Bagi hamba yang masih memiliki tabi’at baik pasti mengetahui bahwa Allah selalu menginginkan kemudahan dan bukan menginginkan kesulitan bagi hamba-Nya. Dalam perihal puasa, Allah Ta’ala juga menginginkan demikian dan ingin menghilangkan kesulitan dari hamba-Nya. Berikut ini adalah beberapa hal yang dibolehkan oleh syari’at ini dan tidak membatalkan puasa :
1. Mendapati waktu fajar dalam keadaan junub.
Dari ‘Aisyah dan Ummu Salamah radhiyallahu ‘anhuma, mereka berkata,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – كَانَ يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ أَهْلِهِ ، ثُمَّ يَغْتَسِلُ وَيَصُومُ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mendapati waktu fajar (waktu Shubuh) dalam keadaan junub karena bersetubuh dengan istrinya, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”[1]
Istri tercinta Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata,
قَدْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُدْرِكُهُ الْفَجْرُ فِى رَمَضَانَ وَهُوَ جُنُبٌ مِنْ غَيْرِ حُلُمٍ فَيَغْتَسِلُ وَيَصُومُ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menjumpai waktu fajar di bulan Ramadhan dalam keadaan junub bukan karena mimpi basah, kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam mandi dan tetap berpuasa.”[2]
2. Bersiwak ketika berpuasa.
Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لَوْلاَ أَنْ أَشُقَّ عَلَى أُمَّتِى لأَمَرْتُهُمْ بِالسِّوَاكِ عِنْدَ كُلِّ وُضُوءٍ
“Seandainya tidak memberatkan umatku niscaya akan kuperintahkan mereka untuk menyikat gigi (bersiwak) setiap kali berwudhu.”[3]
Imam Al Bukhari membawakan hadits di atas (tanpa sanad) dalam judul Bab “Siwak basah dan kering bagi orang yang berpuasa”. Judul bab ini mengisyaratkan bahwa Imam Al Bukhari ingin menyanggah sebagian ulama (seperti ulama Malikiyah dan Asy Sya’bi) yang memakruhkan untuk bersiwak ketika berpuasa dengan siwak basah.[4]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun siwak (ketika berpuasa) maka itu dibolehkan tanpa ada perselisihan di antara para ulama. Akan tetapi, para ulama berselisih pendapat tentang makruhnya hal itu jika dilakukan setelah waktu zawal (matahari tergelincir ke barat). Ada dua pendapat yang masyhur dari Imam Ahmad dalam masalah ini. Namun yang tepat, tidak ada dalil syari’i yang mengkhususkan bahwa hal tersebut dimakruhkan. Padahal terdapat dalil-dalil umum yang membolehkan untuk bersiwak.”[5]
Penulis Tuhfatul Ahwadzi mengatakan, “Hadits-hadits yang semakna dengan di atas yang membicarakan keutamaan bersiwak adalah hadits mutlak yang menunjukkan bahwa siwak dibolehkan setiap saat. Inilah pendapat yang lebih tepat.”[6]
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Yang benar adalah siwak dianjurkan bagi orang yang berpuasa mulai dari awal hingga akhir siang.”[7]
Dalil yang menunjukkan mengenai keutamaan siwak adalah hadits ‘Aisyah. Dari ‘Aisyah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
السِّوَاكَ مَطْهَرَةٌ لِلْفَمِ مَرْضَاةٌ لِلرَّبِّ
“Bersiwak itu akan membuat mulut bersih dan diridhoi oleh Allah.”[8]
Adapun menggunakan pasta gigi ketika puasa lebih baik tidak digunakan ketika berpuasa karena pasta gigi memiliki pengaruh sangat kuat hingga bisa mempengaruhi bagian dalam tubuh dan kadang seseorang tidak merasakannya. Waktu untuk menyikat gigi sebenarnya masih lapang. Jika seseorang mengakhirkan untuk menyikat gigi hingga waktu berbuka, maka dia berarti telah menjaga diri dari perkara yang dapat merusak puasanya.[9]
3. Berkumur-kumur dan memasukkan air ke dalam hidung asal tidak berlebihan.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
وَبَالِغْ فِى الاِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُونَ صَائِمً
“Bersungguh-sungguhlah dalam beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) kecuali jika engkau berpuasa.”[10]
Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Adapun berkumur-kumur dan beristinsyaq (memasukkan air dalam hidung) dibolehkan bagi orang yang berpuasa berdasarkan kesepakatan para ulama. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat juga berkumur-kumur dan beristinsyaq ketika berpuasa. … Akan tetapi, dilarang untuk berlebih-lebihan ketika itu.”[11]
Juga tidak mengapa jika orang yang berpuasa berkumur-kumur meski tidak karena wudhu dan mandi.[12]
Jika masih ada sesuatu yang basah –yang tersisa sesudah berkumur-kumur- di dalam mulut lalu tertelan tanpa sengaja, seperti itu tidak membatalkan puasa karena sulit dihindari.
Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Jika dikhawatirkan sehabis bersiwak terdapat sesuatu yang basah di dalam mulut (seperti sesudah berkumur-kumur dan masih tersisa sesuatu yang basah di dalam mulut), maka itu tidak membatalkan puasa walaupun sesuatu yang basah tadi ikut tertelan.”[13]
4. Bercumbu dan mencium istri selama aman dari keluarnya mani.
Orang yang berpuasa dibolehkan bercumbu dengan istrinya selama tidak di kemaluan dan selama terhindar dari terjerumus pada hal yang terlarang. Puasanya tidak batal selama tidak keluar mani.[14]
An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Tidak ada perselisihan di antara para ulama bahwa bercumbu atau mencium istri tidak membatalkan puasa selama tidak keluar mani”.[15]
Dalil-dalil berikut menunjukkan bolehnya bercumbu dengan istri ketika berpuasa sebagaimana dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beberapa sahabat radhiyallahu ‘anhum.
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُقَبِّلُ وَيُبَاشِرُ ، وَهُوَ صَائِمٌ ، وَكَانَ أَمْلَكَكُمْ لإِرْبِهِ .
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa mencium dan mencumbu istrinya sedangkan beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan berpuasa. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan demikian karena beliau adalah orang yang paling kuat menahan syahwatnya.”[16]
Dari Jabir bin ‘Abdillah, dari ‘Umar Bin Al Khaththab, beliau berkata,
هَشَشْتُ يَوْما فَقَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَأَتَيْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَقُلْتُ صَنَعْتُ الْيَوْمَ أَمْراً عَظِيماً قَبَّلْتُ وَأَنَا صَائِمٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « أَرَأَيْتَ لَوْ تَمَضْمَضْتَ بِمَاءٍ وَأَنْتَ صَائِمٌ ». قُلْتُ لاَ بَأْسَ بِذَلِكَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « فَفِيمَ »
“Pada suatu hari aku rindu dan hasratku muncul kemudian aku mencium istriku padahal aku sedang berpuasa, maka aku datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan aku berkata, “Hari ini aku melakukan suatu kesalahan besar, aku telah mencium istriku padahal sedang berpuasa” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bertanya, “Bagaimana pendapatmu jika kamu berpuasa kemudian berkumur-kumur?” Aku menjawab, “Seperti itu tidak mengapa.” Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Lalu apa masalahnya?“[17]
Masyruq pernah bertanya pada ‘Aisyah,
مَا يَحِلُّ لِلرَّجُلِ مِنْ اِمْرَأَته صَائِمًا ؟ قَالَتْ كُلُّ شَيْء إِلَّا الْجِمَاعَ
“Apa yang dibolehkan bagi seseorang terhadap istrinya ketika puasa? ‘Aisyah menjawab, ‘Segala sesuatu selain jima’ (bersetubuh)’.”[18]
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] HR. Bukhari no. 1926.
[2] HR. Muslim no. 1109.
[3] Hadits ini dikeluarkan oleh Bukhari dalam kitab Shahihnya secara mu’allaq (tanpa sanad). Dikeluarkan pula oleh Ibnu Khuzaimah 1/73 dengan sanad lebih lengkap. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih..
[4] Fathul Bari, 4/158.
[5] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[6] Tuhfatul Ahwadzi, 3/345.
[7] Majmu’ Fatwa wa Rosa’il Ibnu ‘Utsaimin, 17/259.
[8] HR. An Nasai no. 5 dan Ahmad 6/47. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[9] Majmu’ Fatawa wa Rosail Ibnu ‘Utsaimin, 17/261-262.
[10] HR. Abu Daud no. 142, Tirmidzi no. 788, An Nasa’i no. 87, Ibnu Majah no. 407, dari Laqith bin Shobroh. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shahih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits tersebut shahih.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 25/266.
[12] Shahih Fiqh Sunnah, 2/112.
[13] Fathul Bari, 4/159.
[14] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/13123 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/110-111.
[15] Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 7/215.
[16] HR. Bukhari no. 1927 dan Muslim no. 1106.
[17] HR. Ahmad 1/21. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Muslim.
[18] Riwayat ini disebutkan dalam Fathul Bari (4/149), dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih.
5. Bekam dan donor darah jika tidak membuat lemas.
Dalil-dalil berikut menunjukkan dibolehkannya bekam bagi orang yang berpuasa.
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ – رضى الله عنهما – أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – احْتَجَمَ ، وَهْوَ مُحْرِمٌ وَاحْتَجَمَ وَهْوَ صَائِمٌ .
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berbekam dalam keadaan berihrom dan berpuasa. (HR. Bukhari no. 1938)
يُسْأَلُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ – رضى الله عنه – أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu ditanya, “Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Beliau berkata, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.” (HR. Bukhari no. 1940)
Menurut jumhur (mayoritas ulama) yaitu Imam Abu Hanifah, Malik, Asy Syafi’i, berbekam tidaklah membatalkan puasa. Pendapat ini juga dipilih oleh Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Ibnu ‘Abbas, Anas bin Malik, Abu Sa’id Al Khudri dan sebagian ulama salaf.
Imam Asy Syafi’i dalam Al Umm mengatakan, “Jika seseorang meninggalkan bekam ketika puasa dalam rangka kehati-hatian, maka itu lebih aku sukai. Namun jika ia tetap melakukan bekam, aku tidak menganggap puasanya batal.”[1]
Di antara alasan bahwa bekam tidaklah membatalkan puasa:
Alasan pertama: Boleh jadi hadits yang menjelaskan batalnya orang yang melakukan bekam dan di bekam adalah hadits yang telah di mansukh (dihapus) dengan hadits lain yang diriwayatkan oleh Abu Sa’id Al Khudri berikut:
رَخَّصَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- فِى الْقُبْلَةِ لِلصَّائِمِ وَالْحِجَامَةِ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk mencium istrinya dan berbekam.”[2]
Ibnu Hazm mengatakan, “Hadits yang menyatakan bahwa batalnya puasa orang yang melakukan bekam dan orang yang dibekam adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sama sekali-. Akan tetapi, kami menemukan sebuah hadits dari Abu Sa’id: “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi keringanan (rukhsoh) bagi orang yang berpuasa untuk berbekam“. Sanad hadits ini shohih. Maka wajib bagi kita untuk menerimanya. Yang namanya rukhsoh (keringanan) pasti ada setelah adanya ‘azimah (pelarangan) sebelumnya. Hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa dengan berbekam (baik orang yang melakukan bekam atau orang yang dibekam) adalah hadits yang telah dinaskh (dihapus).”[3]
Setelah membawakan pernyataan Ibnu Hazm di atas, Syaikh Al Albani mengatakan, “Hadits semacam ini dari berbagai jalur adalah hadits yang shohih –tanpa ada keraguan sedikitpun-. Hadits-hadits ini menunjukkan bahwa hadits yang menyatakan batalnya puasa karena bekam adalah hadits yang telah dihapus (dinaskh). Oleh karena itu, wajib bagi kita mengambil pendapat ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hazm rahimahullah di atas.”[4]
Alasan kedua: Pelarangan berbekam ketika puasa yang dimaksudkan dalam hadits adalah bukan pengharaman. Maka hadits: “Orang yang melakukan bekam dan yang dibekam batal puasanya” adalah kalimat majas. Jadi maksud hadits tersebut adalah bahwa orang yang membekam dan dibekam bisa terjerumus dalam perkara yang bisa membatalkan puasa. Yang menguatkan hal ini adalah hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdur Rahman bin Abi Layla dari salah seorang sahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- نَهَى عَنِ الْحِجَامَةِ وَالْمُوَاصَلَةِ وَلَمْ يُحَرِّمْهُمَا إِبْقَاءً عَلَى أَصْحَابِهِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang berbekam dan puasa wishol -namun tidak sampai mengharamkan-, ini masih berlaku bagi sahabatnya.”[5]
Jika kita melihat dalam hadits Anas yang telah disebutkan, terlihat jelas bahwa bekam itu terlarang ketika akan membuat lemah. Anas ditanya,
أَكُنْتُمْ تَكْرَهُونَ الْحِجَامَةَ لِلصَّائِمِ قَالَ لاَ . إِلاَّ مِنْ أَجْلِ الضَّعْفِ
“Apakah kalian tidak menyukai berbekam bagi orang yang berpuasa?” Anas menjawab, “Tidak, kecuali jika bisa menyebabkan lemah.”
Dengan dua alasan di atas, maka pendapat mayoritas ulama kami nilai lebih kuat yaitu bekam tidaklah membatalkan puasa. Akan tetapi, bekam dimakruhkan bagi orang yang bisa jadi lemas. Termasuk dalam pembahasan bekam ini adalah hukum donor darah karena keduanya sama-sama mengeluarkan darah sehingga hukumnya pun disamakan.[6]
6. Mencicipi makanan selama tidak masuk dalam kerongkongan
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, ia mengatakan,
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الخَلَّ أَوْ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidak mengapa seseorang yang sedang berpuasa mencicipi cuka atau sesuatu, selama tidak masuk sampai ke kerongkongan.”[7]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Mencicipi makanan dimakruhkan jika tidak ada hajat, namun tidak membatalkan puasa. Sedangkan jika ada hajat, maka dibolehkan sebagaimana berkumur-kumur ketika berpuasa.”[8]
Yang termasuk dalam mencicipi adalah adalah mengunyah makanan untuk suatu kebutuhan seperti membantu mengunyah makanan untuk si kecil.
‘Abdur Rozaq dalam mushonnaf-nya membawakan Bab ‘Seorang wanita mengunyah makanan untuk anaknya sedangkan dia dalam keadaan berpuasa dan dia mencicipi sesuatu darinya‘. ‘Abdur Rozaq membawakan beberapa riwayat di antaranya dari Yunus, dari Al Hasan Al Bashri, ia berkata,
رَأَيْتُهُ يَمْضَغُ لِلصَّبِي طَعَامًا وَهُوَ صَائِمٌ يَمْضَغُهُ ثُمَّ يُخْرِجُهُ مِنْ فِيْهِ يَضَعَهُ فِي فَمِ الصَّبِي
“Aku melihat Yunus mengunyah makanan untuk anak kecil -sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa-. Beliau mengunyah kemudian beliau mengeluarkan hasil kunyahannya tersebut dari mulutnya, lalu diberikan pada mulut anak kecil tersebut.”[9]
7. Bercelak dan tetes mata
Bercelak dan tetes mata tidaklah membatalkan puasa[10]. Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Pendapat yang lebih kuat adalah hal-hal ini tidaklah membatalkan puasa. Karena puasa adalah bagian dari agama yang perlu sekali kita mengetahui dalil khusus dan dalil umum. Seandainya perkara ini adalah perkara yang Allah haramkan ketika berpuasa dan dapat membatalkan puasa, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan menjelaskan kepada kita. Seandainya hal ini disebutkan oleh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, tentu para sahabat akan menyampaikannya pada kita sebagaimana syariat lainnya sampai pada kita. Karena tidak ada satu orang ulama pun menukil hal ini dari beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam baik hadits shohih, dho’if, musnad (bersambung sampai Nabi) ataupun mursal (sanad di atas tabi’in terputus), dapat disimpulkan bahwa beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak menyebutkan perkara ini (sebagai pembatal). Sedangkan hadits yang menyatakan bahwa bercelak membatalkan puasa adalah hadits yang dho’if (lemah). Hadits tersebut dikeluarkan oleh Abu Daud dalam sunannya, namun selain beliau tidak ada yang mengeluarkannya. Hadits tersebut juga tidak terdapat dalam musnad Ahmad dan kitab referensi lainnya.”[11]
Al Hasan Al Bashri mengatakan,
لَا بَأْس بِالْكُحْلِ لِلصَّائِمِ
“Tidak mengapa bercelak untuk orang yang berpuasa.”[12]
8. Mandi dan menyiramkan air di kepala untuk membuat segar
Bukhari membawakan Bab dalam kitab shohihnya ‘Mandi untuk orang yang berpuasa.’ Ibnu Hajar berkata, “Maksudnya adalah dibolehkannya mandi untuk orang yang berpuasa.
Az Zain ibnul Munayyir berkata bahwa mandi di sini bersifat mutlak mencakup mandi yang dianjurkan, diwajibkan dan mandi yang sifatnya mubah. Seakan-akan beliau mengisyaratkan tentang lemahnya pendapat yang diriwayatkan dari ‘Ali mengenai larangan orang yang berpuasa untuk memasuki kamar mandi. Riwayat ini dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq, namun dengan sanad dho’if. Hanafiyah bersandar dengan hadits ini sehingga mereka melarang (memakruhkan) mandi untuk orang yang berpuasa.”[13]
Hal ini juga dikuatkan oleh sebuah riwayat dari Abu Bakr bin ‘Abdirrahman, beliau berkata,
لَقَدْ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بِالْعَرْجِ يَصُبُّ عَلَى رَأْسِهِ الْمَاءَ وَهُوَ صَائِمٌ مِنَ الْعَطَشِ أَوْ مِنَ الْحَرِّ.
“Sungguh, aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Al ‘Aroj mengguyur kepalanya -karena keadaan yang sangat haus atau sangat terik- dengan air sedangkan beliau dalam keadaan berpuasa. ”[14]
Penulis Aunul Ma’bud mengatakan, “Hadits ini merupakan dalil bolehnya orang yang berpuasa untuk menyegarkan badan dari cuaca yang cukup terik dengan mengguyur air pada sebagian atau seluruh badannya. Inilah pendapat mayoritas ulama dan mereka tidak membedakan antara mandi wajib, sunnah atau mubah.” [15]
9. Menelan dahak.
Menurut madzhab Hanafiyah dan Malikiyah, menelan dahak[16] tidak membatalkan puasa karena ia dianggap sama seperti air ludah dan bukan sesuatu yang asalnya dari luar.[17]
10. Menelan sesuatu yang sulit dihindari.
Seperti masih ada sisa makanan yang ikut pada air ludah dan itu jumlahnya sedikit serta sulit dihindari dan juga seperti darah pada gigi yang ikut bersama air ludah dan jumlahnya sedikit, maka seperti ini tidak mengapa jika tertelan. Namun jika darah atau makanan lebih banyak dari air ludah yang tertelan, lalu tertelah, puasanya jadi batal.[18]
11. Makan, minum, jima’ (berhubungan badan) dalam keadaan lupa.
12. Muntah yang tidak sengaja.
Demikian sajian tentang hal-hal yang bukan merupakan pembatal puasa, namun masih dibolehkan ketika berpuasa. Semoga bermanfaat.
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel www.muslim.or.id
[1] Al Umm, 2/106.
[2] HR. Ad Daruquthni 2/183 dan Ibnu Khuzaimah 7/247. Ad Daruqutni mengatakan bahwa semua periwayat dalam hadits ini tsiqoh/terpercaya kecuali Mu’tamar yang meriwayatkan secara mauquf -yaitu hanya sampai pada sahabat-. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ (4/74) mengatakan bahwa semua periwayat hadits ini tsiqoh/terpercaya, akan tetapi dipersilihkan apakah riwayatnya marfu’ -sampai pada Nabi- atau mawquf -sampai sahabat-.
[3] Dinukil dari Al Irwa’, 4/74.
[4] Al Irwa’, 4/75.
[5] HR. Abu Daud no 2374. Hadits ini tidaklah cacat, walaupun nama sahabat tidak disebutkan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shohih.
[6] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/113-114.
[7] HR. Ibnu Abi Syaibah dalam Mushonnaf 2/304. Syaikh Al Albani dalam Irwa’ no. 937 mengatakan bahwa riwayat ini hasan.
[8] Majmu’ Al Fatawa, 25/266-267.
[9] HR. ‘Abdur Rozaq dalam Mushonnafnya (4/207).
[10] Lihat Shifat Shoum Nabi, hal. 56 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/115.
[11] Majmu’ Al Fatawa, 25/234.
[12] Dikeluarkan oleh ‘Abdur Rozaq dengan sanad yang shahih. Lihat Fathul Bari, 4/154.
[13] Fathul Bari, 4/153
[14] HR. Abu Daud no. 2365.
[15] ‘Aunul Ma’bud, 6/352.
[16] Dahak adalah sesuatu yang keluar dari hidung atau lendir yang naik dari dada.
[17] Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah, 2/9962 dan Shahih Fiqh Sunnah, 2/117.
[18] Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 2/118.