Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إن أول ما يحاسب الناس به يوم القيامة من أعمالهم الصلاة قال يقول ربنا عزوجل لملائكته وهو أعلم انظروا في صلاة عبدي أتمها أم نقصها فإن كانت تامة كتبت له تامة وإن كان انتقص منها شيئا قال انظروا هل لعبدي من تطوع ؟ فإن كان له تطوع قال أتموا لعبدي فريضته من تطوعه ثم تؤخذ الأعمال على ذاكم
“Sesungguhnya amal ibadah manusia yang pertama kali dihisab (diperhitungkan) pada hari kiamat adalah shalat (wajib lima waktu), Allah Ta’ala berfirman kepada para malaikat –dan Dia Maha Mengetahui (segala sesuatu)–: ‘Periksalah shalat (lima waktu yang telah dikerjakan) hamba-Ku, apakah dia telah sempurna atau ada yang kurang?’ Kalau shalatnya telah sempurna maka dituliskan baginya (pahala) yang sempurna, kalau ada yang kurang dalam shalatnya, Allah berfirman: ‘Apakah hamba-Ku pernah mengerjakan shalat tathawwu’?’ Kalau hamba tersebut pernah mengerjakan shalat sunnah tathawwu’, Allah berfirman: ‘Sempurnakanlah bagi hamba-Ku (kekurangan) shalat (wajib lima waktu) dengan shalat tathawwu”. Kemudian amal-amal ibadah lainnya akan diperhitungkan seperti itu.” [1]
Hadits yang agung ini menunjukkan keutamaan dan salah satu hikmah besar disyariatkannya shalat tathawwu’. [2]
Syaikh Muhammad bin Shaleh al-’Utsaimin mengatakan, “Ketahuilah, sungguh termasuk nikmat Allah (yang agung) dengan Dia mensyariatkan kepada hamba-hamba-Nya amal-amal ibadah sunnah tambahan untuk menyempurnakan (kekurangan) amal-amal yang wajib, karena (bagaimana pun) amal-amal yang wajib tidak akan luput dari kekurangan.” [3]
Mutiara Hikmah
Mutiara hikmah yang dapat kita petik dari hadits ini:
- Shalat tathawwu’ adalah semua shalat yang disyariatkan dalam agama Islam, selain shalat wajib lima waktu, baik yang hukumnya wajib atau sunnah (anjuran) [4].
- Agungnya kedudukan shalat lima waktu dalam Islam, karena shalat adalah ibadah yang pertama kali Allah Ta’ala wajibkan kepada manusia setelah kewajiban beriman (dua kalimat syahadat), maka shalat adalah panji iman dan bendera Islam[5].
- ‘Umar bin Khattab mengatakan, “Hisablah (introspeksilah) dirimu saat ini sebelum engkau dihisab (diperiksa/dihitung amal perbuatanmu pada hari kiamat), dan timbanglah dirimu saat ini sebelum amal perbuatanmu ditimbang (pada hari kiamat nanti).” [6]
- Agungnya rahmat dan kasih sayang Allah Ta’ala kepada hamba-hamba-Nya dengan menyempurnakan kekurangan pada ibadah wajib mereka dengan ibadah sunnah yang mereka kerjakan. [7]
- Arti ‘kekurangan yang disempurnakan” dalam hadits ini adalah ketidaksempurnaan dalam melaksanakan amal-amal wajib dalam shalat, atau amal-amal yang disyariatkan seperti khusyu’, dzikir-dzikir maupun doa dalam shalat. [8]
- Hamba Allah yang paling mulia di sisi Allah adalah yang melaksanakan amal-amal ibadah yang wajib dengan baik, dan banyak mengerjakan amal-amal sunnah, sehingga Allah Ta’ala pun mencintainya, inilah wali (kekasih) Allah Ta’ala yang sesungguhnya, sebagaimana yang disebutkan dalam hadits yang shahih[9] (yang menjelaskan tentang wali Allah, ed).
- Keutamaan memperbanyak shalat tathawwu’ dan amal-amal sunnah lainnya, karena semakin banyak amalan sunnah yang kita kerjakan maka semakin besar pula peluang kita untuk menyempurnakan kewajiban-kewajiban kita, untuk keselamatan kita di hari kemudian.
- Dahsyatnya perhitungan amal pada hari kiamat, karena pada waktu itu yang bermanfaat hanyalah amal perbuatan manusia, bukan harta atau kemewahan dunia yang mereka miliki.
***
Penulis: Ustadz Abdullah Taslim, Lc.
Artikel www.muslim.or.id
Footnote:
[1] HR Abu Dawud (no. 864), an-Nasa-i (1/232-233), at-Tirmidzi (no. 413) dan Ibnu Majah (no. 1425 dan 1426), dishahihkan oleh syaikh al-Albani dalam Shahihul Jaami’ish Shagiir (no. 2020).
[2] Lihat kitab Bugyatul Mutathawwi’ (hal. 16)
[3] Kitab Syarh Riyadhish Shaalihiin (3/282).
[4] Lihat kitab Bugyatul mutathawwi’ (hal. 12).
[5] Lihat kitab Faidhul Qadiir (3/87).
[6] Ucapan sahabat Umar bin Khattab radhiyallahu ‘anhu yang terkenal, diriwayatkan oleh Imam Ahmad dalam kitab beliau Az Zuhd (hal. 120), dengan sanad yang hasan.
[7] Lihat kitab Bahjatun Naazhiriin (2/281).
[8] Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi (2/384).
[9] HSR al-Bukhari (no. 6137).