminta bantuan orang yang lain yang bisa dipercaya dan amanah untuk menjadi penengah dan membantu mendamaikan. Ketika Robi’ah mengikutinya. Di jalan beberapa orang kaum Robi’ah berusaha menghalanginya mengikuti Abu Bakar. Seolah-olah mereka mengatakan kepadanya (bukankah Abu Bakar yang salah kepadamu, dan engkau yang benar? Kenapa engkau mengikutinya?) dengarkan jawaban yang sangat dalam maknanya dari Robi’ah (Tahukah kalian siapa ini? Ini adalah Abu Bakar, ini adalah teman (Rasulullah) di dalam gua .. orang yang dituakan oleh kaum muslimin!! Jangan sampai ia melihat kalian membelaku, lalu dia marah, lantas Rasulullah marah karena kemarahannya maka Allah pun marah karena kemarahan keduanya sehingga binasalah Robi’ah).
Sungguh akhlak yang tinggi baik perkataan maupun perbuatannya. Budi pekerti nan luhur dalam bermu’amalah, menghormati dan memuliakan.
Ini adalah pelajaran berharga bagi kita semua bagaimana memposisikan orang lain sesuai dengan kedudukannya. Semoga Allah meridhoimu hai Robi’ah ketika engkau mengetahui keutamaan orang yang memiliki kedudukan. Semoga Allah meridhoimu ketika engkau menghormati Abu Bakar dan memuliakannya. Semoga Allah meridoimu ketika engkau menimbang permasalahaan dengan timbangan syara’.
“Hai Robi’ah, ucapkanlah kepadaku seperti apa yang telah aku katakan kepadamu sehingga menjadi qishosh”. Aku menjawab, “Tidak, demi Allah aku tidak akan mengatakan kepadamu kecuali yang baik”.
Lihatlah …Robi’ah mengetahui kedudukan Abu Bakar di sisi Rasulullah, maka dia takut kemarahannya karena dia khawatir itu akan menyebabkan Rasulullah marah lalu menyebabkan Allah juga marah. Ini yang tidak terpikirkan oleh kaumnya yang menimbang masalah itu dengan emosi mereka semata. Dalam masalah ini pelajaran berharga bagi umat, bahwasanya emosi dan perasaan yang tidak dikontrol deng an batasan-batasan syara' menyebabkan hasil-hasil yang tidak terpuji.
Lihatlah wahai saudaraku ..apa yang terjadi ditengah umat islam. Munculnya pemikiran-pemikiran dan perbuatan-perbuatan yang digerakkan oleh emosi dan semangat yang tidak mengikuti rambu-rambu syara’ ..sehingga menimbulkan kerusakan di muka bumi ..meledakkan, menghancurkan dan mengkafirkan. Saudaraku kaum muslimin … ilmu syar’I yang dibangun di atas pondasi yang shohih adalah satu-satunya jalan menggapai keselamatan umat dan kemenangannya. Kita adalah umat yang memiliki manhaj dan azas yang jelas. Pilar-pilarnya jelas ..takkan ada yang menggoyahkan baik hawa yang diikuti atau emosi yg tak terkendali atau semangat yg kosong dari ilmu syar’I, selama kita berpegang teguh dengan dasar-dasar yang shohih tadi.
Inilah yang terjadi di antara dua orang sahabat sebelum keduanya sampai kepada Rasulullah shallallahu'alaihi wa sallam. Adapun yang terjadi dihadapan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keduanya bertemu dihadapan Rasulullah. Dan beliau mendengarkan dari keduanya dengan seksama. Beginilah Rasulullah dengan para sahabatnya rodhiyallahu anhum; mendengarkan mereka, duduk bersama mereka. Mereka meminta pendapatnya lalu beliau memberikan petunjuk dan saran. Mereka bertanya beliau menjawab.
Dalam kisah ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendengarkan penuturan keduanya. Dia tidak hanya mendengarkan sepihak. Ini bentuk keadilan beliau. Setelah beliau mendengar keduanya dan setelah jelas semua permasalahan, ia menunjukkan kepada Robi’ah yang lebih baik dari membalas ucapan Abu Bakar, dan beliau mendukungnya untuk tidak membalas bahkan beliau berkata kepadanya, “Katakan kepadanya (semoga Allah mengampunimu hai Abu Bakar)”.
Robi’ah pun mengucapkannya ..namun jiwa besar Abu Bakar radhiyallahu'anhu yang takut kepada Allah tidak sanggup menerimanya sehingga air matanya mendahului kata-katanya. Dan ia pun pergi dengan menangis semoga Allah meridhoinya.
Ya Allah .. Alangkah indah dan mengagumkannya kisah ini, penuh dengan akhlak yang mulia, budi pekerti nan tinggi, saling memaafkan dan berlapang dada. Allah Ta’ala berfirman,
“Maka barang siapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah. Sesungguhnya Dia tidak menyukai orang-orang yang zalim”. (Asy Syuura : 40)
Semoga Allah memberikan kekuatan dan keteguhan kepada kita untuk meneladani Salafush Sholeh .. Amin.
________________
[1] Kisah ini juga diriwayatkan oleh Imam Ahmad (4/58-59) dan Ath-Thobroni di Al-Mu’jamul Kabir (5/52-530 dan Ibnu Asakir di At-Tarikh (9/583) dan isnadnya dihasankan oleh Syeikh Al-Albany di As-
Silsilah Ash-Shohihah (no. 3145).
[2] Diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Abu Hurairah rodhiyallahu ‘anhu.