Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta, shalawat dan salam buat Nabi terakhir yang membawa peringatan bagi seluruh umat manusia, semoga shalawat dan salam juga terlimpahkan buat keuarga dan para sahabatnya serta orang-orang yang tetap berpegang teguh dengan petunjuk mereka sampai hari kiamat.
Di masa jahiliyah orang arab memiliki berbagai macam budaya dan kebiasaan yang mereka lakukan dalam kehiduapan mereka sehari-hari. Kebudayaan itu ada yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Tujuan kita mengenal persoalan ini adalah agar kita tidak terjerumus kedalam kebudayaan-kebudayaan jahiliyah tersebut.
Pada abad globalisasi ini betapa cepatnya pertukaran peradaban namun sebagian kita tidak memiliki filter untuk menyaring kebudayaan dan peradaban tersebut. Sehingga sebagian kita terjerumus dan jatuh ke dalam berbagai jurang kesesatan umat-umat yang lain. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
Pada abad globalisasi ini betapa cepatnya pertukaran peradaban namun sebagian kita tidak memiliki filter untuk menyaring kebudayaan dan peradaban tersebut. Sehingga sebagian kita terjerumus dan jatuh ke dalam berbagai jurang kesesatan umat-umat yang lain. Sebagaimana yang disebutkan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
((لتتبعن سنن الذين من قبلكم شبرا بشبر وذراعا بذراع حتى لو دخلوا في جحر ضب لاتبعتموهم قلنا يا رسول الله آليهود والنصارى ؟ قال فمن ؟)) (متفق عليه).
“Sesunguhnya kalian akan mengikuti kebiasaan umat-umat sebelum kalian, sejengkal demi sejengkal, sedepa demi sedepa, sehingga seandainya mereke masuk lubang Dhab (sejenis kadal) niscaya akan kalian ikuti, para sahabat bertanya, ‘Ya Rasulullah (maksudmu) orang-orang Yahudi dan Nasrani?’ (jawab Rasulullah), ‘Siapa lagi.’” (HR. Bukhari & Muslim).
Jika kita melihat ketengah masyarakat kita, tentu kita akan mendapati bahwa sebagian besar dari mereka sudah terpengaruh oleh kebudayaan dan peradaban umat-umat lain. Baik dengan sengaja meniru-niru mereka dengan alasan model dan gaya, atau karena kebodohan tentang ajaran agama kita sendiri, tidak menyadari bahwa kebiasaan dan gaya tersebut adalah gaya dan model umat jahiliyah dulu.
Allah telah menjelaskan dalam banyak ayat begitu pula Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam hadits-hadits beliau tentang budaya dan kebiasaan orang-orang jahiliyah, agar umat ini terhindar dari menyerupai kebiasaan mereka yang menyimpang dari kebenaran yang diturunkan Allah kepada para nabi dan rasul-Nya. Baik yang berbentuk keyakinan, ibadah, akhlak dan hukum-hukum kemasyarakatan. Sebagaimana firman Allah,
{وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآَيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ} [الأنعام: 55]
“Dan demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran supaya jelas jalan orang-orang yang berdosa”. (QS. Al-An’am: 55)
Allah menjelaskan jalan orang-orang yang berdosa agar kita menghindari dan menjauhinya, agar kita tidak terjerumus kedalam dosa, sekaligus menjauhi jalan dan sebab-sebab yang menimbulkan dosa. Diantara jalan-jalan dosa adalah meniru budaya dan peradaban orang-orang jahiliyah serta jalan umat yang dilaknat dan disesatkan Allah.
Karena kebodohan terhadap sebab-sebab kebatilan bisa membawa seseorang kepada kebatilan itu sendiri. Sebaliknya jika seseorang mengetahui jalan dan sebab kebinasaan ia akan selalu mawas diri. Disamping itu ia akan memberitahu orang lain untuk menghindari sebab-sebab dan jalan kebinasaan tersebut. Hal inilah yang diungkapkan Sahabat Nabi Hudzaifah radhiallahu ‘anhu,
“كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه و سلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني” (صحيح البخاري برقم (7084) ، وصحيح مسلم برقم (1847).
“Adalah para sahabat bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam tentang hal yang baik-baik saja, namun saya bertanya kepada beliau tentang hal yang jelek, karena takut saya akan terjerumus kedalamnya.” (HR. Bukhari & Muslim).
Sahabat Hudzaifah mengambarkan kepada kita bahwa diantara sebab yang menjerumuskan seseorang kedalam kejelekkan adalah karena tidak tahu akan hal yang jelek itu sendiri. Hal ini ditegaskan lagi oleh khalifah yang kedua Umar bin khatab radhiallahu ‘anhu dalam ungkapanya,
” إنما تنقض عرى الإسلام عروة عروة إذا نشأ في الإسلام من لا يعرف الجاهلية “.
“Sesungguhnya putusnya tali Islam itu sedikit demi sedikit apabila tumbuh dalam Islam orang yang tidak kenal jahiliyah.”
Karena bila seseorang yang tidak mengetahui kebatilan, ia tidak akan mengingkari kebatilan tersebut. Bila demikian halnya tentu kebatilah itu hari demi hari akan semakin tersebar sehingga akan diangap sebuah kebenaran. Yang pada akhirnya bila ada yang mengingkarinya ia akan dianggap mengingkari kebenaran. Sehingga terjadi penilaian yang amat keliru, yang batil dianggap benar, yang benar dianggap batil.
Gejala ini sudah mulai tampak dalam kehidupan kita, ketika ada perhatian sebagian orang untuk menanggulangi berbagai bentuk penyimpangan moral dalam masyarakat. Datang gerombolan yang menamakan diri pembela hak asasi dan kebebasan. Seoalah-olah yang memiliki kebebasan dan hak asasi adalah orang yang melanggar. Adapun orang yang patuh dan manut kemana hak asasi dan kebebasan mereka? Semestinya yang mendapatkan hukuman adalah orang yang menyimpang, tetapi justru malah mereka yang mendapat pembelaan! Sebaliknya orang yang berjalan diatas kebenaran dianggap tidak berwawasan, tidak toleransi, tidak bisa beda pendapat, fanatik, mau menang sendiri dan seterusnya dari berbagai celaan kepada mereka.
Segala perkara jahiliyah dikubur di bawah telapak kaki Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam, sebagai bentuk peringatan kepada umat Islam untuk tidak menggali kembali perkara-perkara jahiliyah tersebut, apalagi melestarikannya. Sebagaimana beliau nyatakan dalam sabda beliau,
((ألا كل شيء من أمر الجاهلية تحت قدمي موضوع)) رواه مسلم.
“Katahuilah segala sesuatu dari urusan jahiliah di bawah telapak kakiku terkubur.” (H.R. Muslim)
Berkata syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, ”Sabda Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Seluruh perkara-perkara jahiliyah berada dibawah telapak kakiku.’” Termasuk kedalam hal tersebut segala hal yang mereka lakukan dari berbagai macam ibadah dan budaya … seperti hari-hari besar mereka dan lain-lain dari kebiasaan mereka, … tidak termasuk kedalam hal itu budaya mereka yang diakui dalam Islam, seperti manasik dan diyat orang yang terbunuh, dan lain lain. Karena yang difahami dari ungkapan budaya-budaya jahiliyah ialah hal-hal yang tidak diakui oleh Islam, dan termasuk juga kedalamnya, kebiasaan-kebiasaan jahiliyah yang tidak dilarang secara khusus”. (Al Istiqomah:111).
Dalam sabda yang lain beliau tegaskan,
عن ابن عباس رضي الله عنهما أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: ((أبغض الناس إلى الله ثلاثة ملحد في الحرم ومبتغ في الإسلام سنة الجاهلية ومطلب دم امرئ بغير حق ليريق دمه)). رواه مسلم.
“Diriwayatkan dari sahabat Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, ‘Manusia yang paling dimarahi Allah ada tiga; orang melakukan dosa di tanah haram, orang yang mencari kebiasaan jahiliyah dalam Islam dan orang yang mengincar darah seseorang tanpa hak untuk ia tumpahkan (membunuhnya).’” (HR. Muslim)
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Setiap orang yang berkeinginan melakukan sesuatu dari sunnah jahiliyah termasuk kedalam hadits ini. Sunnah jahiliyah adalah segala kebiasaan (adat-budaya) yang mereka lakukan. Karena sunnah ialah adat yaitu kebiasaan yang berulang agar bisa melingkupi semua orang. Yaitu hah-hal yang mereka anggap ibadah ataupun yang tidak mereka anggap ibadah. Maka barangsiapa yang melakukan sesuatu dari adat-adat mereka, maka sesungguhnya ia telah menginginkan sunnah jahiliyah. Hadits ini umum mewajibkan diharamkannya mengikuti segala sesuatu dari kebiasaan-kebiasaan jahiliyah, dalam hal perayaan hari-hari besar dan juga diluar perayaan hari-hari besar”. (Al Iqthidha’: 76-77).
Beliau ungkapkan lagi pada kitab lain, “Sabda Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam: ‘Yang mencari dalam Islam sunnah jahiliyah,’ termasuk kedalamnya segala kejahiliyahan secara mutlak; agama Yahudi, Nasrani, Majusi, Shaibah, agama penyembah berhala, agama syirik, atau adopsi dari sebagian ajaran-ajaran agama-agama jahiliyah tersebut. Maka seluruh bentuk-bentuk bid’ah dan ajaran yang telah mansukh telah menjadi jahiliyah dengan diutusnya Muhammad shallallahu ‘alahi wa sallam. Sekalipun kalimat jahiliyah lebih dominan penggunaannya kepada orang-orang Arab, maka maknanya sama. (Al-Istiqomah: 78-79).
Di antara bentuk-bentuk budaya jahiliyah yang berhubungan dengan keyakinan:
Sebagaimana diterangkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabda beliau,
عن أبي هريرة رضي الله عنه ، أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : « لا عدوى ، ولا طيرة ، ولا هامة ، ولا صفر » . أخرجاه
Dari sahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan safar adalah bulan sial.” (HR. Bukhari dan Muslim).
زاد مسلم : ولا نوء ، ولا غول
Dalam riwayat Imam Muslim ada tambahan, “Tidak benar juga meyakini bintang, dan tidak pula mempercayai hantu.”
Dalam untaian sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam diatas ada beberapa kebiasaan orang jahiliyah sebagaimana penjelasan para ulama dalam mengomentari maksud hadits tersebut.
Pertama: Al-’Adwaa yaitu berkeyakinan bahwa suatu penyakit dapat berpindah kepada orang lain dengan sendirinya tanpa ada takdir dari Allah.
Di antara budaya keyakinan orang-orang jahiliyah mempercayai bahwa penyakit dapat berpindah dengan sendirinya kepada orang lain, tanpa ada takdir dari Allah. Hal ini dapat mengurangi atau membatalkan kemurnian tauhid seseorang kepada Allah. Karena yang dapat menimpakan penyakit dan musibah hanya Allah semata. Sebagaimana Allah nyatakan dalam firman-Nya,
مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ فِي الْأَرْضِ وَلَا فِي أَنْفُسِكُمْ إِلَّا فِي كِتَابٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ نَبْرَأَهَا إِنَّ ذَلِكَ عَلَى اللَّهِ يَسِيرٌ . لِكَيْلَا تَأْسَوْا عَلَى مَا فَاتَكُمْ وَلَا تَفْرَحُوا بِمَا آَتَاكُمْ وَاللَّهُ لَا يُحِبُّ كُلَّ مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Tiada suatu bencanapun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul Mahfuz) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah. (Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Al-Hadid : 22- 23) .
Namun, bukan berarti bahwa kita tidak boleh menghindari sebab-sebab yang dapat mencelakakan ataupun yang membahayakan. Tapi ketika dalam melakukan sebab, kita tidak boleh meyakini bahwa sebab itu sendiri dapat menyelamat kita. Jika Allah berkendak, bisa saja Allah berbuat sesuatu pada kita tanpa ada sebab. Berkata sebagian ulama, “Meninggalkan melakukan sebab adalah menyalahi akal sehat, bergantung kepada sebab adalah kesyirikan.”
Contoh: Untuk mendapatkan anak kita harus menikah, namun tidak berarti setiap orang yang menikah mesti mendapatkan anak. Karena ada orang yang beristeri empat tidak punya anak.
Oleh sebab itu dalam hadits lain Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam katakan,
(لا عدوى ولا طيرة ولا هامة ولا صفر وفر من المجذوم كما تفر من الأسد. ( رواه البخاري
“Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah (sendiri), tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, tidak benar meyakini burung hantu, tidak benar anggapan bulan safar adalah bulan sial, dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga.” (HR. Bukhari).
Penggalan terakhir dari hadits “dan hindarilah orang yang berpenyakit kusta sebagaimana kamu menghindar dari singga” telah dibuktikan oleh ilmu medis modern akan kebenarannya. Tapi Islam telah jauh lebih maju sebelum ahli medis membuktikannya. Ini merupakan salah satu bukti dari berjuta bukti atas kebenaran Islam dan keagungannya.
Dalam hadits diatas terdapat keterangan tentang hukum mengambil sebab keselamatan dari penyakit menular.
Dalam sabda lain Beliau katakan,
(لا يورد ممرض على مصح. (رواه مسلم
“Jangan campurkan onta yang sakit kedalam onta yang sehat.” (HR. Muslim).
Sebagaian ulama berpendapat bahwa dua koteks diatas tidak saling bertentangan. Konteks pertama ditujukan pada orang yang kuat iman dan tawakalnya pada Allah, terutama bila ada masalah yang lebih besar, seperti petugas kesehatan dan regu penyelamat. Maka hendaknya memantapkan keimanan dan tawakalnya pada Allah jika situasi mengharuskan dia untuk berkorban. Konteks hadits kedua bagi orang yang kurang iman dan tawakalnya pada Allah. Wallahu a’lam. (Lihat Taisiir Al ‘Aziiz, 371-374, Ma’arijul Qabuul, 1/985).
Kedua: At-Thiyarah yaitu menebak apa yang akan terjadi dengan perantara burung. Atau mengundi nasib dengan gerak-gerik binatang seperti burung dan lainnya. Adakalanya disebut (At-Tathayyur) namun maksudnya tetap sama.Di antara budaya orang-orang jahiliyah adalah apabila mereka akan berpergian atau melakukan sesuatu, ketika keluar dari rumah mereka memperhatikan binatang yang melintas di hadapan mereka. Binatang yang sering mereka jadikan ukuran adalah burung. Jika binatang tersebut melintas dari arah kiri ke kanan mereka, menurut mereka hal itu pertanda perjalanan dan rencananya akan sukses, maka mereka melanjutkan perjalanan dan rencananya. Dan jika binatang tersebut melintas dari arah kanan ke kiri maka ini pertanda sial atau malapetaka akan merintangi mereka. Maka mereka tidak jadi melanjutkan perjalanan dan rencananya. (Lihat Miftah Darus Sa’adah, 2/234).
Hal ini jelas-jelas bertentangan dengan akal sehat apalagi dengan akidah Islam. Karena binatang tersebut bergerak tanpa pertimbangan akal, dan tidak pula ditugaskan Allah untuk memberitahukan hal-hal yang ghaib kepada manusia. Melakukan atau meninggalkan sebuah perbuatan karena gerak-gerik binatang sebagai ukuran baik dan buruk adalah syirik. Karena telah menggantungkan harapan kepada selain Allah. Hal tersebut hanyalah semata-mata prasangka yang dibisikan setan untuk mejerumuskan manusia kelembah kesyirikan. Maka oleh sebab itu hal tersebut dilarang dalam Islam. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam,
عن معاوية بن الحكم السلمي قال قلت ( يا رسول الله إني حديث عهد بجاهلية وقد جاء الله بالإسلام وإن منا رجالا يأتون الكهان قال فلا تأتهم قال ومنا رجال يتطيرون قال ذاك شيء يجدونه في صدورهم فلا يصدنكم ). رواه مسلم.
Dari sahabat Mu’awiyah bin Al-Hakam As-Sulamy radhiallahu ‘anhu berkata, “Aku berkata kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Ya Rasulullah saya baru saja meninggalkan kejahiliyahan, sesunguhnya Allah telah mendatangkan Islam, dan sebagian kami (pada masa jahiliyah) ada yang mendatangi tukang tenung (dukun).’ Beliau menjawab, ‘Jangan engkau mendatangi mereka’. ‘Dan diantara kami ada yang mengundi nasib dengan burung.’ Beliau menjawab, ‘Yang demikian adalah sesuatu yang terbayang dalam dada kalian, maka janganlah hal itu menghambat kalian (dari melakukan sesuatu).’” (HR. Muslim).
Dalam sabda beliau yang lain disebutkan,
من حديث ابن مسعود مرفوعا : « الطيرة شرك ، الطيرة شرك ، وما منا إلا . . . ولكن الله يذهبه بالتوكل » . رواه أبو داود والترمذي وصححه . وجعل آخره من قول ابن مسعود
Dari sahabat Ibnu Mas’ud secara marfu‘ (langsung kepada Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam), “Mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik, mempercayai gerak-gerik burung adalah syirik (beliau mengulanginya dua kali), tiada diantara kita kecuali (pernah terlintas dalam ingatannya), tetapi Allah menghilangkan perasaan itu dengan bertawakal kepada Allah.” (HR. Abu Daud dan At-Tirmizi, dan At Tirmizi men-shahih-kannya, dan menganggap akhir hadits tersebut dari ungkapan Ibnu Mas’ud).
Dalam dua hadits ini disebutkan bahwa perasaan pesimis yang timbul berdasarkan pada gerak-gerik burung adalah keraguan belaka, dan cara untuk menghilangkan perasaan tersebut adalah dengan bertawakal pada Allah. Karena Allah tidak menjadikan gerak-gerik binatang atau burung sebagai dalil dan tanda-tanda untuk mengetahui hal-hal yang akan terjadi. Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam lebih senang kepada sikap optimis dari sikap pesimis, sebagaimana sabda Beliau,
عن أنس قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : « لا عدوى ، ولا طيرة ، ويعجبني الفأل ” ، قالوا : وما الفأل ؟ قال : الكلمة الطيبة
Dari sahabat Anas radhiallahu ‘anhu ia berkata Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam telah bersabda, “Tidak benar (meyakini) penyakit berpindah, tidak benar mempercayai gerak-gerik burung, dan aku lebih suka kepada sikap optimis, para sahabat bertanya apa sikap optimis itu? Beliau menjawab: yaitu kalimat yang baik.” (HR. Bukhari dan Muslim).
ولأبي داود بسند صحيح ، عن عقبة بن عامر ، قال : « ذكرت الطيرة عند رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : ” أحسنها الفأل ، ولا ترد مسلما ، فإذا رأى أحدكم ما يكره ، فليقل : اللهم لا يأتي بالحسنات إلا أنت ، ولا يدفع السيئات إلا أنت ، ولا حول ولا قوة إلا بك
Imam Abu Daud meriwayatkan dengan sanad yang shahih dari sahabat ‘Uqbah bin ‘Amir radhiallahu ‘anhu ia berkata, “Seseorang menyebut dihapan Rasulullah tentang mempercayai gerak-gerik burung, beliau menyanggah, yang terbaik adalah sikap optimis, jangan sampai hal itu mengembalikan seorang muslim (dari tujuannya), jika salah seorang kalian melihat sesuatu yang tidak ia senangi, maka hendaklah ia berkata, ‘Ya Allah tiada yang mamapu mendatangkan kebaikan kecuali engkau, dan tiada yang mampu menolak kejelekkan kecuali engkau, tiada daya dan upaya kecuali dengan (pertolongan) engkau.’”
Dalam sabda lain Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menyebutkan barang siapa yang melakukan ath-thiyarah, maka ia telah melakukan kesyirikan dan sebagai kafarat adalah membaca doa yang beliau sebutkan dalam hadits ini,
عن ابن عمر قال قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : من ردته الطيرة عن حاجته فقد أشرك قالوا يا رسول الله وما كفارة ذلك قال :
( قال يقول : ” اللهم لا طير إلا طيرك ولا خير إلا خيرك ولا إله غيرك ) رواه أحمد، وصححه الأباني في “إصلاح المساجد”: 116.
Dari sahabat Ibnu Umar ia berkata telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, “Barang siapa yang dikembalikan ath-thiyarah dari keperluannya maka ia telah berbuat syirik.’ Para sahabat bertanya, ‘Apa kafarat untuk itu ya Rasulullah?’ Jawab Rasulullah, ‘Ia mengucapkan, “Ya Allah tiada ketentuan nasib kecuali ketentuan Engkau. Dan tiada (yang dapat memberi) kabaikan kecuali Engkau. Tiada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau.”‘ (HR. Imam Ahmad dan dishahihkan oleh Syeikh Al-Albany dalam kitab Islaahul Masajid, 116).
Diantara budaya keyakinan kaum jahiliyah lagi, barang siapa yang mati terbunuh lalu tidak dibalas dengan pembunuhan juga. Maka ia akan menjadi burung hantu yang senantiasa meminta tolong dan menundukkan wajahnya sampai dibalas atas pembunuhannya. (lihat Al-Bad’u Wattariikh, 2/118-119).
Keyakinan ini mirip dengan reinkarnasi yang diyakini oleh orang-orang Hindu, yaitu bila seseorang mati apabila amalannya baik maka rohnya akan berpindah pada tubuh baru yang lebih baik. Sebaliknya jika amalannya jelek maka rohnya akan berpindah pada tubuh binatang. Tanpa adanya hari berbangkit dan berhisab karena mereka tidak mempercayai adanya hari akhirat. (lihat Al-Bad’u Wattariikh: 4/33, dan Taisiir Al-’Aziiz: 379, Taisiir Al-’Aziiz: 379).
Hal ini banyak pula diyakini oleh orang-orang yang tidak mengerti Islam. Mereka tidak sadar bahwa ini betentangan dengan akidah Islam. Dalam agama Islam seseorang yang sudah meninggal rohnya tidak akan pernah kembali lagi ke dunia, tapi rohnya berada di alam barzah. Keyakinan sebagian orang bahwa adanya orang yang jadi-jadian. Seperti jadi ular, babi, harimau, pocong dan seterusnya. Ini adalah keyakinan yang batil dan kufur. Sebetulnya yang menyerupai mayat atau yang jadi-jadian tersebur adalah qarin orang tersebut.
Qarin artinya malaikat atau jin yang senantiasa bersama manusia semasa ia hidup. Setiap manusia memiliki dua qarin; satu dari malaikat dan satu lagi dari jin. Semasa hidup di dunia qarin dari malaikat senantiasa memotifasi manusia kearah yang baik. Qarin dari Jin senantiasa memotifasi ke arah yang buruk. Maka yang menyerupai si mayat atau kadangkala berbentuk binatang adalah qarin dari jin tersebut. Ia dapat menyerupai si mayat dalam bentuk dan suara. Hal ini disebutkan Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam dalam sabdanya,
عن عبدالله بن مسعود قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم ما منكم من أحد إلا وقد وكل به قرينه من الجن قالوا وإياك ؟ يا رسول الله قال وإياي إلا أن الله أعانني عليه فأسلم فلا يأمرني إلا بخير)) رواه مسلم.
Dari sahabat Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuma berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Tidak seorang pun diantara kalian kecuali bersamanya ada qarinnya dari Jin.’ Para sahabat bertanya, ‘Engkau juga Rasulullah?’ jawab Rasulullah, ‘Termasuk saya, tetapi Allah telah menolong saya di atasnya, maka saya selamat, maka ia tidak menyuruhku kecuali kepada yang baik.’” (HR. Muslim).
Kata-kata فأسلم dalam hadits di atas, para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkannya; ada yang berpendapat bahwa Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam selamat darinya berkat bantuan Allah. Dan sebagian ulama memahaminya bahwa qarin tersebut masuk Islam. Wallahu A’lam.
Dalam riwayat lain disebutkan bahwa qarin itu dua; satu dari Jin dan satu lagi Malaikat,
(وقد وكل به قرينه من الجن وقرينه من الملائكة ( رواه مسلم.
“Dan sesungguhnya bersamanya ada qarin dari Jin dan qarin dari Malaikat.” (HR. Muslim).
Jadi tidak benar anggapan sebagaian orang bahwa orang yang sudah mati bila roh tidak diterima Allah ia akan gentayangan dimuka bumi. Akan tetapi ,roh yang tidak dibukakan pintu langit untuknya akan ditempatkan di sijjiin salah satu bagian alam barzah. Sijjiin adalah tempat roh orang-orang kafir. (lihat Tafsir Ath-Thabary: 24/282, Tafsir Al-Baghawy, dan Tafsir Ibnu Katsir: 3/413).
Adapun roh para syuhada berada dalam perut burung surga, ia makan dan minum dari buah-buahan dan sungai-sungai surga, sampai kembali lagi kepada jasadnya yang asli setelah hari berbangkit tiba. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
عن مسروق قال سألنا عبدالله ( هو ابن مسعود ) عن هذه الآية { ولا تحسبن الذين قتلوا في سبيل الله أمواتا بل أحياء عند ربهم يرزقون } قال أما إنا سألنا عن ذلك فقال ( أرواحهم في جوف طير خضر لها قناديل معلقة بالعرش تسرح من الجنة حيث شاءت)) رواه مسلم.
Dari Masruq ia berkata aku bertanya kepada Abullah bin Mas’ud tentang ayat, “Janganlah kalian kira orang-orang yang mati (berjihad) di jalan Allah dalam keadaan mati, tetapi mereka dalam keadaan hidup di beri rezeki di sisi Tuhan mereka”. Ibnu Mas’ud menjawab kami telah menanyakan akan hal itu (pada Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam) beliau bersabda, “Roh-roh mereka dalam perut burung hijau, baginya lentera yang digantungkan dengan ‘Arasy, ia berpergian dalam surga kemana saja ia suka.” (HR. Muslim).
(Lihat pembahasan ini pada Majmu’ Al-Fatawa, 4/224, 9/289, Ar-Ruuh, 39, dan Hadiy Al-Arwaah, 17).
Orang-orang jahiliyah memiliki budaya keyakinan bahwa sebagian hari atau bulan membawa kesialan dan malapetaka. Sebagaimana keyakinan mereka terhadap bulan Shafar dan Syawal. Di bulan tersebut mereka meninggalkan urusan-urusan yang penting atau besar seperti pernikahan, perniagaan dan perjalanan. Keyakinan ini juga ditiru oleh sebagian orang-orang sekarang, seperti meyakini jumat kliwon adalah hari sial dan berbahaya jika pergi ke laut untuk menangkap ikan pada malam tersebut. Begitu pula meyakini hari selasa adalah hari api, maka tidak boleh berpergian pada hari tersebut. Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan lain yang dihubungkan dengan hari, bulan dan tahun. Seperti keyakinan orang-orang cina dalam menyebut nama-nama tahun. Tahun naga adalah tahun yang kurang menguntungkan, tahun kuda adalah tahun yang menguntungkan dan seterusnya. Hal ini meyakini bahwa ada yang dapat mendatangkan mudharat selain Allah.
Padahal hari dan bulan hanyalah sekedar tempat waktu melakukan aktivitas bagi manusia tidak ada hubungan dengan bencana dan malapetaka, semua itu sesuai dengan kehendak Allah dan ketentuan-Nya kapan ia kehendaki terjadinya sesuatu di muka bumi ini. Tanpa ada campur tangan makhluk sedikitpun dalam mengatur alam jagat raya ini. Siapa yang meyakini seperti kepercayaan orang jahiliyah tersebut di atas maka telah melakukan syirik dalam Tauhid Rububiyah.
Karena kebatilan keyakinan tersebut Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam mengingkari hal tersebut, sebagaimana terdapat dalam hadits yang sedang kita bicarakan ini.
Diantara kebiasaan orang-orang jahiliyah adalah mempercayai bintang-bintang. Bahkan diantara mereka ada yang menyembah bintang. Mereka meyakini ada bintang-bintang tertentu membawa keberkahan dan ada pula bintang-bintang tertentu membawa kesialan dan bencana. Hal ini sangat mendominasi kehidupan oarng-orang jahiliyah. Sebagimana pula masih diyakini oleh sebagian umat kita tentang bintang-bintang kelahiran. Mereka menggantungkan harapan dengan bintang-bintang tersebut sepeti mencari jodoh, menetukan pekerjaan yang cocok, dan seterusnya. Demikian pula halnya orang yang mengkait-kaitkan hari kelahiran presiden dengan musibah yang melanda indonesia. Juga diantara keyakinan mereka bila ada bintang jatuh (meteor) hal itu pertanda adanya orang penting yang lahir atau meninggal.
عن عبدالله بن عباس قال : أخبرني رجل من أصحاب النبي صلى الله عليه و سلم من الأنصار أنهم بينما هم جلوس ليلة مع رسول الله صلى الله عليه و سلم رمي بنجم فاستنار فقال لهم رسول الله صلى الله عليه و سلم ماذا كنتم تقولون في الجاهلية إذا رمي بمثل هذا ؟ قالوا الله ورسوله أعلم كنا نقول ولد الليلة رجل عظيم ومات رجل عظيم فقال رسول الله صلى الله عليه و سلم فإنها لا يرمى بها لموت أحد ولا لحياته ولكن ربنا تبارك وتعالى اسمه إذا قضى أمرا سبح حملة العرش ثم سبح أهل السماء الذين يلونهم حتى يبلغ التسبيح أهل هذه السماء الدنيا ثم قال الذين يلون حملة العرش لحملة العرش ماذا قال ربكم ؟ فيخبرونهم ماذا قال قال فيستخبر بعض أهل السماوات بعضا حتى يبلغ الخبر هذه السماء الدنيا فتخطف الجن السمع فيقذفون إلى أوليائهم ويرمون به فما جاءوا به على وجهه فهو حق ولكنهم يقرفون فيه ويزيدون.
Dari sahabat Abdullah bin Abbas ia berkata, “Salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dari kaum Anshar menceritakan padaku. Ketika mereka duduk-duduk bersama Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam pada suatu malam ada bintang (meteor) jatuh memancarkan cahaya.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bertanya kepada mereka, ‘Apa ucapan kalian dimasa jahiliyah ketika ada lemparan (meteor) seperti ini?’ Mereka menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang tahu, dulu kami katakan, ‘Dilahirkan pada malam ini seorang yang terhormat dan telah mati seorang yang terhormat.’ Lalu Rasulullah menerangkan, ‘Maka sesungguhnya bintang tersebut tidaklah dilemparkan karena kematian seseorang dan tidak pula karena kelahiran seseorang. Akan tetapi Tuhan kita Tabaaraka wata’ala apabila telah memutuskan sebuah perkara, bertasbihlah para malaikat yang membawa ‘Arasy. Kemudian diikuti oleh para malaikat penghuni langit yang di bawah mereka, sampai tasbih itu kepada para malaikat penghuni langit dunia. Kemudian para malaikat yang dibawah para malaikat pembawa ‘Arasy bertanya kepada para malaikat pembawa ‘Arasy, Apa yang dikatakan Tuhan kita? Lalu mereka memberitahu apa yang dikatakan Tuhan mereka. Maka malaikat penghuni langit dunia saling bertanya pula diantara sesama mereka, sehingga sampai berita tersebut ke langit dunia. Maka para Jin berusaha mencuri dengar, lalu mereka sampaikan kepada wali-walinya (tukang sihir). Sehingga mereka dilempar dengan bintang-bintang tersebut. Berita itu mereka bawa dalam bentuk yang utuh yaitu sebenarnya tetapi mereka campur dengan kebohongan dan mereka tambah-tambah”. (HR. Muslim).
Melalui hadits diatas dapat kita ketahui beberapa hal, diantaranya:
- Menerangkan keyakinan orang-orang jahiliyah terhadap bintang-bintang.
- Menerangkan kebatilan keyakinan tersebut.
- Diantara kegunaan bintang adalah untuk mengusir setan/jin yang berusaha mencuri berita-berita langit.
- Tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung adalah wali-wali setan/jin.
- Menerangkan bahwa tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung tidak mengetahui yang ghaib tetapi atas pemberitahuan setan atau jin.
- Haramnya mempercayai tukang sihir, dukun, peramal dan tukang tenung.
- Menerangkan bahwa setan atau jin mencampur berita tersebut dengan kebohongan.
Disamping itu orang-orang jahiliyah juga meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Semua hal tersebut diharamkan bagi setiap muslim karena merupakan kesyirikan yang nyata. Sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
عن زيد بن خالد الجهني أنه قال : صلى لنا رسول الله صلى الله عليه و سلم صلاة الصبح بالحديبية في إثر سماء كانت من الليل فلما انصرف أقبل على الناس فقال ” هل تدرون ماذا قال ربكم ؟ ” قالوا الله ورسوله أعلم قال ” قال أصبح من عبادي مؤمن بي وكافر فأما من قال مطرنا بفضل الله وبرحمته فذلك مؤمن بي كافر بالكوكب وأما من قال مطرنا بنوء كذا وكذا فذلك كافر بي مؤمن بالكوكب “. رؤاه أبو داود، وقال الشيخ الألباني: صحيح.
Dari Zaid bin Khalid Al Juhany ia berkata, “Kami diimami Rasulullah shalat subuh di Hudaibiyah pada bekas hujan yang turun di malam hari. Tatkala Rasulullah selesai, beliau menghadap kepada para jama’ah, lalu bersabda, ‘Tahukah kalian apa yang telah dikatakan Tuhan kalian?’ Para sahabat menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang mengetahui.’ Kata beliau, ‘Tuhan kalian berkata, ‘Pagi ini di antara hamba-Ku ada yang beriman dengan-Ku dan ada pula yang kafir. Orang yang mengatakan: ‘Kita diturunkan hujan berkat karunia Allah dan rahmat-Nya. Maka orang itu beriman dengan-Ku, kafir dengan bintang.’ Adapun Orang yang mengatakan: ‘Kita diturunkan hujan berkat bintang ini dan ini. Maka orang itu kafir dengan-Ku, beriman dengan bintang.’” (HR. Abu Daud, Syeikh Al-Albani menganggap hadits ini shahih).
Dalam sabda beliau yang lain disebutkan,
عن أبي مالك الأشعري أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: ((أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن الفخر في الأحساب والطعن في الأنساب والاستسقاء بالنجوم والنياحة)) رواه مسلم
Dari Abu Malik Al Asy’ari bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang dan meratapi mayat.” (HR. Muslim).
Dalam hadits ini jelas dinyatakan beberapa kebudayaan jahiliyah diantaranya meminta hujan dengan perantara bintang-bintang. Adapun kebudayaan lain yang disebutkan dalam hadits tersebut akan kita jelaskan secara rinci dalam pembahasan berikutnya pada poin ketujuh, kedelapan dan kesembilan.
Oleh sebab itu disebutkan dalam hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bahwa siapa yang mempelajari ilmu bintang maka sungguhnya ia mempelajari salah satu cabang dari ilmu sihir,
عن ابن عباس رضي الله عنه قال : قال النبي صلى الله عليه و سلم ” من اقتبس علما من النجوم اقتبس شعبة من السحر زاد ما زاد “. قال الشيخ الألباني : حسن
Dari Ibnu ‘Abbas radhiallahu ‘anhu ia berkata: telah bersabda Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam : “Barang siapa yang mempelajari ilmu nujum, berarti ia telah mempelajari satu cabang dari sihir, senantiasa bertambah selama ia tetap mempelajarinya”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah, menurut Syeikh Al Albany hadits ini hasan).
Yang dimaksud ilmu nujum disini adalah ilmu ramal dengan perantara bintang-bintang. Karena bintang memiliki kegunaan dalam hal lain yaitu sebagai penunjuk arah ketika nelayan di laut atau ketika musafir di tengah gurun pasir. Sebagaimana Allah katakan dalam kitab suci Alqur’an,
{ وَعَلَامَاتٍ وَبِالنَّجْمِ هُمْ يَهْتَدُونَ} [النحل/16]
“Dan (Dia menciptakan) tanda-tanda (penunjuk jalan) dan dengan bintang-bintang mereka peroleh petunjuk (dimalam hari).”
Imam Qatadah menerangkan “Tujuan diciptakan bintang-bintang ada tiga; untuk hiasan bagi langit, sebagai penunjuk arah ketika di malam hari, untuk mengusir setan yang mencuri berita-berita langit. Barangsiapa yang melewati selain itu, maka ia telah berdusta, telah menghilangkan bagiannya, dan telah berlebih-lebihan untuk mengetahui sesuatau yang ia tidak memiliki ilmu tentangnya”. (lihat Tafsir At Thabary, 17/185).
Syeikh Islam Ibnu Taimiyah menerangkan bahwa bintang yang dijadikan untuk pelempar setan tidak sama dengan bintang yang menjadi penunjuk arah bagi pelaut atau bagi orang yang dalam perjalanan di gurun pasir. Karena bintang yang dijadikan pelempar setan pindah dari tempatnya, tetapi bintang yang menjadi penunjuk arah tetap di tempatnya, Sekalipun semuanya disebut bintang. Sebagaimana penamaan hewan dan binatang yang melata termasuk kedalamnya manusia, binatang ternak, serangga dan lain-lain. (Lihat Majmu’ Al Fatwa, 35/168).
Barangkali bintang yang jadi pelempar setan, biasa kita kenal di negeri kita dengan sebutan meteor. Wallahu A’lam.
Keharaman ilmu nujum yaitu ilmu ramal, mempercayai bintang sebagai dalil untuk kejadian-kejadian di bumi tidak diragukan. Disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam,
من أتى عرافا فسأله عن شيء لم تقبل له صلاة أربعين ليلة. رواه مسلم
“Barangsiapa yang mendatangi tukang tenung (peramal) untuk menanyakan tentang sesuatu, tidak diterima shalatnya selama empat puluh hari.” (HR. Muslim).
Tukang ramal atau tukang tenung mencakup setiap orang mengaku mengetahui hal-hal ghaib yang akan terjadi. Termasuk didalamnya; dukun, ahli bintang, peramal dan lain-lain. (lihat Majmu’ Al Fatwa, 35/173).
Yang anehnya ditengah masyarakat kita mereka digelari dengan orang pintar, untuk mengelabui orang-orang awam. Ini sama dengan menamakan maling dengan polisi.
Menurut mereka hantu itu muncul dalam bentuk yang berbeda-beda ketika mereka melewati padang pasir lalu menyesatkan dan mencelakakan mereka. Maka Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam menafikan perasangkaan tersebut bukan menafikan keberadaannya. Dimana orang-orang jahiliyah menyakini ia bisa berubah-rubah bentuk dan mencelakakan manusia. Ini termasuk syirik karena takut terhadap sesuatu yang ghaib selain Allah dan mempercayai bisa mendatangkan kemudaratan. (lihat Taisiir Al ‘Aziiz 380, dan Syarah Qashidah Ibnul Qayyim, 2/321).
Oleh sebab itu diantara kebiasaan mereka apabila berhenti atau turun di suatu tempat, mereka mengatakan, “Aku berlindung dari jin penjaga tempat ini dari kenakalan orang-orang bodoh mereka. Maka diantara setan ada yang mencuri barang bawaan mereka. Maka mereka memohon kepada jin di tempat tersebut: kami adalah tetanggamu, maka jin tersebut menyahut dan mengembalikan barang-barang mereka. (lihat Ma’arijul Qabuul, 3/995).
Dalam hal ini Rasulullah mengajarkan kepada kita, jika kita berhenti pada suatau tempat dalam perjalanan hendaklah membaca doa berikut,
((إذا نزل أحدكم منزلا فليقل أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ فإنه لا يضره شيء حتى يرتحل منه)) رواه مسلم
“Apabila salah seorang kalian berhenti pada suatu tempat hendaklah dia membaca: Aku berlindung dengan kalimat-kalimat Allah yang sempurna dari kejelekan apa yang telah Dia ciptakan. Maka sesungguhnya ia tidak akan diganggu oleh sesuatupun sampai ia meninggalkan tempat tersebut”. (HR. Muslim)
عن أبي مالك الأشعري أن النبي صلى الله عليه و سلم قال: ((أربع في أمتي من أمر الجاهلية لا يتركونهن الفخر في الأحساب والطعن في الأنساب والاستسقاء بالنجوم والنياحة)) رواه مسلم
Dari Abu Malik Al Asy’ary bahwa Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda: “Ada empat hal di tengah umatku dari perkara jahiliyah, mereka sulit untuk meninggalkannya; berbangga dengan keturunan, mencela keturunan orang lain, minta hujan dengan perantaraan bintang-bintang dan meratapi mayat”. (HR. Muslim)
Dalam hadits Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam di atas ada empat kebiasaan jahiliyah yang amat sulit ditinggalkan oleh sebagian umat ini.
Untuk lebih tertib kita lanjutkan nomor diatas, agar lebih mudah untuk memahaminya dan menghitung kebiasaan orang-orang jahiliah yang bisa dikupas dalam bahasan kita kali ini. Maka nomor urut berikut adalah:
Diantara kebiasaan orang-orang jahiliyah lagi adalah membanggakan kebaikan dan kelebihan bapak-bapak mereka. Hal ini jelas bertentangan dengan ajaran Islam yang mulia ini. Karena ukuran kemulian dalam Islam bukanlah dengan bentuk yang tampan, wajah yang cantik, harta yang banyak, jabatan yang tinggi, gelar yang melingkar, akan tetapi kemulian seseorang diukur dengan ketaqwaan kepada Allah subhanahu wata’ala. Sebagaimana firman Allah,
{يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِير} [الحجرات/13]
“Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti”. (QS. Al-Hujurat : 13)
Agaknya barometer ini sudah mulai semu dalam pandangan sebagian kita, sehingga sebagian kita memacu kemuliaan di luar jalur ketakwaan. Ketika pandangan masyarakat kita mulai keliru dalam menilai, saat itu tujuan dan haluan hidup mereka mulai berputar. Sehingga berbagai penyelewengan terjadi dalam berbagai lini kehidupan kita. Ada orang yang menggapai kemulian dengan kegantengan dan kecantikan sekalipun mempertontonkan aurat di hadapan manusia. Ada pula yang menggapainya dengan harta sekalipun mendapatkannya dengan cara yang haram. Ada pula yang menggapainya dengan pangkat dan jabatan sekalipun memalsukan dokumen dan menyogok disana-sini. Ada lagi yang menggapainya dengan gelar sekalipun dibeli. Na’udzubllah min dzalik.
Mudah-mudahan dengan adanya saling mengingatkan diantara kita, pandangan tersebut dapat diluruskan kembali. Mari kita capai kemulian dengan ketakwaan kepada Allah. Harta bisa mengantarkan kepada ketaqwaan jika dihasilkan dari jalan yang halal dan diinfaqkan pada yang halal. Begitu pula profesi-profesi yang lainnya hendaknya dijadikan sebagai fasilitas untuk mencapai ketakwaan dan keridhaan Allah subhaanahu wata’ala.
Sebagian manusia demi untuk mencari kemulian, ada yang mengaku sebagai keturunan nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Dan yang lebih mengkhatirkan lagi adalah apabila pengakuan tersebut menjadi legilitimasi untuk melakukan bid’ah dan kesesatan dalam agama. Sekalipun seseorang tersebut benar-benar dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam, selama dia tidak benar-benar mengikuti Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Hubungan keturunan tidaklah bernilai disisi Allah. Hal ini disampaikan oleh nabi dalam sabda beliau,
((ومن بطأ به عمله لم يسرع به نسبه)) رواه مسلم.
“Dan orang yang dilambatkan amalnya, tidak bisa dipercepat oleh hubungan keturunnya”.
Beliau katakan kepada kedua paman dan putri beliau sendiri bahwa beliau tidak bisa menjaga mereka dari azab Allah sedikitpun.
قال النبي صلى الله عليه وسلم : يا عباس بن عبدالمطلب لا أغني عنك من الله شيئا يا صفية عمة رسول الله لا أغني عنك من الله شيئا يا فاطمة بنت رسول الله سليني بما شئت لا أغني عنك من الله شيئا . متفق عليه
Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Wahai Abbas bin Abdul Muthalib aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Shofiyah bibi Rasulullah aku tidak menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun. Wahai Fathimah binti Rasulullah mintalah harta kepadaku apa saja yang kau mau aku tidak bisa menjagamu dari (adzab) Allah sedikitpun”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh sebab itu, bila seseorang benar-benar dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam jangan bergantung kepada hubungan keturunan semata. Tapi hubungan keturunan akan menjadikan lebih mulia bila diiringi dengan amal shalih. Maka keluarga Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam dicintai melebihi dari yang lainnya bukan karena hubungan keturunan semata. Namun jika keluarga Nabi tersebut adalah seorang mukmin yang shaleh maka wajib kita cintai melebihi dari yang lainnya karena dua hal; karena ketaqwaanya dan karena hubungan keturunannya dengan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Jadi tidak benar kalau ada sebagian orang menilai bahwa Ahlus Sunnah tidak mencintai keluarga Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Mencintai mereka bukanlah berarti memberikan kedudukan kepada mereka melebihi dari hak yang diberikan Allah kepada mereka. Seperti mengkultuskan mereka dan menganggap mereka maksum dari kesalahan.
Diantara kebiasaan orang-orang jahiliyah lagi suka mencela keturunan orang lain. Barang kali ini akibat dari saling berbangga dengan keturunan. Sehingga untuk membela bahwa keturunnya lebih mulia ia mencela keturunan orang lain. seprti mengingkari keturunan seseorang, atau mengingkari orang yang mengaku sebagai keturunan suku tertentu. Atau menebarkan aib dan kejelekan keturnan seseorang atau suku tertentu. Hal ini semua adalah kebudayaan jahiliyah yang mesti dihindari oleh seorang muslim.
Dimasa sekarang sering terjadi seorang orang tua mengingkari anaknya, maka ini termasuk kedalam larangan hadits ini. Sebaliknya Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam juga melarang untuk mengaku sebagai keturunan dari suku tertentu pada hal ia bukan dari mereka. Seperti orang yang mengaku dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam pada hal ia bukan dari keturunan Nabi shallallahu ‘alahi wa sallam. Sebagaimana sabda beliau,
إن من أعظم الفرى أن يدعي الرجل إلى غير أبيه أو يري عينه ما لم تره أو يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل. رواه البخاري
“Sesungguhnya kebohongan yang amat besar di sisi Allah adalah sesorang yang mengaku kepada selain bapaknya. Atau mengaku matanya melihat apa yang tidak ia lihat. Atau mengatakan terhadap Rasulullah sesuatu yang tidak beliau katakan”. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat lain beliau bersabda,
(( من ادعى إلى غير أبيه وهو يعلم أنه غير أبيه فالجنة عليه حرام )) متفق عليه
“Barangsiapa yang mengaku kepada selain bapaknya sedangkan ia tau bahwa dia bukan bapaknya, maka diharamkan surga baginya”. (HR. Bukhari dan Muslim)
Diantara kebudayaan jahiliyah yang lain adalah meratapi mayat. Hal ini diharamkan dalam Islam karena seolah-olah ia menentang keputusan dan ketetapan Allah. Dimasa jahiliyah jika salah seorang dari anggota keluarga mereka meninggal dunia mereka ratapi dengan memukul-mukul muka dan merobek-robek pakaian. Bahkan ada pula yang mengurung diri dirumahnya dan senantiasa berpakaian kumuh sampai akhir hayatnya.
Oleh sebab itu datang ancaman bagi orang yang meratapi mayat di akhir hadits tersebut,
((وقال النائة إذا لم تتب قبل موتها تقام يوم القيامة وعليها سربال من قطران ودرع من جرب)) رواه مسلم
Dan Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam bersabda, “Wanita yang meratapi mayat bila tidak bertobat sebelum meninggal, ia dibangkitkan pada hari kiamat memakai baju dari timah panas dan mantel dari aspal panas”. (HR. Muslim)
Dalam hadits lain disebutkan,
عن عبد الله رضي الله عنه قال: قال النبي صلى الله عليه و سلم (( ليس منا من لطم الخدود وشق الجيوب ودعا بدعوى الجاهلية)) متفق عليه
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhuma ia berkata, “Telah bersabda Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam, ‘Tidak termasuk golongan kami siapa yang memukul-mukul muka dan merobek-robek baju serta menyeru dengan seruan jahiliyah.’” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kebiasaan ini masih di tiru oleh sebagian kecil umat ini. Dan yang lebih sesat lagi adalah menjadikan hal tersebut sebagai ibadah yang dapat mendekatkan diri pada Allah. Sebagaimana yang dilakukan oleh orang syi’ah rafidhah pada setiap tahun pada tanggal sepuluh Muharam di Padang Karbala. Ini jelas-jelas suatu penentang nyata kepada ajaran Rasulullah shallallahu ‘alahi wa sallam.
Ditengah pesatnya kemajuan tegnologi dan informasi sebagian manusia menilai bahwa kemajuan itu dicapai dengan mengabaikan norma-norma agama. Dan ada pula yang beranggapan bahwa agama menjadi penghambat kemajuan, apalagi menjalankan ajaran agama dengan konsekwen dan istiqamah. Kebutuhan ekonomi harus menjadi prioritas utama untuk mencapai kesejahteraan dan kemakmuran. Demi untuk mengeruk income yang besar dari pariwisata kita harus menghidupkan kembali kebiasaan-kebiasaan kuno kita. Serta sekaligus melestarikan segala budaya-budaya kuno, kebiasaan suku asmat yang tidak berpakaian harus dilestariakan, perayaan pemberian sesajian kegunung dan kelaut serta ketempat-tempat yang dianggap angker atau sakti harus senantiasa dilakukan.
Bukankah ini suatu keteledoran dalam berpikir dan beragama, secara akal tindakan ini adalah bertentangan dengan mitos kehidupan bahwa hidup ini harus maju dalam segala segi. Begitu pula ditinjau dari sudut pandang agama tindakan ini sangat bertentangan dengan tugas Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam, karena beliau diutus untuk memerangi segala kejahiliyahan. Gerakan seperti akan merobohkan pondasi tauhid dan tiang-tiang agama, maka dari itu mari kita waspada dan siaga dalam menjaga iman kita. Jangan tertipu dengan berbagai slogan-slogan yang menggiurkan sekaligus menyesatkan. Wallahu A’lam, Washalallahu ‘Ala Nabiyina Muhammad wa “ala alihi washahbihi ajma’iin.
Penulis : DR. Ali Musri Semjan Putra, M.A.
Artikel www.dzikra.com